Rabu, 07 November 2018

KISAH NYAI SUBANG LARANG


KISAH NYAI SUBANG LARANG

Orientasi
Situs Nyi Subang Larang
Situs Nyi Subang Larang adalah peninggalan arkeologi Sunda jaman Kerajaan Pajajaran. Situs ini terletak di Teluk Agung, Desa Nagerang, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Nyai Mas Subang Larang adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, seorang mangkubumi dari Nagari Singapura, dari Nhay Ratu Karanjang (putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa - Guruloka Mandala Wanagiri atau Kerajaan Wanagiri Cirebon, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang). Subang Larang lahir pada 1404 M. Carita Purwaka Caruban Nagari mengisahkan bahwa Subang Larang adalah salah satu istri dari Raden Pamanah Rasa yang kelak menjadi Raja Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.

Dalam salah satu versi Nyi Subang Larang adalah kakak dari pendekar yang melegenda yakni Jaka Tingkir. Keduanya, anak Prabu Siliwangi seibu, yakni dari selir Dewi Khona’ah. Jaka Tingkir, kelak berguru kepada Syeh Quro Nahdatul Ain, di Karawang.  Cagar budaya ini, sebagai penanda tempat tinggal Nyi Mas Ayu Subang Larang, Istri Prabu Siliwangi, Raja Padjadjaran. Di lokasi yang dikenal sebagai Teluk Agung -kini berubah jadi kebun jati itu- menemukan tanda-tanda kehidupan prasejarah dengan penemuan manik-manik dan perkakas bekas perabotan Nyi Subang Larang termasuk gelang dan kalung.

Situs Subang Larang yang ditemukan berupa bebatuan dan perhiasan serta sejumlah benda peninggalan Nyai Subang Larang. Situs itu pertama kali ditemukan pada 1979 dan 1981 di daerah Teluk Agung dan Muara Jati oleh Abah Roheman, warga setempat. Setelah melalui tahapan kajian dan penelitian para ahli arkeologi, benda purbakala itu disimpulkan memiliki kesamaan dengan yang ada di Pakuan, Bogor. Situs ini diresmikan pertama kali oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Herdiwan, didampingi Acil Bimbo dan Dasep Arifin, dari Dewan Kasepuhan Padjadjaran, pada Kamis 30 Juni 2011. Situs ini masih melakukan kajian historis. Hal tersebut mendorong beberapa instansi terkait untuk melakukan kajian mengenai situs Subang Larang. Maka pada tahun 2012 lalu, Disbudparpora Kabupaten Subang, Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dan Balai Arkeologi Bandung mengadakan studi teknis Subang Larang guna mendapatkan data yang valid.

Sumber : Google Wikipedia


Menguak Sejarah Nyai Subang Larang

Bulan Mei tahun 2011 hutan jati di desa Naggerang, Kecamatan Binong tiba-tiba ramai dikunjungi banyak orang termasuk para sejarawan dan budayawan Jawa Barat. Pasalnya, di daerah ini ditemukan berbagai peninggalan benda bersejarah yang diduga milik Nyai Subang Larang. Benda-benda bersejarah itu banyak ditemukan di hutan jati yang disebut Muara Jati dan Teluk Agung yang juga dikenal dengan sebutan Astana Panjang. Tak ada warga yang tahu sejarah daerah itu disebut Astana Panjang, yang pasti sejak tahun 80-an warga sekitar sudah sering menemukan benda-benda kuno di sini.

Penetapan lokasi tersebut sebagai situs peninggalan Nyai Subang Larang didasarkan pada hasil penelusuran Abah Dasep Arifin sejarawan dari Bogor yang sudah puluhan tahun mencari jejak makam Nyai Subang Larang. Berbagai peninggalan yang ditemukan dan kesamaan nama-nama tempat dengan latar belakang kehidupan Subang Larang zaman dulu semakin menguatkan tempat ini merupakan saksi sejarah perjalanan hidup Istri Prabu Siliwangi itu. Selain itu di daerah Cipunagara juga terdapat makam eyang Gelok yang diyakini sebagai pengiring Nyai Subang Larang semasa hidupnya.

Hingga kemudian 30/6/2011 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar, mengukuhkan cagar budaya Teluk Agung sebagai cagar budaya baru. Penetapan langsung dilakukan oleh Kepala Disparbud Jabar, Herdiwan, didampingi Acil Bimbo dan Dasep Arifin, dari Dewan Kasepuhan Padjadjaran.


Ditemukannya situs Subang Larang di Muara Jati, Desa Naggerang , Binong tahun 2011 lalu ternyata menguak kisah lain dari wilayah yang disebut Astana Panjang oleh masyarakat sekitar. Astana Panjang merupakan sebutan untuk kawasan antara Muara Jati hingga ke Teluk Agung di desa Nanggerang.

“Wilayah antara Muara Jati hingga Teluk Agung disebut Astana Panjang, entah sejak kapan nama tersebut dipakai, padahal sekarang kawasan ini tidak digunakan untuk lokasi Astana (pemakaman),” kata Asep, warga sekitar kepada kotasubang.com, Jumat (6/12/2013).
“Sampai sekarang belum terpecahkan, kenapa nama Astana Panjang itu dipakai untuk menamai kawasan ini,” tambahnya.

Menurut Asep, sejak puluhan tahun lalu warga masyarakat sekitar sering menemukan benda-benda kuno di daerah yang disebut kawasan Astana Panjang ini. Sehingga sebagian masyarakat meyakini kawasan ini merupakan bekas kuburan kuno.

“Dulu waktu kecil, kami sering menemukan benda semacam kelereng di sini, tapi ada lubangnya. Ya, karena ga ngerti biasa kami pakai untuk main kelereng saja,” ungkap Asep.
“Waktu itu banyak juga masyarakat yang menemukan benda-benda lain, tapi karena takut terjadi sesuatu, maka biasanya benda tersebut tidak diambil,” tambahnya.

Hingga sekitar tahun 1991 masyarakat baru mengerti bahwa barang yang mereka temukan adalah benda bersejarah, sejak saat itu mereka tidak takut lagi jika menemukannya dan mulai menyimpannya. Usep, salah seorang masyarakat lain juga bercerita. Neneknya pernah menemukan benda yang terbuat dari emas di sana. Namun sayang saat itu neneknya malah menukar benda tersebut dengan seekor sapi.

“Nenek saya pernah menemukan benda kayak batangan emas berukir di sini, tapi kemudian malah ditukar dengan sapi. Sekarang emasnya hilang, sapinya juga sudah tidak ada, “ katanya menyayangkan.
Menurut Asep hingga tahun 2000-an masyarakat sekitar masih sering menemukan benda-benda kuno berserakan di sekitar Astana Panjang.
“Sekarang aja, kalau habis hujan, biasanya suka ada saja benda kuno yang terlihat, “kata Asep.

Benar saja ketika hujan reda, kotasubang.com mencoba sedikit berkeliling beberapa langkah dari tempat kami berbincang dengan warga di sekitar di Muara Jati, kami menemukan serpihan kecil keramik dan gerabah kuno di sekitar tempat tersebut.

“Serpihan-serpihan kecil gitu mah sudah tidak diambil. Biasanya yang disimpan benda-benda yang hampir utuh, dan sekarangmah sudah tidak ditemukan lagi” kata Asep.
Benda-benda yang ditemukan di Astana Panjang sangat beragam, seperti gerabah kuno, keramik cina, penutup gigi dari emas, senjata, batu asahan, perhiasan dan masih banyak lagi. Benda-benda yang ditemukan tersebut menunjukkan tidak berasal dari satu masa kehidupan.
“Benda-benda yang ditemukan tersebut berasal dari beberapa masa, ada yang berasal dari masa Islam, masa sebelum Islam bahkan dari masa sebelum sejarah. Namun yang hampir bisa dipastikan beberapa peninggalan tersebut merujuk pada peninggalan suku Buni ” ungkap Asep.

Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan beberapa waktu lalu dengan penggalian sekitar 60 cm di sekitar Muara Jati. Benda-benda yang ditemukan tersebut diantaranya diduga peninggalan kebudayaan suku Buni. Kebudayaan Buni diperkirakan muncul pada akhir pra-Masehi hingga sekitar abad ke-5 Masehi, sebarannya meliputi wilayah pesisir utara Banten dan Jawa Barat. Ciri-ciri kebudayaan Buni adalah banyaknya penggunaan gerabah seperti piring, periuk, kendi, dan peralatan sehari-hari. Ini ditunjang beberapa unsur tradisi megalitik, seperti penyertaan bekal kubur mayat yang dilengkapi manik-manik, serta beberapa menhir dan batu meja. Benda-benda hasil temuan masyarakat tersebut kini telah dikumpulkan oleh pengurus situs tersebut. Ke depan direncanakan akan dibangun sebuah museum di sekitar Muara Jati untuk menampung benda-benda bersejarah tersebut.

“Doakan saja, semoga pembangunan museumnya segera terwujud, kami juga berharap segera dilakukan penelitian lanjutan untuk mengungkap semua misteri yang ada di sini,” pungkas Asep.
Siapakah sebenarnya Subang Larang ?
Kisah Nyai Subang Larang tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari  (CPCN) karya Pangeran Arya Cerbon yang dibuat pada tahun 1720. Menurut CPCN, Subang Larang bernama asli Kubang Kencana Ningrum, beliau lahir tahun 1404 dari ayah yang bernama Ki Gedeng Tapa yang merupakan syahbandar pelabuhan Muara Jati, sebuah pelabuhan penting di utara Jawa Barat yang termasuk kekuasaan nagari / kerajaan kecil Singapura.

Sedangkan Prabu Siliwangi awalnya bernama Pamanahrasa putra dari Prabu Anggalarang dari kerajaan Galuh. Ketika itu Jawa Barat dikuasai oleh 2 Kerajaan besar yang masih berkerabat yaitu Galuh yang berpusat di Ciamis dan Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran (Bogor). Kerajaan Sunda dipimpin oleh Raja Susuk Tunggal yang masih bersaudara dengan prabu Anggalarang. Dua kerajaan besar ini menguasai beberapa nagari / kerajaan kecil seperti Singapura, Japura, Wanagiri dan lainnya.

Sekitar tahun 1415  datanglah rombongan armada Cina yang dipimpin Laksamana Zheng He (Cheng Ho) yang beragama Islam di Muara Jati, saat inilah Islam mulai dikenal di sana. Pada tahun 1418 tiba pula seorang ulama Islam bernama Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik yang menumpang perahu dagang dari Campa (kini termasuk wilayah Vietnam dan sebagian Kamboja). Ada pula yang berpendapat keduanya datang dalam rombongan yang sama. Syekh Hasanuddin kemudian akrab dengan Ki Gedeng Tapa, di saat inilah kemungkinan Ki Gendeng Tapa memeluk agama Islam.

Kemudian Syekh Hasanudin pergi ke Karawang dan mendirikan pasantren di daerah Pura, Desa Talagasari, Karawang, dengan nama Pesantren Quro, maka dari itu kemudian ia lebih dikenal dengan nama Syekh Quro. Ki Gendeng Tapa menitipkan Nyai Subang Larang untuk belajar Islam kepada Syekh Quro di sana. Nyai Subang Larang belajar Islam di sana selama 2 tahun. Di tempat inilah Syeh Quro memberikan gelar Sub Ang larang (Pahlawan berkuda) kepadanya. Sekitar tahun 1420 Subang Larang Kembali ke Muara Jati.

Sekitar tahun 1420-an Ki Gedeng Tapa menyelenggarakan sayembara tarung satria, sebagai pemenangnya  berhak memperistri Nyai Subang Larang, putrinya. Dalam sayembara itu, Pamanah Rasa tampil sebagai pemenang dan berhak memperistri Nyai Subang Larang. Konon lawan terberat Pamanah Rasa adalah Amuk Marugul putra Prabu Susuk Tunggal (Kerajaan Sunda) yang ternyata masih ada hubungan saudara dengannya. Kemudian menikahlah Pamanah Rasa dengan Subang Larang di pesantren Syekh Quro. Sumber lain menyebutkan, Pamanah Rasa jatuh cinta kepada Subang Larang setelah ia mendengar suara Subang Larang mengaji di pesantren Syekh Quro bukan karena memenangkan sayembara. Di tahun yang sama terjadi peperangan antara nagari Singapura yang dipimpin Pamanah Rasa dan nagari Japura yang dipimpin Amuk Marugul, Pamanah Rasa kembali memenangkan peperangan tersebut.

Pamanah Rasa kemudian pergi ke Pakuan, kerajaan Sunda, di sana ia bertemu dengan Kentring Manik Mayang Sunda adik Amuk Marugul yang juga putri dari prabu Susuk Tunggal yang tak lain adalah ua-nya sendiri. Meskipun sudah menikahi Subang Larang, ia juga kemudian menikahi Kentring Manik Mayang Sunda. Setelah pernikahannya ini Pamanah Rasa kemudian diangkat menjadi putra mahkota oleh Susuk Tunggal karena dianggap lebih cakap daripada Amuk Marugul. Pamanah Rasa kemudian memboyong Subang Larang untuk  tinggal di keraton Pakuan Pajajaran (Bogor) bersama Istri yang lain. Di kemudian hari Pamanah Rasa diangkat menjadi raja dan bergelar Prabu Siliwangi.

Berdasarkan penelusuran Abah Dasep Arifin, semasa hidupnya Subang Larang dipercaya mendirikan pesantren dengan nama “Kobong Amparan Alit” di Teluk Agung yg kini berada di Desa Nanggerang Kecamatan, Binong. Nama “Kobong Amparan Alit” ini diperkirakan berubah menjadi daerah yang kini disebut “Babakan Alit” yang juga di sekitar kawasan Teluk Agung, desa Nanggerang. Sekitar tahun 1441 Nyai Subang Larang wafat di keraton Pakuan, kemudian jenazahnya dibawa oleh abdi dalemnya untuk dimakamkan di Muara Jati. Salah satu abdi dalemnya dikenal dengan nama Eyang Gelok yang dimakamkan di kampung Cipicung, desa Kosambi, kecamatan Cipunagara.

Subang Larang memiliki 3 orang anak yaitu Raden Walangsungsang (1423), Nyai Lara Santang (1426), dan Raja Sangara (1428). Sepeninggalnya Subang Larang anak-anaknya keluar dari Keraton Pakuan untuk memperdalam agama Islam. Ketiga anaknya inilah yang kemudian memegang peranan penting mengubah Jawa Bagian Barat menjadi daerah penyebaran Islam.

Pangeran Walangsungsang /Pangeran Cakrabuana kemudian menjadi penguasa Cirebon (Pendiri Kesultanan Cirebon). Larasantang kemudian memiliki anak bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunungjati. Rajasangara kemudian dikenal dengan nama Kiansantang. Konon menurut sebuah legenda,  Prabu Siliwangi memilih pergi meninggalkan keraton Pakuan dan menghilang di Hutan Sancang di selatan Garut dari pada masuk Islam dihadapan anaknya sendiri Kian Santang.

Ada beberapa versi berbeda mengenai riwayat perjalanan Nyai Subang Larang ini termasuk tempat-tempat yang pernah ia singgahi semasa hidupnya. Apakah lokasi di Nangerang ini benar-benar jejak hidup Subang Larang?, perlu penelusuran lebih lanjut untuk lebih memastikan tahun kejadian dan nama tempat yang menjadi latar belakang kehidupannya. Terlepas dari perbedaan tersebut sebagai sosok historis, keberadaan Nyai Subang Larang sangat penting dalam perjalanan sejarah sosial, religi, dan politik di Tatar Sunda di kemudian hari. Kini Islam menjadi agama mayoritas di Jawa Barat dan Banten.

Sumber : Google Wikipedia


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...