KISAH NYAI SUBANG LARANG
Orientasi
Situs
Nyi Subang Larang
Situs Nyi Subang Larang adalah peninggalan arkeologi Sunda
jaman Kerajaan Pajajaran. Situs ini terletak di Teluk
Agung, Desa Nagerang, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Nyai Mas
Subang Larang adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, seorang mangkubumi dari Nagari
Singapura, dari Nhay Ratu Karanjang (putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa - Guruloka
Mandala Wanagiri atau Kerajaan Wanagiri
Cirebon, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang). Subang Larang lahir pada 1404 M. Carita Purwaka Caruban Nagari mengisahkan
bahwa Subang Larang adalah salah satu istri dari Raden Pamanah Rasa yang kelak
menjadi Raja Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.
Dalam
salah satu versi Nyi Subang Larang adalah kakak dari pendekar yang melegenda
yakni Jaka Tingkir. Keduanya, anak Prabu Siliwangi seibu, yakni dari selir Dewi
Khona’ah. Jaka Tingkir, kelak berguru kepada Syeh Quro
Nahdatul Ain, di Karawang. Cagar budaya
ini, sebagai penanda tempat tinggal Nyi Mas Ayu Subang Larang, Istri Prabu
Siliwangi, Raja Padjadjaran. Di lokasi yang dikenal sebagai Teluk Agung -kini
berubah jadi kebun jati itu- menemukan tanda-tanda kehidupan prasejarah dengan
penemuan manik-manik dan perkakas bekas perabotan Nyi Subang Larang termasuk
gelang dan kalung.
Situs
Subang Larang yang ditemukan berupa bebatuan dan perhiasan serta sejumlah benda
peninggalan Nyai Subang Larang. Situs itu pertama kali ditemukan pada 1979 dan
1981 di daerah Teluk Agung dan Muara Jati oleh Abah Roheman, warga setempat.
Setelah melalui tahapan kajian dan penelitian para ahli arkeologi, benda
purbakala itu disimpulkan memiliki kesamaan dengan yang ada di Pakuan, Bogor.
Situs ini diresmikan pertama kali oleh Kepala Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Herdiwan, didampingi Acil Bimbo
dan Dasep Arifin, dari Dewan
Kasepuhan Padjadjaran, pada Kamis 30 Juni 2011. Situs ini masih
melakukan kajian historis. Hal tersebut mendorong beberapa instansi terkait
untuk melakukan kajian mengenai situs Subang Larang. Maka pada tahun 2012 lalu,
Disbudparpora Kabupaten Subang, Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dan
Balai Arkeologi Bandung mengadakan studi teknis Subang Larang guna mendapatkan
data yang valid.
Sumber
: Google Wikipedia
Menguak Sejarah Nyai Subang
Larang
Bulan
Mei tahun 2011 hutan jati di desa Naggerang, Kecamatan Binong tiba-tiba ramai
dikunjungi banyak orang termasuk para sejarawan dan budayawan Jawa Barat.
Pasalnya, di daerah ini ditemukan berbagai peninggalan benda bersejarah yang
diduga milik Nyai Subang Larang. Benda-benda bersejarah itu banyak ditemukan di
hutan jati yang disebut Muara Jati dan Teluk Agung yang juga dikenal dengan
sebutan Astana Panjang. Tak ada warga yang tahu sejarah daerah itu disebut
Astana Panjang, yang pasti sejak tahun 80-an warga sekitar sudah sering
menemukan benda-benda kuno di sini.
Penetapan
lokasi tersebut sebagai situs peninggalan Nyai Subang Larang didasarkan pada
hasil penelusuran Abah Dasep Arifin sejarawan dari Bogor yang sudah puluhan
tahun mencari jejak makam Nyai Subang Larang. Berbagai peninggalan yang
ditemukan dan kesamaan nama-nama tempat dengan latar belakang kehidupan Subang
Larang zaman dulu semakin menguatkan tempat ini merupakan saksi sejarah
perjalanan hidup Istri Prabu Siliwangi itu. Selain itu di daerah Cipunagara
juga terdapat makam eyang Gelok yang diyakini sebagai pengiring Nyai Subang
Larang semasa hidupnya.
Hingga
kemudian 30/6/2011 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar,
mengukuhkan cagar budaya Teluk Agung sebagai cagar budaya baru. Penetapan
langsung dilakukan oleh Kepala Disparbud Jabar, Herdiwan, didampingi Acil Bimbo
dan Dasep Arifin, dari Dewan Kasepuhan Padjadjaran.
Ditemukannya
situs Subang Larang di Muara Jati, Desa Naggerang , Binong tahun 2011 lalu
ternyata menguak kisah lain dari wilayah yang disebut Astana Panjang oleh
masyarakat sekitar. Astana Panjang merupakan sebutan untuk kawasan antara Muara
Jati hingga ke Teluk Agung di desa Nanggerang.
“Wilayah antara Muara
Jati hingga Teluk Agung disebut Astana Panjang, entah sejak kapan nama tersebut
dipakai, padahal sekarang kawasan ini tidak digunakan untuk lokasi Astana
(pemakaman),” kata Asep, warga sekitar kepada kotasubang.com,
Jumat (6/12/2013).
“Sampai sekarang belum
terpecahkan, kenapa nama Astana Panjang itu dipakai untuk menamai kawasan ini,”
tambahnya.
Menurut
Asep, sejak puluhan tahun lalu warga masyarakat sekitar sering menemukan
benda-benda kuno di daerah yang disebut kawasan Astana Panjang ini. Sehingga
sebagian masyarakat meyakini kawasan ini merupakan bekas kuburan kuno.
“Dulu waktu kecil,
kami sering menemukan benda semacam kelereng di sini, tapi ada lubangnya. Ya,
karena ga ngerti biasa kami pakai untuk main kelereng saja,” ungkap Asep.
“Waktu itu banyak juga
masyarakat yang menemukan benda-benda lain, tapi karena takut terjadi sesuatu,
maka biasanya benda tersebut tidak diambil,” tambahnya.
Hingga
sekitar tahun 1991 masyarakat baru mengerti bahwa barang yang mereka temukan
adalah benda bersejarah, sejak saat itu mereka tidak takut lagi jika
menemukannya dan mulai menyimpannya. Usep, salah seorang masyarakat lain juga
bercerita. Neneknya pernah menemukan benda yang terbuat dari emas di sana.
Namun sayang saat itu neneknya malah menukar benda tersebut dengan seekor sapi.
“Nenek saya pernah
menemukan benda kayak batangan emas berukir di sini, tapi kemudian malah
ditukar dengan sapi. Sekarang emasnya hilang, sapinya juga sudah tidak ada, “
katanya menyayangkan.
Menurut Asep hingga
tahun 2000-an masyarakat sekitar masih sering menemukan benda-benda kuno
berserakan di sekitar Astana Panjang.
“Sekarang aja, kalau
habis hujan, biasanya suka ada saja benda kuno yang terlihat, “kata Asep.
Benar
saja ketika hujan reda, kotasubang.com
mencoba sedikit berkeliling beberapa langkah dari tempat kami berbincang dengan
warga di sekitar di Muara Jati, kami menemukan serpihan kecil keramik dan
gerabah kuno di sekitar tempat tersebut.
“Serpihan-serpihan
kecil gitu mah sudah tidak diambil. Biasanya yang disimpan benda-benda yang
hampir utuh, dan sekarangmah sudah tidak ditemukan lagi” kata Asep.
Benda-benda yang
ditemukan di Astana Panjang sangat beragam, seperti gerabah kuno, keramik cina,
penutup gigi dari emas, senjata, batu asahan, perhiasan dan masih banyak lagi.
Benda-benda yang ditemukan tersebut menunjukkan tidak berasal dari satu masa
kehidupan.
“Benda-benda yang
ditemukan tersebut berasal dari beberapa masa, ada yang berasal dari masa
Islam, masa sebelum Islam bahkan dari masa sebelum sejarah. Namun yang hampir
bisa dipastikan beberapa peninggalan tersebut merujuk pada peninggalan suku
Buni ” ungkap Asep.
Hal
ini berdasarkan penelitian yang dilakukan beberapa waktu lalu dengan penggalian
sekitar 60 cm di sekitar Muara Jati. Benda-benda yang ditemukan tersebut
diantaranya diduga peninggalan kebudayaan suku Buni. Kebudayaan Buni
diperkirakan muncul pada akhir pra-Masehi hingga sekitar abad ke-5 Masehi,
sebarannya meliputi wilayah pesisir utara Banten dan Jawa Barat. Ciri-ciri
kebudayaan Buni adalah banyaknya penggunaan gerabah seperti piring, periuk,
kendi, dan peralatan sehari-hari. Ini ditunjang beberapa unsur tradisi
megalitik, seperti penyertaan bekal kubur mayat yang dilengkapi manik-manik,
serta beberapa menhir dan batu meja. Benda-benda hasil temuan masyarakat
tersebut kini telah dikumpulkan oleh pengurus situs tersebut. Ke depan
direncanakan akan dibangun sebuah museum di sekitar Muara Jati untuk menampung
benda-benda bersejarah tersebut.
“Doakan
saja, semoga pembangunan museumnya segera terwujud, kami juga berharap segera
dilakukan penelitian lanjutan untuk mengungkap semua misteri yang ada di sini,”
pungkas Asep.
Siapakah sebenarnya Subang Larang ?
Kisah
Nyai Subang Larang tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN)
karya Pangeran Arya Cerbon yang dibuat pada tahun 1720. Menurut CPCN, Subang
Larang bernama asli Kubang Kencana Ningrum, beliau lahir tahun 1404 dari ayah
yang bernama Ki Gedeng Tapa yang merupakan syahbandar pelabuhan Muara Jati,
sebuah pelabuhan penting di utara Jawa Barat yang termasuk kekuasaan nagari /
kerajaan kecil Singapura.
Sedangkan
Prabu Siliwangi awalnya bernama Pamanahrasa putra dari Prabu Anggalarang dari
kerajaan Galuh. Ketika itu Jawa Barat dikuasai oleh 2 Kerajaan besar yang masih
berkerabat yaitu Galuh yang berpusat di Ciamis dan Kerajaan Sunda yang berpusat
di Pakuan Pajajaran (Bogor). Kerajaan Sunda dipimpin oleh Raja Susuk Tunggal
yang masih bersaudara dengan prabu Anggalarang. Dua kerajaan besar ini
menguasai beberapa nagari / kerajaan kecil seperti Singapura, Japura, Wanagiri
dan lainnya.
Sekitar
tahun 1415 datanglah rombongan armada Cina yang dipimpin Laksamana Zheng
He (Cheng Ho) yang beragama Islam di Muara Jati, saat inilah Islam mulai
dikenal di sana. Pada tahun 1418 tiba pula seorang ulama Islam bernama Syekh
Hasanuddin bin Yusuf Sidik yang menumpang perahu dagang dari Campa (kini
termasuk wilayah Vietnam dan sebagian Kamboja). Ada pula yang berpendapat
keduanya datang dalam rombongan yang sama. Syekh Hasanuddin kemudian akrab
dengan Ki Gedeng Tapa, di saat inilah kemungkinan Ki Gendeng Tapa memeluk agama
Islam.
Kemudian
Syekh Hasanudin pergi ke Karawang dan mendirikan pasantren di daerah Pura, Desa
Talagasari, Karawang, dengan nama Pesantren Quro, maka dari itu kemudian ia
lebih dikenal dengan nama Syekh Quro. Ki Gendeng Tapa menitipkan Nyai Subang
Larang untuk belajar Islam kepada Syekh Quro di sana. Nyai Subang Larang
belajar Islam di sana selama 2 tahun. Di tempat inilah Syeh Quro memberikan
gelar Sub Ang larang (Pahlawan berkuda) kepadanya. Sekitar tahun 1420 Subang
Larang Kembali ke Muara Jati.
Sekitar
tahun 1420-an Ki Gedeng Tapa menyelenggarakan sayembara tarung satria, sebagai
pemenangnya berhak memperistri Nyai Subang Larang, putrinya. Dalam
sayembara itu, Pamanah Rasa tampil sebagai pemenang dan berhak memperistri Nyai
Subang Larang. Konon lawan terberat Pamanah Rasa adalah Amuk Marugul putra
Prabu Susuk Tunggal (Kerajaan Sunda) yang ternyata masih ada hubungan saudara
dengannya. Kemudian menikahlah Pamanah Rasa dengan Subang Larang di pesantren
Syekh Quro. Sumber lain menyebutkan, Pamanah Rasa jatuh cinta kepada Subang
Larang setelah ia mendengar suara Subang Larang mengaji di pesantren Syekh Quro
bukan karena memenangkan sayembara. Di tahun yang sama terjadi peperangan
antara nagari Singapura yang dipimpin Pamanah Rasa dan nagari Japura yang
dipimpin Amuk Marugul, Pamanah Rasa kembali memenangkan peperangan tersebut.
Pamanah
Rasa kemudian pergi ke Pakuan, kerajaan Sunda, di sana ia bertemu dengan
Kentring Manik Mayang Sunda adik Amuk Marugul yang juga putri dari prabu Susuk
Tunggal yang tak lain adalah ua-nya sendiri. Meskipun sudah menikahi Subang
Larang, ia juga kemudian menikahi Kentring Manik Mayang Sunda. Setelah
pernikahannya ini Pamanah Rasa kemudian diangkat menjadi putra mahkota oleh
Susuk Tunggal karena dianggap lebih cakap daripada Amuk Marugul. Pamanah Rasa
kemudian memboyong Subang Larang untuk tinggal di keraton Pakuan
Pajajaran (Bogor) bersama Istri yang lain. Di kemudian hari Pamanah Rasa
diangkat menjadi raja dan bergelar Prabu Siliwangi.
Berdasarkan
penelusuran Abah Dasep Arifin, semasa hidupnya Subang Larang dipercaya
mendirikan pesantren dengan nama “Kobong Amparan Alit” di Teluk Agung yg kini
berada di Desa Nanggerang Kecamatan, Binong. Nama “Kobong Amparan Alit” ini
diperkirakan berubah menjadi daerah yang kini disebut “Babakan Alit” yang juga
di sekitar kawasan Teluk Agung, desa Nanggerang. Sekitar tahun 1441 Nyai Subang
Larang wafat di keraton Pakuan, kemudian jenazahnya dibawa oleh abdi dalemnya
untuk dimakamkan di Muara Jati. Salah satu abdi dalemnya dikenal dengan nama
Eyang Gelok yang dimakamkan di kampung Cipicung, desa Kosambi, kecamatan
Cipunagara.
Subang
Larang memiliki 3 orang anak yaitu Raden Walangsungsang (1423), Nyai Lara
Santang (1426), dan Raja Sangara (1428). Sepeninggalnya Subang Larang
anak-anaknya keluar dari Keraton Pakuan untuk memperdalam agama Islam. Ketiga
anaknya inilah yang kemudian memegang peranan penting mengubah Jawa Bagian
Barat menjadi daerah penyebaran Islam.
Pangeran
Walangsungsang /Pangeran Cakrabuana kemudian menjadi penguasa Cirebon (Pendiri
Kesultanan Cirebon). Larasantang kemudian memiliki anak bernama Syarif
Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunungjati. Rajasangara
kemudian dikenal dengan nama Kiansantang. Konon menurut sebuah legenda,
Prabu Siliwangi memilih pergi meninggalkan keraton Pakuan dan menghilang di
Hutan Sancang di selatan Garut dari pada masuk Islam dihadapan anaknya sendiri
Kian Santang.
Ada
beberapa versi berbeda mengenai riwayat perjalanan Nyai Subang Larang ini
termasuk tempat-tempat yang pernah ia singgahi semasa hidupnya. Apakah lokasi
di Nangerang ini benar-benar jejak hidup Subang Larang?, perlu penelusuran
lebih lanjut untuk lebih memastikan tahun kejadian dan nama tempat yang menjadi
latar belakang kehidupannya. Terlepas dari perbedaan tersebut sebagai sosok
historis, keberadaan Nyai Subang Larang sangat penting dalam perjalanan sejarah
sosial, religi, dan politik di Tatar Sunda di kemudian hari. Kini Islam menjadi
agama mayoritas di Jawa Barat dan Banten.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar