KISAH
KERAJAAN GALUNGGUNG
Orientasi
Kerajaan
Galunggung adalah kerajaan di Tatar Pasundan. Tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka
atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan
Prasasti
Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa
Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya membuka Rajyamandala Galunggung (kerajaan bawahan Galunggung). Dari Sang
Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakandang
Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada zaman Prabu Siliwangi
(1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini
bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.
Saat pengaruh Islam menguat, pusat tersebut pindah ke daerah Pamijahan dengan Syekh Abdul
Muhyi (abad ke XVII) sebagai tokoh ulama panutan.
Dimulai
pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan
dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan
mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru
dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung.
Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara
Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari
Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan
menjadi kerajaan.
Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah
yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, terdapat Pemerintahan
Kebataraan di sekitar Gunung Galunggung dengan ibukotanya adalah Rumatak.
Kebataraan ini cukup istimewa yaitu dengan memiliki kekuasaan “mengabisheka raja-raja Galuh” atau
dengan kata lain Raja Galuh baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara
yang bertahta di Galunggung. Selain itu, Kebataraan ini memberikan amanah yang
dikenal dengan Amanah Galunggung,
yang isinya memperingatkan kepada raja-raja beserta rakyat (yang menghormati
Kebataraan Galunggung) agar setia memelihara kabuyutan (daerah yang dianggap sebgai tempat suci dan
ditetapkan sebagai pusat pendidikan). Artinya, apabila tempat suci sudah
terjamah musuh, berarti kerajaan sudah runtuh. Salah satu isi dari Amanah
Galunggung tersebut adalah mengenai tapa (Kropak 632), yaitu :
...na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya
twah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampes twah waya
tapa, apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya tapa....
“... bagi kita, pria dan wanita, ya beramal
ya bertapa, itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang
amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya.
Adapun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil
tapa kita…..”
Selain bersifat Kebataraan, Galunggung juga membawahi
sekitar 12 kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Diantara kerajaan-kerajaan
bawahannya itu, yang cukup terkenal adalah Kerajaan Kuningan, Kerajaan Kajaron,
dan Kerajaan Kalanggara.
Batara / sesepuh yang memerintah di Kerajaan
Galunggung antara lain :
Batara Danghiyang
Guru Sempakwaja (sampai tahun 729)
Dilahirkan pada tahun 620, beliau merupakan putera
sulung Wretikandayun (raja Galuh pertama). Nama asli beliau tidak diketahui,
tetapi kemudian terkenal dengan nama Sempakwaja dikarenakan giginya
ompong. Karena giginya yang ompong, maka Sempakwaja gagal menjadi penerus
Kerajaan Galuh dan akhirnya mendirikan Kerajaan Galunggung. Beliau memiliki permaisuri
bernama Pohaci Rababu (berasal dari pertapaan Kendan). Dari pernikahannya itu,
Sempakwaja memiliki dua orang putera, yaitu :
1. Purbasora,
lahir tahun 643 kemudian merebut tahta Galuh.
2. Demunawan,
lahir tahun 646.
Di tahun 661, permaisurinya melahirkan seorang anak
laki-laki hasil hubungan gelapnya dengan adik Sempakwaja yang bernama Amara,
dan kemudian anak tersebut diurus oleh Amara serta diberi nama Bratasenawa.
Namun Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, merupakan orang yang begitu sabar dan
sangat mencintai istrinya itu, sehingga dia tetap mau menerima Pohaci Rababu
sebagai istri walaupun dia telah berselingkah dengan adiknya sendiri. (lihat Kerajaan Galuh, mulai
sub-Wretikandayun).
Pada saat Purbasora merebut tahta Galuh dari
Bratasenawa, dan kemudian tahta tersebut direbut kembali oleh Sanjaya (anak
Bratasenawa), Sempakwaja merasa sakit hati kepada Sanjaya yang kala itu
memerintah di Kerajaan Sunda. Sejak kejadian itu, Sempakwaja menyerahkan
wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan dibawahnya kepada Demunawan
(anaknya yang ditunjuk menjadi raja Kerajaan Kuningan) untuk bergabung menjadi
satu dalam rangka menandingi kerajaan Sunda-Galuh. Suasana panas tak terelakan
lagi, dimana antara Kerajaan Kuningan dan Sunda-Galuh selalu berada dalam
posisi sama-sama panas. Untungnya, kerajaan-kerajaan yang masih bersaudara itu
segera mengakhiri perselisihannya dengan damai. Danghiyang Guru Sempakwaja wafat pada usia 109
tahun tepatnya di tahun 729. Pada tahun wafatnya itu, keadaan di bagian timur
dari barat Jawa sudah dalam masa perdamaian. Setelah Danghiyang Guru Sempakwaja wafat,
Kebataraan Galunggung di bawah kekuasaan Kerajaan Kuningan diperintah oleh Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan Batara Wastuhayu.
Masa kekuasaan dari 3 raja
tersebut belum diketahui jalan sejararahnya, hingga muncul kembali pada sekitar
tahun 1111, di masa akhir kekuasaan dari Resiguru Sudakarmawisesa.
Resiguru Sudakarmawisesa
(sampai tahun 1111)
Beliau memiliki permaisuri yang bernama Dewi Citrawati
(puteri ke-2 dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya / anak Sri Jayabhupati).
Setelah menikah dengan Dewi Citrawati, beliau menyerahkan tahta Kebataraan
Galunggung pada permaisurinya itu,
sedangkan beliau sendiri memilih jalan hidup untuk mendalami keagamaan.
Dewi Citrawati (1111 -
1152)
Setelah Resiguru Sudakarmawisesa turun tahta dari
Kebataraan Galunggung, kedudukannya digantikan oleh Dewi Citrawati yang
bergelar Batari Hyang Janapati yang
berfungsi sebagai raja daerah / kerajaan bawahan Sunda. Sebelum Dewi Citrawati
menikah dengan Resiguru Sudakarmawisesa, beliau sangat menginginkan untuk
menjadi pendamping dari Prabu
Langlangbumi (raja Sunda ke-22). Namun hasratnya itu tidak kesampaian,
karena sang raja Sunda tersebut telah menikah dengan kakak kandungnya Dewi
Citrawati.
Karena itulah, setelah Dewi Citrawati berkuasa di
Galunggung, beliau sangat membenci pada kekuasaan Prabu Langlangbumi di
Kerajaan Sunda. Wilayah pedalaman yaitu
desa antara Galuh, Sunda, dan Galunggung saat itu sering terjadi perampokan.
Daerah rawan tersebut dijadikan konflik antara Galunggung dan Sunda semakin
memanas. Dewi Citrawati mungkin menganggap, Prabu Langlangbumi, sebagai raja
Sunda yang berkuasa atas 3 kerajaan (Galuh-Galunggung-Sunda) tidak mampu
mengatasi gangguan perampok tersebut.
Peristiwa yang semakin memanas itu, membuat Dewi
Citrawati selalu cemas dalam menjalankan pemerintahannya. Beliau takut apabila
terjadi serangan dari Kerajaan Sunda, karena biar bagaimana pun, Kebataraan
Galunggung masih terlalu lemah untuk menghadapi Kerajaan Sunda. Meskipun
demikian, Dewi Citrawati tetap merasakan dendam kepada Prabu Langlangbumi yang
telah mengacuhkan cintanya.
Untuk mencegah adanya serangan dari Kerajaan Sunda,
Dewi Citrawati membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang
kuat. Agar lebih menguatkan stabilitas pertahanan kota, maka “bentuk
pemerintahan” Galunggung mengalami perubahan bentuk dari Kebataraan menjadi
Kerajaan. Pusat Kerajaan Galunggung dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh.
Dengan demikian, saat itu kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung bersatu untuk
mengimbangi kekuasaan dari Kerajaan Sunda.
Pada tanggal 21 Agustus 1111,
tepat setelah membangun ibukota baru, Dewi Citrawati membuat sebuah prasasti di
lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang / kabuyutan Linggawangi (sekarang Desa
Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya). Prasasti tersebut
kemudian disebut sebagai prasasti
Geger Hanjuang dan menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta. Pada prasasti
tersebut, Dewi Citrawati / Batari Hiyang Janapati menuliskan :
tra ba i gune apuy na-
sta gomati sakakala rumata-
k disusu(k) ku batari hyang pun
“Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka,
Rumatak disusuk oleh Batari Hyang”
Dewi Citrawati membuat sebuah ajaran yang dikenal
sebagai Sang Hyang Siksakanda ng
Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Kerajaan
Pajajaran (penerus Kerajaan Sunda) yang ber ibukota di Pakuan. Prabu Langlangbumi yang sebenarnya tidak berniat untuk
menyerang Galunggung, akhirnya mengajukan penawaran damai. Melalui perundingan
damai di tahun 1152, dicapai kesepakatan yang menyebutkan bahwa wilayah barat
Jawa kembali dipecah menjadi 2 bagian, yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat
dan Kerajaan Galuh disebelah timur beribukota pusat kota Galunggung, dengan
dipimpin oleh Dewi Citrawati. Dengan demikian, Dewi Citrawati memimpin 2
kerajaan yaitu Galuh dan Galunggung. Pada tahun 1152, untuk mengurus pemerintahan
sehari-hari di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati menobatkan puteranya yang
bernama Batara Danghiyang Guru
Darmawiyasa sebagai pemegang kekuasaan Galunggung.
Batara Danghiyang Guru Darmasiyasa
(1152 – 1157)
Beliau menjadi raja daerah Galunggung dibawah kekuasaan
Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh ibunya. Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa mempunyai putera
yang bernama Prabu Darmakusuma dan
Adimurti, putera sulungnya kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah
menikah dengan Ratna Wisesa (puteri
Prabu Menakluhur / raja Sunda
ke-23). Di tahun 1157, Prabu Darmasiksa dinobatkan sebagai
raja Sunda, maka kekuasaan Galuh kembali berada di bawah kekuasaan Sunda,
dengan demikian otomatis Galunggung pun menjadi bawahan Sunda.
Raja-raja selanjutnya
Kerajaan Galunggung belum ditemukan datanya, tetapi sekitar abad ke 15, sejarah
kembali mencatat raja-raja yang berkuasa disini.
Sri Gading Anteg
Sri Gading Anteg, diperkirakan masa kekuasaannya
sejaman dengan Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi). Diperkirakan juga, Kerajaan
Galunggung saat itu berada dalam kekuasaan Pajajaran.
Sejarah penting yang tercatat pada masa
pemerintahannya ini adalah perpindahan ibukota kerajaan dari Rumatak ke Dayeuh
Tengah atau disebut juga Sukakerta (sekarang termasuk Kecamatan Salopa,
Tasikmalaya).
Dalem Sukakerta
Sebagai penerus tahta dari Sri Gading Anteg, Dalem
Sukakerta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran yang
menggantikan Prabu Siliwangi). Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa pada
masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak
oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Ketika
Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak
di bagian timur berusaha melepaskan diri, termasuk Kerajaan Galunggung. Saat itu, agama yang dianut oleh penduduk Galunggung
adalah agama Islam dikarenakan peranan daripada Sunan Gunung Jati (sultan
Cirebon) yang sangat aktif menyiarkan agama Islam ke seluruh Tatar Pasundan.
Dalem Sentawoan / Prabu Rajadipuntang
Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Kerajaan
Galunggung yang merdeka (lepas dari Pajajaran). Lepasnya kerajaan Galunggung
dari tangan Kerajaan Pajajaran, membuat Prabu Surawisesa mengerahkan pasukannya
untuk merebut kembali Galunggung pada tahun 1520-an. Menghadapi serangan itu,
Prabu Rajadipuntang sebagai raja Galunggung kemudian menyingkir ke arah daerah
Linggawangi. Sejak peristiwa itu, tamatlah riwayat kerajaan Galunggung.
Sementara itu, untuk menyelamatkan harta pusaka
kerajaan, Prabu Rajadipuntang mengamanatkan harta pusaka tersebut pada anak
bungsunya yang bernama Sembah Dalem
Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu, Singaparana dibekali ilmu
oleh ayahnya yaitu ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).
Sembah Dalem Singaparna kemudian membuka pemukiman
baru diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan (sekarang masuk kedalam
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya). Saat itu wilayah pemukiman
tersebut masih berupa hutan yang diyakini dihuni oleh roh-roh jahat (dedemit), kemudian melalui ilmu yang
dimilikinya, Sembah Dalem Singaparna memindahkan dedemit itu ke hutan yang berada di seberang sungai Ciwulan
(bagian timur pemukiman yang didirikannya, kemudian hutan tersebut disebut
Leuweung Larangan). Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali
dilarang untuk diinjak oleh siapa pun (khususnya bagi penduduk disitu).
Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan
pantangan yang sangat keras.
Pemukiman yang didirikan itu kemudian dikenal dengan
sebutan Kampung Naga, yang
penduduknya merupakan keturunan dari Sembah Dalem Singaparna. Penduduk kampung
Naga sampai saat ini merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih
menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Sebagai masyarakat yang
berpola agraris, hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah,
namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati
horison langit) yang dipercaya selalu berpindah-pindah dan posisinya dalam
menentukan curah hujan.
Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori
yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim
awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya
Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita,
Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan
untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman dalam
cara bercocok tanam.
Selain itu, di wilayah barat pemukiman, terdapat
Leuweung Keramat yang merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga
dimakamkan. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua
hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan,
sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh masjid, ruang pertemuan dan Bumi
Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).
Perkemabangan Selanjutnya Wilayah
Galunggung
Di masa ini, wilayah Priangan sedang
mengalami masa pergolakan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya
pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada
awal abad XVII, yaitu Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia.
Dampak dari pergolakan ini adalah terambilnya wilayah Galunggung oleh Kekuasaan
Mataram.
Wirawangsa sebagai penguasa daerah
wilayah Galunggung akhirnya mau tak mau untuk ikut berperan serta membantu
Mataram dalam membasmi pemberontakan Dipati
Ukur (bupati Priangan yang membangkang kepada kekuasaan Mataram).
Setelah Wirawangsa berhasil membasmi pergerakan Dipati Ukur, akhirnya dia
diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura yang pertama pada tanggal 20 April 1541
oleh Sultan Agung Mataram sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Akhirnya ibukota
negeri yang awalnya di Sukakerta, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan
nama wilayahnya disebut Sukapura.
Sumber :
Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar