KISAH
UNTUNG SURAPATI
Orientasi
Untung Surapati
(Bahasa Jawa: Untung Suropati) (terlahir Surawiroaji,
lahir di Bali, 1660
– meninggal dunia di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, 5 Desember 1706
pada umur 45/46 tahun) adalah seorang tokoh dalam sejarah Nusantara yang dicatat dalam Babad
Tanah Jawi.
Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak
VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan. Kisah Untung Surapati yang legendaris dan
perjuangannya melawan kolonialisme VOC
di Pulau Jawa membuatnya dikenal sebagai pahlawan
nasional Indonesia.
Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan
nasional Indonesia
berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Latar
Belakang
Asal usul Untung
Untung Surapati, Nama aslinya Surawiroaji.[1] Menurut Babad
Tanah Jawi ia berasal dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira
VOC yang
ditugaskan di Makasar. Kapten van
Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama
Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak
kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung". Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan
penjara oleh Moor karena menjalin hubungan dengan putrinya yang bernama Suzane.
Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan
menjadi buronan.
Mendapat nama Surapati
Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang bernama Pangeran Purbaya melarikan diri
ke Gunung Gede. Ia memutuskan
menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira VOC pribumi. Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura)
berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih
ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran Purbaya. Untung menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa
ke Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar.
Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari 1684.
Pangeran Purbaya tetap menyerah
ke Tanjungpura, tetapi
istrinya yang bernama Gusik Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini
kembali menjadi buronan VOC. Antara lain
ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang mengejarnya di desa
Rajapalah.
Ketika melewati Kesultanan Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat
sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun
dihukum mati. Sejak itu nama "Surapati"
oleh Sultan Cirebon diserahkan
kepada Untung.
Terbunuhnya Kapten Tack
Untung
alias Surapati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma
pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC
yang gencar mendesak Amangkurat II agar membatalkan perjanjiannya
dengan bangsa Belanda tersebut. Nerangkusuma juga
menikahkan Gusik Kusuma dengan Surapati.
Kapten
François
Tack (perwira VOC
senior yang ikut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan
Ageng Tirtayasa)
tiba di Kartasura bulan Februari 1686 untuk menangkap
Surapati. Amangkurat
II yang telah
dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.
Pertempuran pun meletus di halaman
keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di
tangan Untung. Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng
mereka.
Bergelar Tumenggung Wiranegara
Amangkurat II takut pengkhianatannya terbongkar.
Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Surapati mengalahkan
bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena
ia sendiri sudah kenal dengan Surapati di Kartasura. Untung Surapati pun mengangkat diri menjadi
bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara. Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk
merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami
kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha
mengelabui VOC.
Kematian Untung Surapati
Sepeninggal
Amangkurat
II tahun 1703,
terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC.
Tahun 1705 Amangkurat
III diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan. Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC,
Kartasura, Madura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole
menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng Bangil
akhirnya menewaskan Untung Surapati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706.
Namun ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Makam Surapati pun dibuat
rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu
berisi Surapati palsu. Pada tanggal 18 Juni 1707
Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Surapati yang
segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Perjuangan putra-putra Surapati
Putra-putra
Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden
Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa
dan Bali). Sebagian dari mereka ada yang
tertangkap bersama Amangkurat
III tahun 1708 dan
ikut dibuang ke Srilangka. Sebagian pengikut Untung Surapati bergabung
dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini
sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak
Surapati dalam perang tahun 1706. Setelah
Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Surapati masih setia
mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar
menentang Amangkurat
IV yang didukung VOC
tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra
Untung Surapati dan para pengikutnya dibuang VOC
ke Srilangka.
Dalam karya sastra dan media lain
Kisah
perjalanan hidup Untung Surapati yang legendaris, selain sekarang menjadi nama
jalan yang umum di Indonesia, juga cukup banyak ditulis dalam
bentuk sastra. Selain Babad
Tanah Jawi, juga
terdapat antara lain Babad Surapati. Penulis Hindia
Belanda Melati
van Java (nama
samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887.
Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH
Wiggers dan
diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja.
Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati. Taman Burgemeester
Bisschopplein di Batavia (sekarang Jakarta) pasca kemerdekaan Indonesia diubah
namanya menjadi "Taman Suropati" untuk mengabadikan nama
Untung Surapati.
Referensi
2. Babad
Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
===============================================
Untung
Surapati, Bekas Budak yang Mengawini Perempuan Belanda
Bocah
rupawan itu dianggap membawa kemujuran bagi Tuan Moor. Karier perwira VOC ini
melesat sejak si bocah tinggal di rumahnya. Pangkatnya yang semula kapten naik
menjadi mayor. Bahkan, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Hindia (Raad van
Indie) alias dewan penasihat Gubernur Jenderal. Kekayaannya pun meningkat
pesat. Dari situlah, Moor sering memanggil lelaki kecil itu dengan nama Untung.
Dikisahkan Ratnawati Anhar dalam Untung Surapati (2012), Moor mendapatkan bocah itu dari rekannya sesama perwira kompeni, Kapten van Baber. Sejak usia 7 tahun, Untung mengabdi kepada keluarga van Baber setelah ditebus dari seorang penjual budak belian di Makassar (hlm. 18). Sekitar 3 tahun kemudian, Untung terpaksa dijual kepada Moor karena van Baber harus sering berpindah-pindah tempat dinas. Untung pun diboyong Moor ke kediamannya di Batavia. Tugasnya adalah melayani putri kesayangan keluarga Belanda itu, Suzanne, serta membersihkan seisi rumah sekaligus sebagai tukang kebun.
Untung kerap terkagum-kagum setiap kali memandang kegagahan sang majikan dengan seragam militernya. Ia kini punya cita-cita: menjadi seorang tentara seperti Tuan Moor. Mimpi tersebut nantinya terwujud. Ia menjelma sebagai sosok prajurit pemberani. Si kecil pembawa nasib mujur itu kelak tersohor dengan nama Untung Surapati dan termasuk salah satu orang yang paling merepotkan VOC.
Menikahi
Anak Majikan
Anak
lelaki yang oleh Moor diberi nama Untung itu ternyata berasal dari Bali. Ia
lahir pada 1660 dengan nama Surawiroaji. Ada yang menyebut Surawiroaji berasal
dari kalangan rakyat biasa. Namun, ada pula yang meyakininya masih memiliki
darah bangsawan, bahkan keturunan raja-raja. Tapi yang jelas, Surawiroaji
melalui masa kecilnya sebagai budak belian. Waktu itu memang masih ada
perdagangan manusia di Nusantara. Budak-budak diperjualbelikan untuk
dipekerjakan di kebun, dijadikan pendayung kapal, dan sebagainya. Hingga
akhirnya, pada 1670, Moor mendapatkan Surawiroaji, yang kemudian dipanggilnya
Untung, dan dibawanya pulang ke Batavia. Saban hari, Untung selalu melayani
Suzanne, putri terkasih Tuan Moor, selain mengerjakan tugas-tugas lain.
Tumbuh besar bersama, meskipun berbeda “kasta”, Suzanne dan Untung saling jatuh cinta. Keduanya lantas menikah secara rahasia. Dikutip dari Betawi Queen of the East (2004) karya Alwi Shahab, Tuan Moor yang akhirnya tahu pun murka. Moor, yang saat itu sudah menjadi tokoh terhormat di pemerintahan, menginstruksikan aparat kolonial untuk menangkap Untung (hlm. 111).
Untung segera dibekuk dan dipenjara di Stadhuis (kini gedung Museum Sejarah Jakarta). Selama dibui, pemuda ini sering disiksa karena kelakuannya yang dianggap tak patut lantaran berani-beraninya mencintai, apalagi menikahi, seorang putri pejabat tinggi, orang Belanda pula. Beruntung, Untung bisa kabur dari tahanan berkat pertolongan Suzanne yang diam-diam melepaskannya. Sejak saat itu, kebenciannya terhadap tentara Belanda memuncak. Ia bertekad akan membalas segala perlakuan mereka terhadapnya, selain masih sakit hati karena dipisahkan secara paksa dengan istri Belanda-nya yang cantik. Untung, yang kini sudah berusia 20 tahun, meluapkan kemarahannya dengan kerap membikin onar di pinggiran Batavia. Sasarannya adalah aparat VOC atau orang-orang yang dekat dengan pemerintah Hindia Belanda. Untung pun harus pintar-pintar bergerak karena menjadi buruan aparat kolonial.
Mencintai
Istri Pangeran
Pada
1683, seperti dikisahkan Uka Tjandrasasmita dalam Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah sampai Batavia
(1977), VOC menyerang Kesultanan Banten dan memenjarakan Sultan Ageng Tirtayasa
di Batavia hingga wafat. Putranya, Pangeran Purbaya, lolos dan lari ke Gunung
Gede (dekat Bogor) untuk berlindung. Ia bersedia menyerahkan diri, tetapi hanya
mau dijemput oleh perwira VOC dari kalangan pribumi (hlm. 96). Sementara itu,
Untung, mantan budak Tuan Moor yang dianggap kurang ajar itu, masih
dikejar-kejar aparat kolonial dan akhirnya bisa ditemukan. Ditawarilah Untung
pekerjaan baru ketimbang harus menjalani hukuman, yaitu menjemput Pangeran
Purbaya.
Tawaran itu diterima. Ia kemudian dilatih ketentaraan
oleh militer VOC, bahkan diberi pangkat letnan dalam tempo yang relatif
singkat. Setelah beres, Untung bersiap untuk melaksanakan misinya, menuju ke Gunung
Gede. Untung akhirnya menemui Pangeran Purbaya yang bersedia ikut untuk
diserahkan kepada VOC. Dalam perjalanan, serdadu-serdadu Belanda pimpinan
Vaandrig Kuffeler memperlakukan sang pangeran dengan kasar. Untung tidak bisa
menerima perlakuan itu.
Situasi memanas karena Kuffeler juga menghina Untung. Buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988) yang ditulis Sagimun Mulus Dumadi menceritakan, Kuffeler mencibir Untung, menyebutnya tetap saja budak dan buronan VOC (hlm. 99). Kuffeler yang tidak sudi mengakui Untung sebagai perwira bahkan mengancam akan menjebloskannya ke penjara.
Cukup lama menahan diri, Untung akhirnya lepas kendali. Seperti diungkap Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari dalam Catatan Masa Lalu Banten (1993), di tepi Sungai Cikalong (dekat Cianjur), pada 28 Januari 1684, pasukan Kuffeler dihancurleburkan oleh Untung. Tidak kurang 20 orang Belanda tewas dalam pertikaian itu (hlm. 160). Usai insiden berdarah tersebut, Pangeran Purbaya tetap ingin menyerahkan diri kepada VOC ketimbang timbul masalah yang lebih besar nantinya. Namun, istri pangeran, Raden Ayu Gusik Kusuma, justru meminta Untung mengantarkannya pulang ke Kartasura (dekat Solo). Raden Ayu Gusik Kusuma adalah putri seorang pejabat tinggi di istana dinasti Mataram itu.
Mereka berpisah jalan. Pangeran Purbaya dan para pengawalnya menuju benteng VOC di Tanjungpura (Karawang), sementara Untung beserta beberapa pengikutnya mengawal Raden Ayu Gusik Kusuma ke Kartasura. Dalam perjalanan panjang itu, cinta mulai bersemi. Sang istri pangeran ternyata menaruh hati kepada Untung, dan berbalas.
Memperoleh
Nama Surapati
Untung
sempat menghadapi pasukan VOC lagi yang mengejarnya di bawah pimpinan Jacob
Couper. Peristiwa itu terjadi di Desa Rajapolah, Tasikmalaya. Disebutkan R.P.
Suyono dalam Peperangan Kerajaan di
Nusantara (2003), pertempuran itu cukup seru. Untung kehilangan
beberapa orang anak buahnya. Namun, kerugian di pihak Couper juga tak kalah
sedikit, bahkan lebih parah (hlm. 74). Demi keselamatan Raden Ayu Gusik Kusuma,
Untung terpaksa melarikan diri. Orang-orangnya yang sudah hafal medan membuat
rombongan ini bisa lepas dari kejaran meskipun Untung kini kembali menjadi
buronan aparat kolonial.
Perjalanan dilanjutkan. Untung berniat mampir ke Cirebon sekaligus menghadap sultannya karena Kesultanan Cirebon berhubungan baik dengan Mataram, tempat asal Raden Ayu Gusik Kusuma. Namun, kedatangan Untung ternyata tidak disukai oleh anak angkat sultan yang bernama Raden Surapati. Raden Surapati dikenal sebagai sosok pangeran yang sangat angkuh dan sering bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Ia mencegah rombongan Untung masuk ke istana dan terjadilah pertengkaran sengit. Raden Surapati bahkan menyerang kepribadian dan masa lalu Untung yang pernah menjadi budak. Apalagi Untung adalah buronan VOC.
Kericuhan itu baru mereda setelah Sultan Cirebon mengetahuinya dan turun tangan. Sultan memutuskan Raden Surapati bersalah dan dianggap telah mencemarkan nama kerajaan karena tindakannya terhadap Untung. Ratnawati Anhar menuliskan, bahkan sultan menjatuhkan hukuman mati untuk anak angkatnya itu (hlm. 58). Nama Surapati pun diberikan kepada Untung. Sejak saat itulah, nama Untung Surapati mulai dikenal. Setelah mendapatkan restu dari Sultan Cirebon, rombongan Untung Surapati meneruskan perjalanannya ke timur. Namun, pergerakan Untung diketahui VOC. Kembali dipimpin oleh Jacob Couper, pada 6 Oktober 1684, terjadi pertempuran di perbatasan Jawa bagian barat dengan tengah itu. Sekitar 50 orang dari pihak Untung tewas. Lantaran kekuatan dan senjata yang tidak seimbang, Untung Surapati menginstruksikan kepada pasukannya untuk mundur. Mereka lolos berkat bantuan dari Kesultanan Cirebon dan berhasil memasuki wilayah kekuasaan Mataram dan bergegas menuju Kartasura.
Siasat
Menjebak VOC
Singkat
cerita, tibalah rombongan Untung Surapati di Istana Kartasura yang saat itu
diperintah Amangkurat II (1680-1702), cucu Sultan Agung. Ayah Raden Ayu Gusik
Kusuma, Patih Nerangkusuma, adalah sosok yang sangat anti-VOC. Ia pun merestui
pernikahan Untung dengan putrinya yang telah memutuskan berpisah dengan
Pangeran Purbaya dari Banten. Patih Nerangkusuma langsung terpikat kepada
Untung setelah mendengar laporan dari bupati-bupati bawahan Mataram tentang
sepak-terjangnya selama perjalanan menuju Kartasura. Ia pun tidak ragu-ragu
mengajak Untung untuk bersama-sama memerangi musuh yang sama-sama mereka benci,
yakni kompeni Belanda.
VOC mendesak kepada Amangkurat II agar menyerahkan Untung Surapati. Amangkurat II menyanggupinya. Tapi, itu ternyata hanya taktik yang dirancang Patih Nerangkusuma bersama Untung Surapati. Pasukan kompeni pun berangkat ke Kartasura. Kali ini, komandannya adalah Kapten Francois Tack, perwira senior VOC yang pernah terlibat dalam penumpasan gerakan Trunojoyo yang dianggap memberontak kepada Mataram. Tack juga terlibat dalam penaklukan Kesultanan Banten. Sampai di Kartasura tanggal 8 Februari 1686 menjelang siang, Kapten Tack yang memimpin lebih dari 200 serdadu memasuki istana dengan percaya diri karena yakin Untung akan ketakutan melihatnya.
Ternyata, Kapten Tack masuk jebakan. Anak buah Untung Surapati membuat kebakaran hebat di sekitar istana. Pasukan VOC pun panik dan terperangkap. Selain itu, pasukan Untung juga membakar sebagian bangunan kraton untuk mengesankan seolah-olah Amangkurat II ikut menjadi sasaran serangan, agar VOC tidak curiga. Pertempuran hebat pun terjadi di halaman kraton. Korban berjatuhan di kedua pihak. Untung Surapati kehilangan 75 anak buahnya. Sementara dari kubu VOC sebanyak 79 orang tewas, termasuk Kapten Tack.
Peristiwa ini cukup menggetarkan kompeni. Sejarawan Hermanus Johannes de Graaf dalam Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut di Kartasura Abad XVII (1989) bahkan menyebut, “pembunuhan Kapten Francois Tack merupakan salah satu peristiwa yang paling mencolok dalam sejarah VOC” (hlm. 1).
Gugurnya
Untung Surapati
Amangkurat
II kemudian memerintahkan Untung Surapati ke Pasuruan untuk menyerang salah
satu wilayah Mataram di Jawa bagian timur itu. Kedoknya seolah-olah Untung
melawan Mataram, agar Belanda tak curiga. Setelah merebut Pasuruan, seperti
dituturkan Joko Darmawan dalam Sejarah
Nasional “Ketika Nusantara Berbicara” (2017), Untung Surapati
mendeklarasikan diri sebagai pemimpinnya dengan gelar Adipati Aria Wiranegara
(hlm. 36). Pada 1702, Amangkurat II wafat dan digantikan putranya, Amangkurat
III. Raja baru ini langsung terlibat perseteruan dengan pamannya, Pangeran
Puger. Amangkurat III kabur ke Pasuruan, meminta perlindungan Untung Surapati.
Sementara
itu, pada 1706, VOC menggerakkan armada perang ke Pasuruan. Dalam pertempuran
sengit di Bangil, Pasuruan, pada 17 Oktober 1706, peruntungan Untung berakhir.
Ia terluka parah, terpaksa mundur, dan akhirnya gugur. Sebelum menghembuskan
nafas terakhir, Untung meminta kepada para pengikutnya agar merahasiakan
kematiannya. Namun, pada 18 Juni 1707, kuburan Untung ditemukan pasukan VOC
yang sedang mencari keberadaan Amangkurat III di Pasuruan. Makam itu lalu
dibongkar, jasad Untung dibakar, dan abunya dibuang ke laut.
Kendati begitu, para pengikut setia Untung, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang campuran Jawa dan Bali, masih sering melibatkan diri dalam berbagai aksi perlawanan terhadap VOC. Begitu pula dengan putra-putranya, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga. Maka, pada 1723, mereka ditangkap kompeni dan diasingkan ke Srilanka agar tidak merepotkan lagi. Sepak terjang Untung Surapati yang berkali-kali membikin murka Belanda ini sangat melegenda. Melalui Surat Keputusan Presiden RI tertanggal 3 November 1975, Untung Surapati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Reporter:
Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Sumber :
Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar