KISAH
RADEN TRUNOJOYO
Orientasi
Raden Trunojoyo,
sering pula ditulis Trunajaya,
atau gelarnya Panembahan Maduretno
(Madura,
k.1649 - Payak, Bantul,
2 Januari 1680) adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II
dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri
pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton
Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan
meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram
dengan bantuan dari VOC
pada penghujung tahun 1679.
Penaklukan Madura
Pada tahun 1624 Sultan Agung menaklukkan pulau Madura.
Raden Prasena, salah seorang bangsawan Madura, ditawan dan dibawa ke Mataram.
Karena ketampanan dan kelakuannya yang baik, Sultan Agung menyukai Raden
Prasena. Ia kemudian diangkat menjadi menantu dan dijadikan penguasa bawahan
Mataram untuk wilayah Madura Barat, dengan gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat
I. Cakraningrat I lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah
di Madura. Anak Cakraningrat dari selir, bernama Raden Demang Melayakusuma, menjalankan
pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Mereka berdua sekaligus juga menjadi
panglima perang bagi Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan Mataram
dipegang oleh Amangkurat I, yang memerintah dengan keras dan
menjalin persekutuan dengan VOC. Hal ini menimbulkan gelombang ketidak-puasan pada kerabat
istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas oleh Amangkurat I.
Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan para ulama bahkan
akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan santri dari
wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.
Pangeran Alit, adik Amangkurat I sendiri pada tahun
1656 melakukan pemberontakan. Cakraningrat I dan Demang Melayakusuma diutus
untuk memadamkan pemberontakan berhasil dalam tugasnya, akan tetapi keduanya
tewas dan dimakamkan di pemakaman Mataram di Imogiri.
Penguasaan Madura kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik Melayakusuma yang
kemudian bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana ayahnya, Cakraningrat
II juga lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura.
Pemberontakan Trunojoyo
Ketidakpuasan
terhadap Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang bergelar Pangeran
Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani memberontak secara
terang-terangan. Diam-diam ia meminta bantuan Raden Kajoran alias Panembahan
Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana Mataram. Raden Kajoran
kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo putra Raden Demang
Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom. Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk laskar,
yang berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II, yang
kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut
kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura
barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Pemberontakan ini
diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura, karena Cakraningrat II
dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Laskar
Madura pimpinan Trunojoyo, kemudian juga bekerja sama Karaeng
Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar
pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC.
Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung
Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC.
Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk
mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari
Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena
tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di
bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan
Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan
atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati
Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada
Adipati Anom. Pasukan Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di
bawah pimpinan Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober
1676. Tanpa diduga, Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered.
Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke
arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke
Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang
bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I kemudian juga dikenal
dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati Anom dinobatkan
menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan
dengan VOC untuk melawan Trunojoyo. Persekutuan ini dikenal dengan nama
Perjanjian Jepara (September 1677) yang isinya Sultan Amangkurat II Raja
Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan
terhadap pemberontakan Trunojoyo.
Trunojoyo
yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian
mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir
Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak
yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian,
dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja.
Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Kekalahan
oleh VOC
Setelah
usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur
Jendral Cornelis Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya
untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka
dari Bone
untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan
mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan
Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama pasukan
Amangkurat II.
Pada
April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan
berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan
sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo
sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat
dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud
pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian
diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari
1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo.
Keadaan
Sesudahnya
Dengan
padamnya pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindahkan Keraton
Plered yang sudah ambruk ke Kartasura. Mataram berutang biaya
peperangan yang sedemikian besarnya kepada VOC, sehingga akhirnya kota-kota
pelabuhan di pesisir utara Jawa diserahkan sebagai bayarannya kepada VOC.
Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai penguasa di Madura, dan
sejak saat itu VOC pun terlibat dalam penentuan suksesi dan kekuasaan di
Madura.
Referensi
Ø Graaf, H.J. de. 1976 [1952]. Capture
and death of Raden Truna Jaya, December 1679 - January 1680. In: Islamic
States in Java 1500-1700, Th. Pigeaud & H.J. de Graff, 82-84.
Verhandelingen van het KITLV 70. The Hague: Martinus Nijhoff.
===============================
Aksi
Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati
Raden Trunojoyo memperoleh tawaran menarik sekaligus
menantang dari Pangeran Adipati Anom pada 1670 itu. Putra mahkota Kesultanan
Mataram Islam ini ingin menggulingkan takhta ayahnya sendiri, Amangkurat I
(1645-1677), dan meminta bantuan Trunojoyo untuk melaksanakan upaya kudeta
tersebut. Tak perlu berpikir lama, Trunojoyo menyanggupinya. Bukan tanpa alasan Trunojoyo bersedia
melakukan tugas berbahaya itu. Sudah sekian lama ia mendendam terhadap Mataram
karena telah menjajah tanah kelahirannya, Madura. Kebetulan, putra mahkota
sedang berselisih dengan sang raja sehingga momen itu terlalu sayang untuk
dilewatkan.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih Trunojoyo justru memantik kecemasan Adipati Anom. Putra mahkota yang kelak bergelar Amangkurat II itu lantas berbalik mendukung ayahnya untuk bersama-sama menghadang Trunojoyo, bahkan hingga mengemis bantuan VOC (Belanda) meskipun Mataram harus membayar mahal untuk itu.
Gara-gara Amangkurat I
Kisah ini berawal dari penaklukan Madura oleh Sultan
Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), raja terbesar Mataram Islam, pada 1624.
Selain Madura dan kemudian Surabaya, Mataram yang berpusat di Yogyakarta juga
menundukkan wilayah pesisir Jawa bagian timur lainnya, termasuk Tuban dan
Gresik (Sutrisno Kutoyo, Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia,
1986: 73). Untuk
memimpin Madura sebagai kepanjangan tangan dari Mataram, Sultan Agung menunjuk
salah seorang bangsawan lokal asli pulau itu yang bernama Raden Prasena atau
yang nantinya bergelar Panembahan Cakraningrat I. Raden Prasena juga dikawinkan
dengan salah satu putri sultan.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1645, takhta Mataram dilanjutkan oleh Raden Mas Sayidin dengan gelar Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat I). Berbeda dengan ayahnya yang selalu melawan Belanda atau VOC, Amangkurat I justru merangkul bangsa penjajah agar kepentingannya terlindungi. Hal ini memicu polemik. Raden Mas Alit, adik Amangkurat I, melancarkan perlawanan pada 1648 (Joko Darmawan, Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, 2017: 17). Amangkurat I memenangkan perang saudara ini dan membantai ribuan ulama pendukung Raden Mas Alit.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1645, takhta Mataram dilanjutkan oleh Raden Mas Sayidin dengan gelar Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat I). Berbeda dengan ayahnya yang selalu melawan Belanda atau VOC, Amangkurat I justru merangkul bangsa penjajah agar kepentingannya terlindungi. Hal ini memicu polemik. Raden Mas Alit, adik Amangkurat I, melancarkan perlawanan pada 1648 (Joko Darmawan, Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, 2017: 17). Amangkurat I memenangkan perang saudara ini dan membantai ribuan ulama pendukung Raden Mas Alit.
Beberapa belas tahun berselang, terjadi polemik
internal lagi di Mataram. Kali ini Pangeran Adipati Anom yang berniat
melengserkan Amangkurat I. Sang pangeran cemas setelah mendengar kabar bahwa
statusnya sebagai putra mahkota Mataram bakal dicabut dan dialihkan ke anak laki-laki
Amangkurat I lainnya. Dari sinilah peran Raden Trunojoyo yang diminta membantu
Pangeran Adipati Anom untuk mengkudeta Amangkurat I dan nantinya menggegerkan
seisi telatah Mataram dimulai.
Trunojoyo Raja Madura
Trunojoyo masih termasuk cicit Sultan Agung. Ia adalah
cucu Raden Prasena atau Cakraningrat I. Ayahnya bernama Raden Demang
Melayakusuma, putra Cakraningrat I dari istri selir. Dengan kata lain,
Trunojoyo adalah saudara seayah lain ibu penguasa kedua Madura era Mataram,
Cakraningrat II (1647-1707). Aksi Trunojoyo dimulai dengan menculik dan
mengasingkan Cakraningrat II ke Kediri. Ia memang tidak menyukai saudara
tirinya yang selalu tunduk kepada Mataram dan Amangkurat I itu. Trunojoyo
menganggap, penguasaan Mataram atas Madura adalah suatu bentuk penjajahan (Mien
A. Rifai, Manusia Madura, 2007:272).
Dengan senang hati Trunojoyo menyanggupi permintaan Adipati Anom lantaran ia punya misi khusus terhadap Mataram. Di sisi lain, putra mahkota berjanji akan memberikan sebagian besar wilayah Madura kepada Trunojoyo jika berhasil melengserkan Amangkurat I. H.J. de Graaf (1987) dalam Runtuhnya Istana Mataram menyebutkan bahwa rencana perlawanan Trunojoyo terhadap Mataram memperoleh dukungan penuh dari orang-orang Madura (hlm. 60). Mayoritas warga Madura rupanya juga sudah jengah dengan pendudukan Mataram. Setelah menyingkirkan Cakraningrat II, laskar rakyat pimpinan Trunojoyo berhasil mengambil-alih kekuasaan di Madura pada 1674. Trunojoyo pun menyatakan Madura sebagai wilayah yang merdeka dan ia mendeklarasikan diri sebagai Raja Madura yang kedudukan dan kekuasaannya sejajar dengan penguasa Mataram.
Posisi Trunojoyo menguat setelah memperoleh bantuan dari orang-orang Makassar yang dipimpin Karaeng Galesong. Mereka ini adalah pendukung Sultan Hasanuddin yang melarikan diri usai Kesultanan Gowa dikalahkan VOC pada 1669. Kebetulan, mereka juga tidak suka dengan Mataram lantaran Amangkurat I pernah melecehkan Sultan Hasanuddin. Hubungan antara dua suku bangsa yang berbeda ini bertambah erat dengan terjalinnya hubungan kekerabatan. Seperti dikutip dari Syahruddin Yasen (2008) dalam Maestro Dua Puluh Tujuh Karaeng Bugis-Makassar, Trunojoyo menikahkan putrinya yang bernama Raden Ayu Suraretna dengan Karaeng Galesong (hlm. 37).
Merebut Istana Mataram
Pasukan gabungan Madura-Makassar pun mulai melancarkan
tekanannya terhadap Mataram. Dalam perjalanannya menaklukkan daerah-daerah
kekuasaan Mataram, Trunojoyo kembali mendapat dukungan yang membuat kekuatannya
semakin bertambah. Salah satu dukungan untuk Trunojoyo
diberikan oleh Panembahan Giri dari Surabaya (Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,
2006: 94). Keturunan Sunan Giri (anggota Walisongo) ini masih menyimpan rasa
sakit hati terhadap Amangkurat I atas pembantaian ulama yang terjadi pada 1648. Trunojoyo juga
dibantu Kesultanan Banten yang memang berselisih dengan Mataram pasca-Sultan
Agung. Relasi Banten-Mataram memburuk akibat ulah Amangkurat I. Kebetulan pula,
seperti dikutip dari Catatan
Masa Lalu Banten karya Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari (1999),
Banten berhubungan baik dengan Makassar yang telah mendukung Trunojoyo melalui
Karaeng Galesong (hlm. 152).
Pasukan Trunojoyo menjelma menjadi kekuatan besar yang menakutkan. Satu demi satu, wilayah-wilayah kekuasaan Mataram berhasil ditundukkan, termasuk Surabaya, Tuban, Lasem, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon. Sebagai puncaknya, Trunojoyo pun bersiap menyerang pusat kekuasaan Mataram di Yogyakarta. Melihat situasi terkini yang kian gawat, Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram yang mengajak Trunojoyo melawan Amangkurat I, menjadi sangat khawatir bahkan ketakutan. Ia kemudian berbalik mendukung ayahnya untuk bersama-sama menghadang perlawanan Trunojoyo. Ini terjadi pada Oktober 1676.
Trunojoyo
menggerakkan pasukannya menuju Plered (kini termasuk wilayah Kabupaten Bantul,
Yogyakarta) di mana Amangkurat I bertakhta. Amangkurat I yang saat itu sedang
dalam kondisi sakit ternyata ciut nyalinya dan melarikan diri ke arah barat.
Dalam pelariannya, sakit yang diderita Amangkurat I semakin parah. Penguasa Mataram ini akhirnya menghembuskan nafas penghabisan di suatu tempat di dekat Tegal (kini salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah) pada 1677 (Sutrisno Kutoyo, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997: 108). Di pihak lain, pasukan gabungan pimpinan Trunojoyo tiba di Plered pada 2 Juli 1677. Tanpa kesulitan berarti, pusat pemerintahan Mataram itu bisa direbut dan diduduki meskipun sang penguasa telah melarikan diri. Trunojoyo kemudian mengawini salah seorang putri Amangkurat I.
Tertangkap,
Dieksekusi Mati
Mangkatnya
Amangkurat I dalam pelarian membuat Pangeran Adipati Anom semakin panik. Ia
kemudian meminta bantuan kepada VOC untuk membasmi perlawanan Trunojoyo.
Belanda, yang diwakili oleh Cornelis Speelman dalam perjanjian di Jepara pada
akhir 1677, bersedia membantu namun dengan syarat yang tidak ringan. Speelman
akan mengerahkan pasukannya menghadapi Trunojoyo, juga mengakui Adipati Anom
sebagai raja dengan gelar Amangkurat II, tapi Mataram harus menyetujui beberapa
persyaratannya, seperti dikutip dari buku Banyumas:
Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak karya Budiono Herusatoto
(2008:76).
Syarat
perjanjian antara Pangeran Adipati Anom (Amangkurat II) dengan VOC sebagai
berikut :
Ø Pertama, biaya perang untuk
menghadapi Trunojoyo harus ditanggung Mataram.
Ø Kedua, semua pelabuhan milik Mataram
di pesisir utara, dari Karawang sampai ujung Jawa paling timur digadaikan
kepada VOC dan akan dikembalikan setelah Mataram melunasi utangnya.
Ø Ketiga, seluruh wilayah Mataram
antara sebelah barat Sungai Pamanukan hingga pesisir selatan diserahkan kepada
VOC. Keempat, VOC diberi hak monopoli untuk perdagangan kain dari India dan
Persia, serta beras di seluruh wilayah Mataram. Kelima, VOC diperbolehkan
menempatkan pasukannya di ibukota Mataram.
Pangeran Adipati Anom alias Amangkurat II setuju. Setelah itu, dengan bantuan utang dari VOC, ia membangun kerajaan baru di Kartasura, dekat Solo, untuk menggantikan kraton di Plered yang telah dikuasai dan dihancurkan oleh Trunojoyo. Di saat yang sama, Speelman menunjuk Kapitan Jonker memimpin penyerbuan terhadap Trunojoyo. VOC dibantu oleh pasukan Arung Palakka, pangeran Bone yang pernah melawan Kesultanan Makassar. Arung Palakka pun akan berhadapan dengan pendukung setia Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesong.
VOC
menggerakkan 5 kapal perang dari Batavia yang berangkat bersama pasukan Arung
Palakka, ditambah pasukan kompeni dari Semarang, dan bergabung dengan ribuan
prajurit Mataram yang menanti di Jepara, untuk menyerbu Trunojoyo yang kini
bertahan di Surabaya. Terjadilah rangkaian pertempuran di kawasan tengah dan
timur Jawa. Armada besar Belanda membuat pasukan Trunojoyo kewalahan dan
terpaksa mundur ke Kediri namun terus saja didesak oleh musuh. VOC dan
sekutunya bahkan mengalahkan prajurit cadangan Trunojoyo di Madura.
Trunojoyo sempat lolos dari kejaran dengan menjelajahi lereng Gunung Kelud (Sartono Kartodirjo, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme, 1973: 22). Namun, pasukan musuh terus mengejarnya dan akhirnya Trunojoyo tertangkap pada penghujung tahun 1679. VOC kemudian membawanya ke hadapan Amangkurat II. Amangkurat II memutuskan bahwa Trunojoyo harus dihukum mati. Tanggal 2 Januari 1680, eksekusi dilakukan langsung oleh sang raja baru. Sebelum mencabut kerisnya, Amangkurat II berkata, ”Aku ampuni kamu dan mengangkatmu sebagai Adipati Madura.”
Trunojoyo tewas di tangan mantan putra mahkota Mataram yang dulu pernah menjanjikan wilayah Madura untuknya. Amangkurat II telah memenuhi janjinya kendati sudah tidak berarti apa-apa lagi bagi pemimpin rakyat Madura itu.
Trunojoyo sempat lolos dari kejaran dengan menjelajahi lereng Gunung Kelud (Sartono Kartodirjo, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme, 1973: 22). Namun, pasukan musuh terus mengejarnya dan akhirnya Trunojoyo tertangkap pada penghujung tahun 1679. VOC kemudian membawanya ke hadapan Amangkurat II. Amangkurat II memutuskan bahwa Trunojoyo harus dihukum mati. Tanggal 2 Januari 1680, eksekusi dilakukan langsung oleh sang raja baru. Sebelum mencabut kerisnya, Amangkurat II berkata, ”Aku ampuni kamu dan mengangkatmu sebagai Adipati Madura.”
Trunojoyo tewas di tangan mantan putra mahkota Mataram yang dulu pernah menjanjikan wilayah Madura untuknya. Amangkurat II telah memenuhi janjinya kendati sudah tidak berarti apa-apa lagi bagi pemimpin rakyat Madura itu.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar