Selasa, 12 Mei 2020

KISAH KEN AROK PENDIRI KERAJAAN SINGASARI

KISAH KEN AROK PENDIRI KERAJAAN SINGASARI


ASAL-USUL KEN AROK,
SIAPA SEBENARNYA AYAH KEN ANGROK
TERUNGKAP !

Orientasi
Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singosari. Ejaan nama sebenarnya adalah Ken Angrok, sejak muda dikenal sebagai pimpinan para pencuri, perampok dan penjahat yang kerap membuat keonaran. Namun siapa sangka sosok penjahat bisa menjadi raja besar dimulai sejak membunuh Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung dan menikahi istrinya, Ken Dedes yang dikenal sangat cantik jelita serta konon membawa wahyu keprabon.

Bahkan, sosok yang dikabarkan sebagai "penjahat" itulah yang dipuja-puja sebagai leluhur bagi para raja Majapahit, negeri besar dan adidaya setelah keruntuhan Singosari. Sosok yang namanya termasyur, Sri Rajasa san Amurwabhumi.

Sejarah mengenai jati diri Ken Angrok memang tertutup sejak lahir. Asal-usul siapa ayahnya tidak jelas. Banyak yang mengira, Ken Angrok berasal dari kalangan masyarakat Sudra yang beruntung bisa menjadi raja.

Asal-usul Ken Angrok keturunan raja
Ken Angrok lahir dari rahim wanita desa bernama Ken Ndok atau Ni Endhog. Ia adalah istri pemuda desa bernama Gajahpara. Tapi Gajah Para harus rela ketika istrinya diminta oleh seorang bangsawan dari negeri Panjalu (Kediri) yang beribu kota di Daha. Negeri ini membawahi Janggala, sebuah negeri bawahan Panjalu yang beribu kota di Kahuripan.

Saat itu, Ken Ndok yang bersama suaminya, Gajah Para sedang berada di sebuah hutan untuk berburu kayu. Keduanya merupakan pengantin baru yang baru saja melaksanakan pawiwahan (pesta pernikahan). Saat di hutan, kecantikan Ni Endhog memikat ksatria Panjalu yang sedang berburu kijang di hutan. Perempuan desa itu akhirnya diminta "melayani" sang ksatria selama dua bulan.

Dengan kata lain, Ken Ndok harus rela dikawini sang kesatria selama mengembara berburu di hutan, yakni sekitar dua bulan. Selama itu pula, suaminya dilarang untuk menyentuh istri sahnya sendiri. Waktu itu, seorang kawula yang memiliki kasta sudra tidak akan berani menentang perintah dari golongan ksatria. Karenanya, wajar jika seorang gadis kampung berkasta sudra pun hanya menurut bila diminta menjadi istri ksatria.

Singkat cerita yang dirangkum historyofjava.com dari buku Katuturanira Ken Angrok Sang Brahmaputra (2017), jati diri kesatria yang berburu hewan tersebut adalah Raja Panjalu (Kadiri) bernama Mapanji Kamesywara. Nama kecilnya adalah Rahadyan Kuda Rawisrengga dan dikenal masyarakat luas dengan nama Panji Asmarabangun. Sri Maharaja Kamesywara meminta Ken Ndok untuk merahasiakan hubungannya. Maharaja juga meminta, seandainya Ni Endhog hamil, jangan sampai dinodai dengan benih Gajah Para, suaminya sendiri. Pesan itu dipegang teguh oleh Ni Endhog.
Gajah Para sebetulnya memendam amarah dengan istrinya. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika Gajah Para berniat berhubungan dengan istrinya dan ditolak karena sudah mengandung benih jabang bayi dari Raja Panjalu, Gajah Para berbuat semakin menjadi-jadi. Dia menyebarkan warta kepada penduduk desa bahwa istrinya itu dihamili olehnya. Ternyata, kehidupan Ni Endhog diawasi oleh telik sandi (intelejen) dari Kerajaan Panjalu (sekarang dikenal dengan Kadiri).

Akibat perbuatannya itu, Gajah Para mendadak tewas mengenaskan tanpa diketahui siapa pelakunya. Gajah Para tidak mengetahui jika ksatria yang "meminjam" istrinya dulu adalah Maharaja Panjalu. Sang jabang bayi akhirnya lahir. Karena suatu hal, si jabang bayi sempat dibuang di pasetran pabajangan (pemakaman bayi) dan ditemukan oleh seorang maling bernama Ki Lembong. Dari sinilah, pengembaraan bayi bernama Ken Angrok dimulai. Ia dibesarkan dalam keluarga maling. Selanjutnya saat menginjak usia dewasa, ia mengembara hingga terlibat konflik dengan seorang Akuwu dari Tumapel bernama Tunggul Ametung.

Sang Akuwu punya istri cantik bernama Ken Dedes. Sebelum mengenal Ken Dedes, Ken Angrok sebetulnya sudah menikah dengan gadis bernama Umang. Saat Ken Angrok membawa Umang kepada ibunya, Ken Ndok itulah, jati diri Ken Angrok terungkap. Sebelumnya, Ken Angrok sudah diberi tahu oleh seorang brahmana bernama Janggan Wilutama yang mengurusi Pashraman Sagenggeng.

Pashraman seperti pesantren dalam Islam, tetapi tempat pengajaran agama Syiwaphaksa (ajaran Syiwa, sekarang dikenal Hindu). Janggan Wilutama mengatakan jika Ken Angrok bukanlah orang biasa, pasti memiliki darah ksatria. Karena itu, Ken Angrok diminta jujur. Tapi Ken Angrok masih tidak tahu siapa ayahnya yang sebenarnya, sehingga menanyakan kepada ibunya saat pulang ke kampung halaman. Namun, ibunya meminta agar Ken Angrok tetap merahasiakan jati dirinya. Itulah pesan yang disampaikan ramanya dulu.

Ayah Ken Angrok
Sang ibunda, Ken Ndok lantas bercerita mengenai sejarah dan riwayat Ken Arok. Ayah sesungguhnya Ken Angrok adalah Maharaja Sri Kamesywara, penguasa Panjalu. Leluhur Mapanji Kamesywara adalah Prabu Jayabaya, Raja Panjalu (Kadiri) yang berhasil menyatukan Janggala ke dalam kekuasaannya. Nama kecilnya Raden Kudarawisrengga atau Panji Hino Kerthapati.

Karena kisah cinta segitiganya dengan Dyah Ayu Sasi Kirana (Candra Kirana) dan Rara Anggraeni, ia dikenal masyarakat luas dengan Panji Asmarabangun. Cerita cinta ayahnya Ken Angrok begitu melegenda sehingga digemari masyarakat dalam pentas-pentas kesenian rakyat.

Namun, kisah cinta sang ayah dengan ibunya yang hanya perempuan desa dari golongan sudra, tertutup rapat dan dirahasiakan. Tapi siapa sangka jika anaknya kelak menjadi raja besar Tanah Jawa.
Sang ayah sendiri tewas di tangan seorang Akuwu (kepala daerah) bernama Tunggul Ametung dalam perang saudara. Sri Kamesywara seharusnya berkedudukan di Daha, ibu kota Panjalu.

Tapi ia lebih suka tinggal di Janggala, negara bawahan Panjalu. Lantaran konflik internal yang berkepanjangan, Sang Maharaja Panjalu yang tinggal di Kedaton Jenggala justru diserang oleh pasukan Panjalu yang dipimpin saudaranya sendiri. Saat Tunggul Ametung bermasalah dengan brahmana, Ken Angrok tampil berada di pihak brahmana. Sebuah kebetulan, Tunggul Ametung ternyata orang yang membunuh ayah kandung Ken Angrok sehingga semangat perlawanannya semakin berkobar.

Akhir cerita, Ken Angrok berhasil membunuh Tunggul Ametung, menikahi Ken Dedes dan mengangkat dirinya sebagai Akuwu Tumapel. Wilayah Tumapel atas dukungan dari para brahmana, mendeklarasikan diri sebagai wilayah yang merdeka diberi nama Singosari. (*)

Sumber : Google Wikipedia


TERSINGKIR DI SINGOSARI,
KETURUNAN KEN AROK JADI PENDIRI KERAJAAN MAJAPAHIT

Keturunan Ken Arok justru tersingkir dari tahta Kerajaan Singosari, setelah pendiri Singosari bergelar Sri Rangga Rajasa itu meninggal dunia. Tragis! Kursi tahta justru diwarisi oleh keturunan Ken Dedes dari mendiang suaminya, Tunggul Ametung.

Dari silsilah yang dihimpun dari berbagai sumber, Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari dan memerintah dari tahun 1.222 Masehi hingga tahun 1247 Masehi. Setelah meninggal dunia, pewaris tahta selanjutnya adalah Anusapati, putra Ken Dedes dari benih Tunggul Ametung.

Anusapati memerintah Kerajaan Singasari hanya sekitar dua tahun saja, yakni antara tahun 1247 Masehi hingga 1249 Masehi. Tahta selanjutnya dipegang oleh Panji Tohjaya, putra Ken Arok dari istri pertama bernama Ken Umang.

Panji Tohjaya memerintah juga sangat sebentar, tak lebih dari satu tahun, yakni sekitar 1249 Masehi hingga 1250 Masehi. Tahta keempat dan kelima, justru dikuasai oleh keturunan Ken Dedes dari Tunggul Ametung.

Raja keempat Singosari adalah Ranggawuni atau Wishnuwarddhana (1250-1269 Masehi) yang memerintah cukup lama, sekitar 19 tahun. Tahta berikutnya diserahkan putranya, Sri Kertanagara yang memerintah sangat lama, sekitar hampir 30 tahun, dari 1269-1292 Masehi.

Tahta Sri Kertanegara berakhir setelah digempur Jayakatwang, Adipati Gelang gelang (sekarang Madiun, Jawa Timur). Jayakatwang tidak meneruskan tahta Singosari, tetapi mendirikan kerajaan baru bernama Kadiri, kerajaan terdahulu yang pernah runtuh akibat gempuran pasukan Tumapel di bawah pimpinan Ken Arok.


Sebentar saja, Jayakatwang berhasil ditumpas Raden Wijaya melalui tangan pasukan Tartar dari kerajaan besar Mongolia dengan raja legendaris, Khubilai Khan. Setelah berhasil menumpas Jayakatwang, pasukan Tartar dihabisi pasukan Raden Wijaya dan berdirilah Majapahit.

Siapa Raden Wijaya? Pendiri Majapahit ini putra Dyah Lembu Tal putra Mahesa Cempaka (Narasinghamurti) putra Mahesa Wong Ateleng putra Ken Arok dengan Ken Dedes.

Jika ditulis menggunakan silsilah ala Islam: Raden Wijaya bin Dyah Lembu Tal bin Maseha Cempaka bin Maseha Wong Ateleng bin Ken Arok. Dengan begitu, Raden Wijaya adalah keturunan keempat Ken Arok atau Sri Rangga Rajasa, pendiri Singasari.

Keturunan keempat dalam bahasa Jawa disebut canggah, sedangkan keturunan ketiga disebut buyut dan keturunan kedua disebut putu atau cucu. Jadi, Ken Arok disebut "simbah canggah" Raden Wijaya.

Silsilah Raja-raja Singasari

Tersingkir dari tahta Singasari
Catatan sejarah versi Nagarakretagama (naskah yang diakui Unesco sebagai warisan ingatan dunia), keturunan Ken Arok sama sekali tidak menduduki tahta kerajaan yang dibangunnya.

Sebab, raja selanjutnya sepeninggal Ken Arok adalah Anusapati, putra Ken Dedes dari mendiang suaminya, Tunggul Ametung. Selanjutnya, tahta diwarisi putranya, Wisnuwardhana (Ranggawuni), lalu Kertanegara.

Keturunan Ken Arok pun tersingkir dari tahta yang dibangunnya sendiri. Namun, setelah Kertanegara lengser keprabon akibat pergolakan politik, baik di dalam negeri maupun luar negeri, Raden Wijaya sebagai keturunan keempat Ken Arok dan Ken Dedes tampil sebagai tokoh yang mendirikan Dinasti Majapahit.

Cerita singkatnya begini. Perkawinan Tunggul Ametung dan Kendedes melahirkan anak bernama Anusapati. Tunggul Ametung meninggal dibunuh Ken Arok menggunakan keris Empu Gandring.

Ken Dedes yang menjadi janda anak satu, dinikahi Ken Arok. Sementara Ken Angrok sudah memiliki istri bernama Ken Umang. Dengan begitu, Anusapati adalah anak tiri Ken Arok.

Setelah dewasa, Anusapati membunuh ayah tirinya (Ken Arok) menggunakan keris Empu Gandring yang pernah digunakan Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, bapak asli Anusapati. Setelah naik tahta, Anusapati menjadi raja Singosari yang kemudian diwarisi anak-anaknya.

Hingga suatu ketika, Raja Singasari bernama Sri Kertanagara, cucu Anusapati atau buyut Tunggul Ametung dan Ken Dedes, harus lengser keprabon akibat digempur pasukan Jayakatwang, Bupati Gelanggelang.

Sebelumnya, Kertanagara pernah memotong telinga dan melukai utusan atau duta Kubilai Khan yang meminta agar Singasari tunduk di bawah kekuasaan Kekaisaran Mongol. Tak terima dengan perlakuan dari Raja Jawa itu, Kubilai Khan murka dan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menggempur Singasari.

Saat tentara Tartar datang ke Jawa, Kertanegara ternyata sudah dikalahkan Bupati Gelanggelang, Jayakatwang. Nasib apes menimpa Jayakatwang karena harus menghadapi gempuran tentara Mongol.

Raden Wijaya yang terhitung masih kerabat Kerajaan Singosari memanfaatkan situasi ini dengan baik. Ia berkoalisi dengan tentara Mongol untuk mengalahkan Jayakatwang.
Sesuai saran Raden Wijaya, pasukan Tartar dipecah menjadi tiga penjuru untuk mengepung Jayakatwang. Alih-alih sebagai strategi perang, pemecahan pasukan Tartar sesungguhnya taktik Raden Wijaya untuk mencerai-berai pasukan Tartar, kemudian menghabisinya selepas mengalahkan pasukan Jayakatwang.

Dan benar, setelah berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang, pasukan Tartar dibumihanguskan oleh pasukan Raden Wijaya pada saat mereka melaksanakan pesta kemenangan. Desa Majapahit yang menjadi tempat tinggal Raden Wijaya dalam melakukan konsolidasi politik akhirnya menjadi kerajaan besar.

Saat keturunan Tunggul Ametung dan Ken Dedes sudah selesai kiprahnya sebagai Raja Jawa dengan runtuhnya Singosari, kini giliran keturunan Ken Dedes dari suami Ken Arok yang mengukuhi Tanah Jawa dengan berdirinya Kerajaan Majapahit.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Raden Wijaya mengambil gelar Kertarajasa Jayawardhana. Inilah awal keturunan Ken Arok memulai kiprahnya sebagai penguasa Tanah Jawa yang sesungguhnya. (*)

Sumber : Google Wikipedia


MENGENAL CANDI SINGASARI
 
Orientasi
Candi Singasari terletak di Desa Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, kurang lebih 9 Km dari kota Malang ke arah Surabaya. Candi ini juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi Menara, nama yang menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah candi yang tertinggi pada masanya, setidaknya dibandingkan dengan candi lain di sekelilingnya. Akan tetapi, saat ini di kawasan Singasari hanya candi Singasari yang masih tersisa, sedangkan candi lainnya telah lenyap tak berbekas..

Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui, namun para ahli purbakala memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja Kertanegara dari Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari. Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan candi Syiwa. Hal ini terlihat dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman candi.

Bangunan Candi Singasari terletak di tengah halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki setinggi sekitar 1,5 m, tanpa hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada candi-candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke selatan, terletak pada sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke depan). Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala yang juga sangat sederhana pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singasari belum sepenuhnya terselesaikan.

Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang relung juga tanpa bingkai dan hiasan kepala Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi lain tubuh Candi Singasari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan di atas ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana. Di tengah ruangan utama terdapat yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada kaki yoni juga tidak terdapat pahatan apapun.

Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah bersusun dua, karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya relung-relung tersebut semula berisi arca, namun saat ini kempatnya dalam keadaan kosong. Di atas setiap ambang 'pintu' relung terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh.

Candi Singasari pernah dipugar oleh pemerintah Belanda pada tahun 1930-an, terlihatan dari pahatan catatan di kaki candi. Akan tetapi, tampaknya pemugaran yang dilakukan hasilnya belum menyeluruh, karena di sekeliling halaman candi masih berjajar tumpukan batu yang belum berhasil dikembalikan ke tempatnya semula.

Di halaman Candi Singasari juga terdapat beberapa arca yang sebagian besar dalam keadaan rusak atau belum selesai dibuat, di antaranya arca Syiwa dalam berbagai posisi dan ukuran, Durga, dan Lembu Nandini.

Sekitar 300 m ke arah barat dari Candi Singasari, setelah melalui permukiman yang cukup padat, terdapat dua arca Dwarapala, raksasa penjaga gerbang, dalam ukuran yang sangat besar. Konon berat masing-masing arca mencapai berat 40 ton, tingginya mencapai 3,7 m, sedangkan lingkar tubuh terbesar mencapai 3,8 m. Letak kedua patung tersebut terpisah sekitar 20 m (sekarang dipisahkan oleh jalan raya).

Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang (UM), kedua arca Dwarapala itu semula menghadap ke arah timur, yaitu ke arah Candi Singasari, namun saat ini arca di sisi selatan sudah berubah arah menghadap agak ke timur laut. Pergeseran arah tersebut terjadi saat pengangkatannya dari dalam tanah. Sampai akhir 1980-an patung yang berada di sisi selatan masih terbenam dalam tanah sampai sebatas dada. Di belakang arca yang berada di selatan terdapat reruntuhan bangunan batu yang nampak seperti tembok. Diduga kedua arca ini merupakan penjaga gerbang masuk ke istana Raja Kertanegara (1268-1292) yang letaknya di sebelah barat (dibelakangi) kedua patung tersebut.

Legenda sekitar Dinasti Singasari

Beberapa candi di Jawa Timur, terutama yang terletak di sekitar kota Malang, mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan Kerajaan Singasari. Dinasti Singasari merupakan keturunan Ken Dedes dengan kedua suaminya, Tunggul Ametung akuwu (kepala pemerintahan setingkat kecamatan) Tumapel dan Ken Arok, rakyat kebanyakan yang membunuh, mengambil alih kekuasaan, dan sekaligus merebut istri Tunggul Ametung.

Sejarah Kerajaan Singasari ini melahirkan legenda tentang keris buatan Mpu Gandring yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa Timur. Menurut legenda, Ken Arok adalah anak hasil hubungan gelap seorang wanita Desa Panawijen, bernama Ken Endog, dengan Batara Brahma. Tak lama setelah dilahirkan, bayi Ken Arok dibuang oleh ibunya di sebuah pekuburan, kemudian ditemukan dan dibawa pulang oleh seorang pencuri ulung. Dari ayah angkatnya inilah Ken Arok belajar tentang segala siasat dan taktik perjudian, pencurian dan perampokan. Setelah dewasa ia dikenal sebagai perampok yang sangat ditakuti di wilayah Tumapel. Suatu saat Ken Arok berkenalan dengan seorang brahmana bernama Lohgawe yang menasihatinya agar meninggalkan dunianya yang hitam. Atas dorongan Lohgawe, Ken Arok berhenti menjadi perampok lalu mengabdikan diri sebagai prajurit Tumapel.

Pada masa itu yang menjadi akuwu di Tumapel, wilayah Kerajaan Kediri, adalah Tunggul Ametung. Sang Akuwu memperistri Ken Dedes, putri Mpu Purwa yang tinggal di Panawijen. Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken Dedes pulang ke Panawijen untuk menjenguk ayahnya. Ketika Ken Dedes turun dari kereta kerajaan, bertiuplah angin kencang yang menyingkap bagian bawah kain panjangnya. Pada saat itu, Ken Arok yang bertugas mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat sekilas betis istri Tunggul Ametung tersebut. Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes memancarkan sinar yang menyilaukan. Pemandangan tersebut tak mau hilang dari benak Ken Arok. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Mpu Purwa. Sang Mpu menjelaskan bahwa sinar yang dilihat Ken Arok merupakan pertanda bahwa Ken Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.

Ken Arok kemudian memesan sebuah keris kepada seorang Mpu di Tumapel yang bernama Mpu Gandring. Untuk membuat sebuah keris yang dapat diandalkan keampuhannya, diperlukan waktu yang cukup lama untuk menempa, membentuk dan menjalankan ritual yang diperlukan. Karena keris yang dipesan tak kunjung selesai, Ken Arok menjadi sangat marah. Ia merebut keris yang belum selesai tersebut lalu menikamkannya ke tubuh pembuatnya. Menjelang ajalnya, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok pun akan mati di ujung keris yang sama dan keris itu akan meminta korban tujuh nyawa.

Keris buatan Mpu Gandring tersebut oleh Ken Arok dipinjamkan kepada temannya yang mempunyai watak suka pamer, yaitu Kebo Ijo. Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada teman-teman prajuritnya dan mengatakan bahwa keris itu adalah miliknya. Setelah banyak orang yang mengetahui keris itu milik sebagai milik Kebo Ijo, ken Arok lalu mencurinya dan menggunakannya untuk menikam Tunggul Ametung. Dengan sendirinya tuduhan jatuh kepada kebo Ijo, sementara Ken Arok berhasil menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai akuwu dan menikahi Ken Dedes.

Setelah berhasil menjadi akuwu, Ken Arok kemudian menaklukkan Kerajaan Kediri, yang kala itu diperintah oleh Raja yang kala itu diperintah oleh Raja Kertajaya (1191-1222), dan mendirikan Kerajaan Singasari. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Singasari yang pertama dengan gelar Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi. Dari Ken Dedes, Ken Arok berputra seorang, bernama Mahisa Wongateleng, sedangkan dari Ken Umang ia juga mendapatkan seorang putra bernama Tohjaya. Kutukan Mpu Gandring mulai berlaku. Ken Arok dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Anusapati. Anusapati dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh Tohjaya. Tohjaya dibunuh dan digantikan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar Jayawisnuwardhana dan memerintah Singasari mulai pada tahun 1227 hingga 1268. Jayawisnuwardhana digantikan oleh putranya, Joko Dolog yang bergelar Kertanegara (1268-1292).

Kertanegara adalah Raja Singasari yang terakhir. Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang. Namun Jayakatwang berhasil dikalahkan oleh menantu Kertanegara yang bernama Raden Wijaya. Raden Wijaya yang merupakan keturunan Mahisa Wongateleng dan Raja Udayana di Bali ini kemudian mendirikan kerajaan Majapahit dengan pusat pemerintahan di Tarik (Trowulan).

Sumber : Google Wikipedia – Perpustakaan Nasional

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...