KISAH KEN AROK PENDIRI KERAJAAN SINGASARI
ASAL-USUL KEN
AROK,
SIAPA
SEBENARNYA AYAH KEN ANGROK
TERUNGKAP !
Orientasi
Ken
Arok adalah pendiri Kerajaan Singosari. Ejaan nama sebenarnya adalah Ken
Angrok, sejak muda dikenal sebagai pimpinan para pencuri, perampok dan penjahat
yang kerap membuat keonaran. Namun siapa sangka sosok penjahat bisa menjadi
raja besar dimulai sejak membunuh Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung dan
menikahi istrinya, Ken Dedes yang dikenal sangat cantik jelita serta konon
membawa wahyu keprabon.
Bahkan,
sosok yang dikabarkan sebagai "penjahat" itulah yang dipuja-puja
sebagai leluhur bagi para raja Majapahit, negeri besar dan adidaya setelah
keruntuhan Singosari. Sosok yang namanya termasyur, Sri Rajasa san Amurwabhumi.
Sejarah
mengenai jati diri Ken Angrok memang tertutup sejak lahir. Asal-usul siapa
ayahnya tidak jelas. Banyak yang mengira, Ken Angrok berasal dari kalangan
masyarakat Sudra yang beruntung bisa menjadi raja.
Asal-usul
Ken Angrok keturunan raja
Ken
Angrok lahir dari rahim wanita desa bernama Ken Ndok atau Ni Endhog. Ia adalah
istri pemuda desa bernama Gajahpara. Tapi Gajah Para harus rela ketika istrinya
diminta oleh seorang bangsawan dari negeri Panjalu (Kediri) yang beribu kota di
Daha. Negeri ini membawahi Janggala, sebuah negeri bawahan Panjalu yang beribu
kota di Kahuripan.
Saat
itu, Ken Ndok yang bersama suaminya, Gajah Para sedang berada di sebuah hutan
untuk berburu kayu. Keduanya merupakan pengantin baru yang baru saja
melaksanakan pawiwahan (pesta pernikahan). Saat di hutan, kecantikan Ni Endhog
memikat ksatria Panjalu yang sedang berburu kijang di hutan. Perempuan desa itu
akhirnya diminta "melayani" sang ksatria selama dua bulan.
Dengan
kata lain, Ken Ndok harus rela dikawini sang kesatria selama mengembara berburu
di hutan, yakni sekitar dua bulan. Selama itu pula, suaminya dilarang untuk
menyentuh istri sahnya sendiri. Waktu itu, seorang kawula yang memiliki kasta
sudra tidak akan berani menentang perintah dari golongan ksatria. Karenanya,
wajar jika seorang gadis kampung berkasta sudra pun hanya menurut bila diminta
menjadi istri ksatria.
Singkat
cerita yang dirangkum historyofjava.com dari buku Katuturanira Ken Angrok Sang
Brahmaputra (2017), jati diri kesatria yang berburu hewan tersebut adalah Raja
Panjalu (Kadiri) bernama Mapanji Kamesywara. Nama kecilnya adalah Rahadyan Kuda
Rawisrengga dan dikenal masyarakat luas dengan nama Panji Asmarabangun. Sri
Maharaja Kamesywara meminta Ken Ndok untuk merahasiakan hubungannya. Maharaja
juga meminta, seandainya Ni Endhog hamil, jangan sampai dinodai dengan benih
Gajah Para, suaminya sendiri. Pesan itu dipegang teguh oleh Ni Endhog.
Gajah
Para sebetulnya memendam amarah dengan istrinya. Namun dia tidak bisa berbuat
apa-apa. Ketika Gajah Para berniat berhubungan dengan istrinya dan ditolak
karena sudah mengandung benih jabang bayi dari Raja Panjalu, Gajah Para berbuat
semakin menjadi-jadi. Dia menyebarkan warta kepada penduduk desa bahwa istrinya
itu dihamili olehnya. Ternyata, kehidupan Ni Endhog diawasi oleh telik sandi
(intelejen) dari Kerajaan Panjalu (sekarang dikenal dengan Kadiri).
Akibat
perbuatannya itu, Gajah Para mendadak tewas mengenaskan tanpa diketahui siapa
pelakunya. Gajah Para tidak mengetahui jika ksatria yang "meminjam"
istrinya dulu adalah Maharaja Panjalu. Sang jabang bayi akhirnya lahir. Karena
suatu hal, si jabang bayi sempat dibuang di pasetran pabajangan (pemakaman
bayi) dan ditemukan oleh seorang maling bernama Ki Lembong. Dari sinilah,
pengembaraan bayi bernama Ken Angrok dimulai. Ia dibesarkan dalam keluarga
maling. Selanjutnya saat menginjak usia dewasa, ia mengembara hingga terlibat
konflik dengan seorang Akuwu dari Tumapel bernama Tunggul Ametung.
Sang
Akuwu punya istri cantik bernama Ken Dedes. Sebelum mengenal Ken Dedes, Ken
Angrok sebetulnya sudah menikah dengan gadis bernama Umang. Saat Ken Angrok
membawa Umang kepada ibunya, Ken Ndok itulah, jati diri Ken Angrok terungkap.
Sebelumnya, Ken Angrok sudah diberi tahu oleh seorang brahmana bernama Janggan
Wilutama yang mengurusi Pashraman Sagenggeng.
Pashraman
seperti pesantren dalam Islam, tetapi tempat pengajaran agama Syiwaphaksa
(ajaran Syiwa, sekarang dikenal Hindu). Janggan Wilutama mengatakan jika Ken
Angrok bukanlah orang biasa, pasti memiliki darah ksatria. Karena itu, Ken
Angrok diminta jujur. Tapi Ken Angrok masih tidak tahu siapa ayahnya yang
sebenarnya, sehingga menanyakan kepada ibunya saat pulang ke kampung halaman. Namun,
ibunya meminta agar Ken Angrok tetap merahasiakan jati dirinya. Itulah pesan
yang disampaikan ramanya dulu.
Ayah
Ken Angrok
Sang
ibunda, Ken Ndok lantas bercerita mengenai sejarah dan riwayat Ken Arok. Ayah
sesungguhnya Ken Angrok adalah Maharaja Sri Kamesywara, penguasa Panjalu. Leluhur
Mapanji Kamesywara adalah Prabu Jayabaya, Raja Panjalu (Kadiri) yang berhasil
menyatukan Janggala ke dalam kekuasaannya. Nama kecilnya Raden Kudarawisrengga
atau Panji Hino Kerthapati.
Karena
kisah cinta segitiganya dengan Dyah Ayu Sasi Kirana (Candra Kirana) dan Rara
Anggraeni, ia dikenal masyarakat luas dengan Panji Asmarabangun. Cerita cinta
ayahnya Ken Angrok begitu melegenda sehingga digemari masyarakat dalam
pentas-pentas kesenian rakyat.
Namun,
kisah cinta sang ayah dengan ibunya yang hanya perempuan desa dari golongan
sudra, tertutup rapat dan dirahasiakan. Tapi siapa sangka jika anaknya kelak
menjadi raja besar Tanah Jawa.
Sang
ayah sendiri tewas di tangan seorang Akuwu (kepala daerah) bernama Tunggul
Ametung dalam perang saudara. Sri Kamesywara seharusnya berkedudukan di Daha,
ibu kota Panjalu.
Tapi
ia lebih suka tinggal di Janggala, negara bawahan Panjalu. Lantaran konflik
internal yang berkepanjangan, Sang Maharaja Panjalu yang tinggal di Kedaton
Jenggala justru diserang oleh pasukan Panjalu yang dipimpin saudaranya sendiri.
Saat Tunggul Ametung bermasalah dengan brahmana, Ken Angrok tampil berada di
pihak brahmana. Sebuah kebetulan, Tunggul Ametung ternyata orang yang membunuh
ayah kandung Ken Angrok sehingga semangat perlawanannya semakin berkobar.
Akhir
cerita, Ken Angrok berhasil membunuh Tunggul Ametung, menikahi Ken Dedes dan
mengangkat dirinya sebagai Akuwu Tumapel. Wilayah Tumapel atas dukungan dari
para brahmana, mendeklarasikan diri sebagai wilayah yang merdeka diberi nama
Singosari. (*)
Sumber
: Google Wikipedia
TERSINGKIR DI
SINGOSARI,
KETURUNAN KEN
AROK JADI PENDIRI KERAJAAN MAJAPAHIT
Keturunan
Ken Arok justru tersingkir dari tahta Kerajaan Singosari, setelah pendiri
Singosari bergelar Sri Rangga Rajasa itu meninggal dunia. Tragis! Kursi tahta
justru diwarisi oleh keturunan Ken Dedes dari mendiang suaminya, Tunggul
Ametung.
Dari
silsilah yang dihimpun dari berbagai sumber, Ken Arok mendirikan Kerajaan
Singasari dan memerintah dari tahun 1.222 Masehi hingga tahun 1247 Masehi.
Setelah meninggal dunia, pewaris tahta selanjutnya adalah Anusapati, putra Ken
Dedes dari benih Tunggul Ametung.
Anusapati
memerintah Kerajaan Singasari hanya sekitar dua tahun saja, yakni antara tahun
1247 Masehi hingga 1249 Masehi. Tahta selanjutnya dipegang oleh Panji Tohjaya,
putra Ken Arok dari istri pertama bernama Ken Umang.
Panji
Tohjaya memerintah juga sangat sebentar, tak lebih dari satu tahun, yakni
sekitar 1249 Masehi hingga 1250 Masehi. Tahta keempat dan kelima, justru
dikuasai oleh keturunan Ken Dedes dari Tunggul Ametung.
Raja
keempat Singosari adalah Ranggawuni atau Wishnuwarddhana (1250-1269 Masehi)
yang memerintah cukup lama, sekitar 19 tahun. Tahta berikutnya diserahkan
putranya, Sri Kertanagara yang memerintah sangat lama, sekitar hampir 30 tahun,
dari 1269-1292 Masehi.
Tahta
Sri Kertanegara berakhir setelah digempur Jayakatwang, Adipati Gelang gelang
(sekarang Madiun, Jawa Timur). Jayakatwang tidak meneruskan tahta Singosari,
tetapi mendirikan kerajaan baru bernama Kadiri, kerajaan terdahulu yang pernah
runtuh akibat gempuran pasukan Tumapel di bawah pimpinan Ken Arok.
Sebentar
saja, Jayakatwang berhasil ditumpas Raden Wijaya melalui tangan pasukan Tartar
dari kerajaan besar Mongolia dengan raja legendaris, Khubilai Khan. Setelah
berhasil menumpas Jayakatwang, pasukan Tartar dihabisi pasukan Raden Wijaya dan
berdirilah Majapahit.
Siapa
Raden Wijaya? Pendiri Majapahit ini putra Dyah Lembu Tal putra Mahesa Cempaka
(Narasinghamurti) putra Mahesa Wong Ateleng putra Ken Arok dengan Ken Dedes.
Jika
ditulis menggunakan silsilah ala Islam: Raden Wijaya bin Dyah Lembu Tal bin
Maseha Cempaka bin Maseha Wong Ateleng bin Ken Arok. Dengan begitu, Raden
Wijaya adalah keturunan keempat Ken Arok atau Sri Rangga Rajasa, pendiri
Singasari.
Keturunan
keempat dalam bahasa Jawa disebut canggah, sedangkan keturunan ketiga disebut
buyut dan keturunan kedua disebut putu atau cucu. Jadi, Ken Arok disebut
"simbah canggah" Raden Wijaya.
Silsilah
Raja-raja Singasari
Tersingkir
dari tahta Singasari
Catatan
sejarah versi Nagarakretagama (naskah yang diakui Unesco sebagai warisan
ingatan dunia), keturunan Ken Arok sama sekali tidak menduduki tahta kerajaan
yang dibangunnya.
Sebab,
raja selanjutnya sepeninggal Ken Arok adalah Anusapati, putra Ken Dedes dari
mendiang suaminya, Tunggul Ametung. Selanjutnya, tahta diwarisi putranya,
Wisnuwardhana (Ranggawuni), lalu Kertanegara.
Keturunan
Ken Arok pun tersingkir dari tahta yang dibangunnya sendiri. Namun, setelah
Kertanegara lengser keprabon akibat pergolakan politik, baik di dalam negeri
maupun luar negeri, Raden Wijaya sebagai keturunan keempat Ken Arok dan Ken
Dedes tampil sebagai tokoh yang mendirikan Dinasti Majapahit.
Cerita
singkatnya begini. Perkawinan Tunggul Ametung dan Kendedes melahirkan anak
bernama Anusapati. Tunggul Ametung meninggal dibunuh Ken Arok menggunakan keris
Empu Gandring.
Ken
Dedes yang menjadi janda anak satu, dinikahi Ken Arok. Sementara Ken Angrok
sudah memiliki istri bernama Ken Umang. Dengan begitu, Anusapati adalah anak
tiri Ken Arok.
Setelah
dewasa, Anusapati membunuh ayah tirinya (Ken Arok) menggunakan keris Empu
Gandring yang pernah digunakan Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, bapak asli
Anusapati. Setelah naik tahta, Anusapati menjadi raja Singosari yang kemudian
diwarisi anak-anaknya.
Hingga
suatu ketika, Raja Singasari bernama Sri Kertanagara, cucu Anusapati atau buyut
Tunggul Ametung dan Ken Dedes, harus lengser keprabon akibat digempur pasukan
Jayakatwang, Bupati Gelanggelang.
Sebelumnya,
Kertanagara pernah memotong telinga dan melukai utusan atau duta Kubilai Khan
yang meminta agar Singasari tunduk di bawah kekuasaan Kekaisaran Mongol. Tak
terima dengan perlakuan dari Raja Jawa itu, Kubilai Khan murka dan mengirim
pasukan dalam jumlah besar untuk menggempur Singasari.
Saat
tentara Tartar datang ke Jawa, Kertanegara ternyata sudah dikalahkan Bupati
Gelanggelang, Jayakatwang. Nasib apes menimpa Jayakatwang karena harus
menghadapi gempuran tentara Mongol.
Raden
Wijaya yang terhitung masih kerabat Kerajaan Singosari memanfaatkan situasi ini
dengan baik. Ia berkoalisi dengan tentara Mongol untuk mengalahkan Jayakatwang.
Sesuai
saran Raden Wijaya, pasukan Tartar dipecah menjadi tiga penjuru untuk mengepung
Jayakatwang. Alih-alih sebagai strategi perang, pemecahan pasukan Tartar
sesungguhnya taktik Raden Wijaya untuk mencerai-berai pasukan Tartar, kemudian
menghabisinya selepas mengalahkan pasukan Jayakatwang.
Dan
benar, setelah berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang, pasukan Tartar
dibumihanguskan oleh pasukan Raden Wijaya pada saat mereka melaksanakan pesta
kemenangan. Desa Majapahit yang menjadi tempat tinggal Raden Wijaya dalam
melakukan konsolidasi politik akhirnya menjadi kerajaan besar.
Saat
keturunan Tunggul Ametung dan Ken Dedes sudah selesai kiprahnya sebagai Raja
Jawa dengan runtuhnya Singosari, kini giliran keturunan Ken Dedes dari suami
Ken Arok yang mengukuhi Tanah Jawa dengan berdirinya Kerajaan Majapahit.
Setelah
dinobatkan sebagai raja, Raden Wijaya mengambil gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Inilah awal keturunan Ken Arok memulai kiprahnya sebagai penguasa Tanah Jawa
yang sesungguhnya. (*)
Sumber
: Google Wikipedia
MENGENAL CANDI SINGASARI
Orientasi
Candi Singasari terletak di Desa Candi Renggo,
Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, kurang lebih 9 Km dari kota Malang ke
arah Surabaya. Candi ini juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi
Menara, nama yang menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah candi yang tertinggi
pada masanya, setidaknya dibandingkan dengan candi lain di sekelilingnya. Akan tetapi, saat ini di kawasan Singasari hanya candi
Singasari yang masih tersisa, sedangkan candi lainnya telah lenyap tak
berbekas..
Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum
diketahui, namun para ahli purbakala memperkirakan candi ini dibangun sekitar
tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja Kertanegara dari
Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang dibangun untuk
menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari. Sebagaimana
halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan candi Syiwa. Hal ini terlihat
dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman candi.
Bangunan Candi Singasari terletak di tengah halaman.
Tubuh candi berdiri di atas batur kaki setinggi sekitar 1,5 m, tanpa hiasan
atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak diapit
oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada candi-candi
lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke selatan,
terletak pada sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke depan).
Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di atas
ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala yang juga sangat sederhana
pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat sederhana
menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singasari belum sepenuhnya
terselesaikan.
Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke belakang,
terdapat relung tempat arca. Ambang relung juga tanpa bingkai dan hiasan kepala
Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi lain tubuh Candi Singasari.
Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan di atas
ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana. Di tengah ruangan utama
terdapat yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada kaki yoni juga tidak
terdapat pahatan apapun.
Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah
bersusun dua, karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi, menyerupai
ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya relung-relung
tersebut semula berisi arca, namun saat ini kempatnya dalam keadaan kosong. Di
atas setiap ambang 'pintu' relung terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan
yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan
relung di tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke
atas makin mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh.
Candi Singasari pernah dipugar oleh pemerintah Belanda
pada tahun 1930-an, terlihatan dari pahatan catatan di kaki candi. Akan tetapi,
tampaknya pemugaran yang dilakukan hasilnya belum menyeluruh, karena di
sekeliling halaman candi masih berjajar tumpukan batu yang belum berhasil
dikembalikan ke tempatnya semula.
Di halaman Candi Singasari juga terdapat beberapa arca
yang sebagian besar dalam keadaan rusak atau belum selesai dibuat, di antaranya
arca Syiwa dalam berbagai posisi dan ukuran, Durga, dan Lembu Nandini.
Sekitar 300 m ke arah barat dari Candi Singasari,
setelah melalui permukiman yang cukup padat, terdapat dua arca Dwarapala,
raksasa penjaga gerbang, dalam ukuran yang sangat besar. Konon berat
masing-masing arca mencapai berat 40 ton, tingginya mencapai 3,7 m, sedangkan
lingkar tubuh terbesar mencapai 3,8 m. Letak kedua patung tersebut terpisah
sekitar 20 m (sekarang dipisahkan oleh jalan raya).
Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri
Malang (UM), kedua arca Dwarapala itu semula menghadap ke arah timur, yaitu ke
arah Candi Singasari, namun saat ini arca di sisi selatan sudah berubah arah
menghadap agak ke timur laut. Pergeseran arah tersebut terjadi saat
pengangkatannya dari dalam tanah. Sampai akhir 1980-an patung yang berada di
sisi selatan masih terbenam dalam tanah sampai sebatas dada. Di belakang arca
yang berada di selatan terdapat reruntuhan bangunan batu yang nampak seperti
tembok. Diduga kedua arca ini merupakan penjaga gerbang masuk ke istana Raja
Kertanegara (1268-1292) yang letaknya di sebelah barat (dibelakangi) kedua
patung tersebut.
Legenda sekitar Dinasti Singasari
Beberapa candi di Jawa Timur, terutama yang terletak
di sekitar kota Malang, mempunyai kaitan sejarah yang erat dengan Kerajaan
Singasari. Dinasti Singasari merupakan keturunan Ken Dedes dengan kedua
suaminya, Tunggul Ametung akuwu (kepala pemerintahan setingkat kecamatan)
Tumapel dan Ken Arok, rakyat kebanyakan yang membunuh, mengambil alih kekuasaan,
dan sekaligus merebut istri Tunggul Ametung.
Sejarah Kerajaan Singasari ini melahirkan legenda
tentang keris buatan Mpu Gandring yang sangat terkenal di kalangan masyarakat
Jawa Timur. Menurut legenda, Ken Arok adalah anak hasil hubungan gelap seorang
wanita Desa Panawijen, bernama Ken Endog, dengan Batara Brahma. Tak lama
setelah dilahirkan, bayi Ken Arok dibuang oleh ibunya di sebuah pekuburan,
kemudian ditemukan dan dibawa pulang oleh seorang pencuri ulung. Dari ayah
angkatnya inilah Ken Arok belajar tentang segala siasat dan taktik perjudian,
pencurian dan perampokan. Setelah dewasa ia dikenal sebagai perampok yang
sangat ditakuti di wilayah Tumapel. Suatu saat Ken Arok berkenalan dengan
seorang brahmana bernama Lohgawe yang menasihatinya agar meninggalkan dunianya
yang hitam. Atas dorongan Lohgawe, Ken Arok berhenti menjadi perampok lalu
mengabdikan diri sebagai prajurit Tumapel.
Pada masa itu yang menjadi akuwu di Tumapel, wilayah
Kerajaan Kediri, adalah Tunggul Ametung. Sang Akuwu memperistri Ken Dedes,
putri Mpu Purwa yang tinggal di Panawijen. Dari perkawinan tersebut lahir
seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken Dedes pulang ke Panawijen
untuk menjenguk ayahnya. Ketika Ken Dedes turun dari kereta kerajaan,
bertiuplah angin kencang yang menyingkap bagian bawah kain panjangnya. Pada
saat itu, Ken Arok yang bertugas mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat
sekilas betis istri Tunggul Ametung tersebut. Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes
memancarkan sinar yang menyilaukan. Pemandangan tersebut tak mau hilang dari
benak Ken Arok. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Mpu Purwa. Sang Mpu
menjelaskan bahwa sinar yang dilihat Ken Arok merupakan pertanda bahwa Ken
Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.
Ken Arok kemudian memesan sebuah keris kepada seorang
Mpu di Tumapel yang bernama Mpu Gandring. Untuk membuat sebuah keris yang dapat
diandalkan keampuhannya, diperlukan waktu yang cukup lama untuk menempa,
membentuk dan menjalankan ritual yang diperlukan. Karena keris yang dipesan tak
kunjung selesai, Ken Arok menjadi sangat marah. Ia merebut keris yang belum
selesai tersebut lalu menikamkannya ke tubuh pembuatnya. Menjelang ajalnya, Mpu
Gandring mengutuk bahwa Ken Arok pun akan mati di ujung keris yang sama dan
keris itu akan meminta korban tujuh nyawa.
Keris buatan Mpu Gandring tersebut oleh Ken Arok
dipinjamkan kepada temannya yang mempunyai watak suka pamer, yaitu Kebo Ijo.
Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada teman-teman prajuritnya dan mengatakan bahwa
keris itu adalah miliknya. Setelah banyak orang yang mengetahui keris itu milik
sebagai milik Kebo Ijo, ken Arok lalu mencurinya dan menggunakannya untuk
menikam Tunggul Ametung. Dengan sendirinya tuduhan jatuh kepada kebo Ijo,
sementara Ken Arok berhasil menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai
akuwu dan menikahi Ken Dedes.
Setelah berhasil menjadi akuwu, Ken Arok kemudian
menaklukkan Kerajaan Kediri, yang kala itu diperintah oleh Raja yang kala itu
diperintah oleh Raja Kertajaya (1191-1222), dan mendirikan Kerajaan Singasari.
Ia menobatkan dirinya menjadi raja Singasari yang pertama dengan gelar Rajasa
Bathara Sang Amurwabhumi. Dari Ken Dedes, Ken Arok berputra seorang, bernama
Mahisa Wongateleng, sedangkan dari Ken Umang ia juga mendapatkan seorang putra
bernama Tohjaya. Kutukan Mpu Gandring mulai berlaku. Ken Arok dibunuh dan
digantikan kedudukannya oleh Anusapati. Anusapati dibunuh dan digantikan
kedudukannya oleh Tohjaya. Tohjaya dibunuh dan digantikan oleh Ranggawuni, anak
Anusapati. Ranggawuni kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar
Jayawisnuwardhana dan memerintah Singasari mulai pada tahun 1227 hingga 1268.
Jayawisnuwardhana digantikan oleh putranya, Joko Dolog yang bergelar
Kertanegara (1268-1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari yang terakhir.
Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang. Namun Jayakatwang
berhasil dikalahkan oleh menantu Kertanegara yang bernama Raden Wijaya. Raden
Wijaya yang merupakan keturunan Mahisa Wongateleng dan Raja Udayana di Bali ini
kemudian mendirikan kerajaan Majapahit dengan pusat pemerintahan di Tarik
(Trowulan).
Sumber : Google Wikipedia – Perpustakaan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar