KISAH KERAJAAN PAJAJARAN
KISAH KERAJAAN PAJAJARAN
BAGIAN - I
Orientasi
Kerajaan Pajajaran
– Tahukah
Anda tentang Kerajaan Pajajaran? Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda adalah
kerajaan Hindu yang berlokasi di sebelah barat Pulau Jawa (Sunda). Beribukota
di Pajajaran (sekarang adalah Bogor), kerajaan ini lebih dikenal dengan nama
Pakuan Pajajaran (pakuan
atau pakuwuan berarti kota). Sebagaimana
adat kebiasaan di Asia Tenggara pada masa itu yang menyebut kerajaan dengan
nama ibukotanya. Beberapa catatan sejarah menyebutkan kerajaan ini didirikan
oleh Sri Jayabhupati pada tahun 923.
Sementara
Pakuan Pajajaran secara ‘resmi’ dinyatakan berdiri saat Jayadewata naik tahta
pada 1482 dan bergelar Sri Baduga Maharaja. Sejarah kerajaan banyak dikisahkan
dalam berbagai kitab cerita. Masih sering pula dituturkan dalam pantun dan
kisah babad. Serta ditemukan pula catatan dari berbagai prasasti yang ditemukan
dan catatan perjalanan bangsa asing di Nusantara pada masa itu.
Berdirinya Pakuan Pajajaran
Kala
itu, terdapat dua kerajaan di tanah Parahyangan (Sunda, sekarang Jawa Barat)
yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Kedua kerajaan ini terikat oleh tali
perkawinan antara putra raja Galuh dengan putri raja Sunda. Kerajaan Galuh
dipimpin oleh Raja Dewa Niskala dan Kerajaan Sunda dipimpin oleh Raja
Susuktunggal. Pada tahun 1400-an, saat Majapahit diambang kehancuran, rombongan
pengungsi dari datang ke Kerajaan Galuh dan diterima dengan tangan terbuka.
Sambutan
tak berhenti di situ, kepala rombongan yang masih merupakan saudara dari Prabu
Kertabumi (raja Majapahit) bernama Raden Baribin dinikahkan dengan salah
seorang putri Galuh, Ratna Ayu Kirana. Sang raja pun mengambil seorang istri
dari rombongan pengungsi Majapahit. Tindakan tersebut menyebabkan kemarahan
dari raja Sunda yang menuduh raja Galuh melupakan aturan bahwa orang Galuh dan
Sunda dilarang keras menikah dengan orang dari Majapahit. Kedua raja yang
terlibat pertalian besan ini pun terlibat sengketa.
Terancam
perang, dewan penasehat dari kedua kerajaan berunding dan meminta para raja
untuk turun dari tahta. Dan kemudian bersama-sama menunjuk seorang pengganti
untuk memimpin kedua kerajaan. Tak disangka, nama yang ditunjuk oleh kedua raja
adalah nama yang sama, Jayadewata. Maka terselesaikanlah persengketaan dengan
jalan menyatukan dua kerajaan di bawah satu raja. Selain Sri Baduga Maharaja,
Jayadewata juga dikenal dengan sebagai Prabu Siliwangi.
Tercatat
ada 5 raja yang memimpin Kerajaan Pajajaran saat masih berkedudukan di Pakuan
Pajajaran, yaitu :
Ø Sri
Baduga Maharaja (1482 – 1521),
Ø Surawisesa
(1521 – 1521),
Ø Ratu
Dewata (1535 – 1543),
Ø Ratu
Sakti (1543 – 1551), serta
Ø Ratu
Nilakendra (1551 – 1567).
Dari
kelima raja yang memimpin tersebut, masa kejayaan terjadi pada saat Sri Baduga
Maharaja menduduki singgasana raja. Berbagai pembangunan fisik dilakukan untuk
memudahkan kehidupan kerajaan dan rakyat.
Berbagai
kisah dan cerita tak henti menyebutkan Sri Baduga Maharaja, bahkan hingga kini
namanya masih dielu-elukan oleh masyarakat Sunda. Berikut ini beberapa
pencapaian yang membuktikan masa kejayaan Kerajaan Pajajaran pada pemerintahan
Sri Baduga Maharaja :
1.
Pembangunan Fisik
Karena
masih berstatus sebagai ‘kerajaan baru’, Sri Baduga Maharaja banyak melakukan
pembangunan fisik untuk memudahkan kehidupan negara dan rakyat. Berikut adalah
pembangunan fisik yang dilakukan oleh raja pertama Kerajaan Pajajaran antara
lain adalah:
Ø Membangun
jalan dari Pakuan (ibukota) sampai ke Wanagiri,
Ø Membuat
telaga besar yang diberi nama Talaga Maharena Wijaya,
Ø Membangun
kabinihajian atau keputren atau tempat tinggal para putri, dan
Ø Membangun
pamingtonan atau tempat hiburan.
2.
Bidang Militer
Pertahanan
negara diperkuat dengan memperkuat angkatan militer agar peristiwa seperti
Peristiwa Bubat tidak terulang. Kesatrian atau asrama untuk prajurit dibangun
untuk menarik minat para pemuda agar mereka mau menjadi prajurit. Selain itu,
para prajurit dibekali latihan dengan berbagai macam formasi tempur yang sering
dipertunjukkan bagi rakyat.
3.
Administrasi pemerintahan
Kegiatan
administrasi pemerintahan dirapikan, dengan memberikan tugas yang spesifik
kepada setiap abdi raja. Undang-undang kerajaan disusun untuk mengatur
kehidupan dalam bernegara. Serta aturan mengenai pemungutan upeti dibuat agar
tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam proses penarikannya.
4.
Keagamaan
Karena
agama adalah bagian penting dari kehidupan manusia, desa-desa perdikan
dibagikan kepada para pendeta dan murid-muridnya. Tanah perdikan adalah tanah
yang tidak dipungut pajak. Sehingga para pendeta dan muridnya dapat dengan
leluasa memimpin ritual keagamaan tanpa perlu memikirkan masalah duniawi.
Kehidupan
Masyarakat
Kehidupan
masyarakat Pakuan Pajajaran dapat dilihat melalui beberapa aspek seperti
ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah penjelasannya :
1.
Ekonomi
Mata
pencaharian utama masyarakat adalah pertanian. Selain itu kegiatan perdagangan
dan pelayaran juga dikembangkan. Pakuan Pajajaran memiliki enam pelabuhan
penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa, dan
Cimanuk (sekarang Pamanukan).
2.
Sosial
Dalam
keseharian masyarakat Pakuan Pajajaran, penduduk digolongkan menurut
pekerjaannya. Ada golongan seniman yang terdiri pemain musik gamelan, penari,
dan badut. Lalu golongan petani dan golongan pedagang – yaitu mereka yang
bermata pencaharian sebagai petani dan pedagangan. Serta ada pula
golongan penjahat, yakni mereka yang memiliki profesi di bidang kejahatan
seperti perampok, pencuri, pembunuh, dan sebagainya.
3.
Budaya
Agama yang secara resmi dianut oleh kerajaan adalah
agama Hindu, sehingga praktik hidup keseharian sangan kental dengan ritual
keagamaan Hindu. Peninggalan yang masih dapat disaksikan hingga kini adalah
kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda serta kitab cerita
Kidung Sundayana. Adapula berbagai prasasti yang ditemukan tersebar di berbagai
wilayah kekuasaan kerajaan.
Prasasti-prasasti tersebut di antaranya Prasasti
Batu Tulis di Bogor, Prasasti Sangyang di Tapak, Sukabumi, Prasasti Kawali
di Ciamis, Prasasti Rakan Juru Pangambat, Prasasti Horren, Prasasti
Astanagede, Tugu perjanjian dengan Portugis (padraõ) di Kampung Tugu, Jakarta,
dan Taman perburuan yang kini menjadi Kebun Raya Bogor.
Runtuhnya
Pakuan Pajajaran
Penerus tahta Pajajaran tidak ada yang bisa menandingi
kemasyhuran Sri Baduga Maharaja. Semua catatan akan masa kejayaan yang
terabadikan dalam cerita, kidung, pantun, babad, hingga terukir dalam
prasasti-prasasti adalah hasil kerja keras dari sang raja pertama.
Catatan keruntuhan Pajajaran terjadi pada 1579 Masehi
akibat serangan dari Kesultanan Banten, anak kerajaan dari Kerajaan Demak di
Jawa Tengah. Ditandai dengan pemboyongan Palangka Sriman Sriwacana (singgasana
raja) dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh Maulana Yusuf.
Pemboyongan singgasana batu tersebut adalah aksi simbolis
terhadap tradisi politik masa itu agar Pakuan Pajajaran tidak bisa menobatkan
raja baru. Maulana Yusuf ditasbihkan sebagai penguasa sah Sunda karena dirinya
masih memiliki darah Sunda dan merupakan canggah dari Sri Baduga Maharaja.
Kerajaan Pajajaran adalah satu bukti sejarah, bahwa
alih-alih berperang jalan damai masih dapat ditempuh untuk menyelesaikan
pertikaian dua negara. Satu hal yang jarang ditemui, terutama pada masa itu. Mungkin
masih ada sisa trauma akibat peristiwa Bubut, di mana tanah Sunda nyaris
porak-poranda akibat serangan Majapahit, sehingga mereka memilih jalan yang
menghindari terjadinya perang.
Dan sambutan raja Galuh kepada para pengungsi
Majapahit juga patut diapresiasi. Sangat sedikit orang yang bisa menerima
pengungsi dari negara yang pernah melancarkan serangan perang ke negaranya.
Meskipun entah apa alasan sebenarnya diterimanya para pengungsi tersebut, akan
tetapi tindakan itu adalah lebih banyak terjadi pada konteks ketimbang praktik.
Berakhirnya masa kerajaan ini adalah akhir dari
kekuasaan Hindu di Parahyangan dan awal dari masa dinasti Islam. Konon
dikabarkan bahwa sebagian abdi istana menetap di Lebak dan menerapkan cara
kehidupan mandala yang ketat. Kini keturunan dari para abdi istana ini adalah
yang kita kenal sebagai Suku Baduy.
Sumber
: Google Wikipedia
KISAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN
BAGIAN - II
Orientasi
Kerajaan Pajajaran, Masa
Pendirian, Kejayaan Dan Kehancurannya 1482-1579
Kerajaan
Pajajaran merupakan kerajaan yang didirikan oleh suku bangsa Sunda, kerajaan
ini terletak di Pulau Jawa bagian barat, pada masa kejayaanya wilayahnya
membentang dari Cilacap sampai ke Banten. Nama lengkap dari kerajaan Ini adalah
Kerajaan “Pakuan Pajajaran” Pakuan Sendiri diambil dari kata paku
sementara Pajajaran bermaksud berjajar atau sejajar, oleh karena itu pakuan
pajajaran bermaksud paku yang berjajar atau paku yang sejajar.
Menurut
Rouffaer meskipun kata ‘Pakuan” mengandung pengertian "paku",
akan tetapi harus diartikan "paku jagat" yang melambangkan
pribadi raja seperti pada gelar “Paku Buwono” dan “Paku Alam” dalam
tradisi Raja-Raja di Kesultanan Mataram. Oleh karena itu kata
"Pakuan" menurut pandangan Rouffaer setara dengan
"Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai
"berdiri sejajar" atau "imbangan". Yang dimaksudkan
Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit.
Dengan
demikian maka dapatlah dipahami bahwa Pakuan Pajajaran berarti
"Kemaharajaan yang berdiri sejajar atau seimbang dengan Kemaharajan
Majapahit". Hal ini sesuai dengan fakta-fakta sejarah yang menyatakan
bahwa Sunda adalah wilayah satu-satunya yang tak dapat ditaklukan oleh
Majapahit. Maka pantaslah Kerajaan di Sunda ini kemudian memproklamirkan diri
sebagai “Pakuan Pajajaran”.
Masa
Pendirian
Pakuan
Pajajaran didirikan pada 1433 Masehi oleh Sribaduga Maharaja, atau biasa
dikenal dengan sebutan Prabu Silihwangi. Perlu dipahami bahwa nama lain dari
kerajaan ini adalah kerjaan Sunda Galuh, dinamakan Sunda Galuh, karena pada
hakikatnya kerjaan ini adalah gabungan dari kedua kerajaan yang didirikan oleh
suku bangsa Sunda yang ada di tatar Pasundan.
Waktu
itu di Jawa Barat terdapat dua kerajaan yakni Kerajaan Galuh yang ber ibukota
Kawali (sekarang masuk wilayah Kab Ciamis) dan Kerajaan Sunda yang beri bukota
di Pakwan (sekarang masuk wilayah Kab/Kota Bogor)
Pendirian Kerajaan Sunda Galuh atau Pakuan Pajajaran
ini diduga sebagai gerakan antisipasi Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda
terhadap Invasi Majapahit, karena memang pada tahun sebelum-sebelumnya
Majapahit pernah melakukan penyerangan terhadap kerjaan Galuh, bahkan juga
pernah menipu Kerajaan Galuh sebagaimana dalam peristiwa perang Bubat itu.
Dengan bersatunya kerajaan Galuh dan Sunda tentu
Majapahit waktu itu fikir panjang untuk melakukan Invasi ke Jawa Barat. Dengan
demikian maka tidaklah mengherankan jika Kerajaan Sunda Galuh kemudian
memproklamirkan diri menjadi “Pakuan Pajajaran” yang bermaksud Kemaharaajaan
yang setara Dengan Majapahit.
Masa
Kejayaan
Masa
Kejayaan Kerajaan Pajajaran dimulai dari diangkatnya Sribaduga Maharaja menjadi
raja kerajaan ini yaitu pada tahun 1482 Masehi, pada tahun diangkatnya
Sribaduga menjadi Raja diraja diseluruh Sunda ini dikabarkan terjadi kehebohan
di Sunda, karena pada waktu itu diceritakan iring-iringan Rombongan Prabu
Sribaduga pindah dari Galuh-ke Bogor (Pakwan) untuk menduduki Istana Sang
Bhima Nararayan menjadi perhatian masyarakat. Karena setelah
beratus-ratus tahun lamanya akhirnya orang Sunda kembali dibawah satu Raja
lagi.
Pada
masa ini juga diceritakan sebagai masa keemasan kerajaan, karena pada masa ini
dibangun banyak Insfrastruktur diantaranya pembangunan Parit yang mengelilingi
Ibukota Kerajaan, parit-parit tersebut dibangun untuk perbaikan pengairan
pertanian rakyat sekaligus juga untuk pertahanan kerajaan.
Sepeninggal
Sribaduga Maharaja 1521, tahta kerajaan kemudian beralih kepada Prabu
Surawisesa yang bertahta pada 1521 – 1535, pada masa Raja inilah Pajajaran
mengadakan perjanjian dengan Portugis, guna menghadapi ancaman-ancaman yang
mungkin ditimbulkan dari bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa.
Pada
tahun 1535 Prabu Surawisesa mangkat dan digantikan oleh Ratu Dewata, beliau
menjabat dari 1535 – 1543, setelahnya kemudian pada Tahun 1543 – 1551 Ratu
Dewata digantikan oleh Ratu Sakti. Masa ke empat raja-raja di atas trersebut
merupakan masa kejayaan Kerajaan Pajajaran, meskipun pada masa ini juga
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis kemudian digagalkan oleh Demak dan
Cirebon.
Masa
Kehancuran
Meskipun
Pakuan Pajajaran pada awalnya didirikan sebagai wujud penyatuan agar tidak
dapat ditaklukan oleh Majapahit, akan tetapi tetap saja pada nyatanya usaha
Pajajaran ini ternyata kemudian gagal ketika menghadapi Cirebon dan Banten. Benih-benih
Kehancuran kerjaan pajajaran dimulai ketika Demak dan Cirebon berhasil mengusir
Portugis dan Menguasai Sunda Kelapa dan Banten, setelah peristiwa itu kemudian
Kerajaan Cirebon menobatkan Banten menjadi Kesultanan dengan mengangkat
Pangeran Sebakingkin sebagai Sultan pertamanya.
Pada
waktu Pajajaran diperintah oleh Ratu Nilakendra pada 1551-1567 Pajajaran
kemudian diserang oleh Pangeran Sebakingkin, Perang dan Saling serang antara
dua kerjaan ini terjadi berlarut-larut, hingga kemudian dalam serangan yang
mematikan Pangeran Sebakingkin berhsil menjebol pertahanan Pajajaran dan
menguasai Ibu Kota Kerajaan. Ratu Nilakendara pun kemudian meninggalkan Istana
dan dikhabarkan mangkat di Pandegelang.
Dalam
Pelariannya rupanya Ratu Nilakendara sebelum kemangkatannya mengangkat
Raga Mulya menjadi penerusnya, beliau memerintah dalam pelarian dari tahun 1567
– 1579, pusat kerajaan pajajaran pada tahun ini dialihkan di Pandegelang, akan
tetapi pada tahun 1579 Maulana Yusuf anak dari Pangeran Sebakingkin kemudian
berhasil menaklukan secara total Pajajaran dengan cara membumi hanguskan
pandegelang.
Pembagian
Wilayah Kerajaan Pajajaran Setelah Keruntuhan
Wilayah
Kerajaan Pajajaran selepas keruntuahannya sebagaimana yang terekam dalam
naskah-naskah Kesultanan Cirebon terdiri dari tiga bagian, dalam tiga bagian
itu didalamnya terdapat Negara-negara bahawan yang diperintah oleh seorang
Tumengung atau Raja Bawahan yang tergabung kedalam Kesultanan Cirebon, adapun
wilayah-wilayah tersebut adalah:
v Pajajaran
Barat
Ø Sarasowan
Ø Jaka
Kelir
Ø Kanantun
Ø Suryarasa
Ø Bangbayang
Ø Terjung
Ø Semitirta
Ø Ajung
Kastamana
Ø Ajung
Belang
Ø Gandra
Ø Leleruk
Ø Unjung
Ø Dagdagan
Ø Pasirayu
Ø Kajaksan
Ø Panangkilan
Ø Padrik
Ø Pamukaman
Ø Rara
Gedang
Ø Sabaklaya
Ø Waru
Lampung
Ø Pamoka
Ø Undurus
Ø Saspari,
dan
Ø Baranakan
v Pajajaran
Tengah
Ø Bandung
Ø Sumedang
Ø Tutulis
Pajajaran
Ø Cianjur
Ø Cikakak
Ø Tegal
Luar
Ø Karawang
Ø Limbangan
Ø Wanabaya
Ø Menak
Ciasem
Ø Cihaur
Ø Gunung
Munara
Ø Timbanganten
Ø Panembong
Ø Rangkaraga
Ø Tumengungan
Garut
Ø Mangaji
Ø Sokawiyana
Ø Cibalagung
Ø Pawenang
Ø Lumajang
Ø Ujung
Kulon
Ø Karangnya
Ø Sunda
Larang
v Pajajaran
Timur
Ø Losari
Ø Gebang
Ø Japura
Ø Ender
Ø Sokapura
Ø Maleber
Ø Banagara
Ø Lebakwangi
Ø Loragung
Ø Rajagaluh
Ø Kuningan
Ø Panjalu
Ø Sindangkasi
Ø Suhunan
Talaga
Ø Kawali
Ø Cikaso
Ø Sangyang
Gempol
Ø Palimanan
Ø Carbon
Girang
Ø Cangkuang
Ø Kandanghaur
Ø Dermayu
Ø Juntu
Ø Panganjangan
Dari
wilayah-wilayah di atas, penguasa yang memperoleh hak otonom dan berpangkat
sebagai Raja dan diizinkan menggunakan payung kebesaran dan mempunyai sumber
penghasilan sendiri serta memperoleh gelar ialah:
Ø Dipati
Kuningan bergelar Arya Kuningan atau Arya Pandegelan
Ø Dipati
Ukur yang bergelar Arya Tandhumuni
Ø Ageng
Gebang bergelar Arya Wanduhaji
Ø Gedeng
Sela bergelar Arya Kenduruan.
Adalagi
wilayah Pajajaran akan tidak masuk dalam Jangkuan Cirebon yaitu Jaketra/Jaya
Karta, wilayah itu diserahkan penguasaannya pada Raja Luhut oleh Sunan Gunug
Jati.
Sumber
: Google Wikipedia
KERAJAAN
PAJAJARAN
BAGIAN
– III
Orientasi
Kerajaan
Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan sendiri
berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara
ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati,
seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak.
Sejarah
Dari
catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun
catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain
mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja
Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan
urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita
Waruga Guru.
Selain
naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak
peninggalan dari masa lalu, seperti:
Ø Prasasti
Batu Tulis, Bogor
Ø Prasasti
Sanghyang Tapak, Sukabumi
Ø Prasasti
Kawali, Ciamis
Ø Tugu
Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
Ø Taman
perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.
Daftar
raja Pajajaran
Ø Sri
Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
Ø Surawisesa
(1521 – 1535), bertahta di Pakuan
Ø Ratu
Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
Ø Ratu
Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
Ø Ratu
Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
Ø Raga
Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
Pandeglang
Keruntuhan
Kerajaan
Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya
Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton
Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu
berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan
Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya
adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini
bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten
menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan
kata Sriman.
Saat
itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan istana
lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala
yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
SRI
BADUGA MAHARAJA
RAJA
PAJARAN - BOGOR
Sri
Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang
memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak
perkembangannya.
Dalam
prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang
pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu
Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika
ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa
ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi
dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa
Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat
dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan
dapat dilihat pada Pindahnya Ratu
Pajajaran
Prabu
Siliwangi
Di
Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama
Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu
ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam
berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa
itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama
besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan
para pujangga Sunda).
Menurut
tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang
sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama
itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa
Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan
ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi
raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia:
Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut
Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Biografi
Masa
muda
Waktu
mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan
satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing
memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).
Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang
buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu
Wangi.
Tentang
hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang
Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang
telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di
medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat
menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan
dijajah orang lain.
Ia
berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah
Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua
pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia
senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh
bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau
Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja
membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan
perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi.
Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama
Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Perang
Bubat
Kesenjangan
antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan
di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan
Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja
Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya)
bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah
Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah,
orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu
Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita
Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah
"seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?
Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini
tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana.
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga
(Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata
bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa
Sunda-Galuh).
Dengan
demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap
sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran
Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi
dianggap putera Wastu Kancana.
Kebijakan
dalam kehidupan sosial
Tindakan
pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah
menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui
ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi
pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di
Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada
Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga
ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa",
"calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka
diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena
merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran.
Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan
tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda
Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu
"dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga
kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare
dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah
dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam
koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang,
Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul
= 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap
tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara
perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare
dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih
atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang
tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian
ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa
setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur"
persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan.
Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong
selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun
khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini
lebih bersifat barang antaran.
Pajak
yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan
"calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja
bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya
: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang
atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di
peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam
kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk
kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara.
Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda
yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk
"rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten"
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi
"Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten"
(dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran
air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan
apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel"
dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa
memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam
akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku
untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya.
Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda"
(bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada
dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu
bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah
para pembesar setempat.
Jadi
"gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas
perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang
tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam
Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara
dalam abad ke-5.
Piagam-piagam
Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan
perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan
batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan,
desa bebas pajak.
Peristiwa-peristiwa
di masa pemerintahannya
Beberapa
peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita
Parahiyangan
Dalam
sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor
kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba
di sanghiyang siksa".
(Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang
tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan
ajaran agama).
Dari
Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran
yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Pustaka
Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah
ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404
Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa
setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari
Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi
raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika
itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di
Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat
berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan
Pajajaran.
Tumenggung
Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon,
tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya
menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah
berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa
itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh
Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah
warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah
sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana
sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa
Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh
Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan
itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah
situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat
dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan
parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun
PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi
lemah di laut.
Menurut
sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000
prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut,
Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?)
untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis
Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan
makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan
putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu
:
Ø Pangeran
Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
Ø Ratu
Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
Ø Pangeran
Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
Ø Pangeran
Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Ø Perkawinan
Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511.
Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor
untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan
Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512,
ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso
d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai
atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak
Demak.
Pangeran
Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga
karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara
Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan
sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan
Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap
Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya,
Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang
alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil
mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena
permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak
dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires
ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of
Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah
dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga
diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan
Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul)
setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan
1000 kapal.
Naskah
Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari
Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih
menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran
Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian
diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri
Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan
disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521).
Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia
dipusarakan di Rancamaya.
Didahului
oleh :
Ø Kerajaan
Galuh
Ø Prabu
Dewa Niskala
Ø Kerajaan
Sunda
Ø Prabu
Susuktunggal
Ø Pajajaran
Sumber
: Google Wikipedia
SEJARAH
PAJAJARAN
JAMAN
PAJAJARAN (1482 - 1579)
BAGIAN
IV
Orientasi
Raja-raja
Pajajaran
1.
Sri Baduga Maharaja
Jaman
Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang
memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai
puncak perkembangannya.
Dalam
prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang
pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa
Niskala) yang kemudian bergelar PRABU GURU DEWAPRANATA. Yang kedua ketika ia
menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa
ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA
MAHARAJA RATU HAJI di PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU DEWATA. Jadi sekali lagi
dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa
Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat
dari timur ke barat.
Di
Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama PRABU SILIWANGI. Nama
Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu
ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam
berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa
itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama
besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan
para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh
menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan
Siliwangi.
Dengan
nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan
bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda
lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira" (Hanya orang
Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu
Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu
mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan
satu-satunya yang pernah mengalahkan RATU JAPURA (AMUK MURUGUL) waktu bersaing
memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).
Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang
buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu
Wangi. {Tentang hal ini, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan
bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai
silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya
diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit
yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena
itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa
mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa
Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara
atau Nusantara namanya yang lain.
Kemashuran
Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga,
menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena
itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan
keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut
penuturan orang Sunda"}
Kesenjangan
antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan
di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta (penanggung jawab penyusunan
Sejarah Nusantara) menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja
Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya)
bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, menurut naskah
Wastu kancana disebut juga PRABU WANGSISUTAH).
Orang
Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi
sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita
Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah
"seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga)
dilewat?. Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam
hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu
Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri
Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU, sedangkan
Jayadewata bergelar MAHARAJA (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai
penguasa Sunda-Galuh).
Dengan
demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap
sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran
Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi
dianggap putera Wastu Kancana].
Proses
kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga
bernama KAI RAGA di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam gaya
pantun dan dinamai CARITA RATU PAKUAN (diperkirakan ditulis pada akhir abad
ke-17 atau awal abad ke-18).Naskah itu dapat ditemukan pada Kropak 410 . Isinya
adalah sebagai berikut (hanya terjemahannya saja):
Ø Tersebutlah
Ngabetkasih
Ø bersama
madu-madunya
Ø bergerak
payung lebesaran melintas tugu
Ø yang
seia dan sekata
Ø hendak
pulang ke Pakuan
Ø kembali
dari keraton di timur
Ø halaman
cahaya putih induk permata
Ø cahaya
datar namanya
Ø keraton
berseri emas permata
Ø rumah
berukir lukisan alun
Ø di
Sanghiyang Pandan-larang
Ø keraton
penenang hidup.
Ø Bergerak
barisan depan disusul yang kemudian
Ø teduh
dalam ikatan dijunjung
Ø bakul
kue dengan tutup yang diukir
Ø kotak
jati bersudut bulatan emas
Ø tempat
sirih nampan perak
Ø bertiang
gading ukiran telapak gajah
Ø hendak
dibawa ke Pakuan
Ø Bergerak
tandu kencana
Ø beratap
cemara gading
Ø bertiang
emas
Ø bernama
lingkaran langit
Ø berpuncak
permata indah
Ø ditatahkan
pada watang yang bercungap
Ø Singa-singaan
di sebelah kiri-kanan
Ø payung
hijau bertiang gading
Ø berpuncak
getas yang bertiang
Ø berpuncak
emas
Ø dan
payung saberilen
Ø berumbai
potongan benang
Ø tapok
terongnya emas berlekuk
Ø berayun
panjang langkahnya
Ø terkedip
sambil menoleh
Ø ibarat
semut, rukun dengan saudaranya
Ø tingkahnya
seperti semut beralih
Ø Bergerak
seperti pematang cahaya melayang-layang
Ø berlenggang
di awang-awang
Ø pembawa
gendi di belakang
Ø pembawa
kandaga di depan
Ø dan
ayam-ayaman emas kiri-kanan
Ø kidang-kidangan
emas di tengah
Ø siapa
diusun di singa barong
Ø Bergerak
yang di depan, menyusul yang kemudian
Ø barisan
yang lain lagi
[yang
dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri BAduga
yang pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari
Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama
isteri-isteri Sri Baduga yang lain]
Tindakan
pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah
menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui
ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi
pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peniggalan Sri Baduga di
Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada
Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga
ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa",
"calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka
diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena
merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran.
Merekalah yang tegus mengamalkan peraturan dewa.
Dengan
tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda
Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu
"dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga
kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare
dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah
dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma". [Dalam kropak
406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut)
harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka= 10 pikul = 1
timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap
tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara
perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare
dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih
atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang
tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan ke- mudian
ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa
setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur"
persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan.
Dondang harus selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong
selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun
khusus dipaka untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini
lebih bersifat barang antaran.
Pajak
yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan
"calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja
bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya:
menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang
atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di
peruntukkan bagi upacara resmi)]
[Dalam
kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk
kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem
dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di
negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk
"rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten"
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi
"Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten"
(dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran
air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan
apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan.
"Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa
sistem tanam paksa memangfaatkan trasisi pajak tenaga ini.
Dalam
akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakongawe" dan berlaku
untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang
melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba
kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk
dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan"
yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap
tanah para pembesar setempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa
bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya
bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak
dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut KARYABHAKTI dan sudah
dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam
Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan
perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan
batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga DESA PERDIKAN
(desa bebas pajak).
Untuk
mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita
telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a.
Carita Parahiyangan
Dalam
sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka
kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina
urang reya, ja loba di sanghiyang siksa" (Ajaran dari leluhur dijunjung
tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit
batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera
hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari
Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran
yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut
"loba" (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu
mencari yang baru.
b.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah
ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404
Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa
setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari
Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi
raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika
itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di
Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat
berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung
Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon,
tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya
menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya
Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa
itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh
PUROHITA (pendeta tertinggi) keraton KI PURWA GALIH. [Cirebon adalah daerah
warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah
sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan)
sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat
dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan
pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran]
Demikianlah
situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat
dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan
parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun
PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi
lemah di laut.
Menurut
sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000
prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut,
Pajajaran hanya memiliki 6 buah JUNG (adakah yang tahu artinya?) dari 150 ton
dan beberala LANKARAS (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat
itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)]
Keadaan
makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan
putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang dijodohkan, yaitu :
1.
Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi)
2.
Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor
3.
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4.
Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
[Perkawinan
Sabrang Lor (YUNUS ABDUL KADIR) dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai SENAPATI
SARJAWALA (Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, ia untuk sementara berada di
Cirebon]
Persekutuan
Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512,
ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis ALFONSO
d'ALBUQUERQUE di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai).
Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran
Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga
karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara
Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan
SEKTOR-SEKTOR PEMERINTAHAN. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan
Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap
Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya
(Subanglarang) adalah muslimah dan ketiga anaknya (Walangsungsang alias
Cakrabuana, Lara Santang dan Raja Sangara) diizinkan sejak kecil mengikuti
agama ibunya (Islam).
Karena
permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing-masing pihak
dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires
ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of
Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah
dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan
perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven).
Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan
hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah
KITAB WARUGA JAGAT dari Sumedang dan PANCAKAKI MASALAH KARUHUN KABEH dari
Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon
masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa GEMUH PAKUAN
(kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang
kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri
Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan
disebut SUSUHUNAN di PAKUAN PAJAJARAN, memerintah selama 39 tahun (1482 -
1521). Ia disebut SECARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG MOKTENG) RANCAMAYA karena
ia dipusarakan di Rancamaya (di sinilah nilai khusus Rancamaya). [Rancamaya
terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata
air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs
makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus
dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon
Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa
ini seluruh situs sudah "dihancurkan" orang. Pelatarannya ditanami
ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di
dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan
bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi
huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah
dipopulerkan orang sebagai MAKAM WALI. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah
Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang
"dijual" orang sebagai "makam Raja Galuh".
Telaga
yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan
kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya
malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya
(terungkap pada prasasti). "Talaga" (Sangsakerta "tadaga")
mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening
di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ
(Sangsakerta, setu) yang berarti bendungan.
Bila
diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu
membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara
jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi
utara lapang bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan
kaki bukit.
Bukit
Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit
itu hampir "gersang" dengan bentuk parabola sempurna dan tampak
seperti "katel" (wajan) terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak
subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini
dulu "dikerok" sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu
tanah suburnya habis.
Bagidul
kemungkinan waktu itu dijadikan "bukit punden" (bukit pemujaan) yaitu
bukit tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang=tabur bunga).
Kemungkinan yang dimaksud dalam "rajah Waruga Pakuan" dengan
Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini.
Kedekatan
telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja
beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di
Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta (di
Cirebon Girang). Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke
punden-punden yang terletak dekat sungai.
Spekulasi
lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan
gunung-air yang berarti pula SUNDA-GALUH].
Sumber:
Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA DT II Bogor.
SEJARAH
KERAJAAN PAJAJARAN PALING LENGKAP
BAGIAN
- 5
Orientasi
Kerajaan
Pajajaran atau Kerajaan Sunda merupakan Kerajaan Hindu yang terletak di
Parahyangan Sunda, Pakuan berasal dari kata Pakuwuan yang mengartikan sebuah
kota. Di masa-nya, para masyarakat Asia Tenggara terbiasa untuk menyebut sebuah
kerajaan dengan nama ibukota dan dari beberapa catatan yang ditemukan, Kerajaan
Pajajaran dibangun pada tahun 923 oleh Sri Jayabhupati seperti yang ada pada
sebuah prasasti Sanghyang Tapak [1030 M] berlokasi di Kampung Pangcalikan dan
juga Bantarmuncang, tepi Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Baca Juga Candi
Peninggalan Agama Hindu dan Sejarah Gunung Lawu.
Sejarah
Kerajaan Pajajaran
Dari
segi geografisnya, Kerajaan Pajajaran ada di Parahyangan Sunda dan Pakuan
menjadi ibukota Sunda sudah tercatat oleh Tom Peres tahun 1513 M dalam The Suma
Oriantal. Disini tertulis jika ibukota Kerajaan Sunda memiliki sebutan Dayo
atau Dayeuh yang membutuhkan waktu dua hari perjalanan dari Kalapa yang
sekarang menjadi Jakarta. Sebelum didirikannya Kerajaan Pajajaran, ada beberapa
kerajaan yang sudah terlebih dahulu didirikan yakni Kerajaan Tarumanegara,
Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan juga Kerajaan Kawali. Kerajaan Pajajaran ini
tidak bisa dilepaskan dari beberapa Kerajaan tersebut sebab Pajajaran merupakan
Kerajaan lanjutan dari beberapa Kerajaan tersebut.
Dalam
sejarah tertulis jika pada akhir tahun 1400-an, Majapahit kondisinya semakin
lemah dan pemberontakan serta perebutan kekuasaan diantara saudara terjadi
berulang kali. Saat jatuhnya Prabu Kertabumi [Brawijaya V], para pengungsi dari
kerabat Kerajaan Majapahit mengungsi menuju ibukota Kerajaan Galuh yang berada
di Kawali, Kuningan, Jawa Barat. Raden Baribin yang merupakan saudara dari
Prabu Kertabumi pun di terima dengan tangan terbuka oleh Raja Dewa Niskala
serta menikah dengan Ratna Ayu Kirana yang merupakan salah satu putri Raja Dewa
Niskala.
Raja
juga menikah dengan salah seorang dari keluarga pengungsi rombongan Raden
Barinbin tersebut. Raja Susuktunggal yang berasal dari Kerajaan Sunda marah
dengan pernikahan Dewa Niskala tersebut. Dewa Niskala dianggap sudah melanggar
aturan dan aturan tersebut sudah ada sejak Peristiwa Bubat yang berisi jika
orang Sunda-Galuh tidak boleh dan dilarang menikah dengan orang yang berasal
dari keturunan Majapahit. Peperangan hampir saja terjadi dari dua raja yang
merupakan besan tersebut.
Kedua
raja ini menjadi besan sebab Jayadewata yang adalah putra dari Raja Dewa
Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal. Peperangan tersebut tidak
terjadi lantaran dewan penasehat berhasil mendamaikan kedua raja tersebut
dengan keputusan akhir jika kedua Raja tersebut harus turun dari tahta mereka
dan mereka berdua menyerahkan tahta mereka pada putra mahkota yang sudah
dipilih. Dewa Niskala memilih Jayadewata, anaknya, untuk meneruskan kekuasaan,
sementara Prabu Susuktunggal juga memilih orang yang sama sehingga akhirnya
Jayadewata mempersatukan kedua kerajaan tersebut. Jayadewata lalu diberi gelar
Sri Baduga Maharaja dan mulai memerintah Kerajaan Pajajaran di tahun 1482. Baca
Artikel terkait lainnya seperti Sejarah Kerajaan Majapahit, Asal Usul
Nusantara, dan Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Lengkap.
Ø Kehidupan
Perekonomian Kerajaan Pajajaran
Masyarakat
di jaman Kerajaan Pajajaran hidup dengan bercocok tanam khususnya menggarap
ladang yang menghasilkan beras,
buah-buahan, sayuran serta lada dan juga mengembangkan di bidang pelayaran
serta perdagangan. Kerajaan Pajajaran juga mempunyai 6 pelabuhan penting yakni
Sunda Kelapa [Jakarta], Pontang, Tamgara, Pelabuhan Banten, Cigede dan juga
Cimanuk [Pamanukan].
Ø Kehidupan
Sosial Kerajaan Pajajaran
Kehidupan
sosial masyarakat di Kerajaan Pajajaran merupakan para seniman seperti penari,
pemain gamelan serta badut dan juga golongan petani serta perdagangan.
Sementara untuk golongan masyarakat yang tidak baik adalah tukang rampas,
copet, perampok dan maling.
Ø Kehidupan
Budaya Kerajaan Pajajaran
Yang
mempengaruhi kehidupan dari sektor budaya Kerajaan Pajajaran adalah agama Hindu
serta beberapa peninggalan seperti prasasti, jenis batik, Kitab Cerita
Parahyangan dan juga Kitab Sangyang Siskanda. Baca Artikel terkait lainnya
Candi Peninggalan Agama Hindu, Sejarah Situs Ratu Boko, Sejarah Kota Surabaya,
Pahlawan Nasional Wanita.
Raja
Raja Kerajaan Pajajaran
Ø Sri
Baduga Maharaja [1482-1521], bertahta di Pakuan
Ø Surawisesa
[1521-1535], bertahta di Pakuan
Ø Ratu
Dewata [1535-1543[, bertahta di Pakuan
Ø Ratu
Sakti [1543-1551], bertahta di Pakuan
Ø Ratu
Nilakendra [1551-1567], pergi dari Pakuan sebab serangan Maulana Hasanuddin
Ø Raga
Mula / Prabu Surya Kencana [1567-1579], bertahta di Pandegelang
Puncak
Kejayaan Kerajaan Pajajaran
Di
masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Pajajaran mencapai masa
kejayaannya dan ini menjadi alasan yang sering dikatakan masyarakat Jawa Barat
jika Sri Baduga atau Siliwangi merupakan seorang raja yang tidak pernah purna
dan selalu hidup abadi di hati serta pikiran para masyarakat Jawa Barat.
Maharaja
tersebut membangun sebuah karya besar yakni talaga dengan ukuran besar bernama
Maharena Wijaya serta membuat jalan untuk menuju ke Ibukota Pakuan serta
Wanagiri. Ia juga memperkuat pertahanan ibukota
serta memberikan Desa Perdikan untuk semua pendeta beserta pengikutnya
sehingga bisa menyemangati kegiatan beragama dan dijadikan penuntun kehidupan
para rakyat.
Sang
Maharaja juga kemudian membangun Kabinihajian atau kaputren, kesatriaan atau
asrama prajurit, menambah kekuatan angkatan perang, mengatur untuk pemungutan
upeti dari para raja dibawahnya dan juga menyusun undang-undang kerajaan.
Pembangunan juga bisa dilihat dalam prasasti Kabantenan dan juga Batutulis yang
mengisahkan Juru Pantun dan juga penulis Babad yang masih bisa dilihat hingga
sekarang, sementara sebagian lagi sudah hilang.
Kedua
prasasti dan juga Cerita Pantun serta kisah Babad tersebut diketahui jika Sri
Baduga sudah memberi pertintah untuk membuat wilayah perdikan, membuat Talaga
Maharena Wijaya, memperkuat ibukota, membuat pagelaran, membuat kabinihajian,
membuat kesatriaan, membuat pamington, memperkuat angkatan perang dan juga
mengatur upeti untuk para raja yang berada di bawahnya. Baca Artikel terkait
lainnya Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia, Sejarah Minangkabau, Sejarah Islam
di Indonesia, Sejarah Timor Timur.
Kehancuran
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan
Pajajaran akhirnya hancur di tahun 1579 karena serangan Kerajaan Sunda lain
yakni Kesultanan Banten. Kerajaan Pajajaran berakhir dengan dibawanya Palangka
Sriman Sriwacana dari Pakuan Pajajaran menuju Keraton Surosowan yang berada di
Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu sebesar 200 x 160 x 20 cm tersebut
dibawa menuju Banten sebab tradisi politik membuat Pakuan Pajajaran tidak bisa
menobatkan Raja yang baru dan menjadi pertanda jika Maulana Yusuf merupakan
penerus dari Kerajaan Sunda yang sah sebab buyut perempuannya adalah Putri Sri
Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana ini bisa dilihat di depan bekas
Keraton Surosowan di daerah Banten dan masyarakat Banten menyebutnya dengan
Watu Gilang yang berarti mengkilap dan memiliki arti yang sama dengan Sriman.
Sesudah
terjadi persekutuan dari Kesultanan Demak dan juga Cirebon, ajaran agama Islam
mulai memasuki Parahyangan dan menimbulkan keresahan untuk Jaya Dewata dan
kemudian ia membatasi pedagang muslim yang masuk di Pelabuhan kerajaan Sunda
supaya pengaruh Islam terhadap pribumi bisa diperkecil. Akan tetapi nyatanya
pengaruh agama Islam jauh lebih kuat dan Pajajaran akhirnya memutuskan untuk
berkoalisi dengan Portugis agar bisa mengimbangi Kesultanan Demak dan juga
Cirebon.
Pajajaran
lalu memberikan kesempatan untuk perdagangan bebas di pelabuhan Kerajaan
Pajajaran dengan imbalan berupa bantuan militer jika Kesultanan Demak dan
Cirebon menyerang Pajajaran. Kekuasaan dari Pajajaran akhirnya jatuh ke
Kesultanan Banten di tahun 1524 dan pasukan Demak yang bergabung dengan Cirebon
mendarat di Banten dan ajaran Islam yang dibawa para pendatang pun menarik
perhatian dari masyarakat sampai ke pedalaman Wahenten Girang.
Sunan
Gunung Jati memberikan petunjuk untuk anaknya yakni Maulana Hasanuddin agar
membangun sebuah pusat pemerintahan di daerah Wahanen Girang serta membangun
kota di pesisir sehingga akhirnya terbentuk Kerajaan Banten. Tahun 1570,
Maulana Yusuf naik tahta dan menjadi raja Banten menggantikan sang ayah yakni
Maulana Hasanuddin. Ia meneruskan ekspansi menuju pedalaman Sunda serta
akhirnya berhasil mengalahkan Pakuan Pajajaran. Tahun 1527, pelabuhan Sunda
Kelapa juga jatuh ke pasukan Islam yang membuat Pajajaran dan Portugis menjadi
terputus sehingga Kerajaan Pajajaran semakin melemah.
Sedangkan
Prabu Ratu Dewata yang memerintah dari tahun 1535 sampai dengan 1543 juga tidak
menjalankan pemerintahan dengan baik dan lebih mengutamakan menjadi pendeta
yang menyebabkan rakyat menjadi terabaikan. Sedangkan penerusnya yakni Ratu
Sakti sangat senang bermain wanita dan Raja Mulya sangat senang menghamburkan
harta sambil mabuk yang membuat Kerajaan Pajajaran tidak bisa dipertahankan
lagi.
Maulana
Yusuf menjadi penerus kekuasaan Sunda yang sah sebab diperkuat juga dengan
garis keturunan yang dimilikinya yakni cicit dari Sri Baduga Maharaja, Raja
pertama dari Kerajaan Pajajaran. Sesudah berhasil dikalahkan Banten, beberapa
punggawa istana pindah dan menetap di Lebak dan hidup di pedalaman sambil terus
memakai cara kehidupan mandala yang ketat dan kelompok masyarakat ini masih ada
sampai sekarang yang dikenal dengan Suku Baduy. Baca Artikel terkait lainnya
Sejarah Candi Kalasan, Sejarah Candi Cetho, Candi Peninggalan Budha, dan
Pertempuran Medan Area.
Peninggalan
Sejarah Kerajaan Pajajaran
Selain
Naskah Babad, Kerajaan Pajajaran juga memiliki beberapa peninggalan lain yang
masih bisa kita lihat hingga sekarang.
Prasasti
Cikapundung
Prasasti
Cikapundung ditemukan oleh warga di sekitar Sungai Cikapundung, Bandung pada
tanggal 8 Oktober 2010. Dalam Batu Prasasti ini memiliki tulisan Sunda kuno
yang menurut perkiraan berasal dari abad ke-14. Tidak hanya terdapat huruf
Sunda kuno, pada prasasti tersebut juga terdapat beberapa gambar seperti
telapak tangan, wajah, telapak kaki dan juga 2 baris huruf Sunda kuno dengan
tulisan ” unggal jagat jalmah hendap” dengan arti semua manusia di dunia ini
bisa mengalami sesuatu apapun. Seorang peneliti utama dari Balai Arkeologi
Bandung yakni Lufti Yondri berkata jika prasasti tersebut adalah Prasasti
Cikapundung.
Prasasti
Huludayeuh
Prasasti
Huludayeuh ini ada di bagian tengah sawah di Kampung Huludayeuh, Desa
Cikalahang, Kecamatan Sumber sesudah pemekaran Wilayang menjadi Kecamatan
Dukupuntang, Cirebon. Prasasti ini sudah sejak lama diketahui oleh masyarakat
sekitar akan tetapi untuk para arkeologi dan juga ahli sejarah baru mengetahui
keberadaan prasasti tersebut di bulan September 1991. Isi dari prasasti
tersebut terdiri dari sebelas baris tulisan beraksa serta bahasa Sunda kuno.
Akan
tetapi batu prasasti tersebut ditemukan dalam keadaan yang sudah tidak utuh dan
membuat beberapa aksara juga ikut hilang. Permukaan batu prasasti tersebut juga
sudah agak rusak dan beberapa tulisan sudah aus sehingga beberapa isi dari
prasasti tersebut tidak bisa terbaca. Secara garis besar, prasasti ini
menceritakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang
berhubungan dengan beberapa usaha untuk membuat makmur negerinya.
Prasasti
Pasir Datar
Prasasti
ini ditemukan pada sebuah perkebunan kopi yang terletak di Pasir Datar,
Cisande, Sukabumi di tahun 1872 dan sekarang sudah disimpan pada Museum
Nasional Jakarta. Prasasti ini terbuat dari material batu alah yang masih belum
ditranskripsikan hingga saat ini sebab isinya sendiri belum bisa diartikan.
Baca Artikel terkait lainnya Sejarah Candi Mendut, Sejarah Kota Semarang,
Sejarah Wali Songo, Sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara Lengkap.
Prasasti
Perjanjian Sunda Portugis
Sejarah
Kerajaan PajajaranPrasasti Perjanjian Sunda Portugis merupakan prasasti dengan
bentuk tugu batu yang berhasil ditemukan tahun 1918 di Jakarta. Prasasti ini
menjadi tanda dari perjanjian Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Portugis yang
dibuat oleh utusan dagang Kerajaan Portugis dari Malaka dan di pimpin Enrique
Leme yang membawa beberapa barang untuk diberikan pada Raja Samian [Sanghyang]
yakni Sang Hyang Surawisesa seorang pangeran yang menjadi pimpinan utusan Raja
Sunda.
Prasasti
ini dibangun diatas permukaan tanah yang juga ditunjuk sebagai tempat benteng
dan gudang orang Portugis. Prasasti ini ditemukan dengan cara melakukan
penggalian saat membangun sebuah gudang di bagian sudut Prinsenstraat yang
sekarang menjadi jalan cengkeh dan juga Groenestraat yang sekarang menjadi
jalan Kali Besar Timur I dan sudah termasuk ke dalam wilayah Jakarta Barat.
Sedangkan untuk replikanya sudah dipamerkan pada Museum Sejarah Jakarta.
Prasasti
Ulubelu
Sejarah
Kerajaan PajajaranPrasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Sunda atau
Pajajaran dari abad ke-15 M yang berhasil ditemukan di Ulubelu, Desa
Rebangpunggung, Kotaagung, Lampung tahun 1936. Walau ditemukan di Lampung,
Sumatera Selatan, akan tetapi para sejarawan menduga jika aksara yang dipergunakan
pada prasasti ini merupakan aksara Sunda kuno yang merupakan peninggalan dari
Kerajaan Pajajaran tersebut. Anggapan ini juga dipekruat dengan wilayah dari
Kerajaan Sunda yang juga meliputi wilayah Lampung.
Sesudah
kerajaan Pajajaran runtuh oleh Kesultanan Banten, kekuasaan Sumatera Selatan
tersebut dilanjutkan Kesultanan Banten. Isi dari prasasti ini adalah mantra
tentang permohonan pertolongan yang ditujukan pada para Dewa utama yakni Batara
Guru [Siwa], Wisnu dan juga Brahma serta Dewa penguasa tanah, air dan juga
pohon supaya keselamatan dari segala musuh bisa didapatkan.
Situs
Karangkamulyan
Sejarah
Kerajaan PajajaranSitus ini ada di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat yang
merupakan peninggalan dari Kerajaan Galuh Hindu Buddha. Situs Karangkamulyan
ini menceritakan tentang Ciung Wanara berkaitan dengan Kerajaan Galuh. Cerita
ini kental dengan kisah pahlawan hebat yang mempunyai kesaktian serta
keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa dan hanya dimiliki oleh Ciung
Wanara. Dalam area sekitar 25 Ha tersebut tersimpan berbagai benda mengandung
sejarah mengenai Kerajaan Galuh yang kebanyakan berupa batu.
Batu-batu
tersebut tersebar dengan berbagai bentuk dan beberapa batu yang ada di dalam
bangunan strukturnya terbuat dari tumpukan batu dengan bentuk yang hampir
serupa dan bangunan mempunyai sebuah pintu yang membuatnya tampak seperti
sebuah kamar. Batu-batu tersebut mempunyai nama dan kisah yang berbeda-beda.
Nama-nama tersebut diberikan oleh masyarakat sekitar yang diperoleh dengan cara
menghubungkan kisah Kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk,
tempat melahirkan, lambang peribadatan, cikahuripan dan juga tempat sabung.
Prasasti
Kebon Kopi II
Prasasti
yang memiliki nama lain Prasasti Pasir Muara merupakan peninggalan dari
Kerajaan Sunda Galuh yang ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebon Kopi I yang
adalah peninggalan dari Kerajaan Tarumanegara. Namun prasasti ini hilang karena
dicuri pada sekitar tahun 1940-an. Seorang pakar bernama F.D.K Bosch pernah
mempelajari prasasti tersebut dan menuliskan jika dalam prasasti terdapat
tulisan bahasa Melayu kuno yang menceritakan tentang seorang Raja Sunda
menduduki tahtanya kembali dan menafsirkan angka tahun kejadian bertarikh 932
Masehi.
Prasasti
ini ditemukan di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat abad ke-19 saat tengah dilaksanakan penebangan
hutan untuk dibuat lahan kebun kopi dan prasasti ini ada di sekitar 1 km dari
batu prasasti Kebonkopi I yakni Prasasti Tapak Gajah. Baca Artikel terkait
lainnya Masa Penjajahan Belanda di Indonesia, Sejarah Runtuhnya Bani Ummayah,
Sejarah Candi Gedong Songo, Sejarah Kerajaan Majapahit.
Prasasti
Batutulis
Prasasti
Batutulis diteliti tahun 1806 yakni dengan pembuatan cetakan tangan Universitas
Leiden di Belanda. Pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich pada tahun 1853
dan hingga tahun 1921 sudah terhitung 4 orang ahli yang juga meneliti isi dari
Prasasti Batutulis tersebut, akan tetapi Cornelis Marinus Pleyte menjadi
satu-satunya orang yang lebih mengulas tentang lokasi dari Pakuan, sedangkan
peneliti lain lebih fokus dalam megnartikan isi dari Prasasti. Penelitian dari Pleyte itu dipublikasikan
pada tahun 1911 dan di dalam tulisannya yakni Het Jaartal op en Batoe-Toelis
nabij Buitenzorg dan jika diartikan menjadi angkat tahun pada Batutulis dekat
Bogor.
Pleyte
memberi penjelasan [Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige
historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal
Padjadjaran’s koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan.
Naar eenige preciseering in deze te trachten”] yang berarti Dalam legenda dan
juga berita sejarah yang lebih dipercaya, Kampung Batutulis menjadi tempat Puri
Kerajaan Pajajaran dan masalah yang ditimbulkan hanya dengan menelusuri letak
yang benar. Pleyte mengatakan puri indentik dengan kota Kerajaan dan kadatuan
Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan adalah kota. Babad Pajajaran
menggambarkan jika Pakuan dibagi menjadi Dalem Kitha [Jero Kuta] dan juga Jawi
Kitha [Luar Kuta] yang berarti kota dalam dan kota luar.
Pleyte
juga menemukan benteng tanah di Jero Kuta yang sekarang berada doarah Sukasari
pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis dan letak Keraton diduga
berada di sekitar Batutulis. Laporan yang diberikan oleh Adolf Winkler tahun
1690 disebutkan jika di Batutulis, ia menemukan lantai berbatu yang tersusun
sangat rapi dan dengan penjelasan orang yang mengantarnya, itulah letak dari
Istana Kerajaan yang diukur dari lantai sampai kearah paseban tua ditemukan 7
pohon beringin, akan tetapi lokasi pastinya masih menjadi sebuah misteri hingga
sekarang.
Sesudah
Raja Pajajaran pindah menuju Pakuan, pemerintahan di Galuh Kawali dipimpin
Prabu Ningratwangi dengan masa pemerintahan dari tahun 1428 sampai 1501
mewakili sang kakak Sri Baduga Maharaja. Sesudah itu pemerintahan Galuh
dipimpin Prabu Jayaningrat periode 1501 sampai dengan 1528 dan ia merupakan
Ratu Galuh terakhir sebelum Kerajaan runtuh dan ditaklukan oleh Kesultanan
Cirebon. Demikian ulasan lengkap tentang Sejarah Kerajaan Pajajaran lengkap
yang bisa kami berikan, semoga bisa menambah informasi seputar sejarah
khususnya kerajaan di tanah air.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar