Senin, 04 Mei 2020

KISAH PRABU SILIWANGI

KISAH PRABU SILIWANGI

PRABU SILIWANGI, RAJA SUNDA TERNAMA
BAGIAN-I

Orientasi
Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja merupakan Raja Kerajaan Sunda ternama, kepopuleran Prabu Siliwangi dikarenakan hampir para pembesar atau pendiri kerjaan-kerajaan di Pasundan mempunyai pertalian darah dengan Prabu Siliwangi, seperti Cirebon pendirinya merupakan anak keturnan Prabu Siliwangi, bahkan mengaku juga sebagai penerus kerajaan Sunda.

Menurut Sutaarga (1984:26) sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul “Prabu Siliwangi” dinyatakan bahwa Prabu Siliwangi selama hidupnya memiliki 151 istri, dari istri keduanya yaitu Subang Larang/Subang Karancang, keturunannya kelak mendirikan kerajaan Cirebon.

Selain dari istri kesebelasnya, rupanya istri-istri yang lain dari Parabu Siliwangipun dikisahkan mempunyai anak-anak yang kelak menjadi raja daerah diseluruh tanah Sunda, diantaranya Permadi Puti ayah dari Nyimas Kawunganten dikatakan sebagai Putra Prabu Siliwangi yang memerintah di Cangkuang.

Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja merupakan Raja Kerajaan Sunda ternama, kepopuleran Prabu Siliwangi dikarenakan hampir para pembesar atau pendiri kerjaan-kerajaan di Pasundan mempunyai pertalian darah dengan Prabu Siliwangi, seperti Cirebon pendirinya merupakan anak keturnan Prabu Siliwangi, bahkan mengaku juga sebagai penerus kerajaan Sunda.

Menurut Sutaarga (1984:26) sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul “Prabu Siliwangi” dinyatakan bahwa Prabu Siliwangi selama hidupnya memiliki 151 istri, dari istri keduanya yaitu Subang Larang/Subang Karancang, keturunannya kelak mendirikan kerajaan Cirebon.

Selain dari istri kesebelasnya, rupanya istri-istri yang lain dari Parabu Siliwangipun dikisahkan mempunyai anak-anak yang kelak menjadi raja daerah diseluruh tanah Sunda, diantaranya Permadi Puti ayah dari Nyimas Kawunganten dikatakan sebagai Putra Prabu Siliwangi yang memerintah di Cangkuang.

Memahami kondisi semacam itu, sepertinya Prabu Siliwangi membangun kerajaanya dengan teknik kekeluargaan, mengingat kerajaan-kerajaan bawahan di wilayah Kerajaannya pada umumnya anak keturunannya dari istri-istrinya yang banyaknya 151.

Selain terkenal karena hampir seluruh raja-raja di tanah Sunda memiliki pertalian darah dengan Prabu Siliwangi, Raja ini juga terkenal karena kebijaksanaan dan keberhasilannya dalam memerintah. Prabu Siliwangi dikisahakan dapat menyatukan dua kerajaan besar di Jawa barat yaitu kerjaan Galuh dan kerajaan Sunda.

Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja merupakan Raja Kerajaan Sunda ternama, kepopuleran Prabu Siliwangi dikarenakan hampir para pembesar atau pendiri kerjaan-kerajaan di Pasundan mempunyai pertalian darah dengan Prabu Siliwangi, seperti Cirebon pendirinya merupakan anak keturnan Prabu Siliwangi, bahkan mengaku juga sebagai penerus kerajaan Sunda.

Menurut Sutaarga (1984:26) sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul “Prabu Siliwangi” dinyatakan bahwa Prabu Siliwangi selama hidupnya memiliki 151 istri, dari istri keduanya yaitu Subang Larang/Subang Karancang, keturunannya kelak mendirikan kerajaan Cirebon.

Selain dari istri kesebelasnya, rupanya istri-istri yang lain dari Parabu Siliwangipun dikisahkan mempunyai anak-anak yang kelak menjadi raja daerah diseluruh tanah Sunda, diantaranya Permadi Puti ayah dari Nyimas Kawunganten dikatakan sebagai Putra Prabu Siliwangi yang memerintah di Cangkuang.

Memahami kondisi semacam itu, sepertinya Prabu Siliwangi membangun kerajaanya dengan teknik kekeluargaan, mengingat kerajaan-kerajaan bawahan di wilayah Kerajaannya pada umumnya anak keturunannya dari istri-istrinya yang banyaknya 151.

Selain terkenal karena hampir seluruh raja-raja di tanah Sunda memiliki pertalian darah dengan Prabu Siliwangi, Raja ini juga terkenal karena kebijaksanaan dan keberhasilannya dalam memerintah. Prabu Siliwangi dikisahakan dapat menyatukan dua kerajaan besar di Jawa barat yaitu kerjaan Galuh dan kerajaan Sunda.

 Dalam sejarah Jawa barat dijelaskan bahwa pada abad 13-15 di Jawa Barat telah berdiri kerajaan Galuh dan Sunda yang memang memiliki Rajanya masing-masing. Prabu Siliwangi lah yang kemudian menyatukan keduanya menjadi satu kerajaan pada abad ke 15. Secara tradisional Prabu Siliwangi juga disebut sebagai raja yang memiliki berbagai macam kesaktian, dari itulah kepopuleran Prabu Siliwangi dalam pandangan masyarakat Sunda tiada duanya.
Berbicara mengenai Prabu Siliwangi tentu seperti tidak ada habis-habisnya, karena selain sumber tulis yang banyak menceritakan sosok Prabu Siliwangi, sumber dongengan rakyat sunda pun tidak kalah banyaknya, oleh karena itu dalam artikel ini akan dipaparkan mengenai kisah Prabu Siliwangi dari mulai lahir hingga kewafatannya berdasarkan data yang penulis peroleh dari sumber-sumber tersebut.

Kelahiran Dan Kisah Prabu Siliwangi Muda
Prabu Siliwangi dilahirkan pada tahun 1401 M di Galuh, ayahnya merupakan Raja dari Kerjaan Galuh yang bernama Prabu Dewa Niskala bin Mahaprabu Niskala Westu Kencana, kakek beliau ini dikenal dalam sejarah sebagai raja yang dijuluki Prabu Wangi, karena beliau berhasil mengharumkan martabat orang Sunda, beliau memilih mati dimedan perang daripada tunduk dibawah Majapahit. Beliau meninggal dalam tragedi pembantaian di Bubat.
Karena terlahir sebagai anak seorang Raja maka sudah tentu Prabu Siliwangi yang mempunyai nama asli Jaya Dewata itu hidup dengan bergelimang harta, dan serba kecukupan, beliau dididik sebagaimana layaknya sang pangeran. Diajarkan ilmu-ilmu ketata negaraan dan kedigjayaan didalam lingkungan istana.

Menurut dongengan rakyat, Prabu Siliwangi dalam masa mudanya dihabiskan untuk mengembara, ia mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan beberapa nama samaran, diantara nama samarannya yang terekenal adalah Keukeumbingan Rajasunu.

Sumber : Google Wikipedia

SALINAN GAMBAR PRASASTI BATU TULIS
DARI BUKU THE SUNDA KINGDOM OF WEST JAVA
FROM TARUMANAGARA TO PAKUAN PAJAJARAN
WITH THE ROYAL CENTER OF BOGOR
BAGIAN - II

Orientasi
Prasasti Batutulis terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran dan masih in situ, yakni masih terletak di lokasi aslinya dan menjadi nama desa lokasi situs ini.[1] Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Sunda terdapat dalam komplek ini. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno.

Isi Prasasti
Ø  Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
Ø  diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
Ø  di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
Ø  pun ya nu nyusuk na pakwan
Ø  diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
Ø  ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi

Terjemahan
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.
Ø  Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
Ø  Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
Ø  dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Ø  Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Ø  Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Ø  Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida[2], membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi"[3].

Catatan kaki
Ø  Indonesian palaeography: a history of writing in, Volume 4, Issue 1 By J. G. de Casparis
Ø  Lokasi hutan samida ini konon yang sekarang dipakai sebagai Kebun Raya Bogor.
Ø  Ini adalah sangkala yang artinya adalah 5 5 4 1 atau kalau dibalik adalah 1455 Saka (1533 Masehi)---

Referensi
Ø  Saléh Danasasmita. 2003. Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Ø  Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Batutulis"
Ø  Kategori: Prasasti di Indonesia | Kota Bogor

Sumber : Google Wikipedia

PRABU SILIWANGI DIBUNUH KIAN SANTANG ?
BAGIAN-III

Orientasi
Bagi masyarakat Sunda, nama Siliwangi memiliki arti tersendiri. Namanya melekat kuat dalam ingatan masyarakat Sunda, menjadikannya ikon dan sosok paling membanggakan. Dia adalah Raja Pajajaran yang paling tersohor, gelar yang disandangnya adalah Sri Baduga Maharaja. Konon, pada masanya, ia adalah raja paling bijaksana, adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya.

Ada banyak tuturan lisan (verteller) tentang Prabu Siliwangi. Terkadang, satu versi dengan versi lainnya saling berbeda. Satu hal paling banyak dituturkan tentang Prabu Siliwangi adalah masa-masa pada saat-saat akhir hidupnya, yaitu saat bagaimana ia masuk dan keluar hutan untuk melarikan diri menghindari anaknya yang mengajaknya masuk Islam.

Anaknya itu adalah Kian (Rakeyan) Santang. Dia adalah anak bungsu dari Nyi Subang Larang, istri kedua Prabu Siliwangi. Nyai Subang Larang sendiri berasal dari keluarga Muslim. Ayahnya seorang syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa. Sejak kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren Quro milik Syeh Hasanuddin. Anak-anaknya menjadi muslim yang taat, termasuk Kian Santang.

Konon dalam proses pengejaran itu masing-masing—Prabu Siliwangi dan Kian Santang--menggunakan ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari dibawah tanah (?). Sampai di sebuah hutan di daerah Garut yang bernama hutan Sancang mereka bertemu dan bertarung mengadu kesaktian. Ayah dan anak beradu kuat saling mengalahkan, berdiri di atas keyakinannya masing-masing.

Walau agak diragukan, di kisah lain bahkan sampai disebutkan bahwa--"beungeut Rakeyan Santang diciduhan ku Ramana" (muka Rakeyan Santang diludahin sama ayahnya).

Prabu Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut, tapi tidak lantas membuatnya jadi Islam (yang artinya tunduk/menyerah). Dia pun berkata pada Kian Santang, "Coba kau pegang ujung kayu kaboa di sebelahmu anakku, dan aku akan pegang ujung yang satunya," Maknanya, saling memegang ujung ranting kayu kaboa sudah merupakan simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu.

"Aku memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih agama. Yang aku cemaskan adalah keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah kehormatan dan tak bisa sesepele itu digonta-ganti seperti orang membalikkan telapak tangan," demikian jawaban Prabu Siliwangi sebagai penolakan akan ajakan putranya untuk berganti agama.

Dalam Uga Wangsit Siliwangi tertulis :
Bagi masyarakat Sunda, nama Siliwangi memiliki arti tersendiri. Namanya melekat kuat dalam ingatan masyarakat Sunda, menjadikannya ikon dan sosok paling membanggakan. Dia adalah Raja Pajajaran yang paling tersohor, gelar yang disandangnya adalah Sri Baduga Maharaja. Konon, pada masanya, ia adalah raja paling bijaksana, adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya.

Ada banyak tuturan lisan (verteller) tentang Prabu Siliwangi. Terkadang, satu versi dengan versi lainnya saling berbeda. Satu hal paling banyak dituturkan tentang Prabu Siliwangi adalah masa-masa pada saat-saat akhir hidupnya, yaitu saat bagaimana ia masuk dan keluar hutan untuk melarikan diri menghindari anaknya yang mengajaknya masuk Islam.

Anaknya itu adalah Kian (Rakeyan) Santang. Dia adalah anak bungsu dari Nyi Subang Larang, istri kedua Prabu Siliwangi. Nyai Subang Larang sendiri berasal dari keluarga Muslim. Ayahnya seorang syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa. Sejak kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren Quro milik Syeh Hasanuddin. Anak-anaknya menjadi muslim yang taat, termasuk Kian Santang.

Konon dalam proses pengejaran itu masing-masing—Prabu Siliwangi dan Kian Santang--menggunakan ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari dibawah tanah (?). Sampai di sebuah hutan di daerah Garut yang bernama hutan Sancang mereka bertemu dan bertarung mengadu kesaktian. Ayah dan anak beradu kuat saling mengalahkan, berdiri di atas keyakinannya masing-masing.

Walau agak diragukan, di kisah lain bahkan sampai disebutkan bahwa--"beungeut Rakeyan Santang diciduhan ku Ramana" (muka Rakeyan Santang diludahin sama ayahnya). Prabu Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut, tapi tidak lantas membuatnya jadi Islam (yang artinya tunduk/menyerah). Dia pun berkata pada Kian Santang, "COBA kau pegang ujung kayu kaboa di sebelahmu anakku, dan aku akan pegang ujung yang satunya," Maknanya, saling memegang ujung ranting kayu kaboa sudah merupakan simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu.

"Aku memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih agama. Yang aku cemaskan adalah keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah kehormatan dan tak bisa sesepele itu digonta-ganti seperti orang membalikkan telapak tangan," demikian jawaban Prabu Siliwangi sebagai penolakan akan ajakan putranya untuk berganti agama.

Dalam Uga Wangsit Siliwangi tertulis:
“Kalian harus memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdirinya mengikuti perubahan zaman!
Pilih : aku tidak akan melarang. Sebab untukku, tidak pantas jadi raja kalau rakyatnya lapar dan sengsara.

Dengarkan!
Ø  Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan!
Ø  Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara!
Ø  Yang ingin berbakti kepada yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur!
Ø  Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!”
Ø  Sesudah Sang Prabu selesai berbicara, wujudnya menghilang seketika dan orang Sunda mengatakannya sebagai ngahiang.

Tapi, ini hanya sebuah siloka/seloka. Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang menjunjung tinggi adab dan sopan santun, termasuk sopan santun terhadap orang tua. Dalam kasus ini, kata ‘ngahiang’ adalah bahasa sopan untuk kata ‘dibunuh’. Ya, Prabu Siliwangi dibunuh oleh anaknya sendiri, Kian Santang. Karena alasan remeh-temeh urusan agama.

Sumber : Google Wikipedia

PRABU SILIWANGI ADA DELAPAN BUKAN SATU
BAGIAN - 4

Orientasi
Prabu Siliwangi adalah gelar untuk raja-raja Sunda. Ada delapan raja Sunda yang menyandang gelar itu.
Oleh: Hendri F. Isnaeni

Prabu Siliwangi telah menjadi identitas orang Sunda. Mereka meyakini bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Pajajaran. Namun, Prof. Dr. Ayatrohaedi, arkeolog, ahli bahasa, peneliti sejarah Sunda, dan guru besar arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, punya pendapat berbeda mengenai jati diri Prabu Siliwangi. Dia juga meluruskan bahwa nama kerajaan yang benar adalah Sunda sedangkan Pajajaran, lengkapnya Pakwan Pajajaran, adalah ibukotanya.

Ayat memiliki pendapat bertentangan setelah meneliti Naskah Wangsakerta dari Cirebon sejak akhir tahun 1970-an. Naskah berbahasa Cirebon ini ditulis selama 21 tahun (1677-1698) dengan aksara Jawa dan tebal tiap buku atau jilid sekitar 200 halaman. Para penyusunnya mengatakan bahwa Naskah Wangsakerta adalah “buku induk” riwayat Nusantara untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat dan kisah tanah kelahiran dan para leluhur mereka.

“Dalam kaitannya dengan tokoh Prabu Siliwangi, naskah itu bagiku merupakan pembuka jalan untuk memasuki kegelapan mengenai tokoh itu,” kata Ayat dalam memoarnya, 65=67: Catatan Acak-acakan dan Cacatan Apa Adanya.

Menurut naskah itu, kata Ayat, sebenarnya tidak ada raja Sunda bernama Prabu Siliwangi. Nama itu hanyalah julukan bagi raja-raja Sunda yang menggantian Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Prabu Wangi sendiri nama sebenarnya adalah Prabu Linggabhuwana atau dalam Carita Parahiyangan disebut Prabu Maharaja.

Julukan Prabu Wangi diberikan kepadanya oleh rakyatnya karena ketegarannya mempertahankan martabat Sunda ketika, akibat kelicikan Mahapatih Gajah Mada, bersama semua pengiring, pengawal, dan putrinya yang cantik jelita, Dyah Pitaloka, gugur dalam pertempuran melawan Majapahit pada 1357. Julukan itu sebagai penghormatan terhadap semua jasa dan pengabdian sang raja sehingga namanya menjadi wangi atau harum.

“Lalu, raja-raja sesudahnya dikenal sebagai Prabu Siliwangi yang maksudnya asilih prabu wangi atau ‘menggantikan Prabu Wangi’,” kata Ayat.

Ada berapa raja Sunda yang menggantikan Prabu Wangi? Menurut Ayat, Naskah Wangsakerta dan Carita Parahiyangan mencatat jumlah yang sama, yaitu delapan raja. “Di sinilah aku berbeda paham dengan sejawat peneliti sejarah Sunda. Mereka hanya mengakui Sri Baduga Maharaja (1482-1521) sebagai Prabu Siliwangi, sementara aku mengakui ada delapan orang raja berjuluk Prabu Siliwangi. Sama dengan kepercayaan orang Jawa yang menganggap bahwa ada lima raja bernama Prabu Brawijaya,” kata Ayat.

Gelar Prabu Siliwangi tidak disematkan pertama kepada Mangkubumi Bunisora yang memegang tampuk pemerintahan ketika kakaknya, Prabu Linggabhuwana berada dan gugur di Bubat. Sebagai adik yang menjabat mangkubumi atau perdana menteri, Bunisora tidak dianggap sebagai pengganti Linggabhuwana karena Naskah Wangsakerta selalu menyatakan dia sebagai “raja penyelang.” Dia memegang pemerintahan karena rajanya bepergian.

Para peneliti Sunda menganggap Sri Baduga Maharaja sebagai raja Sunda terbesar. Namun, Ayat mempertanyakan: mungkinkah Sri Baduga Maharaja dapat disebut sebagai raja terbesar dan masih sempat meluaskan wilayahnya, sementara itu dia harus menghadapi pasukan Islam dari Demak dan Cirebon? Bukankah untuk mempertahankan dirinya saja, dia harus mencari bantuan kepada Portugis yang menduduki Malaka sejak tahun 1511. Dari semua pengganti Prabu Wangi, dia yang kedua lamanya dalam memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Namun, tidak mengalahkan Niskala Wastukancana yang berkuasa selama 104 tahun (1371-1475).

Selain sebagai raja terbesar, para peneliti sejarah Sunda juga menyebut Sri Baduga Maharaja sebagai raja terakhir. Ayat kembali mempertanyakan: bukankah Kerajaan Sunda baru runtag (runtuh) tahun 1579, 58 tahun setelah Sri Baduga Maharaja meninggal? Sedangkan Naskah Wangsakerta menyebut bahwa raja Sunda terakhir adalah Suryakancana atau dalam Carita Parahayiangan bernama Nu Siya Mulya yang memerintah selama 12 tahun (1567-1579).

“Dengan mengikuti Naskah Wangsakerta berarti raja terbesar adalah Niskala Wastukancana sebagai Prabu Siliwangi I sedangkan raja terakhir adalah Suryakancana yang berjuluk Prabu Siliwangi VIII,” kata Ayat.

Ayat menyadari tidak mudah mengubah pendapat orang. Hingga sekarang pun barangkali masih banyak yang mengamini pendapat bahwa Prabu Siliwangi hanya seorang raja yaitu Sri Baduga Maharaja. “Baru mereka yang mendalami sumber sejarah secara lebih daria (sungguh-sungguh) yang mulai menerima pendapatku. Tidak apa,” kata Ayat.

Sumber : Google Wikipedia

KISAH PENGKHIANATAN DI ZAMAN KERAJAAN PAJAJARAN
(NASKAH PENTAS DRAMA)

Orientasi
Bandung, bandungkiwari - Mahasiswa dari Departemen Pendidikan Tari 2016, Fakultas Pendidikan Seni dan Desain Universitas Pendidikan Indonesia menggelar acara drama tari yang bertajuk "Purnamasari Silalatu Pajajaran", Senin (17/6). Pergelaran dramatari 'Purnamasari Silalatu Pajajaran' merupakan kisah kepahlawanan putri Purnamasari yang berani membela kerajaan.

Dalam acara yang digelar di Teater Tertutup Taman Budaya Jabar, Bandung, tersebut bercerita mengenai pengkhianatan yang dilakukan Jaya Antea. Diceritakan Jaya Antea melakukan pengkhianatan untuk menghancurkan kerajaan Pajajaran.

Keinginannya untuk menguasai kerajaan yang dipimpin Prabu Siliwangi itu membuat Jaya Antea lupa akan kewajibannya sebagai Patih yang harus menjaga kerajaan. Dibantu kerajaan Demak, Cirebon dan Banten, Jaya Antea bersekutu untuk menghancurkan Pajajaran.

Seluruh rakyat dan pasukan Pajajaran bertempur melawan serangan yang luar biasa. Tidak terkecuali Purnamasari, putri Prabu Siliwangi yang ikut bertempur menghunus kujangnya (senjata khas Sunda).

Jaya Antea bukan hanya ingin menghancurkan Pajajaran. Pada sisi lain dirinya mencintai Purnamasari yang telah menikah. Pajajaran saat itu terkenal karena kekuatannya. Berkali-kali diserang kerajaan lain dalam kurun waktu yang berbeda, ia tidak pernah goyah.

Namun sebagai orang dalam Pajajaran, Jaya Antea yang mengetahui celah untuk menghancurkan Benteng Pajajaran (Lawang Gintung), yaitu benteng alami kokoh yang dibangun Sri Baduga Maharaja.

Peperangan mengakibatkan Pajajaran hancur. Purnamasari pun semakin sedih karena suaminya meninggal akibat pengkhianatan Jaya Antea. Dalam keadaan hamil, bersama sisa pasukan Pajajaran Purnamasari tiba di Pelabuhan Ratu yang menjadi singgasana terakhirnya.

Sisi lain pementasan tersebut menampilkan sosok perempuan Sunda yang tidak hanya cantik dan gemulai. Namun, ia juga memiliki kemauan yang disertai kemampuan beladiri untuk mempertahankan harga diri. Selain sebagai penerapan kuliah dan sarana pelestarian khasanah budaya Sunda, pementasan ini diharapkan mengenalkan mahasiswa mengenal sejarah lokal. (Agus Bebeng).

Sumber : Google Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...