KISAH PRABU SILIWANGI
PRABU
SILIWANGI, RAJA SUNDA TERNAMA
BAGIAN-I
Orientasi
Prabu
Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja merupakan Raja Kerajaan Sunda ternama,
kepopuleran Prabu Siliwangi dikarenakan hampir para pembesar atau pendiri
kerjaan-kerajaan di Pasundan mempunyai pertalian darah dengan Prabu Siliwangi,
seperti Cirebon pendirinya merupakan anak keturnan Prabu Siliwangi, bahkan
mengaku juga sebagai penerus kerajaan Sunda.
Menurut
Sutaarga (1984:26) sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul
“Prabu Siliwangi” dinyatakan bahwa Prabu Siliwangi selama hidupnya memiliki 151
istri, dari istri keduanya yaitu Subang Larang/Subang Karancang, keturunannya
kelak mendirikan kerajaan Cirebon.
Selain
dari istri kesebelasnya, rupanya istri-istri yang lain dari Parabu Siliwangipun
dikisahkan mempunyai anak-anak yang kelak menjadi raja daerah diseluruh tanah
Sunda, diantaranya Permadi Puti ayah dari Nyimas Kawunganten dikatakan sebagai
Putra Prabu Siliwangi yang memerintah di Cangkuang.
Prabu
Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja merupakan Raja Kerajaan Sunda ternama,
kepopuleran Prabu Siliwangi dikarenakan hampir para pembesar atau pendiri
kerjaan-kerajaan di Pasundan mempunyai pertalian darah dengan Prabu Siliwangi,
seperti Cirebon pendirinya merupakan anak keturnan Prabu Siliwangi, bahkan
mengaku juga sebagai penerus kerajaan Sunda.
Menurut
Sutaarga (1984:26) sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul
“Prabu Siliwangi” dinyatakan bahwa Prabu Siliwangi selama hidupnya memiliki 151
istri, dari istri keduanya yaitu Subang Larang/Subang Karancang, keturunannya
kelak mendirikan kerajaan Cirebon.
Selain
dari istri kesebelasnya, rupanya istri-istri yang lain dari Parabu Siliwangipun
dikisahkan mempunyai anak-anak yang kelak menjadi raja daerah diseluruh tanah
Sunda, diantaranya Permadi Puti ayah dari Nyimas Kawunganten dikatakan sebagai
Putra Prabu Siliwangi yang memerintah di Cangkuang.
Memahami
kondisi semacam itu, sepertinya Prabu Siliwangi membangun kerajaanya dengan
teknik kekeluargaan, mengingat kerajaan-kerajaan bawahan di wilayah Kerajaannya
pada umumnya anak keturunannya dari istri-istrinya yang banyaknya 151.
Selain
terkenal karena hampir seluruh raja-raja di tanah Sunda memiliki pertalian
darah dengan Prabu Siliwangi, Raja ini juga terkenal karena kebijaksanaan dan
keberhasilannya dalam memerintah. Prabu Siliwangi dikisahakan dapat menyatukan
dua kerajaan besar di Jawa barat yaitu kerjaan Galuh dan kerajaan Sunda.
Prabu
Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja merupakan Raja Kerajaan Sunda ternama,
kepopuleran Prabu Siliwangi dikarenakan hampir para pembesar atau pendiri
kerjaan-kerajaan di Pasundan mempunyai pertalian darah dengan Prabu Siliwangi,
seperti Cirebon pendirinya merupakan anak keturnan Prabu Siliwangi, bahkan
mengaku juga sebagai penerus kerajaan Sunda.
Menurut
Sutaarga (1984:26) sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya yang berjudul
“Prabu Siliwangi” dinyatakan bahwa Prabu Siliwangi selama hidupnya memiliki 151
istri, dari istri keduanya yaitu Subang Larang/Subang Karancang, keturunannya
kelak mendirikan kerajaan Cirebon.
Selain
dari istri kesebelasnya, rupanya istri-istri yang lain dari Parabu Siliwangipun
dikisahkan mempunyai anak-anak yang kelak menjadi raja daerah diseluruh tanah
Sunda, diantaranya Permadi Puti ayah dari Nyimas Kawunganten dikatakan sebagai
Putra Prabu Siliwangi yang memerintah di Cangkuang.
Memahami
kondisi semacam itu, sepertinya Prabu Siliwangi membangun kerajaanya dengan
teknik kekeluargaan, mengingat kerajaan-kerajaan bawahan di wilayah Kerajaannya
pada umumnya anak keturunannya dari istri-istrinya yang banyaknya 151.
Selain
terkenal karena hampir seluruh raja-raja di tanah Sunda memiliki pertalian
darah dengan Prabu Siliwangi, Raja ini juga terkenal karena kebijaksanaan dan
keberhasilannya dalam memerintah. Prabu Siliwangi dikisahakan dapat menyatukan
dua kerajaan besar di Jawa barat yaitu kerjaan Galuh dan kerajaan Sunda.
Dalam sejarah Jawa barat dijelaskan bahwa pada
abad 13-15 di Jawa Barat telah berdiri kerajaan Galuh dan Sunda yang memang
memiliki Rajanya masing-masing. Prabu Siliwangi lah yang kemudian menyatukan
keduanya menjadi satu kerajaan pada abad ke 15. Secara tradisional Prabu
Siliwangi juga disebut sebagai raja yang memiliki berbagai macam kesaktian,
dari itulah kepopuleran Prabu Siliwangi dalam pandangan masyarakat Sunda tiada
duanya.
Berbicara
mengenai Prabu Siliwangi tentu seperti tidak ada habis-habisnya, karena selain
sumber tulis yang banyak menceritakan sosok Prabu Siliwangi, sumber dongengan
rakyat sunda pun tidak kalah banyaknya, oleh karena itu dalam artikel ini akan
dipaparkan mengenai kisah Prabu Siliwangi dari mulai lahir hingga kewafatannya
berdasarkan data yang penulis peroleh dari sumber-sumber tersebut.
Kelahiran
Dan Kisah Prabu Siliwangi Muda
Prabu
Siliwangi dilahirkan pada tahun 1401 M di Galuh, ayahnya merupakan Raja dari
Kerjaan Galuh yang bernama Prabu Dewa Niskala bin Mahaprabu Niskala Westu
Kencana, kakek beliau ini dikenal dalam sejarah sebagai raja yang dijuluki
Prabu Wangi, karena beliau berhasil mengharumkan martabat orang Sunda, beliau
memilih mati dimedan perang daripada tunduk dibawah Majapahit. Beliau meninggal
dalam tragedi pembantaian di Bubat.
Karena
terlahir sebagai anak seorang Raja maka sudah tentu Prabu Siliwangi yang
mempunyai nama asli Jaya Dewata itu hidup dengan bergelimang harta, dan serba
kecukupan, beliau dididik sebagaimana layaknya sang pangeran. Diajarkan
ilmu-ilmu ketata negaraan dan kedigjayaan didalam lingkungan istana.
Menurut
dongengan rakyat, Prabu Siliwangi dalam masa mudanya dihabiskan untuk mengembara,
ia mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan beberapa
nama samaran, diantara nama samarannya yang terekenal adalah Keukeumbingan
Rajasunu.
Sumber
: Google Wikipedia
SALINAN
GAMBAR PRASASTI BATU TULIS
DARI
BUKU THE SUNDA KINGDOM OF WEST JAVA
FROM
TARUMANAGARA TO PAKUAN PAJAJARAN
WITH
THE ROYAL CENTER OF BOGOR
BAGIAN
- II
Orientasi
Prasasti
Batutulis terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter.
Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran dan masih in
situ, yakni masih terletak di lokasi aslinya dan menjadi nama desa lokasi situs
ini.[1] Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Sunda terdapat
dalam komplek ini. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan
aksara Sunda Kuno.
Isi
Prasasti
Ø Wangna
pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
Ø diwastu
diya wingaran prebu guru dewataprana
Ø di
wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang
ratu dewata
Ø pun
ya nu nyusuk na pakwan
Ø diva
anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang
niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
Ø ya
siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang
talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Terjemahan
Terjemahan
bebasnya kira-kira sebagai berikut.
Ø Semoga
selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
Ø Dinobatkan
dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
Ø dinobatkan
(lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata.
Ø Dialah
yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Ø Dia
putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang
Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Ø Dialah
yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk
hutan Samida[2], membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun)
Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi"[3].
Catatan
kaki
Ø Indonesian
palaeography: a history of writing in, Volume 4, Issue 1 By J. G. de Casparis
Ø Lokasi
hutan samida ini konon yang sekarang dipakai sebagai Kebun Raya Bogor.
Ø Ini
adalah sangkala yang artinya adalah 5 5 4 1 atau kalau dibalik adalah 1455 Saka
(1533 Masehi)---
Referensi
Ø Saléh
Danasasmita. 2003. Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi.
Bandung: Kiblat Buku Utama.
Ø Diperoleh
dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Batutulis"
Ø Kategori:
Prasasti di Indonesia | Kota Bogor
Sumber
: Google Wikipedia
PRABU
SILIWANGI DIBUNUH KIAN SANTANG ?
BAGIAN-III
Orientasi
Bagi
masyarakat Sunda, nama Siliwangi memiliki arti tersendiri. Namanya melekat kuat
dalam ingatan masyarakat Sunda, menjadikannya ikon dan sosok paling
membanggakan. Dia adalah Raja Pajajaran yang paling tersohor, gelar yang
disandangnya adalah Sri Baduga Maharaja. Konon, pada masanya, ia adalah raja
paling bijaksana, adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya.
Ada
banyak tuturan lisan (verteller) tentang Prabu Siliwangi. Terkadang, satu versi
dengan versi lainnya saling berbeda. Satu hal paling banyak dituturkan tentang
Prabu Siliwangi adalah masa-masa pada saat-saat akhir hidupnya, yaitu saat
bagaimana ia masuk dan keluar hutan untuk melarikan diri menghindari anaknya yang
mengajaknya masuk Islam.
Anaknya
itu adalah Kian (Rakeyan) Santang. Dia adalah anak bungsu dari Nyi Subang
Larang, istri kedua Prabu Siliwangi. Nyai Subang Larang sendiri berasal dari
keluarga Muslim. Ayahnya seorang syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa.
Sejak kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren
Quro milik Syeh Hasanuddin. Anak-anaknya menjadi muslim yang taat, termasuk
Kian Santang.
Konon
dalam proses pengejaran itu masing-masing—Prabu Siliwangi dan Kian Santang--menggunakan
ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari dibawah tanah (?). Sampai di sebuah hutan di
daerah Garut yang bernama hutan Sancang mereka bertemu dan bertarung mengadu
kesaktian. Ayah dan anak beradu kuat saling mengalahkan, berdiri di atas
keyakinannya masing-masing.
Walau
agak diragukan, di kisah lain bahkan sampai disebutkan bahwa--"beungeut
Rakeyan Santang diciduhan ku Ramana" (muka Rakeyan Santang diludahin sama
ayahnya).
Prabu
Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut, tapi tidak lantas membuatnya jadi
Islam (yang artinya tunduk/menyerah). Dia pun berkata pada Kian Santang,
"Coba kau pegang ujung kayu kaboa di sebelahmu anakku, dan aku akan pegang
ujung yang satunya," Maknanya, saling memegang ujung ranting kayu kaboa
sudah merupakan simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu.
"Aku
memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih agama. Yang aku cemaskan adalah
keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang
baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah
kehormatan dan tak bisa sesepele itu digonta-ganti seperti orang membalikkan
telapak tangan," demikian jawaban Prabu Siliwangi sebagai penolakan akan
ajakan putranya untuk berganti agama.
Dalam
Uga Wangsit Siliwangi tertulis :
Bagi
masyarakat Sunda, nama Siliwangi memiliki arti tersendiri. Namanya melekat kuat
dalam ingatan masyarakat Sunda, menjadikannya ikon dan sosok paling
membanggakan. Dia adalah Raja Pajajaran yang paling tersohor, gelar yang
disandangnya adalah Sri Baduga Maharaja. Konon, pada masanya, ia adalah raja
paling bijaksana, adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya.
Ada
banyak tuturan lisan (verteller) tentang Prabu Siliwangi. Terkadang, satu versi
dengan versi lainnya saling berbeda. Satu hal paling banyak dituturkan tentang
Prabu Siliwangi adalah masa-masa pada saat-saat akhir hidupnya, yaitu saat
bagaimana ia masuk dan keluar hutan untuk melarikan diri menghindari anaknya
yang mengajaknya masuk Islam.
Anaknya
itu adalah Kian (Rakeyan) Santang. Dia adalah anak bungsu dari Nyi Subang
Larang, istri kedua Prabu Siliwangi. Nyai Subang Larang sendiri berasal dari
keluarga Muslim. Ayahnya seorang syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa.
Sejak kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren
Quro milik Syeh Hasanuddin. Anak-anaknya menjadi muslim yang taat, termasuk
Kian Santang.
Konon
dalam proses pengejaran itu masing-masing—Prabu Siliwangi dan Kian
Santang--menggunakan ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari dibawah tanah (?). Sampai
di sebuah hutan di daerah Garut yang bernama hutan Sancang mereka bertemu dan
bertarung mengadu kesaktian. Ayah dan anak beradu kuat saling mengalahkan,
berdiri di atas keyakinannya masing-masing.
Walau
agak diragukan, di kisah lain bahkan sampai disebutkan bahwa--"beungeut Rakeyan
Santang diciduhan ku Ramana" (muka Rakeyan Santang diludahin sama
ayahnya). Prabu Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut, tapi tidak lantas
membuatnya jadi Islam (yang artinya tunduk/menyerah). Dia pun berkata pada Kian
Santang, "COBA kau pegang ujung kayu kaboa di sebelahmu anakku, dan aku
akan pegang ujung yang satunya," Maknanya, saling memegang ujung ranting
kayu kaboa sudah merupakan simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu.
"Aku
memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih agama. Yang aku cemaskan adalah
keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang
baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah
kehormatan dan tak bisa sesepele itu digonta-ganti seperti orang membalikkan
telapak tangan," demikian jawaban Prabu Siliwangi sebagai penolakan akan
ajakan putranya untuk berganti agama.
Dalam
Uga Wangsit Siliwangi tertulis:
“Kalian
harus memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang
kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini, tapi
Pajajaran yang baru, yang berdirinya mengikuti perubahan zaman!
Pilih
: aku tidak akan melarang. Sebab untukku, tidak pantas jadi raja kalau
rakyatnya lapar dan sengsara.
Dengarkan!
Ø Yang
ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan!
Ø Yang
ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara!
Ø Yang
ingin berbakti kepada yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur!
Ø Yang
tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!”
Ø Sesudah
Sang Prabu selesai berbicara, wujudnya menghilang seketika dan orang Sunda
mengatakannya sebagai ngahiang.
Tapi,
ini hanya sebuah siloka/seloka. Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang
menjunjung tinggi adab dan sopan santun, termasuk sopan santun terhadap orang
tua. Dalam kasus ini, kata ‘ngahiang’ adalah bahasa sopan untuk kata ‘dibunuh’.
Ya, Prabu Siliwangi dibunuh oleh anaknya sendiri, Kian Santang. Karena alasan
remeh-temeh urusan agama.
Sumber
: Google Wikipedia
PRABU
SILIWANGI ADA DELAPAN BUKAN SATU
BAGIAN
- 4
Orientasi
Prabu
Siliwangi adalah gelar untuk raja-raja Sunda. Ada delapan raja Sunda yang
menyandang gelar itu.
Oleh:
Hendri F. Isnaeni
Prabu
Siliwangi telah menjadi identitas orang Sunda. Mereka meyakini bahwa Prabu
Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Pajajaran. Namun, Prof. Dr.
Ayatrohaedi, arkeolog, ahli bahasa, peneliti sejarah Sunda, dan guru besar
arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, punya pendapat berbeda
mengenai jati diri Prabu Siliwangi. Dia juga meluruskan bahwa nama kerajaan
yang benar adalah Sunda sedangkan Pajajaran, lengkapnya Pakwan Pajajaran,
adalah ibukotanya.
Ayat
memiliki pendapat bertentangan setelah meneliti Naskah Wangsakerta dari Cirebon
sejak akhir tahun 1970-an. Naskah berbahasa Cirebon ini ditulis selama 21 tahun
(1677-1698) dengan aksara Jawa dan tebal tiap buku atau jilid sekitar 200
halaman. Para penyusunnya mengatakan bahwa Naskah Wangsakerta adalah “buku
induk” riwayat Nusantara untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin
mengetahui riwayat dan kisah tanah kelahiran dan para leluhur mereka.
“Dalam
kaitannya dengan tokoh Prabu Siliwangi, naskah itu bagiku merupakan pembuka
jalan untuk memasuki kegelapan mengenai tokoh itu,” kata Ayat dalam memoarnya,
65=67: Catatan Acak-acakan dan Cacatan Apa Adanya.
Menurut
naskah itu, kata Ayat, sebenarnya tidak ada raja Sunda bernama Prabu Siliwangi.
Nama itu hanyalah julukan bagi raja-raja Sunda yang menggantian Prabu Wangi
yang gugur di Bubat. Prabu Wangi sendiri nama sebenarnya adalah Prabu
Linggabhuwana atau dalam Carita Parahiyangan disebut Prabu Maharaja.
Julukan
Prabu Wangi diberikan kepadanya oleh rakyatnya karena ketegarannya mempertahankan
martabat Sunda ketika, akibat kelicikan Mahapatih Gajah Mada, bersama semua
pengiring, pengawal, dan putrinya yang cantik jelita, Dyah Pitaloka, gugur
dalam pertempuran melawan Majapahit pada 1357. Julukan itu sebagai penghormatan
terhadap semua jasa dan pengabdian sang raja sehingga namanya menjadi wangi
atau harum.
“Lalu,
raja-raja sesudahnya dikenal sebagai Prabu Siliwangi yang maksudnya asilih
prabu wangi atau ‘menggantikan Prabu Wangi’,” kata Ayat.
Ada
berapa raja Sunda yang menggantikan Prabu Wangi? Menurut Ayat, Naskah
Wangsakerta dan Carita Parahiyangan mencatat jumlah yang sama, yaitu delapan
raja. “Di sinilah aku berbeda paham dengan sejawat peneliti sejarah Sunda.
Mereka hanya mengakui Sri Baduga Maharaja (1482-1521) sebagai Prabu Siliwangi,
sementara aku mengakui ada delapan orang raja berjuluk Prabu Siliwangi. Sama
dengan kepercayaan orang Jawa yang menganggap bahwa ada lima raja bernama Prabu
Brawijaya,” kata Ayat.
Gelar
Prabu Siliwangi tidak disematkan pertama kepada Mangkubumi Bunisora yang
memegang tampuk pemerintahan ketika kakaknya, Prabu Linggabhuwana berada dan
gugur di Bubat. Sebagai adik yang menjabat mangkubumi atau perdana menteri,
Bunisora tidak dianggap sebagai pengganti Linggabhuwana karena Naskah
Wangsakerta selalu menyatakan dia sebagai “raja penyelang.” Dia memegang
pemerintahan karena rajanya bepergian.
Para
peneliti Sunda menganggap Sri Baduga Maharaja sebagai raja Sunda terbesar.
Namun, Ayat mempertanyakan: mungkinkah Sri Baduga Maharaja dapat disebut
sebagai raja terbesar dan masih sempat meluaskan wilayahnya, sementara itu dia
harus menghadapi pasukan Islam dari Demak dan Cirebon? Bukankah untuk
mempertahankan dirinya saja, dia harus mencari bantuan kepada Portugis yang
menduduki Malaka sejak tahun 1511. Dari semua pengganti Prabu Wangi, dia yang
kedua lamanya dalam memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Namun, tidak
mengalahkan Niskala Wastukancana yang berkuasa selama 104 tahun (1371-1475).
Selain
sebagai raja terbesar, para peneliti sejarah Sunda juga menyebut Sri Baduga
Maharaja sebagai raja terakhir. Ayat kembali mempertanyakan: bukankah Kerajaan
Sunda baru runtag (runtuh) tahun 1579, 58 tahun setelah Sri Baduga Maharaja
meninggal? Sedangkan Naskah Wangsakerta menyebut bahwa raja Sunda terakhir
adalah Suryakancana atau dalam Carita Parahayiangan bernama Nu Siya Mulya yang
memerintah selama 12 tahun (1567-1579).
“Dengan
mengikuti Naskah Wangsakerta berarti raja terbesar adalah Niskala Wastukancana
sebagai Prabu Siliwangi I sedangkan raja terakhir adalah Suryakancana yang
berjuluk Prabu Siliwangi VIII,” kata Ayat.
Ayat
menyadari tidak mudah mengubah pendapat orang. Hingga sekarang pun barangkali
masih banyak yang mengamini pendapat bahwa Prabu Siliwangi hanya seorang raja
yaitu Sri Baduga Maharaja. “Baru mereka yang mendalami sumber sejarah secara
lebih daria (sungguh-sungguh) yang mulai menerima pendapatku. Tidak apa,” kata
Ayat.
Sumber
: Google Wikipedia
KISAH
PENGKHIANATAN DI ZAMAN KERAJAAN PAJAJARAN
(NASKAH
PENTAS DRAMA)
Orientasi
Bandung,
bandungkiwari - Mahasiswa dari Departemen Pendidikan Tari 2016, Fakultas
Pendidikan Seni dan Desain Universitas Pendidikan Indonesia menggelar acara
drama tari yang bertajuk "Purnamasari Silalatu Pajajaran", Senin
(17/6). Pergelaran dramatari 'Purnamasari Silalatu Pajajaran' merupakan kisah
kepahlawanan putri Purnamasari yang berani membela kerajaan.
Dalam
acara yang digelar di Teater Tertutup Taman Budaya Jabar, Bandung, tersebut
bercerita mengenai pengkhianatan yang dilakukan Jaya Antea. Diceritakan Jaya
Antea melakukan pengkhianatan untuk menghancurkan kerajaan Pajajaran.
Keinginannya
untuk menguasai kerajaan yang dipimpin Prabu Siliwangi itu membuat Jaya Antea
lupa akan kewajibannya sebagai Patih yang harus menjaga kerajaan. Dibantu
kerajaan Demak, Cirebon dan Banten, Jaya Antea bersekutu untuk menghancurkan
Pajajaran.
Seluruh
rakyat dan pasukan Pajajaran bertempur melawan serangan yang luar biasa. Tidak
terkecuali Purnamasari, putri Prabu Siliwangi yang ikut bertempur menghunus
kujangnya (senjata khas Sunda).
Jaya
Antea bukan hanya ingin menghancurkan Pajajaran. Pada sisi lain dirinya
mencintai Purnamasari yang telah menikah. Pajajaran saat itu terkenal karena
kekuatannya. Berkali-kali diserang kerajaan lain dalam kurun waktu yang
berbeda, ia tidak pernah goyah.
Namun
sebagai orang dalam Pajajaran, Jaya Antea yang mengetahui celah untuk
menghancurkan Benteng Pajajaran (Lawang Gintung), yaitu benteng alami kokoh
yang dibangun Sri Baduga Maharaja.
Peperangan
mengakibatkan Pajajaran hancur. Purnamasari pun semakin sedih karena suaminya
meninggal akibat pengkhianatan Jaya Antea. Dalam keadaan hamil, bersama sisa
pasukan Pajajaran Purnamasari tiba di Pelabuhan Ratu yang menjadi singgasana
terakhirnya.
Sisi
lain pementasan tersebut menampilkan sosok perempuan Sunda yang tidak hanya
cantik dan gemulai. Namun, ia juga memiliki kemauan yang disertai kemampuan
beladiri untuk mempertahankan harga diri. Selain sebagai penerapan kuliah dan
sarana pelestarian khasanah budaya Sunda, pementasan ini diharapkan mengenalkan
mahasiswa mengenal sejarah lokal. (Agus Bebeng).
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar