SEJARAH KERAJAAN CIREBON
SEJARAH
KERAJAAN CIREBON
DAN TIMBULNYA
KEEMPAT KERATON DI CIREBON
Orientasi
Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak
Islam ternama yang berasal dari Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada
abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga merupakan pangkalan penting
yang menghubungkan jalur perdagangan antar pulau. Kesultanan Cirebon berlokasi
di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara wilayah Jawa Tengah
dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus
“jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Sunda.
Sehingga
Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Menurut
Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya adalah sebuah dukuh kecil
yang awalnya didirkan oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang
menjadi sebuah perkampungan ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda:
campuran).
Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar
belakang dan mata pencaharian yang berbeda. Mereka datang dengan tujuan ingin
menetap atau hanya berdagang.
Karena
awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap ikan dan rebon (udang kecil)
di sepanjang pantai yang bisa digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan garam.
Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta
nama “Cirebon” yang berasal dari Cai (air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang menjadi Cirebon yang kita
kenal sekarang ini.
Karena memiliki pelabuhan yang ramai dan sumber daya
alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya menjadi sebuah kota besar yang memiliki
salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa.
Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan seluruh Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain
itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di
Jawa Barat.
Pendirian Dan Silsilah Raja Kerajaan Cirebon
Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan
dari kerajaan Pajajaran. Ia adalah putera pertama dari Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dan istri pertamanya yang bernama Subanglarang (puteri Ki
Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang(pangeran Cakra Buana) memiliki dua orang saudara kandung, yaitu Nyai Rara Santang
dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak
atas tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena ia memeluk agama Islam yang
diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri
keduanya yang bernama Nyai Cantring Manikmayang).
Ini dikarenakan pada saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang
Sunda) Hindu dan Budha.
Pangeran
Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon Pesisir,
mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) membuat Dalem
Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.
Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang dianggap
sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon. Pangeran Walangsungsang, yang telah selesai menunaikan
ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil sebagai “raja”
Cirebon pertama yang memerintah kerajaan dari keraton Pakungwati dan aktif
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Pendirian kesultanan Cirebon memiliki hubungan sangat
erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.
Sejarah Timbulnya Keempat Keraton
Sejarah Cirebon dimulai dari kampung Kebon Pesisir,
pada tahun 1445 dipimpin oleh Ki Danusela.
Perkampungan itu mengalami perkembangan, selanjutnya
muncul perkampungan baru yaitu Caruban Larang dengan pemimpinnya bernama H.
Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana.
Caruban Larang terus berkembang dan pada tahun 1479
sudah disebut sebagai Nagari Cerbon yang dipimpin oleh Tumenggung Syarif
Hidayatullah bergelar Susuhunan Jati. Susuhunan Jati meninggal pada tahun 1568
dan digantikan oleh Pangeran Emas yang bergelar Panembahan Ratu.
Pada tahun 1649 Pangeran Karim yang bergelar
Panembahan Girilaya, menggantikan Panembahan Ratu. Panembahan Girilaya wafat
pada tahun 1666, untuk sementara Pangeran Wangsakerta diangkat sebagai
Susuhunan Cirebon dengan gelar Panembahan Toh Pati.
Tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya
dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelar Sultan Raja Syamsuddin, Pangeran
Kertawijaya sebagai Sultan Anom bergelar Sultan Muhammad Badruddin. Sultan Sepuh menempati Kraton Pakungwati dan
Sultan Anom membangun kraton di bekas rumah Pangeran Cakrabuwana. Sedangkan
Sultan Cerbon berkedudukan sebagai wakil Sultan Sepuh. Hingga sekarang ini di
Cirebon dikenal terdapat tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Sultan Cirebon.
Keberadaan ketiga sultan juga ditandai dengan adanya
keraton yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Di
luar ketiga kesultanan tersebut terdapat satu keraton yang terlepas dari
perhatian. Keraton tersebut adalah Keraton Gebang.
Menelusuri Cirebon dan kawasan pantai utara Jawa Barat
memang akan banyak menjumpai tinggalan yang berkaitan dengan sejarah Cirebon
dan Islamisasi Jawa Barat. Beberapa bangunan sudah banyak dikenal masyarakat
seperti Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, Taman Sunyaragi, serta
kompleks makam Gunung Sembung dan Gunung Jati.
Sumber :
https://sportourism.id/history/sejarah-timbulnya-keempat-keraton-di-cirebon
Sejarah Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam
ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan
penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai
utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa
dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan
Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan
Pakungwati Cirebon
كسولتانان سيربون
1. Tahun
1430–1677
2. Bendera
3. Ibu
kota : Cirebon
4. Bahasa
: Cirebon,Sunda, Jawa
5. Agama
: Islam
6. Bentuk
pemerintahan : Kerajaan konstitusional (adanya pepakem Cirebon)
7. Gelar
: Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan - 1430- 1479
Raja
Kesultanan Cirebon
1. Sultan Cirebon I : Pangeran Walangsungsang - 1479 - 1568 (Sultan Cirebon I Pangeran
Walangsungsang menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya)
2. Sultan Cirebon II : Sunan Gunung Jati*- 1649 - 1666** (penguasa terakhir kesultanan Cirebon
sebelum dibagi menjadi kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman)
3. Sultan
Cirebon III : Sultan Abdul Karim (Panembahan Girilaya)
Sejarah – Didirikan 1430 - Pembagian Kesultanan Cirebon menjadi kesultanan
Kasepuhan dan kesultanan Kanoman – Tahun 1677
Pendahulu Pengganti :
1. Kerajaan Pajajaran
2. Kesultanan Banten
3. Kesultanan Kasepuhan
4. Kesultanan Kanoman
Pada tahun 1552
Sunan Gunung Jati mengangkat anaknya dari Nyi Kawung Anten (putri Surosowan
penguasa Banten Pesisir) yaitu Maulana Hasanuddin (sebelumnya menjabat sebagai
Depati (Gubernur) Banten untuk kesultanan Cirebon sebagai Sultan pertama
Kesultanan Banten.
Berdasarkan naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim
telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 M
[6], 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram.
Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati
sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan Cirebon, letak dalem agung
pakungwati sekarang menjadi keraton kasepuhan Cirebon.
SEJARAH KERAJAAN ISLAM CIREBON
Orientasi
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah
Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon
pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban
(Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai
macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan
dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan
garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon
inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian
menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya
alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi
salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia
lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama
Islam di Jawa Barat.
PERKEMBANGAN AWAL
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki
Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura
(Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muara jati, Cirebon setelah tidak adanya penerus takhta di
kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi
Ambet Kasih menikah dengan Jaya Dewata (Prabu Silih Wangi).
Persahabatan Cheng Ho, mecusuar Muara Jati dan Masjid
Kung Wu Ping
Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di
pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut
oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring
yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di keraton
Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan Cirebon). Cheng Ho dan anak buahnya kemudian
berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu pembuatan keramik, penangkapan
ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping (Panglima angkatan bersenjata pada
armada Cheng Ho) kemudian menginisiasi pendirian sebuah mercusuar (bahasa
Cirebon: Prasada Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara Jati pembangunannya
kemudian mengambil tempat di bukit Amparan Jati.
Pemukiman warga muslim Tionghoa pun kemudian dibangun
di sekitar prasada tunggang prawata bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah
Sembung, Sarindil dan Talang lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil
ditugaskan untuk menyediakan kayu jati guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di
Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung
ditugaskan memelihara mercusuar, ketiga pemukiman Tionghoa tersebut secara
bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal,
masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah fungsinya menjadi sebuah
klenteng.
Pembangunan Gedong Witana
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan
nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran
Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana
pada tahun 1428 Masehi. yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton
Kanoman, kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup,
pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji
ke Mekah, di sana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar
Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya
dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk
membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia
cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan
perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai
masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya
Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir,
tetapi dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah
ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal di sana,
akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama
yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki
Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah putri dari Ki Gedeng
Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki
Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai Kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Pembangunan tajug Jalagrahan
Pada masa pemerintahan ki Danusela sebagai kuwu Kebon
Pesisir, dibangun juga tajug (bahasa Indonesia: Mushola) pertama di wilayah
tersebut atas prakarsa dari menantunya yaitu pangeran Walangsungsang, tajug
tersebut bernama tajug Jalagrahan.
Pendirian
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430-
1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putra
pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertama bernama
Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang
saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan
haknya sebagai putra mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena
ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat
itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama
leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring
Manikmayang.
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan
di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi)
mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon
pada tahun 1430 M. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama
Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran
Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah
Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari
keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan
keberadaan Kesultanan Demak.
Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 M dan
dimakamkan di gunung Sembung, Cirebon.
Perkembangan dan perluasan syiar
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Lukisan Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali
di Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para
wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat
itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung
Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini
kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang
sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif
Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari
Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran
Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur
Rasulullah.
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu
mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk
agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama
menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi
hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan
kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu Silih
Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya
Pangeran Arya Carbon.
“Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra
Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala. (bertepatan
dengan 12 Shafar 887 Hijriah)”
Pada
tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi,
akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih
Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi
mengirimkan upeti. Maklumat tersebut kemudian
diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak
dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.
1. Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
2. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
3. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu
Wulan)
4. Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang
Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan
Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan
Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan
Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti
Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran
Kuningan
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan
cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada
tahun 1481 M, dengan penguasanya Ki gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan
Gunung Jati menjadikan putra Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati)
yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat Kuningan dikenal
dengan nama Sangkuku diangkat sebagai Depati Kuningan (bahasa Indonesia:
gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Kuningan).
Datangnya Gamelan Suka Hati dari kerajaan Demak
Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya
Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan
Demak kedua) pada tahun 1521 pada penyerangan ke Melaka yang dikuasi Portugis,
Ratu Ayu, putri Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua) dan istri dari Pangeran
Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) kemudian membawa gamelan dakwah yang disebut
"Sukahati" (bahasa Indonesia: kebahagian karena ikhlas) ke wilayah
Cirebon dari Demak sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya.
Budayawan Cirebon meyakini bahwa Gong Sukahati (bahasa
Indonesia: gong Sekati) merupakan alat musik gamelan dakwah pertama yang dibawa
masuk ke Cirebon dari Demak. Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya
sendiri disaat yang sama, dalam bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat
dalam pagelaran gong Suka Hati disebut Sukaten atau Sekaten dari tata bahasa
Cirebon Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan kata
benda) sehingga Suka(h)at(ia)n menjadi Sukaten (huruf "h" tidak
dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi "e") atau
sering masyarakat luar Cirebon mengatakan Sekaten, hingga sekarang kesenian
Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.
Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat
melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai
Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad
(perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga
perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat
Wahanten dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat
dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih
Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan
Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah
bertemu dengan Nyai Kawung Anten (putri
dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak
yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran
Sabakingkin
: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang
lahir pada 1478 M. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun
sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan
Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada
1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan
keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Latar belakang penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)
dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati
Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara
berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak
ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia
mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de
Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai
milik Kesultanan Samudera Pasai.
Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis
menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di
pelabuhan Banten.
Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin
untuk berangkat ke Mekah, sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan
putranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan,
ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari
mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas dakwah ini di
wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh
yang membawa cahaya Allah swt), aktivitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh
Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten
Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah
kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon
dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang
dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai
membatasi pedagang muslim yang akan singgah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan
Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh
para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang
muslim, tetapi upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena
pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan
yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman
kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra
koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan
kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan
dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan
Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan
tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah
pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis
bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan
Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan
perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan
Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis
apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon
dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang
berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja
Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk
membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang
menurutnya bersifat ekspansif.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu
perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran
dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten, sedangkan
Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa
akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda
persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun) dibuat untuk
memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat
Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah,
dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang
terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan
bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [32] Syahbandar Sunda Kelapa yang
menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani
dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
Penguasaan Banten
Pada tahun 1522,[34] Maulana Hasanuddin membangun
kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga
membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.
Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya
Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah
meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya diperkirakan masih
memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 M.[36]
Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan
gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan
Banten. Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten
Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga
pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang.
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan
gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki
Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana
Hasanuddin.
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional diceritakan
bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya
aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat
termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan
Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin
untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam)
dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana
Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan
oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya Arya
Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk
hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang
digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di
penghujung abad ke-17.
Penyatuan Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana
Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir
di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai
pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa)
Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten
Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan
Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai
Banten dengan status sebagai kadipaten (setingkat dengan provinsi) dari
kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8
Oktober 1526 M)[42], kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon
dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari
kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah
Sultan pertama di Banten, meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak menahabiskan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten.
Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein
Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri
Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.
Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten
dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai
dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.
Penguasaan Lampung
Pada tahun 1530, Cirebon berhasil menguasai Lampung
dan menempatkannya dibawah kendali Depati Banten.
Lahirnya kesultanan Banten
Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi
sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Dikuasainya Sunda Kelapa pada 1527
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa
terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah
sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat
muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau.
Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing
memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh
orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal
dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal
Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton
harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang
komoditas dagang Sunda diangkut dengan lancaran, yaitu semacam kapal yang
muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque
yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan
raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk
membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon
yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang
dipercaya sebagian masyarakat Cirebon berasal dari Pasai sudah dikenal
dibeberapa kalangan masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya
berpindah pindah dari Pasai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua
tempat tersebut dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut
membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak
Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor
yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran
Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya
yang berasal dari kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun, hal ini membuat
Fatahilah menjadi menantu Sunan Gunung Jati dan kesultanan Demak.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu
perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran
dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten, sedangkan
Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa
akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda
persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun) dibuat untuk
memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat
Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah,
dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda
Kelapa yang bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan
huruf Wau dengan Khot.
Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut
Prinsenstraat (Jalan Cengkih) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk
menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari
kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan
Portugis sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda
Kelapa.
Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan
gabungan prajurit kesultanan Cirebon, kesultanan Demak dan kesultanan Banten
(pada saat itu Banten masih menjadi kadipaten di bawah kesultanan Cirebon) yang
baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak
di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati atas wilayah
Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu
Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa
sendirian.
Pada saat menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527,
menurut sejarawan dan budayawan Betawi Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya
menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak
Item tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah
membumihanguskan perkampungan yang ada disana termasuk perkampungan yang
didiami tiga ribu orang muslim Betawi, yang pemukimannya berada di wilayah
Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan, Jakarta. Fatahilah kemudian
membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali Besar (terusan sungai
di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang rumahnya berada di
dekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan, Sunda Kelapa akhirnya
dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.
Keterlambatan bantuan Portugis
Pada pertempuran antara kerajaan Sunda dengan gabungan
prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan
tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta
sebagian penduduk Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan
bantuan dari Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat
menjadi Gubernur Goa sebuah koloni Portugis di India. Keberangkatan ke kerajaan
Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal perang) yang
dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa
ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk Benggala,
tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Melaka tahun 1527.
Ekspedisi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula
menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh Maulana
Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane,
Francisco De Xa memancangkan Padrão pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan
nama kepada Cisadane "Rio de São Jorge" (dibaca: Rio de Saun Horhe)
yang berarti sungai Santo Jorge. Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan
diri, hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung
berangkat ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Duarte Coelho terlambat mengetahui
perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa
sergapan pasukan Fatahilah, dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak,
kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk
melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa
pasukan Duarte Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu diubah
menuju Pedu di wilayah Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni Portugis di
Afrika yang sekarang menjadi bagian dari negara Ghana.
Dikuasainya Rajagaluh pada 1528
Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan
Rajagaluh bermula dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan
kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara
langsung menjadikan kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan
Rajagaluh.
Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh prabu
Cakraningrat (raja Rajagaluh) adalah depati (bahasa Indonesia: gubernur) Kiban
atau pada masyaraakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban (depati
palimanan), rombongan pimpinan depati Kiban berulang kali berusaha memasuki
wilayah kota Cirebon namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan
untuk memasuki kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk
agama Islam.
Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon
dengan kerajaan Rajagaluh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri dari Ciwaringin,
Gempol, Palimanan serta sebagian dari Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai
kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang wilayahnya paling dekat
dengan pantai.
Duta kedua yang dikirim prabu Cakraningrat adalah
demang Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan
Rajagaluh sebagai pusatnya, demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota
Cirebon dikarenakan rombongannya bertemu dengan pangeran depati Kuningan (putra
Ki gede Luragung yang diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati) dan pasukannya yang
memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh tunduk
kepada kesultanan Cirebon.
Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu
peristiwa pertemuannya dengan Demang Dipasara kepada Sunan Gunung Jati
sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan Rajagaluh, sebelum menyerang,
Pangeran Depati Kuningan membuat pertahanan di Plered sekaligus mengirimkan
duta yaitu Ki Demang Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat
agar prabu dan rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan
Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.
Perang Palimanan
Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan
Ki Demang Singagati yang membawa pesan penolakan dari prabu Cakraningrat.
Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh Pangeran Depati
Kuningan sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah Depati Kiban (penguasa
Palimanan).
Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan
bantuan kekuatan, prajurit Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk
kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol sementara prajurit
Pangeran Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan Cirebon
ditambah 700 orang pasukan kesultanan Demak yang pada saat itu sedang berada di
kesultanan Cirebon untuk keperluan pengawalan Sultan Demak yang pada saat itu
sedang berada di Cirebon.
Pada perang Palimanan, Depati Kiban dan Sanghyang
Gempol dapat dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian bergerak menuju
ibu kota Rajagaluh dan mengepung istana kerajaan Rajagaluh.
Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan
Cirebon dan kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan
Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.
Perwalian oleh Pangeran Mohammad Arifin
Pada tahun 1528 m Syarief Hidayatullah menyerahkan
(mewakilkan) kekuasaan kesultanan Cirebon kepada putranya yaitu Pangeran
Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang merupakan depati Cirebon (gubernur
kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sementara beliau mengkhususkan diri
kepada dakwah Islam.
Bergabungnya Talaga pada 1529
Proses bergabungnya Talaga masuk menjadi bagian dari
wilayah kesultanan Cirebon pada awalnya dikarenakan ada kesalahpahaman antara
pasukan Cirebon yang sedang mengarak pangeran-pangeran Cirebon dengan Demang
dari kerajaan Talaga.
Pada awalnya pasukan kesultanan Demak dan kesultanan
Cirebon sedang mengarak para pangeran Cirebon yaitu pangeran Bratakelana dan
pangeran Jayakelana yang dikawal dari depan (oleh pasukan dari Jawa (pasukan
kesultanan Demak dan juga dari belakang oleh pasukan Cirebon dan Sunan Jati,
secara tidak sengaja arak-arakan telah memasuki wilayah kerajaan Talaga dan
membuat kehebohan di Talaga, masyarakat kemudian melaporkan ke Istana Kerajaan,
Pucuk Umum (bahasa Indonesia: penguasa) Talaga memerintah Demang kerajaan
memimpin sejumlah prajurit kerajaan untuk menyelidiki hal tersebut.
Pasukan dari kerajaan Talaga dipimpin oleh Demang
kerajaan lantas menemui iring-iringan tersebut menanyakan kepada arak-arakan
prajurit paling depan tentang asal usul dan keperluan mereka masuk ke wilayah
Talaga, dikarenakan para prajurit Talaga bertanya dengan menggunakan bahasa
Sunda maka para prajurit yang mengawal di depan yang kebetulan suku Jawa dari
kerajaan Demak tidak memahami arti pertanyaannya dan hanya diam saja. Sikap
diam yang ditunjukkan para barisan prajurit suku Jawa tersebut dianggap sebagai
penghinaan kepada rombongan pasukan kerajaan Talaga, Demang kerajaan Talaga
marah dan mengamuk namun dapat segera diatasi oleh barisan prajurit di depan
(barisan prajurit kesultanan Demak) tersebut, Demang kerajaan Talaga lantas
melaporkan masalah kepada Pangeran Aria Salingsingan (Putra Mahkota Talaga),
ketika Pangeran Aria datang ke iring-iringan tersebut untuk membalas perlakuan
mereka kepada rombongan prajurit kerajaan Talaga dan Demang kerajaan, terjadi
keributan kembali (tanpa Pangeran Aria sempat mencari tahu apa maksud
kedatangan para rombongan prajurit tersebut) beberapa prajurit barisan depan
tadi kemudian ada yang meninggal, dikatakan setelah melihat sosok Sunan Gunung
Jati yang maju kedepan untuk melihat ada keributan apa sehingga iring-iringan
tertahan, Pangeran Aria Salingsingan kemudian menghentikan serangannya kepada
para prajurit, diyakini kemudian Sunan Gunung Jati menjelaskan tujuan
iring-iringan prajurit tersebut yang tidak sengaja memasuki wilayah Talaga, dikarenakan
telah membunuh beberapa prajurit barisan depan (prajurit kesultanan Demak) maka
Pangeran Aria Salingsingan meminta maaf. Sunan Gunung Jati kemudian memintanya
agar masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan Pangeran Aria
Salingsingan dengan sukarela mengikutinya (masuk Islam).
Rombongan iring-iringan para pangeran Cirebon kemudian
menuju ke kraton Talaga untuk menemui pucuk umum (penguasa) Talaga (kabar bahwa
Pangeran Aria Salingsingan masuk Islam dan menghentikan serangan kemudian
sampai ke keraton Talaga) namun ketika mereka sampai raja sudah tidak ada di
keraton, begitu pula dengan saudari Pangeran Arya Salingsingan yang bernama
Ratu Mas Tanduran Gagang yang juga keluar Istana dan dikabarkan pergi bertapa,
dikarenakan tidak adanya raja pada saat itu maka Pangeran Aria Salingsingan
menjadi penguasa Talaga dan kemudian menggabungkan wilayahnya dengan kesultanan
Cirebon pada tahun 1529 dan masyakarat Talaga mulai mengenal ajaran Islam.
Sumedang bergabung pada 1530
Latar belakang bergabungnya kerajaan Sumedang Larang
menjadi bagian dari kesultanan Cirebon adalah dengan pendekatan dakwah Islam,
pada awal 1500an Maulana Muhammad (putra dari Maulana Abdurahman) Pangeran Panjunan keturunan dari Syekh Datuk Kahfi
(Syekh Nur Jati) melakukan dakwah Islam di wilayah kerajaan Sumedang Larang
disekitar wilayah Sindang Kasih (sebelah timur Cilutung / sungai Lutung), di
wilayah Sindang Kasih Maulana Muhammad menikah dengan Nyai Armillah (diyakini
sebagai kerabat pembesar Sindang Kasih) dan memiliki putra yang diberi nama
Soleh (masyarakat lebih mengenalnya dengan nama pangeran Santri karena dia
berasal dari pesantren).
Pangeran Soleh ini kemudian menikah dengan Ratu
Setyasih (putri Raja Tirtakusuma (Patuakan) yang sedang memerintah di kerajaan Sumedang
Larang. Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka)
Pangeran Soleh diserahi kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya
dan kemudian dia dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang dengan gelar
Kusumahdinata. Tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan Margasira tahun
1452 Saka) diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung
Pakungwati atas diangkatnya Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang
Larang juga keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah
timur (Galuh).
Perjanjian damai dengan kerajaan Pajajaran
Pasca pertempuran di Kalapa (kini: Jakarta) pada tahun
1527 M, para prajurit dari kesultanan Cirebon dan kerajaan Pajajaran masih
terlibat pertempuran di pedalaman hingga beberapa tahun, akhirnya
ditandatanganilah perjanjian perdamaian di antara keduanya pada tanggal 14 paro
terang bulan Asada tahun 1453 saka atau bertepatan pada 12 Juni 1531 M. Pada
masa itu yang menjadi raja di kerajaan Pajajaran adalah Prabu Surawisesa
(saudara Pangeran Walangsungsang penguasa pertama kesultanan Cirebon) sementara
kesultanan Cirebon dipimpin oleh Syarief Hidayatullah yang diwalikan urusan
pemerintahannya kepada anaknya yaitu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran
Pasarean).
Isi surat perjanjian damai tersebut di antaranya
adalah,
1. Pengakuan atas kedaulatan masing-masing kerajaan dan
untuk tidak saling menyerang
2. Pengakuan bahwa kedua kerajaan adalah sederajat dan
bersaudara (sama-sama merupakan ahli waris dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi
atau Prabu Jayadewata.
Sunan Kalijaga diundang ke kerajaan Demak
Pada tahun 1543, Sultan Trenggana mengundang Sunan
Kalijaga untuk datang ke kerajaan Demak guna menjadi penasihat Sultan Trenggana
Terbunuhnya Pangeran Mohammad Arifin
Pada tahun 1546 M sultan Trenggana tidak sengaja
terbunuh dalam usaha penyerangan ke Panarukan, pada saat itu Panarukan sudah
dikepung selama tiga bulan oleh gabungan prajurit kesultanan Demak dan
kesultanan Cirebon, kesultanan Cirebon mengirimkan sekitar 7.000 prajuritnya
yang didatangkan dari wilayah Banten dan Jayakarta serta Cirebon, di antara
prajurit yang dikirim dari kesultanan Cirebon ada Fernão Medes Pinto (dibaca:
Fernaun Mendes Pinto, penjelajah Portugis yang mencatat ekspedisi penyerangan
ke Panarukan dalam catatannya Peregrinação (dibaca: Peregrinasaun (perjalanan)
) bersama empat puluh orang temannya yang ikut serta. Fernão Mendes Pinto
sebelumnya tiba di Banten pada tanggal 1 Oktober 1545 untuk membeli lada dalam
pelayarannya dari Goa menuju Tiongkok, beliau terpaksa menunggu berbulan-bulan
karena pada saat itu persediaan lada di pelabuhan Banten belum mencukupi.
Usai pengepungan selama tiga bulan Sultan Trenggana
kemudian mengadakan sebuah rapat bersama para adipati untuk merencanakan
penyerangan lanjutan ke Panarukan, pada saat itu putra adipati Surabaya yang
berumur sepuluh tahun menjadi pelayannya membawakan tempat sirih, karena
tertarik dengan jalannya rapat tersebut putra adipati Surabaya tidak
mendengarkan perintah sultan Trenggana sehingga sultan memarahinya dan
memukulnya, putra adipati Surabaya itu merasa sangat tersinggung dan tiba-tiba
menusukkan pisau kecil yang terselip di ikat pinggangnya ke arah jantung
Sultan. Sultan pun tewas seketika dan dibawa pulang ke Demak dari Panarukan.
Selanjutnya terjadi huru-hara perebutan kekuasaan di
kesultanan Demak, masa itu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang
menjabat sebagai Depati Cirebon (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah
Cirebon) sekaligus putra mahkota kesultanan Cirebon yang sedang berada di Demak
mewakili sultan Cirebon (oleh Fernão Mendes Pinto disebut sebagai Quiay Ansedaa
Pate de Cherbom (Kyai Sang Depati Cirebon) ) meninggal dalam peristiwa
tersebut. Istrinya Ratu Nyawa yang turut mendampinginya berhasil selamat. Satu
tahun setelah peristiwa huru-hara di Demak yang menyebabkan meninggalnya Depati
Cirebon Pangeran Muhammad Arifin, Ratu Wanawati (puteri Fadillah Khan dengan
Ratu Ayu (janda Yunus Abdul Kadir al-Idrus), istri Pangeran Sawarga melahirkan
Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1547 M. Pada peristiwa huru-hara di
kesultanan Demak juga terbunuh Pangeran Hadirin (suami dari Ratu Kalinyamat (Ratna Kencana), putri pertama Sultan
Trenggana sekaligus Adipati Jepara.
Musyawarah berkenaan dengan meninggalnya Pangeran Muhammad
Arifin
Kesultanan Cirebon menggelar musyawarah dalam
menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin di Demak, Syarief
Hidayatullah selaku penguasa kesultanan Cirebon pada saat itu tengah menetap di
Banten, hasil dari musyawarah tersebut pada tahun 1552 m menyatakan bahwa putra
pertama Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Maulana Hasanuddin yang menjabat
sebagai depati Banten (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Banten)
dinaikkan statusnya dari depati (gubernur) menjadi sultan atas wilayah Banten
yang kemudian mengembangkan kesultanan Banten sementara untuk mengisi
kekosongan posisi sebagai wakil sultan Cirebon yang mengurusi kesultanan
Cirebon saat Syarief Hidayatullah tidak berada di tempat diputuskan untuk diisi
oleh Fadillah Khan (Fatahilah).
Pada tahun 1552, setelah Maulana Hasanuddin resmi
menjadi penguasa kesultanan Banten, Syarief Hidayatullah kembali ke Cirebon
Pembagian wilayah taklukan
antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon
Pasca perjanjian damai Cirebon dengan kerajaan
Pajajaran di tahun 1530 dan setelah kesultanan Banten berdiri di tahun 1552,
maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara dibagi dua. Menurut
Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati pada abad ke 15 membagi wilayah antara
sungai Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum
sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara
masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang,
Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum
hingga sungai Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama
Jayakarta.
Pada tahun 1568, Maulana Hasanuddin sebagai penguasa
Banten yang juga membawahi wilayah Jayakarta mengangkat menantunya yaitu Kawis
Adimarta (Tubagus Angke) suami dari Ratu Ayu Fatimah (anak ke enam dari Maulana
Hasanuddin) sebagai penguasa Jayakarta, sebelumnya, sejak
peristiwa penaklukan Kelapa di tahun 1527 hingga diangkatnya Kawis Adimarta
pada tahun 1568, wilayah ini berada dibawah kekuasaan Fadillah Khan.
Fatahillah (1568-1570)
Pada tahun 1568 M Syarief Hidayatullah meninggal dunia
maka kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan
pejabat keraton yang selama Syarief Hidayatullah melaksanakan tugas dakwah dijadikan
wakilnya sebagai pengurus kesultanan Cirebon, Fadillah Khan (Fatahillah)
kemudian naik takhta (sebagai wali Kesultanan) dan memerintah Cirebon secara
resmi sejak tahun 1568. Fadillah Khan (Fatahillah) mengurusi kesultanan Cirebon
hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua
tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam
Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Persahabatan dengan kesultanan Banten dan kesultanan
Mataram
Sultan Zainul Arifin (1568-1649)
Sepeninggal Fadillah Khan (Fatahillah), oleh karena
tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada
cicit Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Mas Zainul Arifin atau dikenal juga
dengan nama Panembahan Ratu I, putra dari Pangeran Sawarga atau cicit Sunan
Gunung Jati yang sudah berusia 21 tahun. Pangeran Mas kemudian bergelar
Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun.
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin ini
dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan
Pajang) mulai dibangun di sekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh
Ki Ageng Pamanahan, tetapi beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada
tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh putranya yang
bernama Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng
Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya
diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara)
pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan Pajang,
Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya
datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan. Pada masa pemerintahannya,
Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya;
1. Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putra
dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
2. Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan
seseorang dari wilayah Yuwana
3. Kedu dan Bagelen (sebelah barat Pegunungan Menoreh)
juga berhasil dikuasai
4. Madiun mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590
5. Surabaya berhasil dikuasai
6. Kediri berhasil dikuasai
7. Parahyangan sebelah timur berhasil dikuasai
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin,
kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara kesultanan
Banten dengan kesultanan Mataram, hal itu disebabkan adanya hubungan keluarga
antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan
sunan Gunung Jati sementara dengan kesultanan Mataram hubungan persahabatan
yang erat telah dijalin antara Pangeran Mas Zainul Arifin dengan Danang
Sutawijaya penguasa Mataram pertama.
Persahabatan dengan
kesultanan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta Cirebon
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang
dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin
kedekatan dengan kesultanan Cirebon, tetapi hubungan yang dimaksud bukan
dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan. Benteng Kuta
Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja
diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja
Mataram.
“Waktu semono maksi akikib, Kuta Cirebon masih
Sinaroja, Adi wuku sakubenge, Tan ana Durga ngaru, Kadi gelare kang rumihin,
Jawa gunung kapurba, Katitiha ngulun, Sira koli tiwa-tiwa, Nagara gung Mataram
pon anglilani, Ing Crebon yen gawea”
“Tatkala itu masih tertutup, Kuta Cirebon masih utuh
dibangun pagar sekelilingnya, benteng itu tidak ada yang mengganggu, seperti
zaman dahulu kala pulau Jawa yang dibentengi oleh gunung-gunung, demikian juga
dengan Cirebon, maka negara agung Mataram pun merestui (membantu) proyek yang
sedang dikerjakan Cirebon (membuat benteng Kuta Cirebon)”
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun
sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran
pertama bangsa Belanda pada tahun 1596 dan tiga tahun setelah ditandatanganinya
perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang
Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.
Persahabatan dengan Mataram
dan dikirimnya Mas Rangsang (Sultan Agung Mataram) belajar ke Cirebon
Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram sangat
menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya (Sultan Agung Hanyaraka Kusuma
dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan Pangeran Mas), hal tersebut tidak
lain adalah pesan dari Danang Sutawijaya Sultan Mataram pertama yang berpesan
kepada keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik dengan Cirebon.
Pada tahun 1614 ketika Gubernur Jendral Pieter Both
berkuasa di Hindia Belanda, Belanda mengirimkan utusan ke Mataram, rombongan
dipimpin oleh Jan Piterszoon Coen (yang kelak menjadi Gubernur Jendral Hindia
Belanda pada tahun 1619). Mataram pada masa itu diperintah oleh Sultan Agung
(1613-1645), kepada utusan Belanda ini Sultan Agung menyampaikan klaim sepihak
bahwa seluruh wilayah pulau Jawa bagian barat adalah wilayah Mataram kecuali
wilayah kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon.
Rijckloff Volckertsz van Goens Gubernur Jendral Hindia
Belanda periode 1678 - 1681 menyatakan bahwa utusan Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) telah lima kali ditugaskan ke Mataram pada periode sekitar
tahun 1648 - 1654. Sejak zaman Danang Sutawijaya (teman Pangeran Mas Zainul
Arifin), sudah dipelihara hubungan yang erat dalam suasana perdamaian (groote
correspon-dentie on foede vreede), sebelum Danang Sutawijaya wafat ia telah
berpesan pula kepada putranya agar tetap memelihara hubungan baik dengan
Cirebon, Rijckloff Volckertsz van Goens berpendapat bahwa hal tersebut
dimungkinkan karena Cirebon dianggap suci” (guansuis, omdat den Cheribonder
voor hem’t geloof hadde aengenoomen ende een heilige man was).
Peristiwa Harisbaya
Konflik antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan
Sumedang Larang terjadi dikarenakan adanya peristiwa Harisbaya di tahun
1585[19] (namun sejarahwan Uka Candrasasmita memperkirakan bahwa peristiwa
Harisbaya terjadi pada 1588[49]). Pada masa itu Prabu Geusan Ulun dari kerajaan
Sumedang Larang diyakini melarikan Harisbaya, istri Sultan Cirebon Zainul
Arifin ke Sumedang, menurut Babad Sumedang, Suriadiwangsa adalah anak Harisbaya
dari pernikahannya dengan Sultan Cirebon Zainul Arifin[78], kelak Suriadiwangsa
menjadi penguasa Sumedang yang bersekutu dengan Mataram dalam penyerangan ke
Batavia.
Pembuatan kereta Singa Barong
Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas
Zainul Arifin pada tahun 1649 M berdasarkan Candrasangkala yang berbunyi iku
pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa),[49]
menurut H.B Vos, kereta Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk
ditarik dengan kuda akan tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi.
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya
(Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh
dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu.
Ketegangan hubungan dengan kesultanan Mataram, perang
Pacirebonan dan meninggalnya Sultan Abdul Karim
Perang Pacirebonan
Perang Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon
dikenal dengan nama perang Pagrage adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan
kesultanan Cirebon ke wilayah kesultanan Banten.
Latar belakang
Pada tahun 1588 ketika kesultanan Mataram muncul
setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, Danang Sutawijaya
kemudian mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan
atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu
jatuh dan mengakui eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu
diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang
Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalah sebuah Kadipaten dari
kerajaan Pajang kini menjadi kesultanan yang mandiri, namun demikian,
kesultanan Banten pada masa itu belum mengakui eksistensi kesultanan Mataram,
Sultan Maulana Muhammad, sultan Banten yang bertakhta saat itu baru berumur
sekitar 12 tahun (beliau naik takhta pada 1585[81] pada usia 9 tahun).
Masa Sultan Maulana Muhammad
Kesultanan Banten pada masa awal pemerintahan Sultan
Maulana Muhammad disibukkan dengan klaim takhta oleh Arya Jepara (saudara
Maulana Yusuf, ayah dari Sultan Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh Ratu
Kalinyamat (putri Sultan Trenggana dari Demak sekaligus istri dari pangeran Hadirin seorang Adipati Jepara). Pangeran Arya Jepara
mengajukan usul kepada kesultanan Banten agar dirinya dijadikan penguasa
kesultanan Banten sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk memegang
pemerintahan, tetapi usul tersebut ditolak oleh para pejabat kesultanan Banten
yang menganggap bahwa pangeran Arya Jepara adalah orang luar Banten, para
pejabat dengan dukungan Qadi kesultanan Banten pada masa itu mengangkat Maulana
Muhammad sebagai Sultan Banten, sementara menunggu usia Sultan Banten cukup
untuk memegang pemerintahan, maka Qadi dibantu dengan empat pejabat lainnya
menjadi wakil Sultan Banten dalam memerintah kesultanan Banten, mereka adalah
Patih (bahasa Indonesia: Perdana Menteri) Jayanegara, Senapati (bahasa
Indonesia: Panglima) Pontang, Ki Waduaji dan Ki Wijamanggala.
Penolakan Qadi dan para pejabat kesultanan Banten
membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang kesultanan Banten. Pangeran
Arya Jepara bersama para pasukan dan Demang Laksamana (bahasa Indonesia:
Laksamana) Jepara pergi menuju kesultanan Banten melalui jalur laut, dalam
peperangan tersebut Demang Laksamana Jepara tewas dan membuat Pangeran Arya
Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.
Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan
penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu
Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng Kuta Raja di Cirebon, Husein
Djajadiningrat dalam penelitiannya berkaitan dengan Banten menemukan bahwa di
tahun yang sama yakni 1596, Mataram pernah mengirimkan 15.000 pasukannya untuk
menyerang kesultanan Banten dari laut namun gagal. Sultan Maulana Muhammad pada
masa itu disibukkan dengan kegiatan dakwah Islam dan baru pada tahun 1596
(tahun yang sama dengan penyerangan Mataram ke kesultanan Banten) atas masukan
dari Pangeran Mas (putra Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari kesultanan
Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang maka Sultan Maulana Muhammad
memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah Palembang, dalam penyerangan
tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia 19 tahun wafat dan
meninggalkan putra mahkota kesultanan Banten yang baru berusia 5 bulan yang
kemudian dikenal dengan nama Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir.
Masa Sultan Abdul Mufakir
Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota
yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian
segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan Patih Jayanegara ditunjuk menjadi
walinya. Patih Jayanegara dikenal sebagai pejabat kesultanan Banten yang handal
dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali
kesultanan Banten, kesultanan berada dalam kondisi yang tenteram.
Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah
meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang
dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck ditemani oleh laksamana madya Wybrand
van Warwijck dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu sekaligus
seorang laksamana yaitu Jacob van Heemskerck, van Heemskerck pernah berlayar ke
kutub mengikuti rencana yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi
Perang Delapan Puluh Tahun antara Belanda dengan Spanyol.
Belanda yang selama ini mengambil rempah dari Lisbon
(Portugal) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan
saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda
berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha
mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, tetapi
usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi
incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena
statusnya pada masa itu berada di bawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang
Inggris, ketika Itinerario sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan
Hindia karya Huygen van Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha
mencari jalan alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol,
munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh
pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga
kali pula usaha tersebut gagal, Jacob van Heemskerck yang ikut dalam misi
melintasi kutub utara menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya
meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda
untuk melaporkan kegagalan tersebut.
Dari laporan Jacob van Heemskerck, Belanda kemudian
menyiapkan misi menuju Asia melewati Tanjung Harapan, Afrika Selatan, misi itu
dipimpin oleh Cornelis de Houtman, tetapi Jacob van Heemskerk tidak ikut dalam
misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan menjalankan misi ke Asia mencari
rempah-rempah beliau ikut serta ke dalamnya, mereka kemudian berlayar dengan
mengikuti arahan dari seorang astronom dan kartografer (pembuat peta) kelahiran
Flandria (sekarang bagian dari Belgia) yang bernama Petrus Plancius. Jacob van
Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di bidang navigasi pelayaran, latar
belakang keahliannya adalah bidang perdagangan, oleh karenanya dia memutuskan
untuk mengambil kelas di bidang navigasi guna mendalaminya.
Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut
baik oleh kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya yakni Cornelis de
Houtman yang tercatat sempat berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek
kapal-kapal pembawa rempah dari Sumatra dan Kalimantan yang datang ke Banten,
walaupun sebenarnya sikap Cornelis de Houtman dilatarbelakangi kejadian buruk yang
menimpanya ketika dia mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia berusaha
membeli rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan harga yang
sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada rombongan Cornelis de Houtman
bahkan rombongan inipun tidak diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih,
akhirnya rombongan Cornelis de Houtman pergi ke Sumatera untuk mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah
namun ia dan rombongannya ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan
dibayar, kejadian itu membuat Cornelis de Houtman kesal hingga melakukan
penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa rempah yang menuju Banten.
Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan
rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah
membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan Abdul Mufakhir
yang ketika itu masih berumur sekitar 2 tahun, Jacob Corneliszoon van Neck
kemudian memberi sebuah piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan
tanda persahabatan.
Pada tahun 1602, Patih Jayanegara meninggal dunia,
posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, tetapi dia dipecat pada 17
November 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu Nyi
Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang bangsawan keraton yang bernama
Pangeran Camara, dia mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali
bagi Sultan Abdul Mufakhir, setelah suami barunya ini menjadi wali Sultan, dia
membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang asing, wali Sultan yang
baru ini juga dituduh menerima suap sehingga perjanjian dagang yang dibuatnya
cenderung menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada umumnya,
banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas dengan keadaan ini ditambah
banyak keributan di wilayah kesultanan Banten yang diprakarsai oleh para
pedagang asing yang berpihak pada para pedagang Belanda atau Portugis.
Keberadaan Patih sudah tidak dihiraukan oleh pejabat
wilayah kesultanan Banten sehingga dikatakan bahwa kekuasaan Patih yang
sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan
wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah
kapal Jung dari Johor oleh Pangeran Mandalika (anak dari Pangeran Maulana
Yusuf), seruan Patih untuk melepaskan Jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan
Pangeran Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang
menentang kekuasaan Patih, mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar
kota, masalah ini kemudian dapat diselesaikan dengan penyerangan ke benteng
pertahanan Pangeran Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh Inggris
pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya
untuk menghadiri acara khitanan Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir pada saat itu
Patih meminta bantuannya, akhirnya perjanjian damai dilakukan antara kesultanan
Banten dengan kubu Pangeran Mandalika, dikatakan bahwa mereka diharuskan
meninggalkan wilayah kesultanan Banten selambatnya 6 hari dan hanya boleh
diikuti oleh 30 orang anggota keluarga.
Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608
terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama Pailir (bahasa Indonesia:
bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton di
bawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para
ponggawa (pejabat), sebenarnya peristiwa Pailir disebabkan oleh peristiwa yang
terjadi setelah Pangeran Ranamanggala dan rekan-rekannya bersekutu untuk
membunuh Patih yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri.
Keadaan kesultanan Banten setelah peristiwa Pangeran
Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk
mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang
untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal
dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa kesultanan Banten tidak aman
untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di
kesultanan Banten terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques
l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan
Juli 1608.
Kacaunya kondisi kesultanan Banten kemudian oleh
Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja,
Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna
membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan
Patih dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak kesultanan Banten hingga
lainnya di mana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut
kemudian disepakati untuk membunuh Patih sebagai penyebab masalah yang terjadi.
Upaya untuk membunuh Patih diserahkan kepada Depati Yudanegara dengan jaminan
keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi
kesultanan Banten.
Pada tanggal 23 Oktober 1608, Depati Yudanegara
membakar bagian dalam keraton sehingga Patih keluar tanpa membawa Sultan Abdul
Mufakir, dikatakan bahwa, walaupun Patih yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri
ini adalah orang yang membuat kebijakan kurang berpihak kepada kesultanan
Banten dan tidak mampu menjadi figur yang baik namun beliau sebagai ayah
sambung dari Sultan Abdul Mufakir menjalankan tugasnya dengan sangat baik,
beliau mendidik Sultan Abdul Mufakir dengan penuh tanggung jawab, mendampingi
Sultan dalam setiap pertemuan dengan para pejabat dan lain sebagainya sehingga
Sultan Abdul Mufakir yang masih remaja pada masa itu sangat dekat dan
menyukainya. Setelah Patih dan juru tulisnya keluar dari keraton, Depati
Yudanegara kemudian membunuhya.
Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk
membunuh Pangeran Camara (Patih) sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah
peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada
tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran
selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 di mana kebakaran berhasil
menghanguskan kediaman Patih namun pada peristiwa ini Patih berhasil selamat.
Pasca terbunuhnya Pangeran Camara Patih kesultanan
Banten, keadaan Sultan Abdul Mufakir menjadi rentan, beliau yang masih muda
diliputi rasa kehilangan yang mendalam karena ditinggal ayah sambungnya,
dilatarbelakangi hal tersebut Pangeran Ranamanggala membuat sebuah pertemuan
yang membahas kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten, tetapi
Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang sebelumnya mengikuti
pertemuan untuk membunuh Pangeran Camara tidak bersedia hadir, temasuk Pangeran
Prabangsa pun menolak hadir, sehingga yang hadir pada saat itu hanyalah
Pangeran Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat lainnya, peristiwa
pembahasan kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten inilah yang
kemudian membuat Depati Yudanegara selaku orang yang ditugasi membunuh Pangeran
Camara khawatir dirinya akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir
ini membuat Depati Yudanegara menemui Pangeran Kulon dan menyatakan bahwa dia
dan rekan-rekannya akan mendukung Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari
Sultan Maulana Yusuf dari anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang
menikahi Pangeran Gebang dari Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah awal
dari terjadinya peristiwa Pailir.
Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat
bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang
Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar
pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan
membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut
serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada Ki Wijaya Manggala dan
keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan
perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.
Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang
dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon yang
pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya
berhasil merebut meriam Banten yang bernama Ki Jajaka Tua namun hal tersebut
tidak begitu mengubah keadaan. Perang yang oleh Sultan Abdul Mufakir (masa itu
Sultan berusia 13 tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir dengan
perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri dari wilayah inti
Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609 berangkatlah Tumenggung Anggabaya,
Syahbandar dan pihak lainnya yang memihak Pangeran Kulon menuju Jayakarta
jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617, para Pangeran,
Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke Banten namun mereka tidak
diberikan peranan politik apapun, setelah peristiwa Pailir, Pangeran
Ranamanggala naik menjadi wali Sultan bagi Sultan Abdul Mufakir yang masa itu
berusia 13 tahun, waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam sengkala
Tanpa Guna Tataning Prang (1530 saka / 1608 M) jika dihitung dari penyebab atau
latar belakang munculnya peristiwa Pailir hingga tuntasnya perpindahan delapan
ribu orang pengikut Pangeran Kulon maka secara keseluruhan peristiwa ini
berlangsung pada tanggal 8 Maret 1608 hingga 26 Maret 1609 sementara inti
peperangan dalam peristiwa Pailir berlangsung dari sekitar akhir Oktober atau
awal November 1608 hingga perundingan damai yang menghasilkan keputusan
pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon pada bulan Februari 1609.
Selepas peristiwa Pailir Pangeran Ranamanggala
menjabat sebagai wali sultan Banten menggantikan Pangeran Camara ayah sambung
sultan yang terbunuh, segera Pangeran Ranamanggala melakukan penertiban dan
peninjauan ulang terhadap peraturan yang dibuat oleh wali sultan sebelumnya
berkenaan dengan para pedagang Eropa. Pajak kemudian ditingkatkan, terutama
yang berasal dari wilayah Banten, Pangeran Ranamanggala melakukan hal tersebut
dikarenakan berpendapat bahwa para pedagang Eropa di wilayah kesultanan Banten
tidak hanya berniat berdagang saja namun juga berniat mencampuri urusan
internal kesultanan Banten.
Kosongnya kekuasaan Jayakarta dan masuknya Belanda
Setelah peristiwa Pailir yang menyebabkan migrasi
besar-besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta di tahun 1609,
setahun kemudian di tahun 1610, untuk pertama kalinya Vereenigde Oostindische
Compagnie mengangkat Gubernur Jenderal untuk pulau Jawa yaitu Pieter Both,
Gubernur Jenderal Pieter Both bertugas untuk mencari sebuah tempat guna
mendirikan kantor dagang Vereenigde Oostindische Compagnie sekaligus dapat
dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia.
Gubernur Jenderal Pieter Both kemudian memilih wilayah
kesultanan Banten sebagai calon tempat pendirian kantor dagangnya dikarenakan
selama ini (sejak misi dagang Jacob Corneliszoon van Neck) Belanda sering
membeli dan menumpuk barang dagangannya di Banten, tetapi karena khawatir bahwa
suatu saat akan ada gangguan dari penguasa setempat dan juga dikarenakan
aturan-aturan baru yang diberlakukan oleh wali sultan yang baru yaitu Pangeran
Ranamanggala maka Gubernur Jenderal Pieter Both di tahun yang sama memalingkan
orientasinya dari wilayah inti kesultanan Banten ke wilayah Jayakarta.
Gubernur Jenderal Pieter Both melakukan perundingan
dengan Pangeran Wijayakrama (penguasa wilayah otonom Jayakarta atau biasa
dikenal dengan nama Pangeran Jayakarta) untuk membahas seputar perumusan naskah
perjanjian pembayaran bea, proses-proses hukum serta pembelian sebidang tanah
di sisi timur sungai Ciliwung guna mendirikan rumah dari batu dan kayu yang
berfungsi sebagai tempat tinggal, kantor dan gudang, perjanjian yang dibagi
menjadi dua bagian tersebut (satu bagian berkenaan dengan bea dan masalah
hukum, satu lagi berkenaan dengan penjualan tanah) kemudian ditandatangani pada
tahun 1611, uang sebesar 1200 real kemudian diberikan kepada Pangeran Jayakarta
sebagai pembayaran atas pembelian tanah di sisi timur sungai Ciliwung seluas
50x50 vadem (depa), akan tetapi rumusan kedua naskah awal surat perjanjian
tersebut sengaja dibuat berbeda oleh Vereenigde Oostindische Compagnie di bawah
Gubernur Jenderal Pieter Both, hal tersebut dilakukan sebagai alasan menyerang
pihak kesultanan Banten karena tidak menepati perjanjian di kemudian hari.
Adanya perbedaan antara rumusan naskah awal dengan
surat perjanjian tersebut menimbulkan pengertian yang berbeda antara Pangeran
Jayakarta dengan Gubernur Jenderal Pieter Both, dalam ketentuan perihal
penjualan tanah misalnya, dalam ketentuan hukum kesultanan Banten tentang
pertanahan (yang juga berlaku di wilayah Jayakarta) dinyatakan bahwa tanah
adalah milik sultan Banten yang hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu
dengan syarat-syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu, tetapi dengan perbedaan
yang dibuat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka pembelian tanah
tersebut diartikan sebagai perpindahan kepemilikan dari sultan Banten kepada
Vereenigde Oostindische Compagnie, walaupun terjadi ketegangan akibat rumusan
naskah yang berbeda dengan naskah pada perundingan awal, tetapi tanah untuk
Vereenigde Oostindische Compagnie akhirnya ditentukan.
Tanah untuk Vereenigde Oostindische Compagnie
disetujui berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan Pecinan
(kampung Tionghoa) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang Nakhoda) di
sekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di sebelah timurnya yang
dikepalai oleh Kyai Aria yang juga merupakan Patih Pangeran Wijayakrama atau
Pangeran Jayakarta (penguasa Jayakarta), di tahun yang sama (1611), Gubernur
Jenderal Pieter Both segera menunjuk Abraham Theunemans untuk mendirikan gudang
yang tidak permanen berukuran 31,5 x 11,4 m terbuat dari gedek (tembok kayu)
dan batu.
Gudang tersebut kemudian dapat diselesaikan
pembangunannya oleh Abraham Theuneumans pada 1613, gudang yang didirikan di
sebelah timur terusan kali Besar (bagian dari aliran sungai Ciliwung yang
berada di sebelah timur istana Pangeran Jayakarta, di seberang terusan kali
Besar terdapat perkampungan yang dipimpin oleh Ki Aria, patih Pangeran
Jayakarta) tersebut kemudian diberi nama Nassau. Pada 7 November 1614 Gerard
Reijnst seorang pedagang dan salah satu pemilik dari Nieuwe Compagnie
(Brabantsche) serta anak dari Pieter Reijnst (pembuat sabun) diangkat menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda selanjutnya menggantikan Pieter Both yang
habis masa jabatannya pada 6 November 1614.
Pada tahun 1615 terdapat kabar bahwa gubernur jenderal
sebelumnya yaitu Pieter Both yang tengah kembali ke Belanda bersama empat
kapalnya setelah menyelesaikan jabatannya mendapatkan kecelakaan di laut
sekitar Mauritius tepatnya di sekitar Flic-en-Flac, dua dari empat kapal dalam
rombongan Pieter Both tenggelam dan Pieter Both berada di dalamnya. Berkenaan
dengan kepemimpinan Gerard Reynst dikatakan bahwa Gubernur Jenderal Gerard
Reijnst bersikap tidak lebih baik dari pendahulunya, keadaan malah cenderung
lebih buruk.
Gubernur Jenderal Gerard Reijnst tidak bisa berbuat
banyak pada masa jabatannya karena dia terserang disentri dan akhirnya
meninggal 7 Desember 1615, setelah meninggalnya Gerard Reynst, Belanda menunjuk
Laurens Reael sebagai penggantinya, dia menjabat sebagai gubernur jenderal
Hindia Belanda pada 16 Juni 1616, pada masa Gubernur Jenderal Laurens Reael
tepatnya di tahun 1617 dibangunlah Mauritius sebuah rumah yang berada di sisi
kali Ciliwung.
Gubernur Jenderal Laurens Reael sebenarnya adalah
orang yang adil, dia menentang cara yang diambil oleh para petinggi Vereenigde
Oostindische Compagnie dalam memperlakukan orang-orang pribumi dan para pesaing
dagangnya (dalam kasus kehadiran para pedagang Inggris di Maluku), bagi
Gubernur Jenderal Laurens Reael dan juga Laksamana Laut Steven van der Hagen
tujuan dan kesuksesan dari Vereenigde Oostindische Compagnie hanya bisa dicapai
melalui jalur perdagangan dan diplomatik saja, tanpa melakukan serbuan dan
penaklukan kepada pribumi, baginya penyerangan-penyerangan kepada negara lain
hanya bisa dilakukan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku,
dikarenakan perbedaan prinsip ini Gubernur Jenderal Laurens Reael memutuskan
mengundurkan diri pada 31 Oktober 1617, tetapi dia baru bisa meninggalkan
posisinya setelah kedatangan Jan Pieterszoon Coen. Laurens Reael kemudian
mengulangi kembali pemikirannya melalui laporan yang ia tulis untuk Dewan
Perwakilan Rakyat Belanda dan para pemimpin Vereenigde Oostindische Compagnie
agar dapat diterima dengan jelas pesan dan posisinya.
Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi
Gubernur Jenderal, dia dipilih menjadi Gubernur Jenderal selanjutnya karena
dianggap lebih keras sikapnya dibandingkan pandahulunya Laurens Reael, bangunan
tidak permanen yang terbuat dari gedek dan batu tersebut kemudian diperkuat dan
dilengkapi dengan pagar tembok dari tanah, di setiap sudutnya lantas diperkuat
dengan pembangunan catte yang berfungsi sebagai tempat meriam yang pada masa
itu posisinya sengaja diarahkan ke wilayah Pangeran Jayakarta, selain
memperkuat bangunan sebelumnya Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen juga
membangun sebuah pangkalan laut yang kecil dengan fasilitas pergudangan dan
perbaikan, gereja dan rumah sakit di pulau sekitar Jayakarta.
Peningkatan struktur bangunan dari yang sebelumnya
merupakan bangunan tidak permanen menjadi bangunan permanen oleh Gubernur
Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada rumah Mauritius sebenarnya sudah menyalahi
kesepakatan awal antara Pieter Both dan Pangeran Wijayakrama (Pangeran
Jayakarta), dikarenakan walaupun Belanda mengubah isi perjanjian jual beli
tanahnya namun kesepakatan terhadap bangunannya yang harus tidak permanen tidak
mengalami perubahan, khawatir bahwa permasalahan di Jayakarta ini terdengar
hingga ke Banten maka Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta berusaha
menanggulangi masalahnya, salah satunya dengan bekerja sama dengan Inggris yang
kantor dagangnya berada tepat di seberang bangunan Belanda, mendengar adanya
persekutuan antara pihak Inggris dengan Pangeran Jayakarta maka Belanda segera
menyerang markas Inggris yang berada di seberangnya yang langsung di serang
balik oleh Inggris, hasilnya Belanda menderita kekalahan dengan korban tewas
berjumlah 15 orang dan korban luka-luka sebanyak 10 orang, melihat kondisi
tersebut Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera melarikan diri ke Maluku
sementara kekuasaan terhadap aset Belanda di Jayakarta diserahkan kepada Pieter
van den Broecke.
Pangeran Jayakarta kemudian berhasil menahan Pieter
van den Broecke, ketika berita penahanan Pieter van den Broecke sampai ke
Banten, wali sultan pada masa itu Pangeran Ranamanggala tidak menyetujui
tindakan yang diambil oleh Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta.
Pangeran Ranamanggala selaku wali Sultan Banten segera menarik Pangeran
Wijayakrama kembali ke Banten dan kekuasaan terhadap wilayah Kepangeranan
Jayakarta diambil alih olehnya sementara waktu.
Pangeran Wijayakrama yang ditarik ke Banten oleh wali
Sultan Banten kemudian ditempatkan di pesisir utara Banten tepatnya di kampung
Tanara, keputusan Pangeran Ranamanggala sebagai wali sultan Banten pada masa
itu dianggap bias, di satu sisi setelah peristiwa Pailir beliau menerapkan
peraturan ketat dan menaikkan pajak terhadap para pedagang Eropa, tetapi di
sisi lain tindakan penegakan hukum yang dilakukan Pangeran Wijayakrama selaku
penguasa Jayakarta dalam kasus rumah Mauritius dianggap salah oleh Pangeran
Ranamanggala bahkan berimbas pada penarikannya ke Banten, kuat dugaan bahwa
Pangeran Ranamanggala dan beberapa pihak di kesultanan Banten tidak begitu
menyukai Pangeran Wijayakrama sejak beliau menjadi mediator konflik-konflik di
Banten, sebagian pihak kesultanan Banten berpendapat bahwa Pangeran Wijayakrama
terlalu berpihak kepada para golongan yang menyusahkan Banten, sebut saja dalam
kasus terbunuhnya Sultan Maulana Muhammad di Palembang, tindakan Pangeran Mas
yang dianggap membuat Sultan Maulana Muhammad terbunuh dalam penyerangan ke
Palembang membuat banyak orang di Banten tidak menyukainya, beliau lantas pergi
ke Jayakarta untuk meminta bantuan agar diperbolehkan menetap di sana, walau
kemudian dia dibunuh oleh anaknya sendiri, serta kasus-kasus lainnya di mana
kehadiran Pangeran Wijayakrama sebagai mediator dianggap oleh sebagian pihak di
kesultanan Banten tidak memihak kepada kesultanan sehingga menyebabkan perang
dingin di antara Pangeran Wijayakrama dengan sebagian pihak kesultanan Banten
berlangsung cukup lama.
Rentetan kejadian inilah yang oleh sebagian peneliti
Banten dianggap sebagai hal yang melatarbelakangi alasan ditariknya Pangeran
Wijayakrama ke Banten secara komplek ketimbang hanya berpikir bahwa Pangeran
Wijayakrama ditarik karena kasus rumah Mauritius.
Menurut Profesor Hembing Wijayakusuma dalam tulisannya
tentang pembantaian masal 1740, beliau menjelaskan bahwa sebelum jatuhnya
kekuasaan Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta yang ditandai dengan
penarikan dirinya ke Banten, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie telah
sekali lagi mengubah isi perjanjian yang disepakati antara Pangeran Wijayakrama
dengan Pieter Both, perubahan dalam rumusan perjanjian oleh Vereenigde
Oostindische Compagnie adalah bahwa pihak Vereenigde Oostindische Compagnie
diberikan izin untuk membongkar rumah-rumah orang Tionghoa di Pecinan yang
dianggap terlalu dekat dengan gudang Vereenigde Oostindische Compagnie, alasan
penambahan klausul tersebut dikarenakan menurut Vereenigde Oostindische
Compagnie tidak adanya kepastian mengenai bea cukai, menurut pihak Vereenigde
Oostindische Compagnie, Wat Ting yang merupakan pemimpin Pecinan pada masa itu
bertugas sebagai saksi sekaligus penerjemah antara pihak Vereenigde
Oostindische Compagnie dan Pangeran Wijayakrama. Pada saat Pangeran Wijayakrama
ditarik ke Banten dan kekuasaan kepangeranan Jayakarta dikendalikan langsung
dari Banten, Pangeran Ranamanggala pada saat itu membunuh Wat Ting.
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen kembali dari
Maluku ke Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619 dengan membawa bantuan armada dari
markas Vereenigde Oostindische Compagnie di Maluku, longgarnya pemerintahan di
Jayakarta dengan ditariknya Pangeran Wijayakrama ke Banten segera dimanfaatkan
oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang juga bertekad untuk merebut
Jayakarta dari tangan Pangeran Ranamanggala. Penyerbuan yang dilakukan oleh
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen akhirnya berhasil. Pangeran Wijayakrama
yang kemudian dapat kembali ke Jayakarta menemukan bahwa kondisi Jayakarta
sudah berubah, beliau lantas berjuang untuk mendapatkan kembali Jayakarta
hingga akhirnya meninggal di wilayah yang sekarang disebut Jatinegara.
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera
membangun tembok benteng kota yang disebutnya sebagai Niuew Hoorn (sebagai
pengganti nama Jayakarta) setelah kemenangannya terhadap kubu Pangeran
Wijayakrama, nama Niuew Hoorn dipilih karena Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon
Coen berasal dari daerah Hoorn, tetapi dikemudian hari para petinggi Vereenigde
Oostindische Compagnie lebih memilih nama Batavia yang berarti tanahnya
orang-orang Batav (mengacu pada zaman Romawi), profesor Hembing Wijayakusuma
berpendapat bahwa nama Batavia berarti tempat tinggal Bata / Bato (pahlawan
Suku).
Pemilihan nama Batavia sebagai nama sebuah wilayah
tidak hanya disematkan kepada Jayakarta saja, tetapi juga disematkan kepada
wilayah wilayah yang di bangun Belanda di Amerika dan Suriname.
Belanda dan monopoli perdagangan di Banten
Pasca menguasai Jayakarta, Belanda melalui Vereenigde
Oostindische Compagnie berusaha menguasai perdagangan di Banten terutama
komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal kapal dagang yang hendak berlabuh
di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di Banten turun.
Sultan Abdul Karim (1649-1666)
Setelah Sultan Zainul Arifin meninggal dunia pada
tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang
bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi
yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih
dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni
Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit
di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan
Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram
(Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram di lain pihak merasa
curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan
Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan
sunan Gunung Jati.
Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober
1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon
dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya, pada tahun
1649 pangeran Girilaya naik takhta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah
penobatannya, sekitar tahun 1650-an Amangkurat I dari Mataram mengundangnya
beserta kedua putra tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya untuk
berkunjung ke keraton Mataram di kota Gede sekaligus menghormati naiknya
Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon.
Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama
kedua putranya dilarang kembali ke Cirebon dan tinggal di lingkungan Mataram
hingga kematiannya. Sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal
dengan nama Panembahan Ratu Pakungwati II menurut Mason Hoadley meninggal pada
tahun 1666, tetapi menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah
meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 M, 12
tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Kebijakan menawan tersebut merupakan
kebijakan politik Amangkurat I terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama
juga dialami oleh pangeran Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan
Arosbaya (Bangkalan) di Madura, pada tahun 1624, empat tahun setelah pangeran
Tengah meninggal dunia pada 1620, Mataram menyerang kerajaan Arosbaya, wali
raja pada saat itu pangeran Mas dari Arosbaya (adik dari pangeran Tengah
sekaligus paman bagi pangeran Prasena yang pada saat itu masih kecil) berhasil
melarikan diri ke Demak sementara pangeran Prasena berhasil dibawa ke Mataram
dan diangkat menjadi adipati Cakraningrat penguasa Madura bagian barat, tetapi
selama menjadi adipati, pangeran Prasena menghabiskan waktunya di Mataram mirip
seperti kejadian yang menimpa pangeran Abdul Karim atau dikenal dengan nama
pangeran Girilaya.
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat
dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Perwalian oleh Pengeran Wangsakerta
Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya
yaitu Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara
penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun
ternyata tidak kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan
karena tidak adanya pemimpin di kesultanan Cirebon.
Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan
Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih
memiliki keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan
Pangeran Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan
bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang
merupakan rakyat biasa), maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten
menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk
menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali. Keluarga akhirnya menyetujui
pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya
dari Mataram.
Lepasnya Karawang kepada Belanda
Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari
Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda,
perjanjian antara keduanya untuk saling membantu pun dilakukan, pada masa
pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya,
Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi Gubernur
Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa
mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai
Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut.
Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan
diterima oleh sultan Mataram, Amangkurat I dan putranya (beberapa bulan sebelum
Trunojoyo merebut ibu kota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan
putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan
Kartawijaya).
Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I
walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu
wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya dengan Rangkas Sumedang
(wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang
sekarang menjadi kabupaten Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten
Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan
wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.
Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan
menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari
Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta bantuan kesultanan
Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada
Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang
ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton Mataram,
orang-orang yang ada di dalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri, awalnya
Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada di antara para
tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari
Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan
mereka dengan hormat dan mengirimnya ke kesultanan Banten.
Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu
ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan
saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Karawang
yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan Amangkurat I dari
Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan
mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka mewarisi
wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil paksa tersebut,
sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah
Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.
Gerilya kesultanan Banten, Misi Jacob van Dyck dan
Pembagian Kesultanan Cirebon
Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran
Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.
Penyerangan pasukan Trunajaya dan disingkirkannya wakil Mataram
Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang
berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan
Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu
Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya.
Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai
pasukan Trunajaya tanpa kekerasan. Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan
Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi
Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan,
mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai
Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu :
1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,
2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke
Mataram,
4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan
rajanya sendiri,
5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan
Banten,
6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta
mengakui Sultan Banten sebagai pelindung
Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan
ancaman seandainya tidak diterima. Martadipa yang pada saat itu telah berusia
lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden
Trunajaya dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat
dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram).
Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi
pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi
sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran
kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan
bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua
kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga
kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar
mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi
penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa
Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten
dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap) yaitu
Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran
Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan
atas kepustakaan keraton.
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan
Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa
dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi
dinobatkan:
1. Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar
Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar
Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
3. Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713)
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi
dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan,
mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing.
Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan.
Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Misi Rijckloff van Goens menghancurkan kesultanan Banten
Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk
sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari
1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia
menuliskan bahwa
“yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda)
ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni
akan lenyap”
Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681
Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim
sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh
Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton
Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran
Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa
di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang
sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang
meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan
Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya
memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa
wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada
masing-masingnya secara tetap dan mengikat.
Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi
Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan
Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde
Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan
Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya
yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta
yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya
(Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan
sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran
Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran
Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa
di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan
oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan
Cirebon.
Kesultanan Banten menyerang loji Belanda di Indramayu
Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten
menyerang Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische Compagnie di
Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir, penyerangan
kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten
terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.
Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680
Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya
kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische
Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische
Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh
Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische
Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah
diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris (bahasa Indonesia : mediator atau
penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi
Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap
para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak
manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para
penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam
perlindungan Belanda).
Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van
Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat
sejak 18 Januari 1678 sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan
kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh
Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman
sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens
menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal
Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi
menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon
Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi.
Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh
Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679
namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin
tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober
1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan
hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde
Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama
Rijckloff van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah
jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi.
Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan
Banten di Cirebon
Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari
kesultanan Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran
Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak akan jatuh
kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika Cornelis Janzoon
Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan
Rijckloff van Goens pada 29 Oktober 1680.
Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680
mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon Speelman atas
penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat
ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu
kekecewaan Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde Oostindische
Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon
yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh
Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda.
Perjanjian 1681
Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda
menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon,
kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa
Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah
Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja
mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck,
setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka
diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa
Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para
penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua
buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju
ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari
kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh
tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di
Cirebon.
Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681,
diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang
disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan
pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari
1681 tersebut dibacakan.
Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan
diantara para penguasa Cirebon dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan
untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut
kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon. Pada perjanjian tersebut
Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs,
perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di
wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula, lada serta
Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda
(wilayah dibawah naungan Belanda).
Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga
membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde
Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana.
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda
pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah
peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah
kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana
kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100
Hektare, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926
No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan
Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh
pejabat pemerintah Indonesia yaitu wali kota dan bupati.
Kesultanan Cirebon sebagai pusat kebudayaan
Kesultanan Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam
tercermin dari banyaknya karya seni dan sastra yang bernuansa Islami yang
tumbuh seiring dengan perkembangan kesultanan Cirebon, naskah-naskah kuno
Cirebon yang memuat tentang sastra biasanya ditulis dengan menggunakan aksara
Pegon ataupun Jawi.
Berdasarkan isinya, naskah Cirebon bisa dikategorikan
ke dalam tiga belas kategori yaitu, sejarah, silsilah, wayang sastra, ajaran
agama, doa-doa, cerita islam, primbon, pengobatan, mantra, hukum, dongeng,
legenda dan lainnya termasuk jimat, adat istiadat dan pelajaran asmara. Naskah
kuno di Cirebon juga ada yang memuat tentang tasawuf yang ditulis oleh ahli
agama dari kalangan keraton yaitu pangeran Muhammad Nasiruddin (wangsakerta)
dan pangeran Kaharuddin (arya Cirebon), selain di keraton, naskah kuno, mushaf
al Qur'an dan kitab-kitab fiqih juga dapat ditemukan di pesantren-pesantren
yang ada di wilayah kesultanan Cirebon, seperti di pesantren Buntet yang
didirikan oleh Ki Muqoyyim yang merupakan seorang Qadi dari kesultanan Kanoman,
oleh karena banyaknya naskah-naskah yang memuat tentang segala hal yang
berkenaan dengan sendi kehidupan manusia dari mulai pelajaran agama, hukum
hingga masalah asmara maka wilayah kesultanan Cirebon disebut sebagai pusatnya
kebudayaan.
Bacaan lanjut
1. Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan
dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah
Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri
Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 –
23.
2. Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan
Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16
Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
3. Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan.
Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
4. Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah
Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Barat.
5. Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2
vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
6. Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java
(Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah).
Yogyakarta: Narasi.
7. Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat.
Makalah disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh
Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.
8. Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara.
Kepustakaan Populer Gramedia.
9. E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami
2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon.
Penerbit Edelweiss.
10. Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Lembaga Bahasa dan
Sedjarah Unpad. Bandung.
11. Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sadjarah
Sunda. Bandung. Ganaco Nv.
12. Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan
Moencang sareng Gadjah. Pengharepan. Bandoeng,
13. Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). Sejarah
Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya Historica. Bandung.
14. Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah Sukapura,
sebuah telaah filologis. Universitas Indonesia. Jakarta.
15. Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun
serta Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
16. Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu R.A.A.
Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB. Ciamis.
17. Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah Cirebon dan
Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga Kebudayaan
Wilayah III Cirebon. Cirebon.
18. Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983). Kerajaan Carbon
1479-1809. PT. Tarsito. Bandung.
19. Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah Sukapura.
Bandung
20. Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I
Bhumi Sumedang 1550-1950. CV.Rapico. Bandung.
21. Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. CV Pustaka
Setia.
22. Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi. CV Pustaka
Setia.
23. Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah Wargi
Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I
Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
24. Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. (1960). Babad
Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina
Taun 1580. Kujang. Bandung.
25. Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok Masa Lampau.
PT. Bina Hati. Bogor.
26. Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi -
mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.
A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati,
Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. (2004). Bupati di Priangan dan
Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Pusat Studi Sunda.
B. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008). Sejarah
Purwakarta.
27. Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah
(pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh
Muhsin Z. (2000). Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat. Alqaprint. ISBN
979-95652-4-3.
Pranala
1. (Indonesia) Cirebon, Masa Lalu dan Kini
2. (Indonesia) Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon
Referensi
1. ^ a b Rosmalia. Dini. 2013. Identifikasi Pengaruh
Kosmologi pada Lanskap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon. Bandung : Institut
Teknologi Bandung
2. ^ a b Susilaningrat. R. Chaidir. 2013. Dalem Agung
Pakungwati Kraton Kasepuhan Cirebon
3. ^ a b Hardhi. TR. 2014. Dakwah Sunan Gunung Jati dalam
Proses Islamisasi Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta
4. ^ a b Fajar, Rizky Nur. 2013. Perancangan Komunikasi
Visual Publikasi Buku Seri Keraton Cirebon. Jakarta: Universitas Bina Nusantara
5. ^ a b Hoadley, Mason C. 1994. Selective Judicial
Competence : The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680-1792. New York :
SEAP Publications
6. ^ a b Wildan, Dadan 2003. Sunan Gunung Jati Antara
Fiksi dan Fakta : Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural.
Bandung : Humaniora Utama Press
7. ^ Kesultanan Cirebon
8. ^ Permana, Achiar M. 2015. Piring Bertuliskan Ayat
Kursi Kenangan dari Laksamana Cheng Ho. Jakarta: Tribun News
9. ^ a b Radea, Pandu. 2016. Cheng Ho dan Masjid Kung Way
Ping yang Jadi Kelenteng Talang. Jakarta: Sportourism
10. ^ Rusyanti, R. 2016. Peranan Tan Sam Cai Kong Dalam
Sejarah Cirebon. Bandung: Balai Arkeologi Bandung
11. ^ Tim Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2006.
Widyasancaya. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
12. ^ Asdhiana, I Made. 2013. Kanoman, Sejarah yang Luka.
Kompas.Com
13. ^ Hasanu, Hasanu. 2004. Misteri Syekh Siti Jenar:
Peran Wali Songo dalam mengislamkan tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
14. ^ Adeng. 1998. Kota dagang Cirebon sebagai bandar
jalur sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
15. ^ Tim Suara Muhammadiyah. 1994. Suara Muhammadiyah vol
79. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
16. ^ a b c d Pembangunan, Y. 2005. West Java Miracle
Sight: A Mass of Verb and Scene Information. Jakarta: MPI Foundation
17. ^ a b Kurnia, Rohmat. 2009. Tempat dan Peristiwa
Sejarah di Jawa Barat. Bandung: Sarana Pancakarya Nusa
18. ^ a b Kabupaten Cirebon - Sejarah Kabupaten Cirebon
19. ^ a b c d e f g Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa
Barat. Bandung: Geger Sunten
20. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan
Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi
Aksara. hlm. 72. ISBN 9798451163.
21. ^ Muljaya, Prof. DR Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta
22. ^ a b c Sulendranigrat, P.S. 1985. Sejarah Cirebon.
Jakarta: Balai Pustaka
23. ^ Nafsiah, Siti. 2000. Prof. Hembing pemenang the Star
of Asia Award: pertama di Asia ketiga di dunia. Jakarta: Gema Insani Press
24. ^ Ekajati, Edi Suhardi, Etti R. S, Abdurrahman. 1991.
Carita Parahiyangan karya Pangeran Wangsakerta: ringkasan, konteks, sejarah,
isi naskah, dan peta. Bandung: Yayasan Pembangunan Jawa Barat
25. ^ a b Zahorka, Herwig. 2007. The Sunda Kingdoms of
West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor,
Over 1000 Years of Propsperity and Glory. Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka
26. ^ a b Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori.
1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Penerbit Saudara
27. ^ a b Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang,
Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
28. ^ Firdaus, Endang. 2009. Cerita Rakyat dari Serang.
Jakarta: Grasindo
29. ^ Tim Balitbang dan Diklat Kementrian Agama Republik
Indonesia. 2007. Kepemimpinan kiai-jawara: relasi kuasa dalam kepemimpinan
tradisional religio-magis di pedesaan Banten. Jakarta: Kementrian Agama
Republik Indonesia
30. ^ a b Pusat Studi Sunda. 2006. Mencari gerbang Pakuan
dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda
31. ^ a b De Haan, Frederik. 1932. Oud Batavia. Den Haag:
Antiquariaat Minerva
32. ^ Heuken, A. 1982. Historical Sites of Jakarta.
Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka
33. ^ a b c d Ridyasmara, Rizki. 2008. Mengkritisi Peran
Fatahilah di Jakarta. Jakarta: Era Muslim
34. ^ a b Pudjiastuti, Titik 2000, 'Sadjarah Banten:
suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat. Depok:
Universitas Indonesia
35. ^ Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007. Kapitalisme
Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522 - 1684. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia
36. ^ Effendy, Khasan. Sumanang Rana Dipaprana. 1994.
Pertalian keluarga raja-raja Jawa Kulon dengan Keraton Pakungwati: Sunan Gunung
Djati muara terakhir keluarga raja-raja Jawa Kulon. kota Bandung: Indra
Prahasta
37. ^ Hendarsyah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan Nusantara.
Yogyakarta: Great Publisher
38. ^ Syahdana, Darussalam Jagad. 2013. Banten Girang
Jejak Peradaban Banten yang Berkembang. kota Tangerang: Banten Hits
39. ^ Sariyun, Yugo. 1991. Nilai Budaya dalam Permainan
Rakyat Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
40. ^ | Syahdana, Darussalam Jagad. 2015. Gunung Pulasari;
Kunci Penaklukkan Banten Girang oleh Sunan Gunung Jati. Tangerang: Banten Hits
41. ^ a b Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. 1997. Kongres Nasional Sejarah, 1996: Sub tema dinamika
sosial ekonomi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia
42. ^ Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam pergumulan
sejarah: sultan, ulama, jawara. Jakarta: LP3ES
43. ^ Ruhimat, Mamat, Nana Supriatna, Kosim. 2006. Ilmu
Pengetahuan Sosial Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah). Bandung:
Grafindo Media Pratama
44. ^ Adhyatman, Sumarah. 1981. Antique ceramics found in Indonesia. Jakarta:
Himpunan Keramik Indonesia
45. ^ Yulianto, Kresno. 2008. Dinamika permukiman dalam
budaya Indonesia. Bandung : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
46. ^ Taher, Prof. dr. Tarmizi. 2002. Menyegarkan Akidah
Tauhid Insani: Mati di Era Klenik. Jakarta: Gema Insani Press
47. ^ Rahardjo, Supratikno. 1996. Sunda Kelapa sebagai
Bandar di Jalur Sutra.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia
48. ^ Suhardy, Haydr. 2015. Sejarah Pelabuhan Sunda
Kelapa. Jakarta: National Geographic Indonesia
49. ^ a b c d Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam
Nusantara. Jakarta: Gramedia
50. ^ a b Sulendraningrat, Pangeran Sulaiman, 1985.
Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
51. ^ a b c Atja, Ayatrohaedi. 1986. Nagarakretabhumi I.5:
karya kelompok kerja di bawah tanggung jawab Pangeran Wangsakerta Panembahan
CirebonBagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Indonesia).
Jakarta: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda
(Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
52. ^ Permana, Tjetjep. Saleh Danasasmita, Yoseph
Iskandar, Enoch Atmadibrata. 1983. Rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa
Barat. Bandung: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat
53. ^ Staf Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
2010. Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI
54. ^ Said, SM. 2017. Misteri Usia Sunan Kalijaga dan
Raja-raja Jawa. Jakarta : Sindo News
55. ^ Catz, Rebecca D. 1989. Fernão Mendes Pinto, the
Travels of Mendes Pinto. Chicago: University of Chicago Press
56. ^ Teuku Alfian, Ibrahim. 2002. Dari Samudera Pasai ke
Yogyakarta: persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian. Yogyakarta: Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia
57. ^ Hayati, Chusnul. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di
Jepara pada abad XVI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
58. ^ a b Muhaimin, Abdul Ghoffir. 2006. The Islamic
Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims. Melbourne :
Australia National University Press
59. ^ Staf Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.
2010. Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI
60. ^ Effendy, Khasan. Sumanang Rana Dipaprana. 1994.
Pertalian keluarga raja-raja Jawa Kulon dengan Keraton Pakungwati: Sunan Gunung
Djati muara terakhir keluarga raja-raja Jawa Kulon. Bandung: Indra Prahasta
61. ^ a b Kersten, Carool. 2017. History of Islam in
Indonesia : Unity in Diversity. Edinburgh : Edinburgh University Press
62. ^ Anwar, Rosihan. 2004. Sejarah kecil "petite
histoire" Indonesia, Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
63. ^ Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan kritis
tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah
Jawa. Jakarta: Djambatan
64. ^ Staf Citarum.org. 2001. Sungai Citarum Sekilas
Sejarah, Banjir: Dulu hingga Sekarang, Menuju Tujuan Bersama. Bandung:
Citarum.org
65. ^ [1]|jayakarta
66. ^ Shahab, Yasmine Zaki. 1997. Betawi dalam perspektif
kontemporer: perkembangan, potensi, dan tantangannya. Jakarta : Lembaga
Kebudayaan Betawi
67. ^ Adi, Windoro. 2010. Batavia, 1740: menyisir jejak
Betawi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
68. ^ Aziz, Abdul. 2002. Islam & masyarakat Betawi.
Ciputat : Logos Wacana Ilmu
69. ^ Silsilah kesultanan Kasepuhan Cirebon
70. ^ Silsilah Kesultanan Kasepuhan Cirebon
71. ^ Olthoff. W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Jawi
Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1646's - Gravenhage Martinus Nijhof.:
Leiden
72. ^ Poesponegoro. Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto.
2008. Sejarah Nasional Indonesia III - Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam
di Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta
73. ^ de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan
Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers
74. ^ a b c d | Tim Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan
Pariwisata Kota Cirebon. 2015. Riwayat Berdirinya Keraton-Keraton di Cirebon.
Cirebon: Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan Pariwisata Kota Cirebon
75. ^ Surianingrat, Bayu. 1983. Sejarah Kabupaten I Bhumi
Sumedang 1550 – 1950.
76. ^ Muhsin Z. Mumuh. 2008. Sumedang Pada Masa Pengaruh
Kesultanan Mataram (1601-1706). Bandung: Universitas Padjadjaran
77. ^ de Graaf, Hermanus Johannes. 1954. De Regering van
Panembahan Senapati Ingalaga, Leiden: KITLV
78. ^ Thresnawaty S, Euis. 2011. Sejarah Kerajaan Sumedang
Larang. Bandung : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
79. ^ Vos, H. B. 1986. Kratonkoetsen op Java. Amsterdam:
Amsterdam De Bataafsche Leeuw
80. ^ Tim Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. 2008. Kumpulan
makalah Pertemuan Ilmuah Arkeologi ke-IX, Kediri, 23-28 Juli 2002. Jakarta:
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
81. ^ Darmawan, Joko. 2017. Sejarah Nasional “Ketika
Nusantara Berbicara”: Yogyakarta: Deepublish
82. ^ a b c d e f Mukarrom, Ahwan. 2014. Sejarah Islam
Indonesia I: Dari Awal Islamisasi sampai Periode Kerajaan-Kerajaan Islam
Nusantara. Surabaya: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel
83. ^ a b de Graaf, Hermanus Johannes. Theodore Gauthier
Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke
Mataram. Jakarta: Grafitipers
84. ^ a b c d Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan
kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan
sejarah Jawa. Jakarta: Djambatan
85. ^ a b c Masselman, George. 1963. The Cradle of
Colonialism. New Haven: Yale University Press
86. ^ a b c Guillot, Claude. 2008. Banten - Sejarah dan
Peradaban Abad X - XVII. Jakarta: Gramedia
87. ^ Ijzerman, Jan Willem. 1923. Cornelis Buijsero te
Bantam, 1616-1618: zijn brieven en journaal / met inleiding en bijlagen uitg.
door J. W. Ijzerman. Den Haag: Martinus Nijhoof
88. ^ a b c d e f g h i Wijayakusuma, Hembing. 2005.
Pembantaian Massal, 1740: tragedi berdarah Angke. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
89. ^ a b c Suhaemi, Muhammad Hamdan. 2014. Catatan
Singkat Tentang Wijayakrama, Arya Ranamanggala Dan VOC Tahun 1618. Serang:
Respek Banten
90. ^ Michrob, Halwany, A. Mudjahid Chudari. 1989. Catatan
masa lalu Banten. Serang: Pengurus Daerah Tingkat II Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) Kapubaten Serang
91. ^ | Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan
Cirebon. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
92. ^ 2011 - Lontar Madura - Prasena Dinobatkan Sebagai
Penguasa Madura
93. ^ a b Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah
Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya: Bandung
94. ^ <| Noer, Nurdin M. 2015. Awal Pecahnya Kerajaan
Cirebon, Kasepuhan dan Kanoman. Cirebon: Cirebon Trust
95. ^ a b c de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya
istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers
96. ^ a b c d e f g h i Deviani, Firlianna Tiya. 2016.
Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik
Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M). Cirebon : Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
97. ^ Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang
Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon : kajian dari aspek politik dan
pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon
98. ^ Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten
menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang
Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
99. ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh :
Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. Bandung :
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
100.
^ de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch
gezag over Java: verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal
archief, Volume 4. s Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
101.
^ a b c d Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein
1636-1691 and Hortus, Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge
102.
^ a b Blink, Hendrik. 1907. Nederlandsch Oost- en West-Indië :
geographisch, ethnographisch en economisch beschreven, Volume 2. Leiden : Evert
Jan Brill
103.
^ a b Molsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's
geschiedenis en Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. Bandung : Nix
104.
^ Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 -
1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia
105.
^ Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia
106.
^ a b Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah:
persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
107.
^ Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar