GERHANA MATAHARI
KISAH SAAT IBRAHIM,
PUTRA RASULULLAH WAFAT
Oleh :Miftah H. Yusufpati
Jum'at, 15 Mei 2020 - 17:31 WIB
Orientasi
Rasulullah melihat mereka yang mengatakan bahwa matahari telah jadi gerhana karena kematian Ibrahim.
Kisah ini dinukil dari buku Sejarah Hidup Muhammad karangan Muhammad Husain Haekal dan diterjemahkan dari Bahasa Arab oleh Ali Audah.
Cinta-kasih Rasulullah kepada Ibrahim, putranya, sebenarnya bukan karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan Risalah yang dibawanya, atau dengan yang akan menjadi penggantinya. Rasulullah SAW dengan imannya kepada Allah SWT dan kepada Risalah Allah tidak akan memikirkan anak atau siapa yang akan mewarisinya. Bahkan dikatakannya: "Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah." Akan tetapi, rasa kasih insani dalam artinya yang luhur, rasa kasih insani yang begitu dalam tertanam dalam hati Rasulullah - yang kiranya tidak akan dicapai oleh siapa pun, rasa insani yang akan membuat manusia Arab memandang anak laki-laki yang akan mewarisinya sebagai sebuah lukisan abadi-- rasa kasih inilah yang telah membuat Rasulullah mencurahkan semua cintanya kepada Ibrahim, kasih-sayang yang tiada taranya. Dan rasa kasih ini lebih parah merasuk ke dalam hati, karena sebelum itu ia telah kehilangan kedua puteranya - Qasim dan Tahir, - dan keduanya masih bayi dalam pangkuan Siti Khadijah, ibunya.
Setelah Siti Khadijah wafat ia kehilangan puteri-puterinya pula, satu demi satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih hidup, selain Fatimah. Putera-putera dan puteri-puteri itu, yang satu demi satu berguguran di tangannya dan dengan tangannya sendiri pula beliau menguburkan mereka ke dalam pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam hatinya, kini terasa terobat juga dengan lahirnya Ibrahim, tempat buah hati meletakkan segala harapan. Dan sudah sepantasnya pula bila dengan harapan itu ia merasa gembira, merasa bahagia.
Tetapi harapan ini tidak berlangsung lama; hanya selama beberapa bulan saja. Sesudah itu Ibrahim jatuh sakit, sakit yang sangat mengkhairkan. Ia dipindahkan ke sebuah tempat dengan kebun kurma di samping Masyraba Umm Ibrahim. Maria dan Sirin adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi ini tidak lama sakitnya. Tatkala ajal sudah dekat dan Nabi diberi tahu, karena rasa sedih yang sangat mendalam, beliau berjalan dengan memegang tangan Abdur-Rahman bin 'Auf sambil bertumpu kepadanya.
Bila beliau sudah
sampai ke tempat itu di samping 'Alia - tempat Masyraba yang sekarang -
dijumpainya Ibrahim dalam pangkuan ibunya, sedang menarik napas terakhir.
Diambilnya anak itu, lalu diletakkannya di pangkuannya dengan hati yang
remuk-redam rasanya. Tangannya menggigil. Kalbu yang duka dan pilu rasa
mencekam seluruh sanubari. Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut
wajahnya. Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia berkata: "Ibrahim,
kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah SWT." Dalam keadaan hening
yang menekan itu kemudian airmatanya berderai bercucuran, sementara anak itu
sedang menarik napas terakhir. Sang ibu dan Sirin menangis menjerit-jerit; oleh
Rasulullah dibiarkan mereka begitu.
Setelah tubuh Ibrahim tiada bergerak lagi, sudah tiada bernyawa, dan dengan kematiannya itu padam pula semua harapan yang selama ini membuka hati Nabi, makin deras pula airmata Rasulullah mengucur, sambil ia berkata: "Oh Ibrahim, kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami yang kemudian akan menyusul orang yang sudah lebih dahulu daripada kami, tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini." Dan setelah diam sejenak, katanya lagi: "Mata boleh bercucuran, hati dapat merasa duka, tapi kami hanya berkata apa yang menjadi perkenan Tuhan, dan bahwa kami, O Ibrahim, sungguh sedih terhadapmu."
Muslimin yang melihat Rasulullah begitu duka, beberapa orang terkemuka hendak mengurangi hal itu dengan mengingatkannya akan larangannya berbuat demikian. Tapi ia menjawab: "Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang, ialah pengaruh cinta dan kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayangnya, orang lain pun tiada akan menunjukkan kasih sayang kepadanya." Atau seperti dikatakan juga: Kemudian ia berusaha menahan duka hatinya. Ia memandang Maria dan Sirin dengan pandangan penuh kasih. Kepada mereka dimintanya supaya lebih tenang sambil katanya: "Ia akan mendapat inang pengasuh di surga."
Kemudian setelah ia dimandikan oleh Umm Burda, - sumber lain menyebutkan oleh Fadzl bin'l-'Abbas - dibawa dari rumah itu di atas sebuah ranjang kecil. Nabi dan Abbas pamannya, begitu juga sejumlah kaum Muslimin ikut mengantarkan sampai ke Baqi'. Di tempat itu ia dimakamkan setelah disembahyangkan oleh Nabi. Selesai pemakaman Rasulullah minta supaya makam itu ditutup kemudian diratakannya dengan tangannya sendiri. Ia memercikkan air dan memberi tanda di atas kubur itu. Lalu katanya: "Sebenarnya ini tidak membawa kerugian, juga tidak mendatangkan keuntungan. Tetapi hanya akan menyenangkan hati orang yang masih hidup. Apabila orang mengerjakan sesuatu, Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara sempurna." Bersamaan dengan kematian Ibrahim itu kebetulan terjadi pula matahari gerhana. Kaum Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mujizat. Kata mereka matahari gerhana karena Ibrahim meninggal. Hal ini terdengar oleh Nabi.
Karena cintanya yang begitu besar kepada Ibrahim, dan rasa duka yang begitu dalam karena kematiannya, adakah ia lalu merasa terhibur mendengar kata-kata itu, atau setidak-tidaknya akan didiamkan saja, menutup mata melihat orang sudah begitu terpesona karena telah menganggap itu suatu mujizat? Tidak. Dalam keadaan serupa itu, kalau pun ini layak dilakukan oleh mereka yang suka mengambil kesempatan karena kebodohan orang, atau layak dilakukan oleh mereka yang sudah tak sadar karena terlampau sedih, buat orang yang berpikir sehat tentu hal ini tidak layak, apalagi buat Nabi Besar!
Rasulullah melihat mereka yang mengatakan bahwa matahari telah jadi gerhana karena kematian Ibrahim, dalam khutbahnya kepada mereka ia berkata: "Matahari dan bulan ialah tanda kebesaran Tuhan, yang tidak akan jadi gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah dalam zikir kepada Tuhan dengan berdoa." Sungguh suatu kebesaran yang tiada taranya.
Rasul tidak melupakan risalahnya itu dalam suatu situasi yang begitu gawat, situasi jiwa yang sedang dalam keharuan dan kesedihan yang amat dalam! Kalangan Orientalis dalam menanggapi peristiwa yang terjadi terhadap diri Rasulullah ini, tidak bisa lain mereka bersikap hormat dan kagum sekali! Mereka tidak dapat menyembunyikan rasa kekaguman dan rasa hormatnya itu kepadanya. Mereka menyatakan pengakuan mereka tentang kejujuran orang itu, yang dalam situasi yang sangat gawat ia tetap mempertahankan hak dan kejujurannya yang sungguh-sungguh ! Gerangan bagaimana pula perasaan isteri-isteri Nabi melihat kesedihan dan dukacita yang menimpanya begitu mendalam karena kematian Ibrahim itu?
Dia sendiri sudah merasa terhibur dengan karunia Allah itu dan dapat pula meneruskan tugas menunaikan risalah serta dengan bertambahnya Islam tersebar pada perutusan yang terus-menerus datang kepadanya dari segenap penjuru, sehingga tahun kesepuluh Hijrah ini diberi nama 'Am'lWufud - Tahun Perutusan.' Pada tahun itulah Abu Bakr memimpin orang menunaikan ibadat haji.
ooooooo o0o oooooooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar