KABUPATEN ACEH TAMIANG
PROVINSI ACEH
Orientasi
Aceh Tamiang adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh, Indonesia. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur dan terletak di perbatasan Aceh-Sumatra Utara.
Kabupaten ini berada di jalur timur Sumatra yang strategis dan hanya berjarak lebih kurang 250 km dari Kota Medan sehingga akses serta harga barang di kawasan ini relatif lebih murah daripada daerah Aceh lainnya. Di samping itu, kawasan ini relatif lebih aman semasa GAM berjaya dahulu. Ketika seruan mogok oleh GAM diberlakukan di seluruh Aceh, hanya kawasan ini khususnya Kota Kuala Simpang yang aktivitas ekonominya tetap berjalan.
Sejarah
Sebelum kemerdekaan
Kerajaan Tamiang pernah mencapai puncak kejayaannya dibawah pimpinan seorang Raja Muda Setia yang memerintah selama tahun 1330–1366 M. Pada masa itu kerajaan tersebut dibatasi:
1. Sungai Raya/Selat Malaka di bagian Utara
2. Besitang di bagian Selatan
3. Selat Malaka di bagian Timur
Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina Gebergte) di bagian Barat.
Pada masa Kesultanan Aceh, Kerajaan Tamiang telah mendapat cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung (Zainuddin, 1961: 136-137) dari Sultan Aceh Darussalam atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda. Sementara negeri Sultan Muda Seruway, Negeri Sungai Iyu, Negeri Kaloy, dan Negeri Telaga Meuku merupakan wilayah-wilayah yang belum mendapat cap SIkureung. Karena itu negeri-negeri tersebut dijadikan sebagai wilayah pelindung bagi wilayah yang telah mendapat cap SIkureung.
Pada tahun 1908, dengan berlakunya Staatblad No.112 tahun 1878, maka wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment Aceh en Onderhoorigheden. Maksudnya adalah, Tamiang berada dibawah status hukum Onderafdelling.[3] Dalam Afdeling Oostkust Van Atjeh (Aceh Timur) beberapa wilayah Landschaps berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder, dengan status hukum Onderafdelling Tamiang, termasuk wilayah-wilayah:
1. Landschap Karang
2. Landschap Seruway/Sultan Muda
3. Landschap Kejuruan Muda
4. Landschap Bendahara
5. Landschap Sungai Iyu, dan
6. Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.
Asal kata "Tamiang"
Nama Tamiang tumbuh dari legenda "Te-Miyang" atau "Da-Miyang" yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Ketika masih bayi, ia ditemukan dalam rumpun bambu betong (istilah Tamiang adalah bulooh) oleh seorang raja berjulukan "Tamiang Pehok". Menginjak dewasa, Pucook Sulooh dinobatkan menjadi Raja Tamiang bergelar "Pucook Sulooh Raja Te-Miyang", yang artinya "seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal".
Menurut sumber lain, kata Tamiang berasal dari kata “Da Miang”. Sejarah menunjukkan tentang eksistensi wilayah Tamiang melalui prasasti Sriwijaya. Tak kurang pula sastra tulis Cina karya Wee Pei Shih mencatat pula keberadaan negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), atau Tumihang dalam Kitab Negara Kertagama. Daerah ini juga berjuluk Bumi Muda Sedia, sesuai dengan nama Raja Muda Sedia yang memerintah wilayah ini selama 6 tahun (1330-1336). Raja ini mendapatkan cap Sikureung dan hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh atas wilayah Karang dan Kejuruan Muda kala itu. Selengkapnya, data-data tentang Kerajaan Tamiang setidaknya termaktub dalam:
1. Prasasti Sriwijaya yang diterjemahkan oleh Prof. Nilkanta Sastri dalam The Great Tamralingga (capable of) Strong Action in dangerous Battle (Moh. Said, 1961:36).
2. Data kuno Tiongkok (dalam buku Wee Pei Shih) ditata kembali oleh I.V.Mills, 1937, halaman 24, tercatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang) yang berjarak 5 kilometer (35 mil) dari Diamond Point (Posri).
3. Kerajaan Islam Tamiang dalam The Rushinuddin's Geographical Notices (1310 M).
4. Tercatat sebagai "Tumihang" dalam syair 13 buku Nagara kertagama (M.Yamin, 1946: 51).
5. Benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang (Penemuan T. Yakob, Meer Muhr, serta Sartono, dkk).
Berkaitan dengan data-data tersebut dan ditambah penelitian terhadap penemuan fosil sejarah, maka nama Tamiang dipakai menjadi usulan bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah-III, yang meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang.
Pemekaran
Tuntutan pemekaran daerah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebenarnya telah dicetuskan dan diperjuangkan sejak 1957 awal masa Propinsi Aceh ke-II, termasuk eks-Kewedanaan Tamiang diusulkan menjadi Kabupaten Daerah Otonom. Usulan tersebut lantas mendapat dorongan semangat yang lebih kuat lagi sehubungan dengan keluarnya ketetapan MPRS hasil Sidang Umum ke-IV tahun 1966 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya. Dalam usulnya mengenai pelaksanaan otonomi secara riil dengan Memorandum Nomor B-7/DPRD-GR/66, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengusulkan sebagai berikut:
1. Bekas Kewedanaan Alas dan Gayo Lues menjadi Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibu kotanya Kutacane.
2. Bekas daerah Kewedanaan Bireun, menjadi Kabupaten Djeumpa dengan ibu kotanya Bireun.
3. Tujuh kecamatan dari bekas Kawedanaan Blang Pidie menjadi Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibu kotanya Blang Pidie.
4. Bekas Daerah "Kewedanaan Tamiang" menjadi Kabupaten Aceh Tamiang dengan ibu kotanya Kualasimpang.
5. Bekas daerah Kewedanaan Singkil menjadi Kabupaten Singkil dengan ibu kotanya Singkil.
6. Bekas daerah Kewedanaan Simeulue menjadi Kabupaten Simeulue dengan ibu kotanya Sinabang.
7. Kotif Langsa menjadi Kotamadya Langsa.
Sebagian besar usulan tersebut sudah menjadi kenyataan namun usulan mengenai Tamiang belum dikabulkan. Sebagai tindak lanjut dari cita-cita masyarakat Tamiang, maka pada era reformasi, sesuai Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka keinginan Tamiang untuk menjadi daerah otonomi terbuka kembali dan mendapat dukungan melalui:
1. Bupati Aceh Timur dengan surat No. 2557/138/tanggal 23 Maret 2000 ke DPRD Kabupaten Aceh Timur tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati Wilayah-III Kuala Simpang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang.
2. DPRD Kabupaten Aceh Timur dengan surat No. 1086/100-A/2000, tanggal 9 Mei 2000, tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
3. Surat Bupati Aceh Timur, No. 12032/138 tanggal 4 Mei 2000 kepada Gubernur Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
4. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 138/9801 tanggal 8 Juni 2000 kepada DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
5. Surat DPRD Daerah Istimewa Aceh No. 1378/8333 tanggal 20 Juli 2000 tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.
6. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 135/1764 tanggal 29 Januari 2001 kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Cq. Dirjen PUMD tentang usul peningkatan status Daerah Pembantu Bupati dan Kota Adminstrasi menjadi Daerah Otonom.
Sejarah Kerajaan Tamiang
Kerajaan Tamiang atau Kesultanan Banua Tamiang, atau Benua Tunu merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak.[1] Wilayah Kerajaan Tamiang ini berada di ujung paling timur dari Provinsi Aceh Darusalam saat ini. Wilayah Tamiang tersebut juga merupakan perbatasan antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Pada saat sekarang ini Kerajaan Tamiang berada dalam kawasan administratif dari Kabupaten Aceh Tamiang yang resmii berdiri pada tahun 2002 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Tamiang atau Kesultanan Banua Tamiang juga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Tamiang ini pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia.
Sejarah kesultanan/Kerajaan Tamiang
Nama dari Kerajaan Tamiang tersebut pada awalnya diambil dari sebuah kata "Tamiang" yang juga berasal dari kata "te-miyang". Nama tersebut diambil dari sebuah legenda yang berasal dari wilayah tersebut yang berarti tidak gatal-gatal atau kebal terhadap miang bambu. Hal tersebut juga berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Ketika masih bayi, raja tersebut ditemui dalam rumpun bambu Betong atau betung (istilah Tamiang ” bulooh ”). Raja yang menemukannya ketika itu bernama Tamiang Pehok, ia kemudian mengambil dan membawa bayi tersebut. Setelah dewasa kemudian ia dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar ” Pucook Sulooh Raja Te-Miyang “, yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong tetapi tidak kena gatal atau kebal dari gatal-gatal.
Sebelum Islam masuk ke Tamiang, wilayah ini pada umumnya masih dalam pengaruh Hindu-Budha kala itu. Hal ini ditandai dengan adanya penjelasan tentang Kerajaan Tamiang yang terdapat pada Prasasti Sriwijaya.[2] Pada Awal abad ke-14 sekelompok da'i atau disebut juga dengan pengkhotbah Islam dikirim ke Tamiang oleh Sultan Samudra Pasai. Raja yang berkuasa di Tamiang ketika itu beranama Po dinok. Raja tersebut tidak mendukung kedatangan kelompok pendakwah Islam tersebut masuk ke wilayahnya. Ia kemudian menyerang kelompok tersebut, tetapi kalah dan akhirnya meninggal. Setelah penaklukan tersebut maka terjadi proses islamisasi masyarakat Kerajaan Tamiang pra islam menjadi masuk kedalam ajaran agama Islam. Proses islamisasi ini berlangsung secara damai sehingga terpilihlah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) sebagai raja pertama Kerajaan Islam Tamiang.
Pada masa Raja Muda Sedia (1330- 1366 M) sistem pemerintahan Kerajaan Islam Tamiang adalah sistem pemerintahan berdasarkan pewarisan atau turun termurun. Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Tamiang dipengaruhi oleh Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Bentuk peradaban yang dibangun oleh raja untuk Kerajaan Islam Tamiang bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat Tamiang. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan kekuatan militer dan pelayaran serta perdagangan yang menunjukkan bahwa kekuasaan para raja untuk tindakan yang mengarah kepada kemaslahatan rakyat Tamiang. Peradaban yang dihasilkan oleh Kerajaan Islam Tamiang tidak hanya di bidang militer dan perdagangan saja melainkan di bidang kebudayaan dan sarana ilmu pengetahuan seperti; meunasah, bahasa Tamiang, pakaian dan kesenian.
Kerajaan Tamiang pernah menjadi kerajaan terkenal yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia yang memerintah pada tahun 1330 -1366M. Pada saat itu wilayah kekuasaan kerajaan Tamiang meliputi kawasan Aceh bagian timur dengan batas-batas sebagai berikut: di sebelah utara berbatas dengan Sungai Raya atau Selat Malaka, di sebelah berbatasan dengan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Kemudian di sebelah timur juga berbatasan dengan Selat Malaka dan di sebelah barat berbatas dengan Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina Berte). Akhir masa pemerintahan Raja Muda Sedia diwarnai dengan cerita tentang serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Setelah kondisi kerajaan kembali pulih, Muda Sedinu memerintah di sana dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pagar Alam, di sekitar Simpang Jernih. Selanjutnya Muda Sedinu digantikan oleh Raja Po Malat (1369--1412).
Pada sekitaran tahun 1500-an Kerajaan Tamiang mengalami berbagai macam kemunduran. Kerajaan Tamiang tersebut mengalami kemunduran disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, serangan yang dilakukan oleh tentara Majapahit terhadap wilayah Tamiang. Kedua, wilayah kekuasaan kerajaan yang selalu berpindah-pindah. Ketiga, kelemahan para penguasa Kerajaan Islam Tamiang. Keempat, merosotnya ekonomi Kerajaan Islam Tamiang. Dengan terjadinya kejadian-kejadian tersebut maka hal tersebut membuat berakhirnya puncak kejayaan Kerajaan Islam Tamiang pada tahun 1558 M.
Daftar raja/sultan kerajaan(kesultanan Tamiang)
1. 1330 – 1352: Sultan Muda Sedia
2. 1352 – 1369: Mangkubumi Muda Sedinu
3. 1369 – 1412: Sultan Po Malat
4. 1454 – 1490: Sultan Po Kandis
5. 1490 – 1528: Sultan Po Garang
6. 1528 – 1558: Pendekar Sri Mengkuta
Peninggalan
Pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia, Kerajaan Tamiang juga terbagi ke dalam dua kerajaan kecil yaitunya Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu. Keberadaan Kerajaan Karang tersebut berawal dari diperolehnya pengakuan status kerajaan dari Sultan Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Walaupun saat itu terdapat dua kerajaan kecil namun kedua kerajaan kecil tersebut tetap tunduk dan patuh kepada Kerajaan Tamiang. Kedua kerajaan tersebut juga memiliki peninggalan yang sangat penting yaitunya istana. Kerajaan Benua Tunu memiliki sebuah istana yang dikenal dengan nama Istana Benua Raja. Istana tersebut saat ini berada di Desa Benua Raja. Lokasi istana ini hanya berjarak 5 kilometer dari pusat Kota Kuala Simpang. Saat ini Istana Benua Raja didiami oleh ahli waris kerajaan tersebut.
Peninggalan lainnya ialah peninggalan dari Kerajaan Karang yaitunya Istana Karang. Istana Karang ini berlokasi di Gampong Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kerajaan Karang yang merupakan bagian dari Kerajaan Tamiang sendiri berdiri pada tahun !558M, dengan raja pertamanya yang bernama Fromsyah. Jika dilihat secara keseluruhan, Istana Karang tersebut mempunyai bentuk bangunan yang menunjukkan bangunan tersebut berarsitektur Eropa. Gaya arsitektur Eropa melekat pada bangunan Istana Karang. Hal tersebut dapat terlihat pada konstruksi beton, bata, dan semen yang menjadi bahan dasar konstruksinya,
Geografi
Batas wilayah
Kabupaten Langkat (provinsi Sumatra Utara) dan Selat Malaka |
|
Kabupaten Langkat (provinsi Sumatra Utara) dan Kabupaten Gayo Lues |
|
Kecamatan
Daftar kecamatan dan gampong di Kabupaten Aceh Tamiang
Kabupaten Aceh Tamiang memiliki 12 kecamatan dan 213 gampong dengan kode pos 24471-24478 (dari total 243 kecamatan dan 5827 gampong di seluruh Aceh). Per tahun 2010, jumlah penduduk di wilayah ini adalah 250.992 (dari penduduk seluruh provinsi Aceh yang berjumlah 4.486.570) yang terdiri atas 126.724 pria dan 124.268 wanita (rasio 101,98). Dengan luas daerah 211.973 ha (dibanding luas seluruh provinsi Aceh 5.677.081 ha), tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini adalah 130 jiwa/km² (dibanding kepadatan provinsi 78 jiwa/km²). Pada tahun 2017, jumlah penduduknya sebesar 287.733 jiwa dengan luas wilayahnya 1.956,72 km² dan sebaran penduduk 147 jiwa/km².
Demografi
Kabupaten Aceh Tamiang merupakan pecahan dari Kabupaten Aceh Timur dan merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang mayoritas dihuni oleh etnis Melayu. Suku Aceh membentuk suku kedua terbesar di kabupaten tersebut. Selain kedua etnis tersebut, Suku Jawa & Suku Batak juga banyak dijumpai di kabupaten ini. Sementara di daerah hulu terdapat Suku Gayo, Suku Alas dan Suku Karo.
Ekonomi
Kabupaten Aceh Tamiang merupakan kawasan kaya minyak dan gas, meski jumlahnya tidak sebesar Kabupaten Aceh Utara, dan kawasan ini juga merupakan salah satu pusat perkebunan kelapa sawit di Aceh. Di samping itu, Aceh Tamiang juga mengandalkan sektor angkutan karena posisinya yang strategis, dan angkutan air merupakan salah satu primadona alternatif karena kabupaten ini dialiri dua sungai besar yakni Sungai Tamiang (yang terpecah menjadi Simpang Kiri dan Simpang Kanan) dan Sungai Kaloy. Kabupaten Aceh Tamiang juga mengandalkan sektor pertanian, industri pengolahan dan perdagangan.
Pariwisata
Kabupaten Aceh Tamiang memiliki beberapa tempat wisata yang hingga saat ini perlu penataan yang serius dan dikelola dengan baik. Air Terjun Tujuh Tingkat, Air Terjun Sangka Pane, Gua Sarang Burung Walet, Pantai Kupang adalah beberapa contoh tempat wisata di Aceh Tamiang yang perlu mendapatkan perhatian untuk dapat dikelola menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah.
Berikut adalah objek wisata yang ada di Kabupaten Aceh Tamiang:
No. |
Nama objek wisata |
Kecamatan |
1. |
Air Terjun Alur Batu |
|
2. |
Air Terjun Aras Sembilan |
|
3. |
Air Terjun Batu Gompak |
|
4. |
Air Terjun Bulutan |
|
5. |
Air Terjun Ekor Kuda |
|
6. |
Air Terjun Lubuk Aren |
|
7. |
Air Terjun Sangka Pane |
|
8. |
Air Terjun Seribu |
|
9. |
Air Terjun Sungai Bampo |
|
10. |
Air Terjun Tingkat Tujuh |
|
11. |
Bukit Kerang |
|
12. |
DAM |
|
13. |
Gua Angin |
|
14. |
Gua Gunung Pandan |
|
15. |
Gua Pintu Angin |
|
16. |
Gua Pintu Dinding |
|
17. |
Gua Pintu Janggut |
|
18. |
Gua Pintu Kuari |
|
19. |
Gua Sarang Burung Walet |
|
20. |
Istana Karang |
|
21. |
Istana Sungai Iyu |
|
22. |
Jati Kasih Sumber Air Panas |
|
23. |
Kelenteng Cina |
|
24. |
Kelenteng Gua |
|
25. |
Kolam Air Dingin Belerang |
|
26. |
Padang Savana |
|
27. |
Pantai Kuala Ketapang |
|
28. |
Pantai Kupang |
|
29. |
Pantai Pusung Siung |
|
30. |
Pemandian Batu Dinding |
|
31. |
Pemandian Batu Gantung Kemuning |
|
32. |
Pemandian Gunung Pandan |
|
33. |
Pemandian Kuala Parit |
|
34. |
Pemandian Mata Air Panas |
|
35. |
Pemandian Mata Air Panas |
|
36. |
Pemandian Pantai Rini |
|
37. |
Pemandian Titi Biru |
|
38. |
Situs Bukit Kerang |
|
39. |
Situs Bukit Remis |
|
40. |
Tamsar Alur Biak |
|
41. |
TPI |
|
42. |
Wisata Hutan Manggrove |
Tokoh terkenal
1. Ismed Sofyan. Atlet Sepak Bola nasional
2. Derli Amalia Putri. Atlet Menembak internasional
3. Fifi Young. Artis legendaris
4. Helenius Henri de Cock. Mantan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada era Hindia Belanda
5. Hunter Chalid. Master Nasional Catur
6. Maell Lee. Pelawak, Selebgram, Youtuber, slogan (Manusia Terkuat di Bumi, Bukan Kaleng-kaleng)
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar