Kamis, 25 April 2024

KABUPATEN BANGGAI LAUT PROVINSI SULAWESI TENGAH



KABUPATEN BANGGAI LAUT

PROVINSI SULAWESI TENGAH

Orientasi

Kabupaten Banggai Laut adalah salah satu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi TengahIndonesia. Banggai Laut merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Banggai Kepulauan yang disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru (DOB). Jumlah penduduk Banggai Laut pada tahun 2021 sebanyak 70.435 jiwa, dengan kepadatan 97 jiwa/km².

Sejarah Banggai Laut

Kabupaten Banggai Laut adalah salah satu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Tengah. Banggai Laut merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten BAnggai Kepulauan yang disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012 di gedung DPR RI tentang Rancangan UU Daerah Otonomi Baru (DOB). Jumlah penduduk Banggai Laut pada tahun 2021 sebanyak 70.435 jiwa, dengan kepadatan 97 jiwa/km².

1.  Perisai Bersegi Lima melambangkan kekokohan perdamaian persatuan dan kesatuan Banggai Laut bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila;

2. Rumah Berpilar Emas, merupakan sebuah latar belakang sejarah kejayaan serta keemasan kerajaan Banggai yang selalu memiliki semangat membangun; Dua Tiang berpilar Empat menggambarkan lembaga adat kerajaan banggai diperkuat 2 lembaga demokrasi yaitu basalo sangkap dan komisi sangkap; Susunan Tangga Rumah, artinya tahapan menuju kemandirian didalam membangun Kabupaten Banggai Laut; Bintang Kuning Emas melambangkan keagungan Ketuhanan Yang Maha Esa;

3.    Pohon Kelapa, merupakan hasil potensi daratan atau kesuburan tanah;

4.    Padi dan Kapas, melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan sandang dan pangan;

5.    Laut Biru melambangkan wilayah kabupaten banggai laut sebagai daerah maritime;

6.    Ikan Cardinal, merupakan endemik biota laut asli dari Kabupaten Banggai Laut;

7.  Pita Merah dan Putih merupakan ciri khas bendera budaya Banggai yang bermakna ketegaran, keperkasaan, kemegahan, serta kesucian didalam mengemban, menegakkan dan menyatukan pendapat dan kemajemukan masyarakat banggai;

8.    Untaian Mutiara, artinya keakraban dan keramahtamahan serta keindahan Banggai Laut;

9. Lahirnya Kabupaten Banggai Laut tertuang pada gambar dalam untaian 11 mutiara, 1 rumah berpilar emas, 20 bunga padi, dan 13 bunga kapas, kesemuanya tersimpul angka 11 Januari 20

Pemerintahan

Kecamatan

Kabupaten Banggai Laut terdiri dari 7 Kecamatan, 3 Kelurahan dan 63 Desa dengan luas wilayah 725,67 km² dan jumlah penduduk sebesar 63.127 jiwa dengan sebaran penduduk 87 jiwa/km².

Daftar kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Banggai Laut, adalah sebagai berikut:

Kode
Kemendagri

Kecamatan

Jumlah
Kelurahan

Jumlah Desa

Status

Daftar
Desa/Kelurahan

72.11.01

Banggai

3

7

Desa

Dangkalan

Kokini

Lambako

Lampa

Pasir Putih

Potil Pololoba

Tinakin Laut

Kelurahan

Dodung

Lompio

Tano Bonunungan

72.11.06

Banggai Selatan


6

Desa

Bentean

Kelapa Lima

Labuan Kapelak

Malino Padas

Matanga

Tolokibit

72.11.07

Banggai Tengah


8

Desa

Adean

Badumpayan

Gonggong

Mominit

Monsongan

Pososlalongo

Timbong

Tintingo

72.11.02

Banggai Utara


6

Desa

Bone Baru

Kendek

Lokotoy

Paisumosoni

Popisi

Tolisetubono

72.11.04

Bangkurung


12

Desa

Bone-Bone

Bungin Lawean

Dungkean

Kalupapi

Kanari

Lalong

Lantibung

Mbeleang

Sasabobok

Tabulang

Taduno

Togong Sagu

72.11.03

Bokan Kepulauan


16

Desa

Bolokut

Bungin

Kasuari

Kaukes

Keak

Kokudang

Mandel

Mbuang-Mbuang

Minanga

Ndindibung

Nggasuang

Paisubebe

Panapat

Sonit

Timpaus

Toropot

72.11.05

Labobo


8

Desa

Alasan

Bontosi

Lalong

Lipu Talas

Lipulalongo

Mansalean

Padingkian

Paisulamo


TOTAL

3

63



Pariwisata

1.        Pantai bulung

2.        Air terjun matube

3.        Padang Laya

4.        pantai Batu lubang

5.        Desa mandel

6.        Pantai Bongo

7.        Pulau Bakakang

8.        Pulau Bandang

9.        Pantai Lambangan pauno

10.    Pulau Bukakan

 

SEJARAH KABUPATEN BANGGAI

2 Comments

Hasil survei Kepustakaan dan Seminar

BAB I PENDAHULUAN

 1.1.      Latar Belakang

 Kehadiran pemerintahan dan keberadaan pemerintahan adalah sesuatu yang urgen bagi proses kehidupan masyarakat. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat, sekecil apapun kelompoknya, bahkan sebagai individu sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah. Secara historis eksistensi pemerintahan daerah telah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu, sampai pada system pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah, baik kolonialisme Belanda maupun Jepang.

Setelah disepakatinya azas atau prinsip dan tujuan serta arah perjuangan Indonesia Merdeka sebagaimana yang tertuang dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat pemerintahan di daerah, karena disadari bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai komitmen politik merupakan amanah konstitusi untuk menerapkan keadilan ekonomi disegala bidang bagi seluruh warga Negara. Melalui wewenang dan tanggung jawab kepada daerah untuk memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki masing-masing sehingga dapat diharapkan mempercepat proses pemerataan pembangunan serta meningkatkan daya saing masing-masing daerah.

Kemampuan dan prestasi suatu daerah pada dasarnya merupakan cermin dan akumulasi ataupun kompetensi rata-rata aparatur dan keterlibatan masyarakat dalam berperan serta, merumuskan, melaksanakan serta mengevaluasi program-program pembangunan bagi kemajuan dan kemandirian daerah.

Keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah pada suatu daerah akan banyak ditentukan oleh kemampuan pemerintah daerah di dalam menterjemahkan kewenangan dan tangggung jawab otonomi daerah serta usaha mengoptimalkan pemanfaatan semua potensi sumber daya yang ada.

Salah satu potensi sumber daya daerah adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dan SDM ini apabila dibina di kembangkan dengan baik melalui pelatihan-pelatihan yang kontinyu serta berorientasi pada lapangan kerja dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia yang potensial, produktif bagi daerah tersebut.

Sumber daya manusia potensial dan produktif tersebut akan membantu pemerintah daerah dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, dengan memahami secara utuh kondisi daerah tersebut, sejak lahirnya daerah itu sampai proses pelaksanaan pembangunannya dan kemampuan mengatasi semua persoalan otonomi di daerah.

Sejarah kelahiran suatu daerah patut diketahui secara utuh, sebab kondisi suatu daerah sangat berbeda dan perbedaan itu dilandasi dengan adanya etnis, suku, Agama, serta kebudayaan daerah tersebut.

Memahami proses kejadian-kejadian masa lampau suatu daerah maka kita akan pula memahami dan mendapat wawasan tentang daerah tersebut sehingga apabila kita mengambil suatu kebijakan pembangunan, kita tidak terjebak pada persoalan-persoalan etnis, suku, Agama dan kebudayaan daerah tersebut.

Kebudayaan sebagaimana diketahui meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, penanda suatu masyarakat, dan berfungsi untuk menata dan mengatur kehidupan secara menyeluruh. Dalam perkembangannya, kebudayaan mengikuti dinamika dan kemajuan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu Sejarah dan kebudayaan patut diketahui secara utuh pula, sebab pada satu sisi sejarah dan kebudayaan merupakan basis kehidupan di daerah dan harus dihormati   para pengambil kebijakan, di sisi lain kita juga memberi tempat kepada aspek-aspek yang baik dari kebudayaan daerah lain dan kebudayaan modern yang datang dari belahan dunia Barat, sambil memilah dan memilih aspek-aspek kebudayaan yang baik dan yang tidak baik.

Kerajaan Banggai terbentuk dari proses sejarah yang panjang, oleh karena itu dalam memahami kronologisnya dibutuhkan suatu keuletan, ke sabaran dan ke tabahan pengkajiannya di dasari profesionalisme yang proporsional. Kabupaten Banggai terbentuk berdasarkan Undang-Undang R.I. Nomor 29 Tahun 1929 Tanggal 04 Juli 1959 Tentang Pembentukan Kabupaten Dati II di Sulawesi.

Luas wilayah Kabupaten Banggai sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, tangal 04 Juli 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat  II di Sulawesi, adalah 12.877,16 Km2, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kabupaten Boul, Morowali dan Banggai Kepulauan, maka luas Kabupaten Banggai berkurang menjadi 9.672,70 Km2,  demikian pula dengan batas-batasnya mengalami perubahan.

Dengan kondisi tersebut, kemudian timbul suatu pertanyaan, apakah benar bahwa ada hubungan sejarah masa lalu antara kerajaan Banggai dengan Kabupaten Banggai? Apakah benar luas wilayah dan batas-batas kerajaan Banggai juga merupakan luas wilayah dan batas-batas Kabupaten Banggai? dan adakah hubungan timbal balik antara kerajaan Banggai dan Kabupaten Banggai? Bagaimana proses terjadinya Kabupaten Banggai? pertanyaan – pertanyaan tersebut dibuktikan dengan fakta sejarah yang benar dan jujur. Oleh karena itu, Yayasan LP3M Insan Cita bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banggai melakukan survey, menyusun, menulis serta men-seminarkan hasil-hasil penulisan sejarah Kabupaten Banggai, kemudian digandakan dalam bentuk sebuah buku yang baku.

1.2.      Tujuan penulisan

Memberikan Informasi dan wawasan luas kepada masyarakat sehingga dapat berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Banggai;

Memberikan pemahaman dan wawasan yang luas kepada pengambil kebijakan daerah ini sehingga dapat mengatasi segala persoalan-persoalan kemasyarakatan kini dan masa mendatang;

Memberikan jawaban Sejarah Kabupaten Banggai berdasarkan fakta dan Analisis sejarah yang benar, jujur, berdasarkan bukti empirik dari berbagai sumber Kepustakaan yang ada;

Sebagai sumbangsi terhadap Bangsa dan Negara Indonesia, khususnya Kabupaten Banggai, agar kelak dikemudian hari generasi pelanjut tidak dibutakan sejarah dan kebudayaan daerahnya.

Sedangkan kegunaan dalam penulisan Buku Sejarah Kabupaten Banggai ini adalah memberikan kesadaran waktu bagi se seorang untuk senantiasa berupaya mengukir sejarah kehidupannya dengan sebaik-baiknya.

1.3.      Perumusan Masalah 

Masalah timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian ataupun kebingungan kita terhadap suatu hal atau fenomena, adanya kemenduaan arti (ambiquity), adanya halangan dan rintangan, adanya celah (gap) baik antara kegiatan atau antar-fenomena, baik yang telah ada ataupun yang akan ada.

Permasalahan yang timbul adalah, “adakah hubungan antara kerajaan Banggai dan terbentuknya Kabupaten Banggai?

1.4.      Metode Penulisan

Metode penulisan yang dimaksud adalah suatu cara studi yang dilakukan dengan hati-hati, teliti dan sempurna terhadap Sejarah dan Kebudayaan Kabupaten Banggai, sehingga dapat dirumuskan dalam sebuah laporan studi berupa buku.

Studi yang dilakukan melalui pendekatan dan wawancara kepada para tokoh-tokoh masyarakat yang tau persis tentang sejarah dan kebudayaan Kabupaten Banggai , melalui studi Perpustakaan Nasional, LIPI di Jakarta, Manado, Palu dan Luwuk.

Metode yang dilakukan dalam penulisan buku adalah ‘Metode Survei”, yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual tentang bukti sejarah masa lampau, sedangkan teknik yang digunakan adalah “wawancara” langsung dengan nara sumber.

Wawancara tersebut merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menanyakan langsung kepada informan saksi hidup dan atau mengetahui persis tentang sejarah dan kebudayaan Kabupaten Banggai di masa lampau, cara ini disebut pengumpulan data primer. Sedangkan data-data sekunder melalui studi kepustakaan, Badan Pusat Statistik (BPS), serta data-data yang belum dibakukan atau masih tercecer yang berada diintansi di daerah ini.

1.5.      Analisa :

Analisa dan penafsiran data dilakukan dengan pendekatan analisa hubungan timbal balik. Dalam hubungan timbal balik, kita tidak tahu yang mana sebab dan yang mana akibat. Misalnya, sejarah Kerajaan Banggai dapat mempengaruhi sejarah Kabupaten Banggai, atau sebaliknya.

1.6.      Sistematika Penulisan

Sistematikan penulisan Buku Sejarah Kabupaten Banggai, dimulai : Bab I Pendahuluan yang memuat pembahasan latar belakang masalah, tujuan penulisan buku, perumusan masalah dan metode penulisan dan analisa serta sistematika penulisan buku.

Bab II Landasan Teori yang memuat pembahasan teori-teori tentang Sejarah, dan tentang Kabudayaan, sebagai landasan teori dalam analisa sejarah Kabupaten Banggai.

Bab III Sejarah Kabupaten Banggai yang memuat pembahasan,  sejarah Kerajaan Banggai, Pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang,  Perjuangan rakyat Banggai dan Gerakan Merah Putih, Badan Perjuangan Otonomi Daerah (BPOD), Daerah Swatantra Tingkat II (DASTING) Kabupaten Banggai, Daerah Tingkat II Banggai Tahun 1964 s/d 1995, dan Daerah Kabupaten Banggai Tahun 1996 s/d 2011 serta Visi dan Misi Bupati Banggai 2011-2016.

Bab IV Sejarah Kabupaten Banggai :  Fakta dan Analisis yang mengungkap fakta sejarah berdasarkan analisa ilmiah.

Bab V adalah bab penutup dari seluruh rangkaian pembahasan Buku Sejarah Kabupaten Banggai.

 BAB II   LANDASAN TEORI

2.1. Teori Tentang Sejarah

Kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajaratun yang berarti pohon. Kata ini kemudian mengalami perkembangan arti menjadi akar, keturunan, asal usul, riwayat dan silsilah. Kata sejarah diserap ke dalam Bahasa Melayu pada abad ke-13. Akan tetapi, di dalam bahasa Arab sendiri ilmu yang mempelajari kisah-kisah pada masa lalu disebut tarikh.

Dalam bahasa Inggris, kata sejarah dikenal dengan sebutan history, yang berasal dari bahasa Yunani istoria, berarti ilmu. Dalam perkembangannya, kata istoria diperuntukkan bagi pengkajian terhadap segala sesuatu mengenai manusia secara kronologis. Dalam bahasa Jerman, kata sejarah disebut dengan geschichte, yang berarti sesuatu yang telah terjadi.

Sejarah sebagai peristiwa atau realitas, karena peristiwa atau kejadian sejarah itu benar-benar ada dan terjadi, kemudian peristiwa atau kejadain itu dianggap sebagai kenyataan sejarah.

Sejarah sebagai kisah, dalam pengertian ini, sejarah dipandang sebagai kisah dari peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam bentuk kisah sejarah inilah peristiwa masa lalu di hadirkan kembali sebagai data sejarah.

Sejarah sebagai Ilmu mempunyai cici empiris yang berarti pengalaman manusia. Pengalaman tersebut direkam dalam dokumen dan peninggalan-peninggalan sejarah lainnya. Sumber-sumber sejarah tersebut kemudian diteliti para sejarawan untuk menemukan fakta. Setelah itu fakta-fakta tersebut diiterpretasikan dan dilakukan penulisan sejarah.

Herodotus (484-425 SM) mengatakan “Sejarah tidak berkembang ke  arah depan dengan tujuan pasti, melainkan bergerak seperti garis lingkaran yang tinggi rendahnya diakibatkan oleh keadaan manusia.” Beliau di kenal sebagai sejarawan pertama dunia berkebangsaan Yunani, dan mendapat gelar The Father of History atau bapak ilmu sejarah.

Ibn Khaldun (1332-1406), pakar sejarah Islam pada zamannya dalam bukunya terkenal “Mukaddimah”, mengatakan “sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia dan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu.”

W.J.S. Poerwadarminta (1987), dalam bukunya “Kamus umum Bahasa Indonesia” mengatakan, ‘Sejarah adalah Kesusastraan lama, silsilah, asal-usul; Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; Dan Ilmu Pengetahuan, cerita perjalanan tentang kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampu.”

R.Moh.Ali (1989), dalam bukunya berjudul “Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia,” mengatakan bahwa Sejarah adalah “Sejumlah perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kenyataan sekitar kita; Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian-kejadia, dan peristiwa-peristiwa yang merupakan realitas tersebut; dan sebagai  Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas tersebut.

Dari batasan teori sejarah tersebut diatas yang di sampaikan pakar ilmu Sejarah Dunia dan Nasional, maka dapat di simpulkan bahwa secara umum pengertian Sejarah adalah pertama, Peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial; kedua, Sejarah adalah cerita, kisah atau cacatan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan atau sumber-sumber sejarah; dan ketiga Sejarah sebagai Ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.

Kronologi dalam sejarah berarti sesuai dengan urutan waktu. peristiwa sejarah akan selalu berlangsung sesuai dengan urutan waktu, sehingga peristiwa-peristiwa sejarah tidak terjadi secara melompat-lompat urutan waktunya, atau bahkan berubah urutan waktunya (anakronis). Peristiwa-peristiwa sejarah yang diceritakan dan disusun berdasarkan urutan kejadian tanpa memberi penjelasan tentang hubungan sebab akibat antara peristiwa tersebut disebut kronik.

Periodisasi adalah pembagian atau pembabakan peristiwa-peristiwa masa lampau yang sangat panjang menjadi beberapa zaman. Dalam kenyataan sejarah yang sebenarnya tidak dikenal adanya periodisasi sejarah. Penyusunan periodisasi dalam penulisan sejarah bertujuan untuk mempermudah dalam mempelajari sejarah. Dalam menyusun periode-periode sejarah tersebut harus disusun secara kronologis.

2.2. Teori Tentang Kebudayaan

Kebudayaan sebagaimana diketahui meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, penanda suatu masyarakat, dan berfungsi untuk menata dan mengatur kehidupan secara menyeluruh. Dalam perkembangannya, kebudayaan mengikuti dinamika dan kemanjuan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu para pendiri Republik ini semenjak awal telah menghadapi dua tantangan sejarah dan kebudayaan yang tidak mudah. Pada satu sisi mereka harus menghormati sejarah dari tradisi lokal yang dalam banyak hal telah menjadi basis kehidupan masyarakat, pada sisi lain, mereka harus member tempat kepada aspek-aspek yang baik dari kebudayaan modern yang datang dari belahan dunia Barat, sambil memilah dan memilih aspek-aspek kebudayaan yang kurang sesuai dengan visi dan persepsi bangsa Indonesia tentang kehidupan.

Menurut Horton dan Hunt, Masyarakat adalah “suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sedangkan Kebudayaan adalah system norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan manyarakat tersebut.” (terjemahan 1987:59). Mereka juga mengatakan bahwa lembaga adalah suatu system norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat di pandang penting.

Pada umumnya masyarakat terintegrasikan berdasarkan faktor-kaktor dasar tertentu. Salah satu faktor dasar tersebut adalah adanya nilai-nilai tertentu, yang dianut oleh bahagian terbesar warga masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ada kemungkinan, bahwa suatu masyarakat dapat berubah apabila nilai-nilainya dirubah. (Rahardjo, Sosiologi Pedesaan,1999).

J.B.A.F. Mayor Polak (1996), mengatakan bahwa “antara kebudayaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan. Ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan dalam kebudayaan juga akan diikuti oleh perubahan dalam struktur.

BAB III  SEJARAH KABUPATEN BANGGAI

2.1. Sejarah Kerajaan Banggai

Sejarawan Bangsa Cina bernama Chu Ku fei (1178 M) dalam bukunya berjudul  Ling-wai, menulis bahwa kerajaan Banggai merupakan kerajaan kecil yang masuk dalam sebelas wilayah Kerajaan Kediri (Panjalu, 1041 M), dengan nama Ping ye = Banggai, meliputi kerajaan kecil pertama,  Pai Hua yuan = Pacitan, kedua Me tung = Medang, ketiga Ta pen = Tumapel, keempat Jung ya lu = Hujung Galu, kelima Ta kang = Sumba, keenam Huang ma chu = Irian Barat daya, ketujuh Ma li = Bali, kedelapan Khu lun = Gurun Lombok, kesembilan Ti wu = Timor, kesepuluh Ping ye = Banggai dan kesebelas Wa nu ku = Maluku.

Sewaktu keprabuhan Majapahit Berjaya, Kerajaan Banggai termasuk wilayahnya yang berstatus otonomi secara luas, sebagaimana Kerajaan Majapahit pernah menyebut bahwa kerajaan Banggai merupakan wilayah kekuasaanya, yang diungkapkan dalam sebuah tulisan oleh seorang Pujangga  Kerajaan Majapahit Mpu Prapanca (1365), dalam bukunya yang terkenal “Negara Kertagama.”

Dalam buku Negara Kertagama, Mpu Prapanca berucap dalam bentuk syair nomor 14 bait ke 5 yang berbunyi, “ Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntu, Benggawi, Kunir, Galiyao murang ling Salaya, Sumba, Solor, Munar, Muah Tikang I Wandan  Ambawa athawa Maloko, Wiwanum ri Seran I Timur Mukadi Ningageka Nusatutur. “  (Mangkasar= Makassar, Buntun = Buton, Benggawi = Banggai, Kunir = Pulau Kunyit, Salaya= selayar, Ambawa= Ambon, dan Maloko= Maluku).

Pernyataan Che ku Fei dan Mpu Prapanca tersebut diatas, penulis ketemukan melalui buku sejarah pertama Franscois Valentijn (1726); yang berjudul Oud en Nieeuw Oose Indien, 1726, buku pertamanya tentang Hindia Timur yang baru dan yang lama, serta Buku Muhammad Yamin, Gajah Mada (1985).

Untuk membuktikan siapa yang pertama kali menulis dan menginjakkan kakinya di Pulau Banggai, maka di bawah ini penulis kutip bukunya Franscoi Valentijn (1729 : 566),

yang mengungkap sejarah Pulau Sulawesi, dalam teks asli sebagai berikut :

Franscois Valentijn, Oud en Nieuw Oose Indien,

(1726:566),

De Portugezen waren de eerste Europeanen die Sulawesi bezochten. De Portugese historicus Tome Pires introduceerde de naam Celebes. Tussen 1512 en 1515 werkte hij aan het Suma Oriental, een omvangrijk boekwerk over Oost-Azië. Hierin vermeldt hij dat Celebes, Banggai en Siau de Molukken voorzagen van voedsel en goud. Met Celebes werd aanvankelijk alleen het uiteinde van de noordelijke arm van het eiland aangeduid. Door de vele verraderlijke koraalbanken -of misschien ook wel vanwege het grote aantal piraten in de omgeving- noemden de Portugezen het gebied Punta de Celebres, ofwel beruchte kaap. Een Indonesisch volkssprookje heeft een andere verklaring voor de naam voor het eiland. De Portugese kapitein die als eerste voet aan wal zette wilde erachter komen welk eiland hij ontdekt had. De smid die hij op het strand trof begreep niets van de vraag en gaf als antwoord Sele Besi; ik smeed ijzer. De naam van het eiland kan ook afgeleid zijn van het Buginese ‘selihe’ (stroming) of van ‘si lebih’ (met meerdere eilanden). De oudste kaart waarop de naam Celebes voorkomt is gemaakt door kapiteins van de Ferdinand Magaelhaes-vloot die rond 1524 langs de noordkust van het eiland voer. De huidige naam voor het eiland, Sulawesi, werd in de 30-er jaren van de vorige eeuw door jonge nationalisten van Zuid-Celebes geproclameerd.

Franscois Valentijn,   Hindia Timur yang Baru dan yang

lama  (1726:556);

“Portugis orang Eropa pertama mengunjungi Sulawesi. Tome Pires sejarawan Portugis memperkenalkan Sulawesi nama. Antara 1512 dan 1515 ia bekerja di Suma Oriental, sebuah buku yang komprehensif di Asia Timur. Di sini ia menyebutkan bahwa Sulawesi dan Banggai Siau Maluku untuk memotong makanan dan emas. Sulawesi awalnya dengan hanya ujung lengan utara pulau yang ditunjukkan. Karena karang banyak pengkhianat atau mungkin karena sejumlah besar bajak laut di daerah tersebut, Portugis disebut area Punta de Celebres atau jubah terkenal. Sebuah cerita rakyat bahasa Indonesia memiliki penjelasan lain untuk nama untuk pulau itu. Kapten Portugis yang pertama kali menginjakkan kaki ingin mengetahui pulau telah ditemukan.

Smith, yang dia bertemu di pantai tidak memahami pertanyaan dan memberikan jawaban Sele Besi, aku menempa besi. Nama pulau juga bisa berasal dari Bugis ‘selihe “(aliran) atau’ si Lebih ‘(beberapa pulau). Peta awal menunjukkan nama Celebes terjadi dibuat oleh master dari Ferdinand Magaelhaes armada sekitar 1524 di sepanjang Pantai Utara pakan. Nama saat ini untuk pulau, Sulawesi, berada di 30-an abad lalu oleh nasionalis muda dari Sulawesi Selatan diproklamasikan.”

Dari pernyataan Valentijn (1726) tersebut dapat dipahami bahwa sejarawan Bangsa Portugis Tome Pires yang menemukan pertama nama Pulau Sulawesi dan Banggai Siau Maluku pada tahun 1512-1515. Peta pulau Celebes pertama kali dibuat oleh Ferdinand Magaelhaes sekitar 1524.

P.A. Tiele (1532), dalam JJ. Doermier (1945), pernah menulis dalam bukunya De Europeers in Den maleischen Archipel, di sana disebutkan, bahwa pada tahun 1532. Laksamana Andres De Urdanette bangsa Spanyol merupakan sekutu (kawan) dari Sultan Jailolo, pernah mengunjungi wilayah sebelah Timur Pulau Sulawesi (Banggai). Andres de Urdanette merupakan orang barat pertama yang menginjakan kaki di Banggai. Sedang orang Portugis yang pertama kali datang ke Banggai bernama Hernando Biautemente tahun 1596.

Untuk lebih memahami sejarah Kerajaan Banggai, penulis memulai dari terbentuknya kerajaan-kerajaan di wilayah darat Banggai,  pulau Gapi (Peling), pulau  Banggai, kemudian mengembangkannya menjadi sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama “Kerajaan Banggai,” dengan wilayah sampai ke Tg. Api dan Pulau Togong, sebelah desa rata, Banggai darat, dengan pendapat Francois Falentijn, Prof.Dr.WEL Weck, O.H. Goehdart, E.Gobee, Albert C.Kruyt, yang disadur JJ. Dormeire, sebagaimana di bawah ini.

Menurut Dormier (1945:18), Tompotika di Bualemo, sekitar tahun 1490 sampai tahun 1580 an  pernah menjadi kerajaan besar,   yang didiami suatu bangsa primitif kutu nu tano, rajanya bernama Lologani, gugur dalam pertempuran dengan sultan Ternate, dengan bantuan tentara Tobelo dan Gorontalo, sebagian rakyat Tompotika mengusingkan diri ke wilayah-wilayah pedalaman dan pesisir selatan.

Suku asli Loinang Barat (Tompotika,Bualemo) masih lebih murni keturunannya dan selalu disebut kutu nu tano (madi, asli loinang), dibandingkan dengan suku asli yang berada di Loinang Timur (Lingketeng, Tambunan, Baloa) yang sudah masuk asimilasi dari imigran lainnya.

Suatu petunjuk ke kerajaan Boalemo selanjutnya dapat ditemukan dalam sosok Lipuadino. Menurut legenda, Lologani raja Tompotika, gugur dalam peperangan, tetapi setelah tanahnya dihancurkan, saudara perempuannya, Mapaang yang menyebabkan peperangan itu, menempatkan dirinya di bawah perlindungan raja Banggai; ia diberi daerah Lampa sebagai tempat tinggal beserta para pengikutnya, tidak jauh dari tempat kedudukan raja Banggai. Putra  Mapaang atau mungkin keponakannya, putra Lologani, yang juga selamat, diberi kedudukan yang istimewah oleh raja Banggai; ia mendapat Lolantang di Peling Barat sebagai daerah kekuasaannya; ia menerima gelar Lipuadino. Di kemudian hari, daerah kekuasaan Lipuadino meluas baik ke Peling mapun ke vaste wal; di Peling, karena Kadupang setelah kalah perang, secara sukarela menempatkan diri di bawah kekuasaannya, di vaste wal, karena Lipuadino dalam salah satu perjalanannya ke sana, menemukan dua kelompok orang di dekat ke-bosanyoa-an Mangkiin Piala yang belum mempunyai penguasa, maka ia mengangkat dirinya sebagai penguasa sehingga mereka selanjutnya menjadi wajib upetih kepadanya, kedua kelompok itu KELEKE dan Lo’nsom. (1720-1887).

Doermier mengatakan (1945:20), bahwa di Lingketeng  ada seorang yang bergelar Daka’nyo Inetes, yang mengaku berasal dari turunan- raja-raja Bualemo. Orang-orang mengatakan bahwa kakak beradik  Mangamben merupakan Bapak leluhur Bosanyo di Kintom, di peseser Selatan, sedangkan Tongkoi bapak leluhur Bosanyo Lingketeng di daerah pegunungan.

Pokouhan (Pakowa maksudnya), merupakan kelompok mandiri yang ketiga, yang kepalanya, Daka’nyo, juga berasal langsung dari putra Lologani (Lakauta atau Selena); dalam cerita yang beredar di sini, maka basanyo Kintom adalah saudara perempuan bapak leluhur mereka; bapak leluhur itu yang bermukin dipegunungan.

Mendono, juga terjadi dari suatu percampuran suatu kelompok imigram, yaitu raja – raja dari Bualemo, yang dalam pelariannya dari pantai selatan ke arah pedalaman, menemukan suatu kelompok asli, kutu no tano, keturunannya Bosanyo mianu Tutui.

E.Gobee (1928; 442,443), dalam bukunya berjudul Een Loinangsch Verhaal (cerita-cerita dari suku Loinang), mengatakan bahwa “pada tahun sekitar 1417 persekutuan Loinang Timur sudah terbentuk dan membentuk sebuah kerajaan dengan nama Tompotika, raja pertama bernama  La Logani, kedua adiknya perempuan ratu  Mapaang,  wilayah kerajaan ini meliputi pegunungan yang meraka namakan Tompotika ” (Tumpu potinggi mianu kita = Tuhan meninggikan derajat manusia). Keturunan raja La Logani disebut Miannu BALAYAN, yang tersebar dari Pegunungan Tompotika, gunung pinuntunuan, gunung kau totolu,  atau oleh penulis barat di kenal dengan suku La Inang Barat.

Sedangkan anak-anak La Logani, Mangamben, Lakauta,  menulusuri Pegunungan Tompotika mengembangkan kerajaan Tompotika dan sampailah di desa Bulakan dan Lingketeng, serta Tambunan, Boloa, Pakohan, Kintom, Mendono, Tangkain, Lontio. Anaknya Sula, Maiyaya dan Moitom mengembangkan wilayah kekuasaan ke Balantak, Lamala, Masama dan Bualemo, sedangkan adiknya Mapaang yang menikah di Lolantang mendapat anak Mangamben, menjadi pemimpim di Keleke, Mangkin Piala, Luwok, dengan gelar mianu tutui (yang benar,  yang nyata).

Lanjutnya Doermier (1945:20), Kerajaan Motindok merupakan ke-triesaan dengan Bola dan Lowa, dikatakan ketiga bagian itu dikuasai oleh seorang raja Ali Asine, adik perempuannya Aminah, dan adik laki-laki Lohat (kembali satu ikatan keluarga antar kerajaan). Waktu pendiri kerajaan Banggai yang sekarang (Mumbu doi jawa) dalam perjalanan penaklukannya tiba di Motindok, ia menikahi putri raja Ali Asine, Nuru Sapa (dalam versi Banggai putri ini adalah istri Mumbu doi jawa berbangsa Ternate), serta mengangkat putra dari saudara laki-laki Nuru Sapa, Sasong Baluwangi, menjadi basanyo pertama atas Batui, putra ini bernama Ama, bahasa yang di pakai adalah Mbaha, penyimpangan dari bahasa Saluan dan bahasa Wana (1525-1680).

Dari pernyataan Dormier yang menyadur pendapat Francois Falentijn, Prof.Weck, E.Gobee, O.H.Goedhart, dan Albert C.Kruyt, bahwa kerajaan-kerajaan  di Banggai darat dan Banggai luat sudah terbentuk.  Kerajaan-kerajaan tersebut adalah, Liputomundo, Kadupang dan Sisipan, serta Bongganan di wilayah Gapi  (Peling), Dodung dan Tano Bonunungan,  Monsongan di wilayah pulau Banggai, Kemudian Tompotika dan Motindok di wilayah Banggai darat. Kerajaan-kerajaan tersebut belum dikuasai sultan Ternate dan berbentuk otonom.

Kerajaan-kerajaan di Banggai Laut dan Banggai darat yang di sebutkan diatas, pada Tahun 1465 s/d 1580 masing-masing di pimpin oleh Liputomundo  raja Tahani,   Kadupang raja Gahani,  Bongganan raja Bembengkan,  Sisipan Adi Kalut Pokalut (selalu menggaruk-garuk badan), raja Dodung Adi Moute (putih) di Banggai, raja Tano Bonunungan Adi Lambal-Pololambai (Adi Ambar, batu ambar dari laut) di Banggai, raja La Logani Tompotika Bualemo dan raja Ali Aseni Motindok, di Batoei, Banggai darat, ungkap Doermier (1945).

Albert C. Cruyt (1931), dalam bukunya De Vorsten van Banggai (raja-raja Banggai), mengatakan, “Kerajaan Banggai lahir dari kerajaan Bongganan,”  fakta dan hipotesis Kruyt di amini oleh J.J.Doermier (1945), dengan menambahkan pada saat kerajaan Bongganan di serang raja Gowa, Ternate, rajanya lari ke pulau Banggai, dan menjadi raja disana dengan nama Adi Kalut Pokalut, legenda mengatakan Bongganan dihancurkan oleh Goereezen, Ternate dan Jawa, demikian Doermier dalam Albert C.Kruyt (Catatan Untuk Bangga-,Gapi, op.cit.,511,516,679).

Francois Valentijn (1726:80), dalam buku berjudul, Oud en Nieuw Oost Indien (Hindia Timur yang baru dan lama, jilid I-b,1726: 80), mengatakan “Banggai ini dan pulau-pulau lain di sekitarnya, pada tahun 1580 berada di bawah pemerintahan raja Babu, di kuasai Ternate.” Yang dimaksud raja Babu adalah Sultan Baab-ullah (1570-1583).

Albert C.Kruyt (1931),  dalam bukunya De Vorsten van Banggai (Raja-raja Banggai, 1931: 518,521), mengatakan bahwa “ Mumbu doi Jawa memasukkan agama Islam ke Banggai, menata sebuah pemerintahan, menaklukkan pulau Peling dan wilayah daratan Sulawesi Timur, dari Balantak sampai Kendari,” demikian Kruyt.

Menarik disimak, kata Doermier, Franscois Valintejn, E.Gobbe, bahwa sebelum kerajaan Banggai di satukan oleh Adi Cokro, raja-raja tersebut sudah Islam, dan telah membentuk pemahaman agama mereka (Islam) yang sempurna, itu berlangsung di bawah tahun 1500, dengan bukti kuburan Lipuadino dan Syekh Sa’ban di Lolantang.

Pengembangan ajaran Islam itu sudah ada di kerajaan Tompotika, Motindok, Sisipan, Kadupang, Bongganan, Buuko, Monsongan, Doduung, Tano Bonunungan yang dibawah oleh Lipuadino dan Syekh Sa’ban dari Lolantang, setelah kerajaan Banggai, penyebaran ajaran ini dilakukan oleh murid-muridnya yang setia yang masih bergelar Imam-imam, ungkap Doermier.

Setelah Sultan Ternate Babb Ullah (1570-1585) dan Adi Cokro menguasai kerajaan Tompotika dan Motindok, maka terbentuklah KERAJAAN BANGGAI (1575) yang wilayahnya dari Tg. Api, Tompotika, Motindok sampai Pulau Togon, serta wilayah Pulau Sonit La  Bobo, selanjutnya aras kesepakatan dan usulan para Adi di Banggai da para Tomundo di Peling, Sultan Ternate Baab Ullah nelantik Adi Cokro sebagai raja Banggai partama (1575-1590).

Raja ke I kerajaan Banggai Adi Cokro menikah pertama dengan putri  raja Motindok Ali Aseni, Nuru Sapa melahirkan anak pertama Abu Kasim, kemudian  Adi Cokro menikah kedua dengan putri bangsawan (Kastela) Portugis di Ternate bernama Kastilia melahirkan anak kedua Mandapar, dan  Adi Cokro menikah ketiga dengan putri Bokan melahirkan anak perempuan ketiga  Putri Salehungkap Dormier.

Mohammad Yamin dalam bukunya Gajah Mada (1985), mengatakan “Adi Cokro (Adi Soko), adalah bangsawan kerajaan Demak (Jawa Tengah) keponakan Dipati Yunus (1525), dengan nama aslinya Raden Cokro, pernah bersama-sama pamanya Dipati Yunus menyerang Pati Udara Madjapahit. Pamannya mengirim Raden Cokro ke Ternate untuk membantu Sultan Ternate mengembangkan Islam serta memperkuat pasukan armada Kesultanan Ternate (1530).”

Adi Cokro (Adi Soko) dimasa akhir pemerintahannya masih kembali  ke kerajaan Demak (1885), karena situasi kondisi kerajaan yang menghadapi kehancuran, kejatuhan kerajaan Demak, ia berangkat bersama dengan istri yang ketiga asal Bokan beserta anaknya putri Saleh yang masih kecil, dengan waktu yang cukup lama, sehingga raja Adi Cokro jatuh sakit dan meninggal di Demak, Jawa-Tengah, beliau mendapat gelar Adi Cokro (Adi Soko) Mumbu doi Jawa (Tuanku raja Cokro Meninggal di tanah Jawa).

Sebelum meninggal, anak pertamanya Abukasim pernah menyusul ayahnya ke Jawa dan bertemu dengan ayahnya kemudian mengajak ayahnya kembali ke Banggai, namun di tolaknya dan raja Adi Cokro berucap kalau “Abukasim tidak mau jadi raja Banggai, datanglah ke Ternate jemput adikmu bernama Mandapar, ajaklah adikmu ke Banggai, serta beri dia kepercayaan untuk memimpin kerajaan Banggai, untuk mengenal adikmu, pakailah gelang ini, yang satunya di pakai adikmu Mandapar, dan kalau pulang ke Banggai adikmu putri Saleh di bawah serta, serta bawalah dua pasang burung ini (maleo, mamuha) peliharalah di Banggai dengan baik”. (Sumber, hasil penelitian Prof.Dr. W.E.L. Weck dan Franscois Valentijn, dalam bukunya berjudul, De Europeers in den Maleischen Archipel, B.K.I, Laiden, 1881).

Setelah Adi Cokro (Adi Soko) Mumbui doi Jawa meninggal, pemerintahan kerajaan Banggai dipimpin oleh raja Banggai ke II  Pokoalas Doi Tano; ke III Pokoalas Doi Ndalangon; ke IV; ke V Mumbu Tetelengan; ke VI Mumbu Dinadaat Doi Batang; ke VII Mumbu Dinadat Doi Taipa;  ke VIII Mumbu Dinadat; ke IX Mumbu Ai Binggi; ke X Abukasim; ke XI Mumbu Doi Taipa;  serta ke XII Mumbu Doi pangkelo, raja-raja tersebut sebagai pelaksana pemerintahan simbolis disebabkan Adi Cokro (Adi Soko) meninggalkan pemerintahan kerajaan cukup lama ke tanah Jawa, tidak kembali ke Banggai sampai akhir hayatnya.

Pada Tahun 1600 Mandapaar dilantik sebagai raja ke XIII Kerajaan Banggai oleh Sultan Ternate Said Uddin Barkat (berkuasa 1583-1606) di Ternate, raja Mandapar adalah putra dari Raja Adi Cokro (Adi Soko) Mumbui doi Jawa ibunya berkebangsaan Portugis, Kastilia.

Tahun 1602 Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan Vereeniging Oast Indische Compagnie (VOC) yang merupakan Kongsi Dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur (Indonesia). Berikut ini disampaikan dokumen sejarah yang dikumpulkan Dormier dari berbagai sumber, kontrak antara VOC Belanda dengan raja Banggai.

Francois Valentijn (1880:456), dalam bukunya mengatakan bahwa sejak tahun 1683 orang sudah mulai berbicara  tentang Banggai, karena Ternate dianggap sebagai leenheffer (penerima pinjaman) pada perusahaan Hindia Belanda, karena Banggai merupakan daerah takluknya, maka kerajaan ini dijadikan jaminan atau borok kepada VOC Belanda.

laut, hukum tua atau sangaji, kecuali setelah mendapat ijin dari Compagnie, bersama-sama dengan sultan Ternate  (art.15);  berikut, bahwa pada kemangkiran dan kematian, atau juga karena tingkah laku jahat serta pemecatan oleh E.Comp, seorang raja baru harus dipilih dengan cara musyawarah bersama antara Gubernur dan sultan Ternate, beserta para bobato Banggai (art.16); raja Banggai setiap tahun harus memberi homagium (penghormatan) kepada sultan Ternate dan dengan demikian mengirim pemberian atau pajak, sebagaimana yang menjadi kebiasaan dan pantas (art.26).

Setelah raja Mandapaar meninggal (1630) di Lonas, Lompio Pulau Banggai, kemudian  digantikan putranya bernama Molen Mumbui doi Kintel atau Kintom (1630-1650) sebagai raja ke XIV kerajaan Banggai, ibundanya putri Banggai. Pada saat raja ke XIV Banggai ini memimpin, wilayah kerajaan Banggai dikuasai Kerajaan Goa, Sultan Alauddin (1592-1639).

Meninggal raja Mumbu doi Kintel atau Kintom,  digantikan raja Pau Saudagar Makassar-Goa Mumbu doi Benteng (1650-1749), sebagai raja ke XV kerajaan Banggai, adik tiri Mumbu doi Kintom, ibundanya keturunan suku Bugis.

Pada tahun 1637 kerajaan Gowa di bawah  Sultan Malikussaid masih menguasai kerajaan Banggai, berakhir sampai dengan perjanjian Bongaya (1667), dan sejak tahun 1675 kerajaan Banggai dikuasai kembali oleh sultan Ternate Mandarsyah  (1648-1675) yang sangat berpihak kepada pemerintahan Belanda.

Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdraag), ditandatangani pada tanggal 16 November 1667, atas inisiatif dan prakarsa pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Speelman. Perjanjian ini berisi antara lain, kerajaan Goa harus melepaskan seluruh haknya terhadap pulau Banggai dan pulau Gapi (Peling), perjanjian ini di tandatangini oleh raja Goa Sultan Hasanuddin, raja Bone Arung Palakka, raja Soppeng Arung Billa dan Sultan Ternate Mandarsyah.

Raja Banggai ke XV ini meninggal, digantikan raja Mbulang Mumbu doi Balantak (1749-1765), sebagai raja kerajaan Banggai ke XVI, putra raja Molen Mumbu doi Kintom, dilantik oleh Sultan Ternate Sibori di Ternate.

Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja Banggai , yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak, hingga Mbulang memberontak terhadap VOC Belanda dan  Sultan Ternate.

Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang yang terapkan Belanda hanya menguntungkan Belanda sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi apa hendak dikata, karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukannya, dengan terpaksa Mbulang Doi Balantak tidak dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC  Belanda.

Raja ke XVII ini wafat digantikan oleh raja Kabudo Mumbu doi Mendono (1765-1789), sebagai raja Banggai ke XVIII, putra raja Pau Saudagar mumbu doi Benteng. Raja ini meninggal digantikan raja Banggai ke XIX raja Abu Kasim Mumbu doi Bacan (1789-1793) putra dari raja Mbulang Mumbu doi Balantak.

Tahun 1741 tepatnya tanggal 9 November perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi Balantak diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu Doi Bacan. Meski perjanjian telah diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi – sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin melepaskan diri dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat beban yang dipikul oleh rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC. Tahu raja Abu Kasim menjalin kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang (marah). Abu Kasim lantas ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga akhirnya meninggal disana. (JJ.Dormier, Catatan Untuk Banggai-Gapi, 1945).

Setelah raja Abu Kasim wafat di gantikan raja Banggai ke XX kerajaan Banggai raja Mumbu doi Padongko (1793-1798). Putra raja Mumbu doi Mendono.

Setelah raja Padongko wafat di gantikan putra sulungnya  raja  Mandaria Mumbu doi Dinadat atau Mumbu Darah Putih (1798-1808), sebagai raja kerajaan Banggai ke XXI. Setelah raja  Mandaria wafat digantikan raja Banggai ke XXII raja Atondeng Mumbu doi Galela  (1808), adik raja Mandaria. Raja Atondeng pernah berusaha melepaskan diri dari kesultanan Ternate, tetapi usahanya gagal karena tentara  sultan Ternate yang di kenal dengan pasukan Tobelo, menyerang  balik raja Atondeng, dan raja Atondeng di buang ke Galela, sehingga dinamakan “raja Atondeng Mumbu doi Galela” maksudnya,  tuanku raja Atondeng meninggal di tanah Galela.

Setelah raja Atondeng meninggal, digantikan raja Banggai ke XXIII  raja Agama Mumbu doi Bugis (1808-1815), cicit dari Mumbu doi Balantak. Raja Agama pernah melawan kekuasaan Sultan Ternate, tetapi tidak dapat membendung serangan tentara Sultan Ternate, Tobelo, kemudian raja Agama meninggalkan Banggai atas pertimbangan, raja Agama sendiri, Kapitan Togian Laparege, dan Bosanyo Tatu Yasin (Mata Mea) Mendono, diatur keberangkatan raja ke Sultan Bone, melalui Buton, dengan di kawal oleh Punggawa Uwa Labia dengan perahunya 5 ton, alkisah, sampailah ke tujuan, Bone dan diterima dengan baik oleh Sultan Bone, raja Agama tidak kembali lagi ke Banggai sampai akhir hayatnya,  sehingga beliau mendapat gelar “raja Agama Mumbui doi Bugis” (Tuanku raja Agama meninggal di tanah Bugis).  Keturunan terakhir dari raja Agama yang memegang pemerintahan kerajaan Banggai antara lain, adalah mayor ngopa Djakaria Nurdin Agama.

Setelah raja Agama wafat digantikan raja kerajaan Banggai ke XXIV raja Laota Mumbu doi Tinambak (1815-1847), cicit dari Mumbu doi Balantak.

Raja Laota mengalami hal serupa, karena melakukan perlawanan dengan kesultanan Ternate, tentara Tobelo menyerang  raja tersebut, raja Lauta di buang ke Tanebak, Halmahera.

Setelah meninggal raja Laota kemudian digantikan raja Banggai ke XXVI raja Tadja Mumbu doi Sau (1852-1856), adik kandung raja Laota, cicit dari raja Mumbu doi Balantak.

Meninggal raja Tadja digantikan raja Tatu Tonga Mumbu doi Jere sebagai raja ke XXVII (1856-1858) , putra raja Mandaria.

Setelah raja Tatu Tanga meninggal digantikan raja Banggai ke XXVIII raja Soak Mumbu doi Banggai (1858-1870), cucu raja Laota. Meninggal raja Soak digantikan raja Banggai ke XXVIII raja Nurdin Mumbu doi Labusama (1872-1880), putra raja Tatu Tonga.

Wafat raja Nurdin digantikan raja kerajaan Banggai ke XXIX  raja H. Abdul Azis (1882-1900), putra raja Soak. raja H.Abdul Azis meninggal saat menunaikan ibadah Haji di Mekkah, kemudian di gantikan raja kerajaan Banggai ke XXX raja H. Abdurrahman (1901-1922), cucu raja Atondeng. Raja Abdurrahman pada tahun 1922 menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah, dan ikut bersama-sama dengan raja Abdurrahman adalah keponakannya Syoekuran Aminuddin Amir yang masih berumur 20 tahun, raja Abdurrahman kemudian wafat dalam perjalanan dari Mekkah ke Indonesia, atas kesepakatan Basalo Sangkap, kerajaan Banggai di pimpin oleh Jogugu Hanapi (1925), dan dilanjutkan oleh Jogugu Zakaria Uda’a (1929).

Pengangkatan raja-raja di kerajaan Banggai sejak raja pertama Banggai Adi Cokro (Adi Soko),  dan raja Mandapar dilantik oleh Sultan Ternate, sedangkan raja Mumbui Doi Kintom, raja Mbulang Mumbu Doi Balantak dan raja Pau Saudagar Mumbu Doi Makassar dilantik oleh Sultan Goa, Makassar, kemudian raja Banggai selanjutnya sampai raja Banggai ke XXX H.Abdurrahman di lantik di Ternate oleh Sultan Ternate,

Pelantikan raja Banggai ke XXXI, raja ke XXXII maupun raja ke XXXIII di lakukan oleh Basalo Sangkap atas persetujuan Komisi Empat di Banggai, karena pada Tahun 1908 diterbitkan Staadblad (Lembaran Negara Hindia Belanda) Nomor 367 yang mengatur tentang beberapa kerajaan dari lingkungan Ternate yang memisahkan diri dari kerajaan Ternate, antara lain kerajaan Banggai.

Kekuasaan Ternate atas Banggai berakhir pada tanggal 1 April 1908, dengan Kontrak suppletoir tanggal 23 Maret 1907 Sultan ternate menyerahkan Banggai, Bungku dan Mori Kepada Pemerintahan dan kontrak ini berlaku mulai 1 April 1908. Dengan demikian raja Banggai Abdurrahman menjalankan Korte Verklering sebagai penguasa Banggai.  (Sumber : Dormier, dalam Valentijn, Kruyt, Vorsten, Goedhart, De Clerck, Hand.S.G.).

Wafat raja H.Abdurrahman digantikan raja kerajaan Banggai ke XXXI raja H. Awaluddin (1929-1940), putra raja H.Abd. Azis. Setelah meninggal raja  H.Awaluddin (10 Mei 1940), digantikan raja kerajaan Banggai ke XXXII raja Nurdin Daud  (12 Mei 1940 – 05 Februari 1941), cicit raja Nurdin Mumbu doi Labasuma, berkuasa hanya sembilan bulan dan kemudian di sekolahkan ke Makassar, pemerintahan dijalankan oleh yogugu Zakarian Uda’a (05 Februari 1941), kemudian pada tanggal 1 Maret 1941, Basalo Sangkap mengangkat dan melantik raja Banggai ke XXXIII H.Syoekuran Aminuddin Amir (1941-1959), cicit raja Agama Mumbu doi Bugis, keponakan raja H.Abdurrahman. Sebelum menjabat raja Banggai, tahun 1926 Syoekuran Aminuddin Amir diangkat menjadi  “Hatibi Banginsa” di Banggai, jabatan syara’ di kerajaan Banggai, tahun 1929 Syoekuran Aminuddin Amir menjabat sebagai mayor ngopa merangkap Kepala Distrik Tangkian yang berkedudukan di Bunta, tahun 1940 diangkat menjadi Kepala Hadat di Lambangan merangkap Kepala Distrik Bawahan Lambangan dan Bualemo.

Pengangkatan dan pelantikan raja Banggai ke XXXI dan raja ke XXXII , serta raja Banggai ke XXXIII di laksanakan di Banggai yang dilakukan oleh Basalo Sangkap (Empat Pembesar), yaitu basalo Doodung, basalo  Tano Banunungan, basalo Monsoongan dan basalo Gong-gong. Basalo Sangkap inilah yang mengangkat, melantik dan memberhentikan raja, dengan persetujuan Komisi Empat, yaitu jogugu (pemerintahan di Banggai Kepulauan) berkedudukan di Banggai, hukum tua (pemerintahan di pulau peling) berkedudukan di Salakan, Kapitan Laut (pemerintahan di pantai selatan Banggai darat) berkedudukan di Luwuk, dan mayor ngopa (pemerintahan di pantai utara Banggai darat) berkedudukan di Bunta. Komisi Empat pemerintahan kerajaan Banggai berlaku efektif pada raja ke XXXI H.Awaluddin.

Ketika raja Banggai ke XXXI H.Awaluddin wafat, proses pergantiannya dilakukan oleh Basalo Sangkap, atas persetujuan Komisi Empat mengangkat raja ke XXXII Nurdin Daud, cucu raja Nurdin Mumbu doi Labusana,  keponakan Kapitan Daud, anak dari jogugu Abuhajim.  Nurdin Daud saat itu baru berumur 10 tahun. Ia hanya dapat melaksanakan pemerintahan kerajaan selama kurang lebih 9 (Sembilan) bulan, diberhentikan oleh Basalo Sangkap atas persetujuan Komisi Empat. Pengganti  Nurdin Daud untuk melaksanakan pemerintahan kerajaan sementara di angkat Jogugu Zakaria Uda’a (05 Februari 1941), dan pada Tanggal 1 Maret 1941 Basalo Sangkap atas persetujuan Komisi Empat mengangkat raja Banggai ke XXXIII H. Syoekuran Aminuddin Amir menjadi Raja Banggai terakhir kerajaan Banggai (1960).

Wilayah Kerajaan Banggai, sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Api (perjanjian raja La Riau Tojo tanggal 11 Desember 1887), sebelah Selatan berbatasan dengan Togong Teong, di darat. Pada tanggal 25 Mei 1897, terjadi perubahan dengan adanya perjanjian Residen Manado dengan raja Tojo, batas wilayah bagian Timur kerajaan Tojo dibatasi oleh sungai Balingara, dekat tanjung api. (C.Bosscher & BA.Mathjisen,1854).

C.Bosscher & BA. Mathjisen dalam buku mereka berjudul Schetsen van de Rijken van Tooboekoe en Banggai op de Oostkust van Celebes (Sketsa tentang kerajaan-kerajaan Tombuku dan Banggai di Pantai Timur, 1854, hal.90),  mengatakan “bahwa Tanjung Api merupakan batas sebelah barat dan Togong Teong merupakan batas sebelah selatan.

Dan pergeseran tapal batas wilayah kerajaan Banggai dengan wilayah kerajaan Tojo baru dilakukan tahun 1919 oleh raja ke XXX kerajaan Banggai  raja H. Abdurrahman, disaksikan oleh hukum tua Idris, imam Djamaka, miantu Abdul Rajak, dari unsur pemerintah Hindia Belanda di Luwuk, yakni Kapten Rijman.

Pada tanggal 28 Juni 1909, telah terjadi perjanjian antara kesultanan Ternate dengan kerajaan Banggai, mengenai batas wilayah, dikatakan bahwa pulau Salauwe dan Tim paus masuk Banggai, sedangkan pulau Masoni tetap berada di bawah Ternate, melalui aparatnya di Taliabu, perjanjian ini disyahkan pada tanggal 22 Pebruari 1910. Namun, pada tahun 1913 Raja Banggai Abdurrahman tidak mau mengakui hak Ternate melalui aparatnya di Taliabu, terhadap pulau Sonit.

Falsafah kerajaan Banggai “Hadat Bersendih Syara’ dan Syara’ Bersendi Hadat.” Menandakan budaya rakyat Banggai yang sopan santun, berbudi luhur, ramah tama, dan bersahaja.

Struktur kebudayaan Banggai, Saluan, dan Balantak masih mempunyai perbedaan dalam pelaksanaan, namun falsafahnya sudah komit dan tidak dipersolkan lagi, sebab falsafah ini telah dibentuk dan dibangun oleh leluhur dan sangat relevan dengan nilai-nilai agama.

Kultur Banggai, Saluan dan Balantak secara konsepsi nilai dan strukturnya tetap utuh, namun dalam perkembangan individu masyarakatnya mengalami pergeseran nilai, akibat masuknya budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai hakiki dari falsafah tersebut.

Dengan berakhirnya kekuasaan kerajaan Banggai, maka status administrasi Pemerintahan sejak tahun 1959 kerajaan Banggai berubah secara nyata dari kerajaan, Swapraja yang disebut Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Luwuk menjadi Daerah Swatantra Tingkat II (DASTING II) Banggai, yang saat ini di kenal dengan nama Kabupaten Banggai, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, tanggal 04 Juli 1959.

2.2.      Pemerintah Kolonial Belanda Dan Jepang :

 Pada saat kerajaan Banggai dipimpin raja ke XXX raja H.Abdurrahman, bangsa Belanda masuk ke wilayah kerajaan Banggai (1906), setelah melakukan perlawanan dengan rakyat kerajaan Banggai bangsa Belanda kemudian menguasai seluruh wilayah kerajaan Banggai (1908), dan pada tahun 1908 kerajaan Banggai lepas dari kesultanan Ternate dan di bawah kekuasaan bangsa Belanda, hal tersebut di tandai dengan bersedianya raja Banggai H.Abdurrahman pada tanggal 1 April 1908 menandatangani Korte Verklaring (Pelakat Pendek) dengan pemerintah Hindia Belanda Kapten A.R. Cherissen di Banggai yang kemudian mendapat status wilayah sebagai Zelfbestuurrende lansdchappen (daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri), yang antara lain isinya, “kerajaan Banggai untuk mengakui kekuasaan Belanda terhadap dirinya dan berjanji akan menaati segenap peraturan yang akan di tetapkan oleh Belanda.”

Pada tahun 1908 Hindia Belanda di Pulau Sulawesi mengeluarkan Staatblad Nomor 367, yang isinya “Pemerintah kolonial Belanda mengatur pemerintahan untuk wilayah Sulawesi Tengah bagian Barat, dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Gubernur Provinsi Celebes dan bawahannya yang berkedudukan di Makassar. Sulawesi Tengah bagian Tengah, termasuk Teluk Tomini, dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Residen Sulawesi Utara yang berkedudukan di Manado, dan Sulawesi Tengah bagian Timur, termasuk Telok Tolo, dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Residen Sulawesi Timur yang berkedudukan di Bau-Bau, dan kerajaan Banggai masuk di wilayah ini dengan status wilayah Onder Afdeling Banggai.”

Pada Tahun 1924 Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Staatblad Nomor 365, yang isinya daerah kekuasaan Sulawesi Tengah di pusatkan pemerintahannya, yaitu masuk wilayah kekuasaan Keresidenan Manado dan berkedudukan di Manado. Keresidenan Manado terbagi dua wilayah Afdeling, pertama Afdeling Donggala, berkedudukan di Donggala, dengan wilayah-wilayah kekuasaan Onderafdeling Donggala, Onderafdeling Palu, dan Onderafdeling Toli-Toli, dan kedua Afdeling Poso berkedudukan di Poso, dengan wilayah-wilayah kekuasaan Onderafdeling Poso, Onderafdeling Parigi, Onderafdeling Kolonodale, dan Onderafdeling Banggai.

Onderafdeling Banggai berkedudukan di Luwuk, terdiri dari Landschap Luwuk berkedudukan di Luwuk, dan Landschap Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai.

Kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di wilayah kerajaan Banggai dengan nama Onderafdeling, pertama di pimpin oleh Kapten A.R. Cherissen (1908-1911) di Luwuk, kemudian kedua di pimpin oleh kapten Van Beek (1911-1918) dan ke-tiga dipimpin oleh kapten J.F.H.I. Goslings (1918-1933), ke-empat dipimpin oleh kapten Paulissen (1933-1935) dan ke-lima dipimpimn oleh kapten J.J. Doermeier (1935-1937) serta ke-enam kapten Wolrabbe (1937-1942) sebagai Kontroleur di Luwuk. JJ.Doermier salah satu kontroleur yang aktif dan produktif dalam meneliti masyarakat Banggai, sehingga mendapat gelar Doktor bidang hukum adat Banggai di Rijks Universitiet (Universitas Kerajaan) di Leiden, Nederland, dengan promotornya Prof.Dr.V.E.Korn.

2.3  Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonialisme Dan

      Gerakan Merah Putih                          

Rakyat Indonesia, khusunya rakyat Banggai  bangkit melawan penindasan bangsa Belanda dengan mendirikan perkumpulan, organisasi dagang, maupun organisasi pendidikan serta organisasi politik, organisasi pemuda, rakyat juga melakukan perlawan, baik itu berbentuk perang gerilya ataupun dalam bentuk perang agitasi.

Hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat dan adat Luwok (2011) di Pegunung “W” tepatnya di desa Keles, Pahosan, Lumpoknya, dan desa Tontoan serta Tandos pernah ada wilayah persekutuan, bernama “Keleke” (1785-1840), dipimpin oleh se orang dengan gelar mianu tutui bosanyo Mabulang. Menurut keterangan sumber yang dapat dipercaya bahwa tutui Mabulang adalah anak dari Mapaang, adik raja Tompotika Lalogani yang sudah berada di Lampa, Banggai dan diberikan kekuasaan sampai di Lolantang, dan diberikan gelar Lipuadino, karena menikah dengan salah satu anak Lipuadino di Lolantang, sebelum mianu tutui Mabulalang tiba dan menetap di Keleke, persekutuan ini telah terbentuk di pimpin oleh DAKA’NYO KELEKE SALU (p), sekitar tahun 1765, yang kemudian di kawini oleh Bosanyo Mabulang.

Mianu Tutui MABULANG menikah dengan Daka’nyo Keleke Salu (1805), melahirkan anak-anaknya, Djanggo putehAhmad, Kailo, Tambulang, Mabuhain, Dahlan, Sinukun, Muh.Enot, Makmur, Puha (p), Sulu (p), Kasumba (p), Tatu, anak-anaknya ini kemudian membentuk keturunan di Mangkian Piala (1875), dan setelah itu membangunan keturunan di Luwok (1905), kawin mengawin dengan Datu Adam, Mang, Mile, Lalusu, Djibran, Larekeng, H.Thalib, H.Tjatjo, H.Kasim, Dg.Matorang, dan lain sebagainya. Kepala Desa pertama Luwok H.Kailo  (sumber : Moh.Syafrin Abdullah & Arsad Himran, serta Muhrim Abd.Gani, Luwuk, 2012).

Kepala wilayah Tandos, Keles, Tombang, Tontouwan dan Pinampong di sebut TONGGON. Warga keturunan Tandos melebarkan wilayahnya menjadi pemukiman baru yang kemudian disebut Kilongan, Kamumu, Bayou dan Lumpoknya, wilayah ini merupakan kekuasaan dari Keleke.

Tandos merupakan bagian dari wilayah Keleke, pada zamannya pernah ada se orang pahlawan yang berjuang melawan serangan pasukan Tobelo, yaitu Talenga Tandos bernama BANGGI, asal-usulnya dari Kamumu bergelar Mian Matangkas atau julukan populernya Loinang Matangkas, keturunan dari Lingketeng. Di Tandos dan Boyou pernah ada seorang ahli perang dengan senjata sumpit, yaitu bernama KANDEPO dan BAUSUN, mereka sangat disegani tentara Tobelo, karena senjata perangnya dapat menghancurkan tentara musuh.

Di Kilongan juga terdapat se orang pahlawan yang disebut Talenga BONGON, yang pernah menghancurkan sebuah armada Tobelo tanpa tersisakan, dan perahu musuh terkubur di lautan. Siasat perangnya sebagai berikut, ketika pasukan musu mendekati pantai, Talenga Bongon menyimpan alat perangnya yang bernama SONDI didalam pasir – sehingga terlihat oleh musuh tidak bersenjata, tetapi Talenga Bongon mondar-mandir disekitar senjatanya yang tertimbun pasir, dan setelah musu mendarat, ia mengambil senjatanya Sondi, merusak perahu secara total, dan melayani musunya satu persatu,  musu itu tidak ada yang lolos dan terkubur di situ, inilah asal-usul nama lokasi Lamunan yang terletak di desa Biak.

Sebeleh Wilayah Mangkian Piala, terdapat wilayah perkampungan yang membuat sejarah tersendiri di Luwok, yaitu Kompo (1895), warga persekutuannya menyebar membangun perkampungan baru Simpoung dan Jole (1905), dengan keturunannya antara lain, DAYANUN (kai Dayanun), pada tahun 1831 menikah dengan putri Daka’nyo Keleke, IKI (kelek Iki), saudara kembar dari DAUD (kai Daud). Setelah Bosanyo Mabulang meninggal, istrinya Daka’nyo Keleke SULA, menikah dengan putra bangsawan Bone Dg. PONIK (1810), melahirkan anak kembar DAUD & IKI. Sedangkan DAUD (kai Daud) pada tahun 1827 menikah dengan saudara Tirinya di Keleke SULU (anak Bosanyo Mabulang), keturunan kai Dayanun dan kai Daud menikah  lagi dengan keturunan Ahmad, Datu Adam, Sinukun, Mang, Djalumang, Noho, Gani, Bujang, Agama, Lasandang, Lasadam, Masulili, H.Nasir, Zaman, Matorang, Bullah,  Sandagang, Hanapi, Unok, Saidah, Abusama, Suni, Hipan, Budahu, di Dongkalan, Soho, Lambangan, Pagimana, Balantak, Lamala, Nambo, Mendono, Kintom dan Batui, Nonong serta Kayoa (Sumber : Moh. Syafrin Abdullah, Batui-Soho, 2012).

Penyebaran agama Islam di wilayah Keleke, sudah dimulai ketika Bosanyo Keleke berkuasa di pedalaman Gunung “W”  Pa Hosan, Keles, Tontoan, Tandos, Lumpoknya, dan Pinampong yang di bawah oleh guru agama, imam dari  Lolantang (1767), ungkap Moh. Syafrin Abdullah.

Masih keterangan Moh.Syafrin Abdullah, Kehidupan masyarakat Keleke dalam wilayah Dua Belas Kabasalonan Lolantang mempunyai makna yang luar biasa, sampai saat ini Alhamdulillah, pertentangan antar sesam etnis maupun etnis lain yang ada di Keleke hampir dikatakan jarang terjadi, kalaupun itu ada, para leluhur, orang tua, Bosanyo Keleke segera menyelesaikan dengan baik secara kekeluargaan.

Ibu Kota Keleke Pahosan kemudian dipindahkan serta dikembangkan ke arah pemukiman di tepi pantai Luwok, kampung Asam Jawa (asrama Kodim), dan berubah namanya menjadi Asam Jawa (1890), pelabuhannya bernama Luwok, (kentaraan di bungin). Setelah bangsa Belanda masuk ke wilayah kerajaan Banggai (1908), kemudian membuat tangsi asrama Belanda, perkampungan Asama Jawa yang berupa rumah tolo dipindahkan kearah pegunungan W dengan cara “ di Soho Sohongi “ (dipercepat), sehingga nama ini menjadi nama perkampungan SOHO (1901), dengan pelabuhannya Luwok, artinya teluk, dan setelah berdatangan para saudagar dari Belanda, Cina serta Arab, sehingga peyebutan nama pelabuhan Luwok menjadi Luwuk, sampai saat ini.

Pembangunan perkantoran oleh bangsa Belanda di mulai dengan perumahan Kontruleur Belanda, penjara Belanda, rumah dokter, rumah sakit, kantor pemerintah Hindia Belanda, kantor pos dan sekolah rakyat model Belanda dan pesanggrahan serta permandian konteraan (1910-1919), di lokasi wilayah Soho, Luwok.

Setelah perkempungan Keleke berpindah dari Keles,  ke kampung Asam jawa (asrama Kodim), pemerintahan kampung asam jawa dipimpin oleh Bosanyo  MABUHAIAN (1895-1910), anak mianu tutui Keleke Mabulang.  Bosanyo Keleke Mabuhaian mempunyai anak dua orang yang laki-laki bernama HAMOS yang menikah di Jole dengan Putri kai Dayanun (tidak mempunyai keturunan) dan yang perempuan bernama HALIANG menikah dengan Sirajuddin Datu Adam, dengan keturunannya menyebar ke Kilongan, Dongkalan, dan Bantanyan.

Batas wilayah Keleke, sebelah Barat terdapat lokasi yang bernama Pepelon-Subuhon, inilah wilayah talenga Poma (1887), yang berhadapan dengan pasukan Tobelo. Cerita tentang talenga Poma menghadapi Tobelo, dengan di awali membunuh seluruh anak-anak dan istrinya, dengan satu alasannya, apabila ia mati berhadapan dengan pasukan Tobelo, anak-anak dan istrinya sama-sama menghadapi maut, alkisah dalam pertempuran itu, talenga Poma dapat menghancurkan pasukan Tobelo, peristiwa ini terjadi di Pepelon-Subuhon (lapangan Persibal, sekarang).

Sebelah Timur terdapat tangsi-tangsi Belanda (asam jawa, Kodim), sebelah Utara dengan sungai Keleke yang berubah menjadi sungai Soho, sebelah Selatan berbatasan dengan pohon Dongkalan-Kolopisok, Supak, Mangkio.

Wilayah Kolopisok (sekarang pertokoan Cina), dahulunya merupakan pertokoan pribumi sebelum orang-orang cina masuk dan membeli (pinjam/pakai) lokasi tokoh mereka seperti antara lain milik H.Mohammad Noer, pertokoan milik H.Sirajuddin Datu Adam, milik Kalia Makmur,   milik Sinukun (1905). Setelah pemerintahan Belanda masuk di Luwok (1908), secara perlahan-lahan bangsa Cina dan Arab masuk ke wilayah pertokoan tersebut sampai sekarang ini.

Masuknya suku Gorontalo di pasisir pantai kampung asam jawa, maka terbentuklah kampung Bungin (nama bungin adalah mata air bersih kecil di kenteraan, tempat mandi  mianu Keleke, sekarang dekat Masjid Bungin),   kemudian dengan masuknya suku Buton, Raha, Manui di Mangkio, maka terbentuk kampung yang kemudian dikenal dengan nama kampung Baru.

Tahun 1925, di perkampungan Soho, Dongkalan, Jole dan Simpoung membentuk pemerintahan Luwok yang dipimpin oleh Bosanyo Kalia Ma’mur, Bosanyo Sinukun, kemudian dilanjutkan oleh Bosanyo Ipung Mang, dan Bosanyo Lamala Lalusu, serta Bosanyo Abdullah H.Kasim (1950).

Kepala Kampung Soho Pertama TOANSI Pauh (1926-1963), pada masa pemerintahannya, Kampung Soho dimekarkan menjadi Kampung  Kilongan, selanjutnya pemerintahan kampung Soho dipimpin oleh Dake Anahan (1964-1978), pada masa pemerintahan Dake Anahan, Soho di mekarkan menjadi Kampung Bungin dan Kampung Baru dengan menyerahkan asset wilayah kepada warga Gorontalo yang diwakili oleh Tumbingo, teme Bakari, teme Ali, teme Taha, teme Ruga dan teme Aisari (J.Hubu), sedangkan  warga Buton, Raha serta Manui di kampung Baru di wakili oleh La Ode Hanja, ayah kandung M.Sarpah.

Keturunan yang di bangun di Luwuk dimulai dari perkawinan silang antara Soho – Dongkalan – Jole dan Simpoung, kemudian antar etnis, suku Bugis, Makassar, Mandar, Manado, Tondano, Gorontalo, Kaili, Jawa, Raha, Arab, Pakistan, Cina, Turki, yang melahirkan keturunan-keturunan Ahmad, Makmur, Enot, Sinukun, Mang, Djalumang, Datu Adam, Lalusu, Mile, Larekeng, H. Moh. Noer, Dg. Adele, H.Kasim, H.Tjatjo, H. Thalib, H.Nasir, H.Dahlan, H.Hanapi, Dg.Matorang, Gani, Mokoagow, Panrelly, Manoppo, Pedju, Labohari, Latepoh, Djibran, Al Bakar, Al Hasni, A Sagaf, Al Habsyih, Himran, Basrewan, Delwarkhan, Pauh, Anahan, Sibay, Rajab, Dja’far, Katili, Kindangen, Pamolango, Lagandjah, Lalu Sarfah, Lengkas, Masang, Aimang, Marsonji, Mabing, Tumbingo, Teme Bakari, Teme Juli, Teme Aisa, Dg.Manrappi, Dg.Sangkala Bundu, Dg.Tenri, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dalam perjalanan sejarah kerajaan Banggai di wilayah Keleke, Kampung Asam Jawa, dan Soho telah berkuasa serta menjalankan pemerintahan sesuai zamannya, masing-masing, raja Banggai, Controleur Belanda, Ken Kanrikan Jepang, Kepala Pemerintahan Negeri Banggai, dan Kepala Kewedanaan, serta Bupati pertama Daerah Swatantra Tingkat II Banggai Bidin. (Sumber : Buku Catatan Syafrien Moh.Saleh, Luwuk 1994).

Desa Baloa, terkenal se orang pejuang melawan penjajah Pemerintahan Hindia Belanda ketika melakukan ekspedisi militer ke desa Baloa tahun 1908, yaitu Djanggo Pute, demikian pula di desa Doda terkenal se orang pejuang bernama Djanggo item atau Tumai Matubu, dan  di desa Tambunan terdapat se orang pejuang melawan penjajah Belanda yaitu Gulungunsing. Ketiga pemimpin pejuang suku loinang ini sepakat untuk berperang dengan penjajah Hindia Belanda sampai tetes darah penghabisan.

Di wilayah Lamala, Balantak , terkenal se orang pejuang melawan penjajah Belanda, beliau adalah Laginda (keturunan raja Tompotika La Logani, dari desa Kalibambang, di atas desa Bombanon dari rumpun Lo’on. Perlawanan Laginda terhadap penjajah Belanda terjadi sekitar tahun 1905-1911. Laginda dengan pasukannya melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Luwuk sampai ke Lamala dan Balantak, yang dipimpin Kapten A.R. Cherissen. Laginda dalam perjuangannya di bantu oleh anak buahnya  yang setia mengusir penjajah, seperti Salawan, Banaan dan Aiyo, mereka mendirikan kubu-kubu pertahanan di sekitar pegunungan Sobol. Selain itu pula, Laginda dan pejuangnya memusatkan pertahanan di Batubiring, Balantak dan di Masama. (sumber : Nasir Ali, SH. dan Rahmat Djalil,  2012  serta sumber lainnya).

Setelah selesai Sholat Idhul Adha Tahun 1933 di Kampung Pala, Pagimana, para tokoh Agama, Pemuda dan wanita menaikkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia raya.  Peristiwa bersejarah ini di pimpin langsung oleh tokoh pemuda Yusuf Monoarfa dan Agulu Lagonah.  Kemudian para wanita yang turut dalam peristiwa bersejarah ini adalah Koyang Masulili, Siti Thana dan Dio Ukiki.

Panitia Penyelenggara rapat umum “Openluh” dengan susunannya sebagai berikut, Penasihat S.A. Amir (anggota PSII), T.D. Zaman (anggota Muhammadiyah), Abdau Masulili (anggota Muhammadiyah), Ketua pelaksana Basyir Maksum (guru Muhammadiyah), Wakil ketua T.S. Bullah (ketua PSII Pagimana), Sekretaris I Agulu Lagonah (anggota PSII), Sekretaris II M. Topo (anggota Muhammadiyah), Pembantu urusan Pemuda/Pandu Jusuf Monoarfa (anggota PSII), pembantu M.A. Makarao (anggota Muhammadiyah), S.P. Makarao (anggota Muhammadiyah), dan A. Thaha (anggota Muhammadiyah).

Peristiwa bersejarah Tahun 1933 di Kampung Pala Pagimana di kenal dengan Rapat Akbar atau “Openluh”, sedangkan orasi yang di baca berjudul ”Persatuan Bangsa Menuju Indonesia Merdeka” yang di kumandangkan trio singa podium Koyang Masulili, Siti Angongo dan Doi Ukiki. Akibat perbuatan menaikkan bendera Merah-Putih, para pejuang di Pagimana di kejar-kejar Pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Kapten Paulissen.

Agulu Lagonah dan Jusuf Monoarfa diadili oleh pemerintah Hindia Belanda dengan penjara, Agulu Lagonah 4 bulan penjara, dan Jusuf Monoarfa 6 bulan penjara, sedangkan panitia lainnya hanya di hukum denda oleh pengadilan Belanda di Luwuk, ungkap Ulyas Makarao.

Keberanian patriotis dan revolusioner pemuda di Pagimana serta Bunta tidak terlepas dari motivasi yang diberikan oleh leluhurnya seperti kita kenal kemampuan yang keras dan berani dari Djanggo Pute, Djanggo Item dan Gulungungsing yang menolak kehadiran kolonialis Belanda di bumi Loinang. Di samping itu, keberanian patriotis dan revolusi pemuda di Pagimana dan Bunta, juga karena hadirnya utusan pemuda dari Yogyakarta Ustadz Basir Maksum (Muhammadiyah), H. Abdullah Siraiz (NU), dari Kediri, Jawa-Timur dan Karel Panamon (PSII) dari Manado, ungkap cucu Kapitan Baharuddin Lasadam, Azikin Lasadam pada penulis 8 Januari 2012 di Luwuk, serta Yasir Masulili cucu Kapitan Arnol Masulili pada penulis 10 Januari 2012 di Luwuk.

Karena dianggap dalang peristiwa Openluh, ustadz Basir Maksum dan H.Abdullah Siraiz langsung di pulangkan ke tanah Jawa dan dilarang kembali ke Banggai. Sedangkan Karel Panamon yang dianggap sebagai motor pergerakan dan sebagai penanggungjawab pengibaran bendera Merah putih Pagimana dijatuhi hukuman 5 tahun dimasukkan ke penjara Luwuk, kemudian di pindahkan ke penjara Landraad Poso, selanjutnya di pindahkan lagi ke penjara Glodok Jakarta.  (sumber : Azikin Lasadam,dan Yasir Masulili, 2012 di Luwuk serta berbagai sumber lainnya).

Setelah Jepang mengumumkan perang terhadap Sekutu tanggal 8 Desember 1941, Pemerintah Hindia Belanda di Luwuk membentuk Vernielings Corp (VC), pasukan penghancur, yaitu merusak obyek-obyek strategis yang ada hubungannya dengan strategi militer, seperti jembatan, dan sebagainya.

Gerakan Merah Putih yang dilakukan pejuang Pagimana tersebut diatas, membuat tokoh-tokoh pergerakan Merah Putih di Bunta segera bergerak di bawah pimpinan H.Sunusi Mangantjo, S. Kardiat dan Karim Porogi. Di  Kintom terbentuk pula Gerakan Merah Putih yang dipimpin oleh Baso Sahida, H.Mansyur Buhang, Sepellu Hatta dan Marhaba Marasai. Di Batui Gerakan Merah Putih dipimin oleh H.Badaru Salam, H.Petta Siri, H.Daeng Marappe, H. Abdul Razak dan Moh. Judo.

Di Luwuk gerakan Merah Putih dipimpin oleh dr. Sutarjo, A.G. Mambu, Linggi Hasyim, Maladjo Ahmad, Ipung Mang, Sumang Iba, Dg. Makka, Taher Latepo. Di Lamala Gerakan Merah Putih di pimpin oleh Abdul Kahar Manassai, dan di Balantak Geraka Merah Putih dipimpin oleh Salim Hambali serta M. Driwasito.  (sumber :  Azikin Lasadam 2012 , serta berbagai sumber lainnya).

Pada hari Jumat 11 Februari 1942, setelah selesai Sholat jum’at, dan makan siang, bertempat di rumah H.Abdau Masulili kampung Pala Pagimana, diadakan doa keselamatan untuk merestui keberangkatan Gerakan Pasukan Merah Putih menuju kota Luwuk. Dalam pertemuan tersebut terpilih 12 orang anggota pasukan dibawah Komandan I  Ince Umar Dahlan dan Komandan II  A.R. Lanasir, dengan anggota-anggota Jusuf Monoarfa, Dadi Nisilu, Ahmadi Tapo, Mambu Masulili, Sune Nako, Kadir, Go Weng Sui, The Tiong Lam, Sho Lip Pia dan Shio Kie Liem. (sumber : Azikin Lasadam, dan Yasir masulili, Cucu Kapitan Aenold Masulili).

Di Poh, Pasukan gerakan Merah Putih bertambah anggota yaitu The Tiong Theng, setelah sampai di Salodik pasukan Gerakan Merah Putih bertambah lagi yaitu  dua orang yaitu, Daeng Makka dan Jonggulemba, kata  Azikin Lasadam dan Yasir Masulili.

Hari Sabtu 12 Februari 1942 pasukan Gerakan Merah Putih tiba di desa Biak pukul 02.00 malam, pasukan ini bertambah anggota lagi yaitu Daud Gela. Jam 03.00 malam pasukan Gerakan Merah Putih tibak di Km 1 (wilayah desa Soho, sekarang Kel. Bungin), pasukan di bagi tiga kelompok, kelompok pertama dimpimpin A.R. Lanasir dan Daeng Makka menghubungi kawan-kawan dalam Kota Luwuk, kelompok kedua Jusuf Monoarfa menghubungi dr.R.Sutarjo dan A.G. Mambu, kemudian kelompok ketiga Ince Umar Dahlan melaksanakan penangkapan terhadap seluruh pegawai Pemerintahan Hindia Belanda, ungkap Nurdin Abd. Rahim pada penulis.

Sasaran utama pasukan gerakan Merah Putih adalah merebut Stasiun Radio (samping gedung Nasional sekarang), dan merebut kapal Stoon Sceep (SS) Kapal Uap Urania di pelabuhan Luwuk, dan mereka berhasil melumpuhkan kemudian menguasainya. Sasaran berikutnya adalah mengepung rumah dinas kontroleur F. Wolrabbe, (sekarang rumah tersebut sebagai kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab.Banggai), ternyata F.Wolrabbe tidak ada di rumahnya, ia sedang ke pelabuhan Luwuk menuju ke Kolonodale, namun dijegat pasukan Gerakan Merah Putih dan memerintahkan anak buahnya yang masih setia untuk menyerah angkat tangan di bawah kekuasaan pasukan gerakan Merah Putih.

Pada hari Minggu, 13 Februari 1942 sekitar pukul 10.00 witeng dilaksanakan serah terima jabatan antara pemerintahan Hindia Belanda Banggai dengan pasukan Gerakan Merah Putih yang di wakili dr. Sutarjo Notoprawiro, merangkap Kepala Keamanan, bertempat di Kantor kontroleur Luwuk (sekarang Kantor Mapolres Banggai) dan  seluruh anggota kontroleur kapten F. Wolrabbe Hindia Belanda resmi di tangkap kemudian dimasukkan dalam tahanan penjara di Luwuk.

Pada hari Minggu, 13 Februari 1942 jam 11.00 di Markas Gerakan Merah Putih Luwuk bekas  kantor kontroleur Belanda (sekarang Kantor Mapolres Banggai), Bendera Merah Putih Berkibar di Kota Luwuk, dan Lagu Indonesia Raya berkumandang di seluruh pelosok wilayah kerajaan Banggai.(Sumber : Azikin Lasadam 2012, serta berbagai sumber lainnya).

Pasukan Gerakan Merah Putih dibawah komandan Ince Umar Dahlan dan kawan-kawan, pada hari Minggu 13 Februari 1942 melanjutkan perjuangan ke Kintom dan Batui, mereka disambut dengan heroik sebagai pejuang pergerakan Merah Putih, setelah itu mereka kembali ke Pagimana tgl 15 Februari 1942.

Pada hari Rabu, 16 Februari 1942, di Luwuk di bentuk Pemerintahan Nasional dengan nama “Komite 12”, dengan susunan sebagai berikut : Kepala Pemerintahan, Ketua “Komite 12”  H.Syukuran Aminuddin Amir (raja Banggai), Wakil Kepala Pemerintahan T.S. Bullah, Sekretaris dan Bagian Perhubungan Jusuf Monoarfa, Bagian Keuangan dan Perbekalan Sulaeman Amir, Bagian Pertahanan/Keamanan dan Kesehatan dr. R.Sutarjo Notoprawiro, Bagian Urusan Umum Agulu Lagonah dan A.G. Mambu, Bagian Penerangan dan Propoganda S. Kardiat, Bagian Pengajaran dan Pendidikan A.G. Makadada dan N. Pedju, Bagian Perekonomian S.H. Bunai, dan Ipung Mang.(Sumber : Azikin Lasadam, 2012, serta berbagai sumber lainnya).

Pada tanggal 18 Februari 1942, tahanan-tahanan kolonial Belanda di Luwuk kemudian di bawah ke Gorontalo dengan  KM. SS. Urania dikawal oleh dr.R.Sutarjo Notoprawiro bersama pasukan gerakan Merah Putih di bawah pimpinan Agulu Lagonah dan Ahmad Fulelkhan, tahanan yang di bawah adalah kontroluer F.Wolrabbe, pendeta Feunekkes, dan pendeta D.J. Baars, bersama-sama dengan keluarga mereka. Sedangkan tahanan pegawai pemerintahan Hindia Belanda warga Negara Indonesia adalah K.J. Rorimpandey, bekas Kepala Resort Tomini Bocht di Lobu, Jaksa A.Lalong, dan Sapulette bekas Bestur Asisten, serta W.J. Lantang bekas pengurus Yayasan Kopra (Copra fonds).

Jepang mendarat di Luwuk pada tanggal 15 Mei 1942 di pimpin komandan Miyamoto. Setelah itu, pada tanggal 17 Mei 1942, pemerintah Jepang mengambil alih pemerintahan nasional Komite-12, dengan alasan politis bahwa bangsa Indonesia belum dapat mempertahankan dirinya sendiri jika ada serangan dari luar, jika pemerintahan Indonesia sudah mampu dan sanggup berdiri sendiri maka barulah kepada mereka di serahkan kembali kekuasaan. Jepang tetap mengakui pemerintahan kerajaan Banggai, dan membubarkan pemerintahan nasional Komite-12.

Pemerintahan Jepang membuat pemerintahan sendiri di wilayah kerajaan Banggai, dengan komposisi Kepala Polisi (Kaisatsuco) di jabat oleh bangsa Jepang Sabuto Kiyosi, wakilnya dari warga Negara Indonesia yang pernah bekerja pada pemerintahan Belanda dan pernah di tangkap pasukan gerakan Merah Putih yaitu A.W. Lantang  dan pembantunya bekas komandan Gerakan Merah Putih Ince Umar Dahlan.

A.W. Lantang melakukan perbuatan balas dendam terhadap pasukan gerakan Merah Putih yang pada saat pemerintahan Belanda menangkap dan memenjarahkannya, ia membuat agitasi, fitnah terhadap anggota pasukan gerakan Merah Putih, maka terjadilah penangkapan besar-besar terhadap anggota gerakan merah putih, dan di kirim ke militer Jepang di Manado dengan alasan melawan pemerintahan Jepang.

Susunan pemerintahan di Sulawesi Tengah dari atas ke bawah, adalah sebagai berikut, Ken Kanrikan, masing-masing terdapat di Toli-Toli bernama Imagi, di Donggala bernama Yoshida, dan di Poso bersama Nakamura. Bunken Kanrikan, masing-masing  terdapat di Donggala, Palu, Parigi dan Luwuk. Suco, yaitu raja, raja S.A. Amir berpangkat Suco Banggai di Luwuk, Gunco,  yaitu Kepala Distrik, dan Sonco  yaitu Kepala Desa.

Di zaman pemerintahan Jepang (1942-1945), terjadi kerja paksa yang sangat memilukan bagi rakyat Banggai, seperti yang terjadi di pulau peling, rakyat dipaksa bekerja mengupas mika untuk kepentingan perang, demikian pula di Balantak dipaksa rakyat membuat lubang di perut gunung yang di pasangi radar, walhasil daerah ini dijadikan sasaran bom pesawat sekutu.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, maka Pemerintah Pusat, Soekarno dan Hatta, atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jum’at, jam 10.00 pagi wib. bertempat di gedung Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Lagu Indonesia Raya di kumandangkan ke seluruh pelosok Nusantara melalui RRI. dan bendera Merah Putih berkibar diangkasa raya.

Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia, menggemah ke seluruh pelosok tanah air, termasuk wilayah Banggai. di Kota Luwuk, kemudian dilakukan penggalangan kekuatan bekas jumpo Jepang seperti, Ince Umar Dahlan, Nasir Lahay, Joseph Siwy, dan J.J. Tular, yang berkekuatan kurang lebih satu kompi bermakas di asrama polisi Soho, pada tanggal 19 Agustus 1945 melakukan penangkapan satu peleton angkatan darat Jepang pelarian dari Halmahera lengkap dengan senjata mitraliur.

Di Bunta pada tanggal 27 September 1942, bertempat gedung Sekolah Islamiyah, di adakan pertemun mantan pejuang Gerakan Merah Putih untuk merapatkan barisan kembali mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari serangan bangsa sekutu, yang tidak ikhlas rakyat Indonesia Merdeka, hadir dalam pertemuan tersebut antara lain, A.R. Lanasir, H.Sunusi Mangantjo, Abdul Latief Mangintung dan Joseph Siwy.

Dalam buku A.R. Lanasir berjudul “Catatan Perjuangan dan Pergerakan di Luwuk,” sebagaimana yang dilansir H.S. Padeatu (2005: 150), mengatakan Pada tanggal 3 November 1945 pagi, kapal perang NICA (Netherland Indies Civil Administration), yaitu administrasi sipil dari Hindia Belanda, masuk pelabuhan Luwuk, dipimpin Mayor Wilson, bangsa Australia, dengan membawa pasukan angkatan darat dan angkatan laut Australia. Pagi itu pula mayor Wilson komamndan NICA di Luwuk berpidato yang isinya pertama, Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, kedua Pemerintahan sekarang kembali kepada Pemerintah Hindi Belanda, ketiga Kekuasaan tertinggi dikembalikan kepada Pemerintahan Swapraja, dan keempat Tentara sekutu telah menerima laporan-laporan mengenai keganasan sebagian besar polisi Jepang.

Sementara itu, Pemerintah Pusat RI. telah mengangkat Gubernur Sulawesi pertama Dr.G.S.S.J. Ratulangi, yang berkedudukan di Makassar. Situasi di wilayah Sulawesi masih belum stabil dengan masuknya tentara NICA  Belanda.

Keadaan  Kota Luwuk semakin gawat, di satu sisi raja Banggai S.A. Amir masih tunduk dan patuh pada pemerintahan NICA Belanda dengan diberi kekuasaan sebagai swapraja Banggai, di sisi lain, para pejuang mantan Gerakan Merah Putih memaksa agar raja Banggai tetap patuh dan tunduk pada isi Proklamasi Kemerdekan RI dan hasil pertemuan raja-raja Sulawers di rumah raja Arumpone Jongaya, Makassar. A.L. Lanasir tokoh Gerakan Merah Butih telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan raja Banggai, namun belum menemukan titik terang bagaimana melepaskan diri dari NICA Belanda di Banggai yang dipimpin HPB. Felix.

A.L. Lanasir kemudian kembali lagi ke Pagimana dan Bunta menyampaikan sikap raja Banggai, kemudian diputuskan untuk  berkoordinasi dengan forum perjuangan  kemerdekan Republik Indonesia di Luwuk yang masih setia pada cita-cita proklamasi RI, akhirnya A.L. Lanasir kembali lagi ke Luwuk dan bertemu dengan Djakaria Nurdin Agama, untuk melakukan demonstrasi di kota Luwuk, sebagai upaya menyadarkan rakyat Banggai tetap setia pada proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dan mengusir penjajah NICA Belanda. Demonstrasi tersebut pada tanggal 27 Novermber 1945, setelah itu dilanjutkan rapat tertutup membahas strategi  perjuangan mengusir tentara NICA Belanda di wilayah Banggai.

Perjuangan para tokoh Gerakan Merah Putih untuk mempertahankan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesi tetap berjuang  sampai ke pelosok wilayah di Banggai, Pemerintahan NICA Belanda di Luwuk di bawah pimpinan HPB Letwiller melihat Gerakan Merah Putih sangat berbahaya, maka kemudian dilakukan penangkapan besar-besaran  kepada para pejuang dan tokoh Gerakan Merah Putih Luwuk Banggai. Mereka yang di tangkap adalah T.S. Boellah, Jusuf Monoarfah, A.R. Lanasir, Agulu Lagonah, Go Weng Sui, S. Kirdiat, H.Sunusi Mangantjo, A.G. Mambu, Ince Umar Dahlan, dr.R.Sutarjo Notoprawiro, R.G. Makadada, B. Worotikan, Salmin Djibran, dan Abd. R. Al Idrus serta Ahmad Fulelkhan. Mereka di vonis tanggal 29 September 1947 di Pengadilan Negeri Militer Belanda Manado, oleh Residen Manado Dr.H.H. Horison. Dalam penjara, mereka di siksa, sehingga sampai ada meninggal seperti alm. Sa’dan Kirdiat meninggal dunia di RSU Dadi  Makassar.

Pada tahun 1949 komandan NICA Belanda di Luwuk diganti dari HPB Letwiller kepada HPB Langendonk, dan pimpinan  NICA Belanda ini sebagai penguasa terakhir NICA Belanda di daerah Luwuk Banggai, menjelang pemulihan kedaulatan pada bulan Desember 1949.

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda 23 Agustus – 2 November 1949, memutuskan memulihkan Kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 dan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Konstitusi RIS tahun 1949. Sejalan dengan KMB, para tahanan politis dan militer dibebaskan dari penjara NICA Belanda di seluruh wilayah RIS., termasuk tahanan-tahanan yang berasal dari Luwuk Banggai, yang dibebaskan pada tanggal 2 Mei 1950. Dan pada tanggal 15 Mei 1950 rombongan bekas tahanan politik dari Luwuk Banggai yang terdiri dari T.S.Bullah, Jusuf Monoarfa, A.R.Lanasir,H.Sunusi Mangantjo serta Ahmad Fulelkhan meninggalkan Makassar  dengan MS (Motor Scheep) Bagan menuju Luwuk. (Sumber : Badan Perpustakaan, Dokumentasi & Kearsipan Prov.Sulteng, Palu).

 2.4.      Badan Perjuangan Daerah Otonomi (BPDO)

Tahun 1923 di Luwuk, terbentuk Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), yang dipimpin oleh Bosanyo Kalia Makmur, Maladjo Ahmad, N.Pedju, Abdullah H.Kasim, Jan Posumah dan Usman Hamid. Di Pagimana PSII dipimpin oleh Jusuf Monoarfa, T.S. Bullah, Agulu Lagonah. Di Bunta dipimpinan oleh S. Kardiat. Balantak dipimpin oleh Salim Hambali. Pada Tahun 1948, PSII Kabupaten Banggai dipimpin oleh Atjo Dg. Matorang, Djakaria N.Agama, Man Djibran, A.Jakobos, Jan Posuma, Sadjo Dg. Matorang, dan Abd. Madjid Mang. (sumber:  Drs.Nurdin.Abd.Rahim, 2012 mantan Camat Batui, Kepala Kes. Bang limas, Nakertrans & Ka.BKD Banggai).

Pada tahun 1932 telah berdiri Organisasi Muhammadiyah Luwuk, dengan tokohnya antara lain, H.Muhammad Noer, Bosanyo Ipung Mang, Sirajuddin Datu Adam, dan H.Thalib. Di Pagimana Muhammadiyah di pimpin oleh Abdau Masulili, M.Tapoh, M.A. Makarao, S.P. Makarao, di Bunta di pimpin oleh S.Bunai, dan Sanusi Mangantjo.

Pada Tahun 1936, terbentuk Dewan Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Banggai, dengan Ketuanya Ahmad Mile, wakil ketua Al Hasni, Sekretaris Abd. Azis Sinukun dan wakil Sekretaris Djeng Djalumang, yang dibentuk oleh PB NU Jakarta  Habib Idrus Al Bakar di rumah Habib Awad Al Bakar.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, wilayah NKRI dari sabang sampai marauke, dan semua Staatblad yang menjadi dasar pembentukan Negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. (sumber : Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Nasional.  Provnsi Sulteng).

Pemerintah RI. mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Republik Indonesia Serikat (RIS) Nomor 21 Tahun 1950, ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950, diumumkan tanggal 16 Agustus 1950, mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950, tentang wilayah asal Daerah Sulawesi Selatan, daerah Minahasa, daerah Sangihe & Talaud, daerah Sulawesi Utara, daerah Sulawesi Tengah Negara Indonesia Timur (NIT), kedudukan Pemerintahan di Makassar dan Manado.

Tahun 1960  Propinsi Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara ibu kota di Makasar dan Provinsi Sulawesi Utara Tengah ibu kota di Manado.

Gubernur Provinsi Sulawesi Sam Ratulangi (1954-1949), Gubernur Sulawesi Utara & Tengah Arnold Achmad Baramuli (23 Naret 1960-15 Juli 1962) dan H. J. Tumbelaka (15 Juli 1962-19 Maret 1965).

Pada tanggal 17 Juni 1950 di bentuk rapat pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Luwuk Banggai di Pagimana di ketuai Suleman Masulili. Dan kemudian pada tanggal 28 September 1950 tokoh-tokoh KNI Pagimana datang ke Luwuk atas prakarsa Letnan Taroreh dari Kesatuan Sulawesi Utara dan Maluku (SUMU) untuk menyampaikan hasil rapat di Pagimana.

Pada tanggal 1 dan 2 Oktober 1950 dimulailah pertemuan bertempat di rumahnya H. Thalib (depan Masjid raya Mutahidah) Luwuk, antara tokoh-tokoh KNI Pagimana Sulaeman Masulili, AR. Lanasir, Jusuf Monoarfa, T.S.Bullah, A. Lagonah, M.A. Makarao dengan tokoh-tokoh politik di Luwuk, Ahmad Mile, Aco Dg.Matorang, Abd. Azis Sinukun, S.Datu Adam, M. Ahmad,  Abd.Azis Larekeng, Djeng Djalumang, Ena Musa, dan tuan rumah H.Thalib, serta Letnan Taroreh. Hasil pertemuan, belum menemukan kata sepakat tentang wadah perjuangan untuk melahirkan wilayah daerah otonom serta penentuan Ibu Kota Kabupaten, tokoh politik KNI Pagimana menghendaki Ibu Kota di Pagimana, sedangkan tokoh politik Luwuk menghendaki Ibu Kota di Luwuk. (sumber: Ulyas Makarao Luwuk).

Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1950, tentang pembagian wilayah Sulawesi Tengah menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Kabupaten Poso wilayahnya meliputi bekas swapraja Banggai, dan Kepala Swapraja Banggai raja S.A. Amir. Anggota-anggota Dewan Di Poso mewakili Swapraja Banggai adalah Ahmad Mile (NU), Abd. Azis Sinukun (NU), Jusuf Monoarfah (PSII), Atjo Dg. Matorang (PSII), S.P. Makarao (Masyumi), unsur wanita ibu Gela, (wanita muslimat NU), dan unsur buruh Go Wen Sie.

Pada tanggal 23 Juli 1955, di Asrama Luwuk Banggai Makassar terjadi pertemuan, dan terbentuk sebuah Organisasi Kerukunan Pelajar (OKP) Luwuk Banggai yang dipimpin oleh Abd. Azis Larekeng, salah satu keputusan dari rapat tersebut yang sangat mendesak adalah ‘”menyampaikan aspirasi politik kepada partai politik dan tokoh masyarakat di Luwuk agar secepatnya memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Banggai menjadi Daerah Tingkat II Banggai.” (sumber : Kesbanglinmas Kab. Banggai, 2012).

Pada tanggal 7 Pebruari 1956, atas prakarsa Pemerintah Swapraja Banggai membentuk wadah organisasi yang di beri nama “Badan Perjuangan Daerah Otonom” (BPDO), yang terdiri dari tokoh politik dan pemerintah swapraja Banggai, masing-masing adalah Djakaria N.Agama, Ahmad Mile, M.H.Wauranagai, A.Momor, Aco Dg. Matorang, Abd.Azis Sinukun, Abd. Azis Larekeng, AL. Lanasir, Agulu Lagonah, Usman Hamid, T.S.Bullah, H.Thalib, Abd. Razak Datu Adam, Djeng Djalumang, Jan Posuma, B. Salam, Sulaeman Amir, S.P.Makarao, dan Ena Musa. Di Jakarta dipimpin oleh Djadil Abdullah, Faraouk Zaman, serta Abd.Kahar Dangka. (sumber :  Kesbanglinmas Kab. Banggai, 2012, dan Drs.Nurdin Abd.Rahim serta Muhrim Abdul Gani di Luwuk, 2012 ).

Salah satu keputusan rapat BPDO adalah, memperjuangkan terbentuknya Daerah Tingkat II Banggai, dan mengutus delegasi ke Poso, Makassar  dan  Jakarta, dengan pertimbangan bahwa agar daerah Swapraja Banggai berdasarkan staadblad 14377 ad V sub 3 yang merupakan wilayah Afdeling Poso, dibentuk dan dimekarkan menjadi “Daerah Swatantra Tingkat II Banggai,”  atau DASTING II.

Pada Tanggal 5 Maret 1957, Pemerintah Swapraja Banggai mengeluarkan pernyataan yang isinya sebagai berikut, pertama Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka atas kemauan sendiri, sudi menerima bilamana status Swapraja Banggai dialihkan menjadi status Daerah Tingkat II, kedua Pada saat terbentuknya Daerah Tingkat II nanti, semua pegawai Swapraja Banggai harus dijamin dan dijadikan Pegawai Daerah, dan ketiga Hak milik Swapraja Banggai menjadi hak milik Daerah Tingkat II nanti. Pernyataan ini ditandatangani raja Banggai S.A. Amir, Mayor ngofa Djakaria N.Agama, jogugu Uda’a, hukum tua H.A. Hamid, dan kapitan S.Amir, disaksikan oleh Residen Koordinator Sulawesi Tengah H.D. Manoppo dan Pd. Daerah Poso Dj. Lapasere.

Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nomor  1 Tahun 1945, junto Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1948, junto Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.

Pada tanggal 23 September 1956, delegasi BPDO Banggai berangkat ke Poso menghadap pemerintahan di Poso, ke Makassar bertemu dengan Gubernur Sulawesi Andi Pangeran Petta Rani dan di lanjutkan ke Jakarta, menemui Menteri Dalam Negeri RI, Mr.Sunaryo masing-masing dipimpin oleh Djakaria Nurdin Agama (ketua/penasihat wakil swapraja Banggai), M.H. Wauranagai (ketua/penasihat wakil Parkindo),  Ahmad Mile (anggota wakil dari NU), Aco Dg.Matorang (Anggota wakil PSII), A. Momor (anggota wakil dari PKI) dan B.Salam (anggota wakil dari Masyumi). Karena B.Salam berangkat naik haji, setibanya di Makassar diganti oleh Abd. Azis Larekeng,  dengan tujuan menyampaikan hasil rapat BPDO tanggal 7 Pebruari 1956 tentang pembentukan wilayah DASWATI II Kabupaten Banggai.

Alhamdulillah, upaya dari delegasi Badan Perjuangan Daerah Otonom  (BPDO) ke Poso, Makassar dan Jakarta membuahkan hasil, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor : 29 Tahun 1959, tanggal 04 Juli 1959, Tentang   Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, dan pada tanggal 16 Juli 1959 keluarlah pula Keputusan Menteri PUOD RI  Nomor : U.P. 7/9/6-1042 Tentang Pengangkatan Bupati DASTING II Banggai pertama BIDIN, dengan Ibu Kota di Luwuk.

Serah terima jabatan antara Kepala Swapraja Banggai S.A. Amir dengan Bupati Daswati II Bidin dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1959, di Luwuk dengan Berita Acara Serah terima jabatan ditandatangani  oleh kapitan Sulaiman Amir (wakil dari pemerintahan swapraja, kepala Pemerintahan Negeri S.A. Amir berhalangan hadir) dan Bupati Daswati  II Banggai Bidin, dengan disaksikan oleh Residen Koordinator Sulawesi Tengah R.M. Kusno Dhayupoyo. Dengan demikian, secara juridis formal Kabupaten Banggai lahir pada tanggal 04 Juli 1959, berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Nomor 74 Tahun 1959,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 1822).

2.5   Daerah Swatantra Tingkat II Banggai (Daswati II) 

       Tahun 1959 – 1963

Daerah Swatanta Tingkat II Banggai lahir pada tanggal 04 Juli 1959, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, Lembaran Negara Nomor 74 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1822 Tahun 1959, dan mulai berlaku (di undangkan) tanggal 04 Juli 1959.

Bupati Daswati II Banggai Bidin diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: U.P. 7/9/6-1042 tanggal 16 Juli 1959 Tentang Pengangkatan Bupati DASTING II Banggai  BIDIN, dan serah terima jabatan dengan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Banggai tanggal 12 Desember 1959 di Luwuk.

Secara efektif administrasi pemerintahan Bupati Pertama DASTING II Banggai BIDIN, baru bekerja pada tanggal 8 Juli 1960. Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 37 tanggal 13 Desember 1960, DASTING II Banggai masuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Utara-Tengah.

Dalam melaksanakan tugasnya, Bupati pertama Bidin dibantu oleh Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) Swatantra Tingkat II Banggai pertama C.K. Tumakaka.

Tahun 1960, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 tanggal 13 Desember 1960 (lembaran Negara Nomor 151) terbentuk Propinsi Sulawesi Utara Tengah, dengan Ibu Kota Manado, Gubernurnya A.A. Baramuli dan terakhir F. Tumbelaka.

Wilayah DASTING II Banggai berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah Nomor Pem/1/1961, tanggal 4 Pebruari 1961, meliputi 2 (dua) Kewedanaan, yaitu pertama Kewedanaan Banggai berkedudukan di Luwuk, terdiri dari Kecamatan Luwuk ( Distrik Luwuk, Kintom, Batui, Lamala dan Balantak), Kecamatan Pagimana berkedudukan di Pagimana (Distrik  Pagimana, Distrik Bunta); kedua, Kewedanaan Banggai Laut, berkedudukan di Banggai, terdiri dari Kecamatan Banggai, terdiri dari Distrik Banggai, Distrik Lo.Bangkurung, Distrik Totikum, dan Kecamatan Kepulauan Peling berkedudukan di Salakan terdiri dari Distrik Tinangkung, Distrik Bulagi, Distrik Buko, Distrik Liang.

Luas wilayah DASTING II Banggai berdasarkan Undang-Undang RI. Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Nomor 74 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1822), seluas 12.877,16 Km2. Dengan batas-batasnya, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku, Sebelah Barat berbatasan dengan Daswati II Poso, sebelah Utara dengan Teluk Tomini dan sebelah Selatan dengan Teluk Tolo.

Kepala Kewedanaan Banggai di Luwuk dijabat oleh H. S.A. Amir (1960) mantan raja Banggai, dan pada tahun 1960-1982 H.S.A. Amir diangkat menjadi Anggota MPRS utusan Daerah Sulawesi Tengah, kemudian Kepala Kewedanaan Banggai di jabat oleh H. Suleman Amir (1960) berkedudukan di Banggai, mantan Kapitan Laut kerajaan Banggai. Dan tahun 1965 pensiun sebagai Ahli Tata Praja Tkt.I Gol III/b pada Kantor BKDH Tk.II Banggai.

Bupati pertama DASTING II Banggai Bidin dalam kegiatan pemerintahannya, lebih memfokuskan pada penataan organisasi  Pemerintahan Daerah, terutama sekali menyusun Tata Pemerintahan Daerah, mencari tenaga-tenaga ahli dan para guru untuk meningkatkan sumber daya pendidikan di  DASTING II Banggai.

Bupati Bidin berkantor pertama kali pada bekas kantor swapraja Banggai (sekarang menjadi Kantor Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab.Banggai), seluruh pegawai Swapraja Banggai diangkat Bupati pertama Bidin sebagai pegawai DASTING II Banggai. Aset-aset perkantoran Swapraja Banggai di jadikan pusat pemerintahan DASWATI II Banggai oleh Bupati Bidin, yang terletak di wilayah Soho, Luwuk.

Pada Tahun 1962 Bupati pertama Bidin membentuk “Yayasan Pendidikan Tompotika Luwuk”, Ketua Pembina Yayasan Bupati Banggai, dengan Ketua pelaksana harian Djeng Djalumang, Wakil Ketua Jan Posumah,  Sekretari J.D. Lasiki, wakil Sekretaris Jan Walalangi. Tugas yayasan ini antara lain, mengirim sekolah tenaga-tenaga guru ke Manado, Makassar, Gorontalo dan ke Jawa, untuk meningkatkan kualitas guru, mencari tenaga-tenaga guru di Manado dan Makassar, mendirikan Sekola Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta Sekolah Menengah Atas (SMA).

Guru-guru yang didatangkan dari Makassar antara lain, F. Patandung, F. Faliling, R.Tambing, Mahyuddin Djudde, Djabar Maita, La Ode Madjid dan lain sebagainya, mereka disekolahkan dan kemudian diangkat menjadi Pegawai Daerah.  Sedangkan sekolah yang dibangun dalam masa pemerintahan Bupati Pertama Bidin seperti Sekolah Dasar (SD) Negeri I Luwuk, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri I Luwuk dan Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri I Luwuk, yang sebelumnya sekolah ini sudah ada pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Yayasan Koperasi Kopra (YKK) merupakan yayasan yang terbentuk pada pemerintahan Bupati Bidin, hasil utama kopra di jual ke Surabaya, keuntungannya dibangun Koperasi Unit Desa (KUD) di masing-masing distrik (kecamatan), dan sampai sekarang bentuk kantor serta gudang KUD masih ada tetapi tidak terawat lagi……………………….

Selanjutnya  dalam buku sejarah Kab.Banggai oleh HARIANTO DJALUMANG.SE

----- ooooo oOo ooooo -----

Sumber : Google Wikipedia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...