KABUPATEN KAMPAR
PROVINSI RIAU
Orientasi
Kampar adalah sebuah wilayah kabupaten yang berada di Provinsi Riau, Indonesia. Di samping julukan sebagai Bumi Sarimadu, ibu kotanya adalah Bangkinang ini juga dikenal dengan julukan Serambi Mekkah di provinsi Riau. Kabupaten ini memiliki luas 11.289,28 km² atau 12,26% dari luas provinsi Riau dan jumlah penduduk berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2022 berjumlah 895.000 jiwa.
Sejarah Berdirinya Kabupaten Kampar ,Ocu dan Minangkabau
Riauterbit.Com - Kabupaten Kampar adalah salah satu Kabupaten di propinsi Riau resmi terbentuk pada 6 Februari 1950. Pengesahannya tertuang dalam Perda Kabupaten Kampar Nomor 02 tahun 1999 dengan rujukan Undang-Undang Ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah, Nomor: 3/DC/STG/50 tanggal 06 Februari 1950.Secara administratif, Kabupaten Kampar dipimpin oleh bupati yang pertama dilantik pertama pada tahun 1958. Jauh sebelumnya Kampar telah memiliki sejarah panjang dengan Limokoto.
Dulunya daerah ini adalah bagian dari persukuan Minangkabau di Sumatera Barat, semasa pemerintahan sistem adat kenegerian yang dipimpin oleh datuk atau ninik mamak, Pemerintahan Kampar dikenal dengan sebutan ”Andiko 44” yang termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Andiko 44 adalah XIII Kotokampar, VIII Kotosetingkai (Kamparkiri), daerah Limokoto (Kuok, Bangkinang, Salo, Airtiris dan Rumbio), X Koto di Tapung (Tapung Kiri VII dan Tapung Kanan III), III Koto Sibalimbiong (Siabu), Rokan IV Koto dan Pinturayo.
Adat istiadat hingga bahasa sehari-hari (bahasa Ocu) hampir mirip dengan Minangkabau dan demikian pula semacam seni budaya. Alat musik tradisional (calempong dan oguong) dan beberapa kebiasaan lainnya.
Kampar sebagai Kabupaten tertua di Propinsi Riau hingga hari ini (2008) memiliki luas 27.908.32 Km2, dengan beberapa kali pemekaran wilayah, seperti lahirnya Kabupaten Pelalawan dan Rokan Hulu. Sementara jumlah penduduknya berkisar 750.000 jiwa/km2 dengan batasan-batasan wilayah, sebelah utara dengan Kabupaten Siak, sebelah Timur dengan Kota Pekanbaru dan Kabupaten Pelalawan.
Kemudian, sebelah Selatan dengan Kabupaten Kuantan Singingi dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Limapuluh Koto (Sumatera Barat). Baghandu sudah menjadi pemandangan umum bagi masyarakat Limokoto (Kampar) pada masa dahulu, bertani secara berpindah-pindah adalah rutinitas dalam menjalani kehidupan.
Hal ini tentunya didukung oleh alam nan hijau luas terbentang. Ketika mentari pagi menyingsing menembus celah-celah dedaunan rimbunnya alam rimba. Langkah-langkah gontai akan berbondong menuju hamparannya masing-masing.
Padi menguning sejauh mata memandang, mengikuti permukaan bumi, lekukan datar membukit, bergelombang seirama dengan kehidupan. Mentaripun membuntutinya selama menjalankan aktivitas. Siang pun tiba, pelangkah gontai tersebut mulai kelelahan dan semakin tanpak gontai.
Seseorang, beberapa orang bergerak mencari tempat duduk di atas pematang, di sanalah ia akan melepas kelelahan dengan Baghandu, melantunkan nyanyian dan nada-nada kehidupan. Salah satu baghandu yang melegenda adalah senandungan ibu-ibu meninabobokan buah hatinya. Hal ini diambil dari potongan Hadist Rasulullah Saw:
”tuntutlah ilmu itu dari ayunan hingga ke liang lahat”.
Dengan dasar ini orang tua-tua Limo koto mengenalkan dasar Islam kepada anak-anak balitanya dengan dua kalimat syahadat melalui ayunan atau Baghandu, bait berikut merupakan penggalan dari kalimat baghandu.
”Laa ilaa ha illallaah, Muhammaa dur-Rasulullaah,
Tiado tuhan salain AllahMuhammad du rasul Allah
Kok aghi ba bilang aghi,
Suda komi la jumat pulo,
Kok nak tontu nak agamo kami,
Namonyo Islam, Muhammad nabi nyo...”
Kampar memiliki catatan sejarah yang membuktikan asal-usul dan identitas diri masyarakatnya dengan adanya situs-situs kerajaan seperti terdapat di Darussalam. Pemerintah Darussalam di Kabupaten Kampar, Riau, sampai saat ini masih menyisakan kejayaannya.
Hal itu bisa terlihat dari masih berdirinya situs bersejarah Istana Kerajaan Darussalam hingga kini. Istana Kerajaan Darussalam berdiri di Kecamatan Gunung Sahilan, Kabupaten Kampar. Tidak ada keterangan pasti tentang kapan Raja Darussalam pertama berkuasa.
Literatur sejarah Melayu pun tidak banyak menjelaskan asal-usul kerajaan di pinggir Sungai Kampar ini. Hanya, para tokoh adat di Gunung Sahilan, memperkirakan Kerajaan Darussalam diperkirakan berdiri sekitar tahun 1901.
Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka, kekuasaan raja diambil alih pemerintah Republik Indonesia. Sayangnya, meski bernilai sejarah tinggi, istana dan benda pusaka Kerajaan Darussalam, tidak terawat dengan baik. Beberapa bagian istana terlihat rusak.
Bangunan yang sudah berdiri ratusan tahun ini lapuk dimakan usia. Selain Kerajaan Darussalam, di Provinsi Riau, juga pernah berdiri sejumlah kerajaan Melayu, antara lain Kerajaan Siak, Kunto Darussalam, Indragiri dan Pelalawan.
Umumnya, kekuasaan kerajaan-kerajaan ini berada di bawah pengaruh dua kerajaan besar, yakni Malaka dan Kerajaan Pagaruyung. Dalam rentang waktu yang cukup panjang Kabupaten Kampar telah mengalami banyak perubahan dan kemajuan, yang tidak bisa kita pungkiri, merupakan hasil dari proses pembangunan selama ini.
Perubahan-perubahan itu dapat kita lihat dan rasakan pada hampir seluruh aspek kehidupan, tentunya sebagai bagian integral dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan yang terjadi disini sangat dipengaruhi dan diwarnai pula oleh perkembangan negara secara keseluruhan.
Pembentukan Kabupaten Kampar tidak lepas dari proses sejarah yang cukup panjang yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada saat itu dimulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman pemerintahan Jepang, zaman kemerdekaan hingga era otonomi daerah.
Pada awalnya Kampar termasuk sebuah kawasan yang luas, merupakan sebuah kawasan yang dilalui oleh sebuah sungai besar, yang disebut dengan Sungai Kampar. Berkaitan dengan Prasasti Kedudukan Bukit, beberapa sejarawan menafsirkan Minanga Tanvar dapat bermaksud dengan pertemuan dua sungai yang diasumsikan pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Penafsiran ini didukung dengan penemuan Candi Muara Takus di tepian Sungai Kampar Kanan, yang diperkirakan telah ada pada masa Sriwijaya.
Berdasarkan Sulalatus Salatin, disebutkan adanya keterkaitan Malaka dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Malaka terakhir, Sultan Mahmud Syah setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugal, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya wafat dan dimakamkan di Kampar.
Dalam catatan Portugal, disebutkan bahwa di Kampar waktu itu telah dipimpin oleh seorang raja, yang juga memiliki hubungan dengan penguasa Minangkabau.Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri Sungai Siak kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Sungai Kampar. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju Pagaruyung.
Sedangkan pada zaman Belanda pembagian wilayah secara Administrasi dan Pemerintahan masih berdasarkan persekutuan Hukum Adat, yang meliputi beberapa kelompok wilayah yang sangat luas yakni:
1. Desa Swapraja meliputi : Rokan, Kunto Darussalam, Rambah, Tambusai dan Kepenuhan, yang merupakan suatu landscappen atau Raja-raja dibawah district loofd Pasir Pengaraian yang dikepalai oleh seorang Belanda yang disebut Kontroleur (Kewedanaan) Daerah/Wilayah yang masuk Residensi Riau.
2. Wilayah Bangkinang, membawahi Batu Bersurat, Kuok, Salo, Bangkinang dan Air Tiris termasuk Residensi Sumatera Barat, karena susunan masyarakat hukumnya sama dengan daerah Minang Kabau yaitu Nagari, Koto dan Teratak.
3. Desa Swapraja Senapelan/ Pekanbaru meliputi wilayah Kampar Kiri Senapelan dan Swapraja Gunung Sahilan, Singingi sampai Kenegerian Tapung Kiri dan Tapung Kanan termasuk Kesultanan Siak (Residensi Riau).
4. Desa Swapraja Pelalawan meliputi Bunut, Pangkalan Kuras, Serapung dan Kuala Kampar (Residensi Riau), Situasi genting antara Republik Indonesia dengan Belanda saat itu tidak memungkinkan untuk diresmikannya Kabupaten Kampar oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah pada bulan Nopember 1948.
Saat itu guna kepentingan militer, Kabupaten Kampar dijadikan suatu Kabupaten, dengan nama Riau Nishi Bunshu (Kabupaten Riau Barat) yang meliputi wilayah Bangkinang dan wilayah Pasirpengaraian.
Dengan menyerahnya Jepang ke pihak sekutu dan setelah proklamasi Kemerdekaan, maka kembali Bangkinang ke status semula, yakni Kabupaten Limapuluh Kota, dengan ketentuan dihapuskannya pembagian administrasi pemerintahan berturut-turut seperti : cu (Kecamatan), gun (wilayah), bu (kabupaten), Wilayah Bangkinang dimasukkan ke dalam Pekanbaru bun (Kabupaten) Pekanbaru.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, atas permintaan Komite Nasional Indonesia Pusat wilayah Bangkinang dan pemuka-pemuka Masyarakat wilayah Bangkinang meminta kepada Pemerintah Riau dan Sumatera Barat agar wilayah Bangkinang dikembalikan kepada status semula, yakni termasuk Kabupaten Limapuluh Provinsi Sumatera Barat dan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1946 wilayah Bangkinang kembali masuk Kabupaten Limapuluh Provinsi Sumatera Barat.
Untuk mempersiapkan pembentukan Pemerintah Provinsi dan Daerahlah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, maka komisariat pemerintahan pusat di Bukittinggi menetapkan peraturan tentang pembentukan Kabupaten dalam Provinsi Sumatera Tengah yang bersifat sementara, dengan pembagian 11 (sebelas) Kabupaten, yakni:
1. Kabupaten Singgalang Pasaman dengan Ibukota Bukit Tinggi.
2. Kabupaten Sinamar dengan Ibu Kota Payakumbuh.
3. Kabupaten Talang dengan Ibu Kota Solok.
4. Kabupaten Samudera dengan Ibu Kota Pariaman.
5. Kabupaten Kerinci/Pesisir Selatan dengan Ibu Kota Sei Penuh.
6. Kabupaten Kampar dengan Ibu Kota Pekanbaru, meliputi Daerah wilayah Bangkinang, Pekanbaru, kecuali Kecamatan Singingi, Kecamatan Pasir Pengaraian dan Kecamatan Langgam.
7. Kabupaten Indragiri dengan Ibu Kota Rengat.
8. Kabupaten Bengkalis dengan Ibu Kota Bengkalis, meliputi wilayah Bengkalis, Bagan Siapi-api, Selat Panjang, Pelalawan kecuali Kecamatan Langgam dan wilayah Siak.
9. Kabupaten Kepulauan Riau dengan Ibu Kota Tanjungpinang.
10. Kabupaten Merangin dengan Ibu Kota Muara Tebo.
11. Kabupaten Batang hari dengan Ibu Kota Jambi.
Berdasarkan pembagian tersebut, diketahui bahwa tanggal 1 Desember 1948 adalah proses yang mendahului pengelompokan wilayah Kabupaten Kampar. Pada Tanggal 1 Januari 1950 ditunjuklah Datuk. Wan Abdul Rahman sebagai Bupati Kampar pertama dengan tujuan untuk mengisi kekosongan pemerintah, karena adanya penyerahan kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia hasil Konfrensi Bundar. Tanggal 6 Februari 1950 adalah saat terpenuhinya seluruh persyaratan untuk penetapan hari kelahiran, hal ini sesuai ketetapan Gubernur Sumatera Tengah No. : 3/dc/stg/50 tentang penetapan Kabupaten Kampar, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.
Sejak tanggal 6 Februari 1950 tersebut Kabupaten Kampar telah resmi memiliki nama, batas-batas wilayah, dan pemerintahan yang sah dan kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang pembentukan otonomi daerah Kabupaten Kampar dan lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah.
Secara yuridis dan sesuai persyaratan resmi berdirinya suatu daerah, dasar penetapan hari jadi Kabupaten Kampar adalah pada saat dikeluarkannya Ketetapan Gubernur Sumatera Tengah No. 3/dc/stg/50 Tanggal 6 Februari 1950, yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar No: 02 Tahun 1999 tentang Hari Jadi Daerah Tingkat II Kampar dan disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingakt I Riau No: Kpts.06/11/1999 Tanggal 4 Februari 1999 serta diundangkan dalam lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar Tahun 1999 No: 01 Tanggal 5 Februari 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan perkembangan dan aspirasi masyarakat berdasarkan undang-undang No. 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam (lembaran Negara tahun 1999 Nomor Kampar dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hulu.
Dua Kabupaten baru tersebut yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Pelalawan sebelumnya merupakan wilayah administrasi Pembantu Bupati wilayah I dan Bupati Wilayah II. (PN)
http://herwandisahputra.blogspot.co.id/
Sejarah
Pada awalnya Kampar termasuk sebuah kawasan yang luas, merupakan sebuah kawasan yang dilalui oleh sebuah sungai besar, yang disebut dengan Sungai Kampar. Berkaitan dengan Prasasti Kedukan Bukit, beberapa sejarahwan menafsirkan Minanga Tanvar dapat bermaksud dengan pertemuan dua sungai yang diasumsikan pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Penafsiran ini didukung dengan penemuan Candi Muara Takus di tepian Sungai Kampar Kanan, yang diperkirakan telah ada pada masa Sriwijaya.
Berdasarkan Sulalatus Salatin, disebutkan adanya keterkaitan Kesultanan Melayu Melaka dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Melaka terakhir, Sultan Mahmud Shah setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar.[7] Dalam catatan Portugal, disebutkan bahwa di Kampar waktu itu telah dipimpim oleh seorang raja, yang juga memiliki hubungan dengan penguasa Minangkabau. Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri Sungai Siak kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Sungai Kampar. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju Pagaruyung.
Perkembangan
Pada tanggal 9 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi kebakaran hutan dan lahan, di Desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Geografi
Kabupaten Kampar dengan luas lebih kurang 211.289,28 km² merupakan daerah yang terletak antara 1°00’40” Lintang Utara sampai 0°27’00” Lintang Selatan dan 100°28’30” – 101°14’30” Bujur Timur. Batas-batas daerah Kabupaten Kampar adalah sebagai berikut:
Batas Wilayah
Utara |
|
Timur |
|
Selatan |
|
Barat |
Kabupaten Kampar dilalui oleh dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil, di antaranya Sungai Kampar yang panjangnya ± 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m dan lebar rata-rata 143 meter. Seluruh bagian sungai ini termasuk dalam Kabupaten Kampar yang meliputi Kecamatan XIII Koto Kampar, Bangkinang, Kuok, Kampar, Siak Hulu, dan Kampar Kiri. Kemudian Sungai Siak bagian hulu yakni panjangnya ± 90 km dengan kedalaman rata-rata 8 – 12 m yang melintasi kecamatan Tapung. Sungai-sungai besar yang terdapat di Kabupaten Kampar ini sebagian masih berfungsi baik sebagai sarana perhubungan, sumber air bersih, budi daya ikan, maupun sebagai sumber energi listrik (PLTA Koto Panjang).
Kabupaten Kampar pada umumnya beriklim tropis, suhu minimum terjadi pada bulan November dan Desember yaitu sebesar 21 °C. Suhu maksimum terjadi pada Juli dengan temperatur 35 °C. Jumlah hari hujan pada tahun 2009, yang terbanyak adalah di sekitar Bangkinang Seberang dan Kampar Kiri.
Pemerintahan
Kabupaten Kampar pada awalnya berada dalam Provinsi Sumatra Tengah, dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 dengan ibu kota Bangkinang. Kemudian masuk wilayah Provinsi Riau, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 dan dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958. Kemudian untuk perkembangan Kota Pekanbaru, Pemerintah daerah Kampar menyetujui untuk menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk keperluan perluasan wilayah Kota Pekanbaru, yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1987.
Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau Nomor: KPTS. 318VII1987 tanggal 17 Juli 1987, Kabupaten Kampar terdiri dari 19 kecamatan dengan dua Pembantu Bupati. Pembantu Bupati Wilayah I berkedudukan di Pasir Pangarayan dan Pembantu Bupati Wilayah II di Pangkalan Kerinci. Pembantu Bupati Wilayah I mengkoordinir wilayah Kecamatan Rambah, Tandun, Rokan IV Koto, Kunto Darussalam, Kepenuhan, dan Tambusai. Pembantu Bupati Wilayah II mengkoordinir wilayah Kecamatan Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut, dan Kuala Kampar. Sedangkan kecamatan lainnya yang tidak termasuk wilayah pembantu Bupati wilayah I & II berada langsung di bawah koordinator
Kabupaten.
Kabupaten Kampar saat ini dipimpin oleh Catur Sugeng Susanto.
Daftar Bupati
Kecamatan
Daftar kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Kampar
Kabupaten Kampar memiliki 21 kecamatan, sebagai hasil pemekaran dari 12 kecamatan sebelumnya. Kedua puluh satu kecamatan tersebut (beserta ibu kota kecamatan) adalah:
1. Bangkinang (ibu kota: Muara Uwai).
2. Bangkinang Kota (ibu kota: Bangkinang).
3. Gunung Sahilan (ibu kota: Kebun Durian).
4. Kampar (ibu kota: Air Tiris).
5. Kampar Kiri (ibu kota: Lipat Kain).
6. Kampar Kiri Hilir (ibu kota: Sei.Pagar).
7. Kampar Kiri Hulu (ibu kota: Gema).
8. Kampar Timur (ibu kota: Kampar).
9. Kampar Utara (ibu kota: Desa Sawah).
10. Kuok (ibu kota: Kuok).
11. Perhentian Raja (ibu kota: Pantai Raja).
12. Rumbio Jaya (ibu kota: Teratak).
13. Salo (ibu kota: Salo).
14. Siak Hulu (ibu kota: Pangkalanbaru).
15. Tambang (ibu kota: Sei.Pinang).
16. Tapung (ibu kota: Petapahan).
17. Tapung Hilir (ibu kota: Kota Garo).
18. Tapung Hulu (ibu kota: Sinama Nenek).
19. XIII Koto Kampar (ibu kota: Batu Besurat).
20. Kampar Kiri Tengah (ibu kota: Simalinyang).
21. Koto Kampar Hulu (ibu kota: Tanjung)
Demografi
Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Kampar tahun 2010 tercatat 688,204 orang, yang terdiri dari penduduk laki-laki 354,836 jiwa dan wanita 333,368 jiwa. Ratio jenis kelamin (perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan) adalah 109. Mayoritas Penduduk Kabupaten Kampar adalah orang Kampar yang merupakan bagian dari Minangkabau. Mereka juga kerap menyebut dirinya sebagai ughang (orang) Ocu yang tersebar di sebagian besar wilayah Kampar dengan persukuan Domo, Malayu, Piliong/Piliang, Mandailiong, Putopang, Caniago, Kampai, Bendang, dan lainnya. Beberapa literatur menyatakan, masyarakat Kampar dari segi adat-istiadat, budaya, dan bahasa mereka memang bagian masyarakat Minangkabau.
Selanjutnya terdapat juga etnis Jawa yang sebagian telah menetap di Kampar sejak masa penjajahan dan masa kemerdekaan melalui program transmigrasi yang tersebar di sentra-sentra permukiman transmigrasi. Didapati pula penduduk beretnis Batak dalam jumlah yang cukup besar bekerja sebagai buruh di sektor-sektor perkebunan dan jasa lainnya. Selain itu dalam jumlah yang signifikan para pendatang beretnis Minangkabau asal Sumatra Barat yang umumnya berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha.
Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Kampar yaitu 333 jiwa/km², diikuti oleh Kecamatan Kampar Utara 226 jiwa/km². Selain itu lima kecamatan yang agak padat penduduknya berada di Kecamatan Rumbio Jaya, Bangkinang, Kuok, Perhentian Raja, dan Kampar Timur, masing –masing 216 jiwa/km², 191 jiwa/km², 158 jiwa/km², 154 dan 131 jiwa/km². Sedangkan dua kecamatan yang relatif jarang penduduknya yaitu Kecamatan Kampar Kiri Hulu dengan kepadatan 9 jiwa/km² dan Kampar Kiri Hilir dengan 13 jiwa/km².
Agama
Penduduk kabupaten Kampar mayoritas beragama Islam, diikuti oleh Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri dalam catatan kependudukan dan sipil hingga akhir tahun 2020 mencatat pemeluk agama Islam berjumlah 706.835 jiwa (89,44%) dari 790.313 jiwa penduduk. Selanjutnya pemeluk agama Kristen sebanyak 83.051 jiwa (10,51%), dimana Protestan 75.277 jiwa (9,53%) dan Katolik 7.774 jiwa (0,98%). Pemeluk agama Kristen banyak terdapat di kecamatan Tapung Hulu, Siak Hulu, Tapung Hilir dan Tapung. Meski pada umumnya semua kecamatan di kabupaten Kampar adalah mayoritas beragama Islam.
Rumah ibadah yang terdapat di kabupaten Kampar yakni rumah ibadah berupa masjid sebanyak 794 bangunan, musholah 1.169 bangunan. Masjid Jami Air Tiris, termasuk salah satu masjid tertua di Kabupaten Kampar. Gereja protestan berjumlah 234 bangunan, dan paling banyak berada di kecamatan Tapung yakni 74 bangunan gereja. Dan bangunan gereja Katolik berjumlah 21 bangunan.
Ekonomi
Kabupaten Kampar mempunyai banyak potensi yang masih dapat dimanfaatkan, terutama di bidang pertanian dan perikanan darat. Sebagian besar penduduk (67.22%) bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Hanya sebagian kecil (0.22%) yang bekerja di sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih, disamping pemerintahan. Sebagai salah satu daerah terluas di Provinsi Riau, Kabupaten Kampar secara berkelanjutan melakukan peningkatan fasilitas dan infrastruktur seperti jaringan jalan raya (1.856,56 km), jaringan listrik (72,082 KWH) dengan 5 unit pembangkit tenaga diesel Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Koto Panjang yang memproduksi energi dengan kapasitas tersambung sebesar 114,240 KWH. Fasilitas lain yang juga telah tersedia antara lain layanan telekomunikasi (telepon kabel, telepon seluler, dan jaringan internet) dan jaringan air bersih dengan kapasitas produksi sebesar 1,532,284 m³.
Pertanian
Bidang pertanian seperti kelapa sawit dan karet yang merupakan salah satu tanaman yang sangat cocok buat lahan yang ada di Kabupaten kampar.
Perkebunan
Khusus perkebunan perkebunan sawit untuk saat ini Kabupaten Kampar mempunyai luas lahan 241,5 ribu hektare dengan potensi crude palm oil (CPO) sebanyak 966 ribu ton.
Perikanan
Di bidang perikanan budidaya ikan patin yang dikembangkan melalui keramba (kolam ikan berupa rakit) di sepanjang sungai kampar, ini terlihat banyaknya keramba yang berjejer rapi di sepanjang sungai kampardan adanya kerjasama antara Pemda Kampar dengan PT Benecom dengan jumlah investasi Rp. 30 miliar yang mana kedepannya Kampar akan menjadi sentra ikan patin dengan produksi 220 ton per hari.
Pariwisata
Kabupaten Kampar memiliki kawasan situs purbakala yang diperkirakan telah ada pada masa Sriwijaya yaitu Candi Muara Takus, kawasan ini selain menjadi kawasan cagar budaya juga menjadi tujuan wisata religi bagi umat Buddha. Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus, XIII Koto Kampar, Kampar. Selain itu masyarakat Kampar yang beragama Islam, masih melestarikan tradisi mandi balimau bakasai yaitu mandi membersihkan diri di Sungai Kampar terutama dalam menyambut bulan Ramadan. Kemudian terdapat juga tradisi Ma'awuo ikan yaitu tradisi menangkap ikan secara bersama-sama (ikan larangan) setahun sekali, terutama pada kawasan Danau Bokuok (Kecamatan Tambang) dan Sungai Subayang di Desa Domo (Kecamatan Kampar Kiri Hulu).
Budaya masyarakat Kampar tidak lepas dari pengaruh Minangkabau, yang identik dengan sebutan Kampar Limo Koto dan dahulunya merupakan bagian dari Pagaruyung. Limo Koto terdiri dari Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris dan Rumbio. Terdapat banyak persukuan yang masih dilestarikan hingga kini, termasuk model kekerabatan dari jalur ibu (matrilineal).
Konsep adat dan tradisi persukuannya sama dengan konsep Minang khususnya di Luhak Limopuluah. Bahasa sehari-hari masyarakat Kampar mirip dengan Bahasa Minangkabau,[25] atau disebut dengan Bahasa Ocu salah satu varian yang mirip dengan bahasa digunakan di Luhak Limopuluah. Bahasa ini berlainan aksen dengan varian Bahasa Minangkabau yang dipakai oleh masyarakat Luhak Agam, Luhak Tanah Datar maupun kawasan pesisir Minangkabau lainnya. Di samping itu, Kampar Limo Koto juga memiliki semacam alat musik tradisional yang disebut dengan Calempong dan Oguong.
----- ooooo oOo ooooo -----
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar