Jumat, 31 Agustus 2018

KISAH PERJANJIAN HUDAIBIYAH


KISAH PERJANJIAN HUDAIBIYAH


Orientasi
Perjanjian Hudaibiyyah (Arab : صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang diadakan di wilayah Hudaibiyah Mekkah pada Maret, 628 M (Dzulqa'dah, 6 H). Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.

Latar Belakang
Pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah. Mereka mempersiapkan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada Allah SWT. Namun karena saat itu kaum Quraisy di Makkah sangat anti terhadap kaum Muslim Madinah (terkait kekalahan dalam perang Khandaq), maka Makkah tertutup untuk kaum Muslim. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu ini, bangsa Arab benar-benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci. Akhirnya kaum Muslim menyetujui langkah Nabi Muhammad, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini diabadikan dalam Alquran QS Al-Fath [48]: 24 sebagai berikut :
24. dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Perjanjian
Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi : "Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad (SAW) dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad (SAW), diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad (SAW) tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad (SAW) akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah"

Manfaat Perjanjian
Manfaat Hudaibiyah bagi kaum Muslim adalah :
Ø Bebas dalam menunaikan agama Islam
Ø Tidak ada teror dari Quraisy
Ø Mengajak kerajaan-kerajaan luar seperti Ethiopia-afrika untuk masuk Islam

Hasil
Ø Perjanjian Hudaibiyah ternyata dilanggar oleh Quraisy, tetapi kaum Muslim bisa membalasnya dengan penaklukan Mekkah (Fathul Makkah) pada tahun 630 M.
Ø Kaum Muslim berpasukan sekitar 10.000 tentara. Di Mekkah, mereka hanya menemui sedikit rintangan. Setelah itu, mereka meruntuhkan segala simbol keberhalaan di depan Ka'bah

Reorientasi
Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara kaum Muslimin Madinah dengan kaum musyrikin Mekah. Perjanjian yang ditandatangani di lembah Hudaibiyah, pinggiran Mekah, ini terjadi pada tahun ke-6 setelah Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Pada saat itu rombongan kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak melakukan ibadah haji. Namun mereka dihalang-halangi masuk ke Mekah oleh kaum musyrik Quraisy warga Mekah. Rasulullah pun mengajak mereka bernegosiasi sampai akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai.

Inti isi Perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:
Ø Gencatan senjata antara Mekah dengan Madinah selama 10 tahun.
Ø Warga Mekah yang menyeberang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Mekah.
Ø Warga Madinah yang menyeberang ke Mekah tidak boleh kembali ke Madinah.
Ø Warga selain Mekah dan Madinah, dibebaskan memilih untuk berpihak ke Mekah atau Madinah.
Ø Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah, namun diperbolehkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang). Dalam masa 3 hari itu kaum Quraisy (Mekah) akan menyingkir keluar dari Mekah.

Sekilas isi perjanjian tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi kaum Muslimin, dan hanya menguntungkan kaum Quraisy Mekah. Ini bisa kita cermati satu persatu isinya:
Ø Gencatan senjata sudah tidak diperlukan oleh kaum Muslimin, karena kaum musyrikin sebenarnya dalam posisi lemah karena sebelumnya kalah telak dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Kemauan mereka bernegosiasi juga menunjukkan kelemahan posisi mereka. Kalau kuat, mereka pastilah langsung menyerang kaum Muslimin yang hendak datang ke Mekah.
Ø Jika penduduk Mekah tidak boleh menyeberang ke Madinah, jelas jumlah kaum Muslimin tidak akan bertambah, sedangkan kaum Quraisy tidak akan berkurang.
Ø Jika penduduk Madinah yang pergi ke Mekah tidak diperbolehkan untuk kembali ke Madinah, tentu warga Madinah akan berkurang.
Ø Poin ke-4 ini bisa disebut imbang.
Ø Kaum Muslimin yang sudah menempuh perjalanan jauh ke Mekah, namun kini harus pulang tanpa bisa menunaikan haji. Tahun berikutnya pun, mereka hanya boleh tiga hari di Mekah, tentu tak cukup untuk berhaji.

Tak heran bila perjanjian ini sangat mengecewakan sebagian kaum Muslimin. Bahkan Umar bin Khattab sempat memprotes isi perjanjian ini. Ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebagai tanda berakhirnya ibadah Haji, tidak ada satu pun yang bersegera mematuhinya, mungkin karena bingung atau protes kepada Rasulullah.

Namun lambat laun akhirnya terbukti, ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai visi politik yang sangat hebat, yang orang lain tidak mampu menangkapnya. Demi kerahasiaan strategi, beliau tidak mengungkapkan rahasia di balik perjanjian itu. Setelah kemenangan Islam terjadi, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa paling tidak ada dua hal penting yang dihasilkan Perjanjian Hudaibiyah tersebut:
Ø Perjanjian ini ditandatangani oleh Suhail bin Amr, sebagai wakil kaum Quraisy. Suku Quraisy adalah suku paling terhormat di daerah Arab, sehingga siapapun akan menghormati apa yang mereka tentukan. Dengan penandatanganan perjanjian ini, maka Madinah diakui sebagai suatu daerah yang mempunyai otoritas sendiri. Jika Suku Quraisy telah mengakui, maka suku- suku lain pun pasti mengakuinya.
Ø Dengan perjanjian ini, maka pihak Quraisy (Mekah) memberi kekuasaan kepada Madinah untuk menghukum mereka jika menyalahi perjanjian tersebut. Ternyata sangat hebat konsekuensi dari perjanjian ini. Kaum Muslimin Madinah yang tadinya dianggap bukan apa- apa, sejak perjanjian itu berada dalam posisi bisa menghukum suku yang paling terhormat di Arab. Perlu diketahui bahwa Islam melarang memerangi suatu kaum atau seseorang tanpa orang atau kaum tersebut melakukan kesalahan. Ini bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Al Hajj ayat 39- 40 sebagai berikut :
39.  telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,
40. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,
Ø Dengan keuntungan yang di dapat dari Perjanjian Hudaibiyah itu, Nabi Muhammad berusaha mengukuhkan status Madinah dengan cara mengutus berbagai utusan kepada pemimpin negara- negara tetangga, di antaranya Mesir, Persia, Romawi, Habasyah (Ethiopia), dan lain- lain. Selain itu beliau juga menyebar pendakwah untuk menyebarkan Agama Islam.
Ø Selain itu, adanya jaminan bahwa kaum Quraisy tidak akan memusuhi kaum Muslimin, kaum Muslimin pun bisa dengan leluasa menghukum kaum Yahudi Khaibar yang telah mendalangi penyerangan terhadap kaum Muslimin Madinah dalam Perang Ahzab/ Khandaq. Ini yang beliau lakukan sehingga kaum Yahudi pun di kemudian hari tidak berani lagi mengganggu Madinah.
Ø Selain itu, Nabi Muhammad SAW tahu betul karakter orang- orang Mekah. Beliau yakin bahwa mereka akan melanggar perjanjian itu sebelum masa berlakunya selesai. Dan hal itu memang terjadi, sehingga Rasulullah memiliki landasan hukum untuk melakukan penaklukan kota Mekah. Penaklukan Mekah terjadi damai tanpa pertumpahan darah karena kaum musyrikin sudah tidak berdaya lagi.

Jatuh Bangun Kedua Sahabat dalam Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah telah merugikan kaum Muslimin. Duka dan tekanan yang sangat mendalam dialami para sahabat dari perjanjian ini. Di antaranya Abu Bashir dan Abu Jandal, dua sahabat Nabi SAW yang kisahnya menjadi perhatian. Begitu kuatnya keislaman mereka, maka kekuatan apapun tidak akan membuat mereka lepas dari agama Allah.

Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a bahwa pada tahun ke-enam Hijrah Nabi Saw ke Madinah, Beliau ingin berumrah dan berziarah ke Makkah. Kabar ini diketahui oleh orang-orang kafir Makkah yang membuat mereka merasa terhina. Sehingga, mereka berencana untuk menghalangi perjalanan Nabi SAW di suatu tempat bernama Hudaibiyah.

Pada saat itu, Nabi SAW pergi bersama para sahabat yang telah siap mengorbankan jiwa raga mereka di jalan Allah. Namun, demi kebaikan penduduk Makkah, Nabi SAW tidak menghendaki perang. Beliau berusaha mengadakan perjanjian dengan mereka. Meski saat itu para sahabat telah siap berperang, Nabi SAW tetap memperhatikan orang-orang kafir dan menerima syarat yang mereka ajukan. Sebenarnya para sahabat sangat tertekan dengan perjanjian ini, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa pun terhadap keputusan Nabi SAW. Sebab jiwa raga mereka telah diserahkan untuk menaati beliau, bahkan seorang pemberani seperti Umar pun merasa tertekan dengan perjanjian ini.

Adapun salah satu isi keputusan perjanjian tersebut adalah: Orang-orang kafir yang telah masuk Islam dan berhijrah, harus dikembalikan ke Makkah dan orang Islam yang murtad dari Islam tidak dikembalikan ke kaum Muslimin. Belum sah perjanjian itu, seorang sahabat bernama Abu Jandal ra yang telah ditahan, disiksa, dan dirantai oleh kaum kafir karena keislamannya, jatuh bangun mendatangi Nabi SAW dan sahabat. Ia berharap dapat bergabung dengan kaum muslimin dan terbebas dari musibah yang dialaminya.

Ayahnya yang bernama Suhail, pada saat itu merupakan wakil orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah (ia akan masuk Islam pada saat fathul Makah). Ia menampar anaknya dan memaksanya kembali ke Makkah. Sabda Nabi SAW kepada Suhail, “Perjanjian belum diputuskan, maka belum ada peraturan yang berlaku.” Suhail terus memaksa disahkannya perjanjiann tersebut dan Nabi SAW menjawab, “Aku meminta agar ada satu orang yang diserahkan kepadaku.” Namun mereka menolak pertukaran itu. Abu Jandal ra berkata kepada kaum Muslimin, “Aku datang untuk masuk Islam, banyak penderitaan yang aku alami. Sayang, aku akan dikembalikan lagi.” Hanya Allah yang mengetahui betapa sedihnya para sahabat ketika itu. Atas nasihat Nabi SAW, Abu Jandal ra bersedia kembali ke Makkah. Nabi SAW berusaha menghibur hatinya dan menyuruhnya tetap bersabar. Beliau bersabda, “Dalam waktu dekat, Allah akan membukakan jalan bagimu.”

Setelah selesai perjanjian Hudaibiyah, seorang sahabat yang bernama Abu Bashir ra melarikan diri ke Madinah setelah keislamannya. Kaum kafir mengutus dua orang untuk membawanya kembali ke Makkah. Sesuai dengan perjanjian, Nabi SAW mengembalikan Abu Bashir ra kepada mereka.
Abu Bashir berkata, “Ya Rasulullah, aku datang setelah menjadi Muslim, dan engkau kembalikan aku kepada kaum kufir?” Nabi SAW menasehatinya agar bersabar, “Insya Allah, sebentar lagi Allah akan membukakan jalan bagimu.” Akhirnya, Abu Bashir dikembalikan ke Makkah bersama kedua utusan tadi. Di tengah perjalanan, Abu Bashir ra berkata kepada seorang penjaganya, “Hai kawan, pedangmu bagus sekali.” Karena merasa pedangnya dipuji, orang itu dengan bangga mengeluarkannya dan memberikannya kepada Abu Bashir sembari berkata, “Ya aku telah menebas banyak orang dengan pedang ini.”

Begitu berada di tangan Abu Bashir, ia langsung mencoba pedang itu kepada pemiliknya. Ketika penjaga yang lain melihat temannya tewas, ia berpikir selanjutnya adalah gilirannya. Maka, ia langsung melarikan diri ke Madinah dan menghadap Nabi SAW. “Temanku telah dibunuh dan sekarang akan tiba giliranku,” adunya pada Nabi SAW. Pada saat itu Abu Bashir ra pun tiba di hadapan Nabi SAW. Ia berkata, “Ya Rasulullah, engkau telah memenuhi janjimu dengan mereka, dan aku pun telah dipulangkan, namun aku tidak memiliki janji apa pun yang menjadi tanggung jawabku atas mereka. Kulakukan semua ini karena mereka berusaha mencabut agama dariku.”
“Kamu telah menyulut api perang. Seandainya ada yang dapat menolongmu.” Atas sabda Nabi SAW itu, Abu Bashir ra memahami bahwa jika ada kaum kafir yang memintanya kembali, maka ia akan dikembalikan lagi kepada mereka. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat di dekat pantai.

Berita ini telah tersiar kepada orang-orang di Makkah. Maka, Abu Jandal ra. pun  melarikan diri dan bergabung dengan Abu Bashir ra. Demikian pula dengan orang-orang yang telah masuk Islam, banyak yang bergabung dengan mereka. Dalam  beberapa hari mereka menjadi segerombolan kecil. Sampai akhirnya mereka berada di sebuah hutan yang di dalamnya tidak ada makanan atau kebun sedikit pun, bahkan penduduk. Hanya Allah yang mengetahui keadaan mereka. Jika ada kafillah orang-orang kafir yang melewati tempat tersebut, mereka akan melawannya.

Kaum kafir di Makkah pun merasa ketakutan sehingga mereka terpaksa menjumpai Nabi SAW dan merayunya dengan membawa nama Allah, alasan kekeluargaan, dan sebagainya agar Abu Bashir beserta lainnya dipanggil. Akhirnya, Nabi SAW menulis surat kepada Abu Bashir dan lainnya agar mereka kembali. Ketika surat itu tiba di tangan Abu Bashir, ia sedang menderita sakit yang sangat parah. Dan ia wafat ketika tangannya sedang  memegang surat Nabi SAW. (Bukhari - Fathul Bari)

Sumber : Google Wikipedia

 


KISAH PERANG SHIFFIN


KISAH PERANG SHIFFIN

Orientasi

Perang Shiffin (Arab: وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 Hijriah.

Latar Belakang
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib diangkat sebagai khalifah, tetapi penerimaan dari seluruh kekhalifahan islam sangatlah sulit didapat. Ali bin Abi Thalib RA berkata tentang dirinya yang diangkat umat Islam sebagai khalifah itu merasa agak kurang senang. Sebab, di antaranya ada yang membunuhi Utsman bin Affan, sekarang mereka berada di sisi pendukungnya agar bisa membaiatnya. Muawiyah, Gubernur dari Suriah yang merupakan kerabat dari khalifah yang terbunuh, sangat menginginkan pembunuh dari sang Khalifah diadili dimuka hukum. Seperti yang diterangkan oleh tabiin terkenal, Abu Muslim Al-Khaulani. Dia datang bersama teman-temannya menanyai Muawiyah RA, dan berkata mereka padanya, "Kamu menentang Ali dalam masalah khilafah atau kamu seperti dia?" Muawiyah menjawab, "Tidak. Aku tahu benar bahwa dia lebih baik dariku; tetapi kalian 'kan tahu, Utsman terbunuh dengan keji, sedang saya anak pamannya, dan juga keluarganya yang menuntut qisas kepada orang yang terlibat dalam pembunuhan itu. Maka kalian temuilah Ali dan katakan, '[Agar] segera menyerahi para pembunuh Utsman'." Maka mereka datangi Ali dan menyampaikan hal itu kepadanya, dan Ali menjawab, "Ia harus masuk baiat dan kemudian mereka tuntut hal ini kepadaku."

Muawwiyah berpendapat Ali bin Abi Talib tidak berniat untuk melakukan hal ini, sehingga Muawwiyah memberontak terhadap Ali bin Abi Talib dan membuat Ali bin Abi Talib berniat memadamkan pemberontakan Muawwiyah. Tapi walau demikian, yang benar menurut ulama adalah Ali hendak melihat kasus ini dari perspektif mashlahah (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan). Sehingga, dia berpendapat, perlu menahan dulu kasus ini. Agar supaya umat Islam bersatu dulu, baru melakukan qisas. Apalagi pembunuhnya hanya 2-3 orang saja, dan salah satunya seorang budak yang diketahui dari Mesir. Diketahui di belakang pembunuh-pembunuh yang sedikit itu, kalau sampai qisas ditegakkan pada hari itu jua, maka kabilah-kabilah pembela pembunuh itu akan segera melakukan kehancuran yang lebih besar. Al-Juaniy, Imam al-Haramain berpendapat bahwa Muawiyah memang memerangi Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak mengingkari kepemimpinannya, dan tidak bermaksud merebutnya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dia hanya menuntut agar terlaksananya qisas bagi para pembunuh Utsman, dengan asumsi dia benar, tetapi dia salah dalam hal ini. Hasil dari keadaan ini adalah pertempuran di Shiffin antara kedua belah pihak.

Jalannya Peperangan
Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Talib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Suni, Ali bin Abi Talib adalah khulafaur rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Ummayyah. Kejadian kejadian disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Suni dan Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.

Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar. Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”

Dalam "Minhaj As Sunnah" (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.” Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain.

Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak.
Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”  Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam "Al Aqdu Al Farid" (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.  Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam "Minhaj As Sunnah" (6/237).

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam "Al Bidayah wa An Nihayah" (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang,Namun menurut buku Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou'yb pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.

Terbunuhnya Amr Bin Yasin
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya rasulullah S.A.Wtelah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam "Tarikh As Saghir" (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam "Al Majma’ Az Zawaid" (7/244). ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.” Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.

Meninggikan Mushhaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan…” Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”

Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab dia. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama rasulullah saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”  Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada rasulullah . Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.

Reorientasi
Perang Shiffin (bahasa Arab: معركة صفين) adalah nama perang antara Imam Ali as dan Muawiyah yang terjadi pada bulan Shafar tahun 37 Hijriyah di sebuah tempat yang bernama Shiffin. Muawiyah dan bala tentaranya dalam perang ini digelari dengan istilah Qasitin (artinya para pelanggar). Di tengah-tengah perang, ketika tentara Muawiyah hampir mengalami kekalahan, mereka menancapkan Alquran di atas tombak, melihat ini sebagian tentara Imam Ali as tidak melanjutkan peperangan. Akhirnya masing-masing dari kedua pihak memilih seorang perwakilan untuk mengadakan arbitrasi dan perangpun berakhir tanpa ada hasil. Dalam perang ini Ammar dan Khuzaima mengalami kesyahidan.

Sebab Terjadinya Perang
Benih-benih perang Shiffin telah dimulai pada masa dimana Imam Ali as mulai menduduki kursi kekhalifahan; sebab Imam Ali as pada awalnya menghendaki Abdullah bin Abbas menjadi penguasa di Syam. Imam Ali as menuliskan surat kepada Muawiyah dan meminta darinya untuk datang ke kota Madinah bersama para pembesarnya. Dalam suratnya Imam Ali as menyebutkan bahwa masyarakat tanpa bermusyawarah dengannya telah membunuh Usman, akan tetapi saat ini berdasarkan musyawarah dan kesepakatan Imam Ali as dipilih sebagai khalifah. Dalam salah satu surat yang ditulis oleh Imam Ali as untuk Muawiyah tertulis sebagai berikut: "Kepengikutanku adalah kepengikutan umum dan mencakup seluruh kaum muslimin; baik mereka yang hadir di kota Madinah disaat pembaiatan atau mereka yang ada di kota-kota Bashrah, Syam dan kota-kota lainnya. Dan anda mengira bahwa dengan menuduh saya dalam kasus pembunuhan Utsman bisa membelot dari baiat kepadaku. Semua tahu bahwa yang membunuh dia (Usman) bukanlah saya sehingga harus melakukan Qishash terhadap saya dan anda merasa lebih berhak untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Anda adalah orang yang termasuk bersebrangan dan menentangnya dan pada saat itu dimana ia meninta bantuan dari anda dan anda tidak membantunya sampai akhirnya dia terbunuh"  Muawiyah tidak menjawab surat tersebut.

Pengumpulan Tentara
Setelah berakhir Perang Jamal, Imam Ali as tinggal di kota Kufah dan berusaha untuk meyakinkan Muawiyah untuk taat kepadanya. Setelah beliau yakin bahwa selian menggunakan bahasa kekerasan Muawiyah tidak bisa diberi pemahaman dan dari sisi lain para pembesar kota Kufah termasuk pembelanya dalam peperangan dengan Syam, dalam khutbahnya di depan umum, ia mengajak masyarakat untuk pergi jihad. Imam Ali as menulis surat kapada Ibnu Abbas untuk mengundangnya bersama masyarakat Bashrah, dimana setelah undangan Imam Ali as banyak dari masyarakat Bashrah pergi ke Kufah bersama Ibnu Abbas. Baliau juga menulis surat kapada Mikhnaf bin Sulaim pemimpin kota Isfahan agar dia juga ikut bergabung dengan tentaranya.  Beberapa wanita juga hadir dalam perang Shiffin dan dengan syiar-syiar yang dilantunkan mereka memuji Imam Ali as serta menyampaikan keutamaan-keutamaan beliau untuk menggerakan tentara Irak untuk melawan tentara Syam. Diantara mereka adalah Saudah putri dari Amareh Hamadani, Ummu Sinan, Zarqo' putri dari 'Adi Hamadani, Ummul Khair dan Jarwah putri dari Marroh bin Ghalib Tamimi.

Para pengikut Muawiyah adalah orang-orang seperti; Amru bin 'Ash (yang tinggal di Palestina dan direkrut oleh Muawiyah untuk memanfaatkan keahliannya dalam bermusyawarah serta memintanya untuk bergabung dengan pengikut Muawiyah melawan pemerintahan Mesir), Ubaidillah bin Umar, Abdurrahman bin Khalid bin Walid, Abdullah bin Amru bin 'Ash, Marwan bin Hakam, Muawiyah bin Hadij, Dhahhak bin Qois, Busr bin Arthah, Syarhubail bin Dzul Kila' dan Habib bin Muslimah.

Perang dimulai
Kemudian tentara Imam Ali as bentrok dengan tentara Syam di perbatasan Romawi yang kini berada di kawasan utara Irak dan Suriah. Imam Ali as mengutus Malik Asytar kepada mereka dan menekankan kepadanya untuk tidak memulai peperangan bagaimana pun keadaannya. Dengan datangnya Malik Asytar pasukan Syam memulai peperangan dan bentrokan kedua kubu pun tidak bisa dielakan. Setelah beberapa lama pasukan Syam pun mundur.  Setelah terjadi peperangan yang tak beraturan, ada kesepakatan untuk berhenti berperang. Akan tetapi perundingan antara perwakilan Imam Ali as dan Muawiyah berlanjut dan Muawiyah menjadikan syarat utamanya adalah membunuh orang-orang seperti Ammar, Adi bin Hatim, Malik dan orang-orang yang dalam pandangan dia adalah yang ikut dalam pembunuhan Utsman.

Hari pertama bulan Shafar terjadilah perang besar antara dua pasukan, setiap hari salah seorang dari para komandan Imam Ali as bergantian bertugas untuk memimpin pasukan di garis depan. Hari pertama Malik Asytar, hari kedua Hasyim bin 'Atabah, hari ketiga, Ammar bin Yasir, hari keempat Muhammad bin Hanafiyah dan hari kelima komondan perang dipegang oleh Abdullah bin Abbas.

Pengepungan Sungai Furat
Pasukan Muawiyah berada diantara pasukan Imam Ali as dan sungai Furat, mereka tidak mengizinkan pasukan Imam Ali as untuk mengambil air di sungai Furat. Imam Ali as mengutus Musayyab bin Rabi' dan Sha'shaah bin Shuhan kepada Muawiyah dan berkata: "Pergilah ke Muawiyah dan katakan bahwa pengikutmu berada diantara kami dan air, dan menghalangi kami untuk mengambil air. Jika kami mendahului kalian dan membuat kemah pasukan disana, maka kami tidak akan menutup air buat kalian. Berhentilah untuk menutup air sehingga pasukan kami dan pasukan kalian bisa memanfaatkannya secara sama atau kita perang untuk mendapatkan air dan jika salah seorang dari kita menang, maka kemenangan bagi dia".  Dalam dialognya antara Muawiyah dengan utusan Imam Ali as, Muawiyah marah dan berkata: "Ali tidak memiliki hak atas air ini. Semoga Tuhan tidak memberikan air kepadaku dan ayahku dari telaga Kautsar jika aku biarkan Ali atau sahabat-sahabatnya meminum air Furat. Kecuali jika dia dengan pedang bisa menang".   Kemudian pasukan Amirul Mukminin menyerang pasukan Muawiyah dan berhasil menguasai sungai Furat. Ketika itu Ali as memberikan perintah untuk membebaskan siapa saja untuk meminum air dan tidak ada seorangpun yang dilarang. Oleh karena itu, dari kedua pihak banyak orang-orang yang datang dan meminum air Furat.

Malam al-Harir
Malam al-Harir adalah malam yang sulit dalam perang Shiffin. Di malam itu pasukan Imam Ali as dan pasukan Muawiyah terlibat peperangan dimana banyak sekali yang gugur dari kedua pihak. Menurut Minqari, di malam itu selain suara denking pedang yang bisa membuat hati orang-orang pemberanipun akan ketar-ketir, tidak terdengar suara yang lain. Dalam menjelaskan kondisi malam itu, Ibnu Miskawaih berkata: "Malam itu terjadi peperangan dimana tombak-tombak patah dan tidak lagi tersisa anak panah, kemudian mereka menggunakan pedang".

Di malam al-Harir, pasukan Imam Ali as hampir mengalami kemenangan, namun Asy'ats yang ada diantara pasukan Kindi berdiri serta dan berkhutbah dengan nada yang menuntut kemaslahatan, meminta untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi. Berdasarkan riwayat ini, saat khutbah tersebut sampai ke Muawiyah, ia memerintahkan untuk menancapkan Alquran- di ujung sebuah tombak.

Menancapkan Alquran pada Tombak
Pasukan Muawiyah disebabkan serangan yang dilakukan oleh pasukan Malik Asytar, mereka hampir mengalami kekalahan. Untuk bisa keluar dari kondisi ini Muawiyah meminta bantuan kepada Amru bin 'Ash.  Atas saran dari Amru bin 'Ash dan perintah Muawiyah, orang-orang Syam menancapkan Alquran di ujung tombak dan meneriakkan yel-yel; wahai penduduk Irak! Hakim kita adalah Alquran. Disebutakn juga bahwa pasukan Syam berteriak: wahai kelompok Arab! Pikirkanlah anak-anak dan istri-istri kalian! Jika kalian mati, besok siapa yang akan berperang melawan kaum Romawi, Turki dan Persia?!

Reaksi Imam Ali as dan Para Pasukannya
Masyarakat berdatangan kepada Amam Ali as dan berkata: hendaklah anda menjawab apa yang mereka ajak dimana sebenarnya kita sudah musnah. Diantara pasukan Amirul Mukminin, Asy'ats bukan hanya tidak rela untuk diam, bahkan ia lebih dari siapapun banyak bicara tentang keharusan untuk mematikan api peperangan dan cenderung untuk berdamai. Akan tetapi Malik Asytar yang tidak memiliki pilihan kecuali harus meneruskan peperangan, hanya bisa terdiam.  Amirul Mukminin Ali as bangkit dan berkata: "Aku selalu menyukai untuk menyerahkan urusanku kepada kalian dan aku bersama kalian... aku sebenarnya kemarin komandan kaum mukminin dan sekarang aku yang dikomandani. Aku dulu sering melarang orang-orang dan saat ini aku dilarang oleh orang-orang. Saat ini kalian memiliki kehidupan yang baik dan aku tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi kalian dari kehidupan yang tidak baik".

Arbitrasi
Dengan tipu daya yang dilancarkan oleh Amru bin 'Ash dan Alquran yang ditancapkan di ujung tombak, muncullah dua kelompok dalam pasukan Imam Ali as dimana musuh menerima arbitrasi Alquran dan kami tidak punya hak berperang dengan mereka. Imam Ali as dengan keras melawan pernyataan ini dan mengumumkan bahwa perbuatan ini tidak lain hanyalah tipu daya belaka. Namun, Amirul Mukiminin dengan terpaksa menerima ajuan arbitrasi Alqurani ini dengan mengirimkan surat kepada Muawiyah dengan catatan bahwa anda (sebenarnya) bukanlah ahli Quran.

Pasukan Syam memilih Amru bin 'Ash sementara Asy'ats dan sejumlah orang lainnya yang kemudian mereka terbentuk dalam kelompok Mariqin mengajukan Abu Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan perundingan. Akan tetapi Imam Ali as mengajukan Ibnu Abas dan Malik Asytar,namum Asy'ats dan para pengikutnya tidak menerima ajuan dari Imam Ali as dengan alasan bahwa Malik Asytar lebih cenderung untuk memilih berperang dan Ibnu Abas pun tidak bisa diterima karena Amru bin 'Asy adalah dari kabilah Mudhari, maka lawannya haruslah dari orang Yaman. 

Dua perwakilan diantara mereka mengambil keputusan bahwa Amru bin 'Ash harus menurunkan Muawiyah dan Abu Musa al-Asy'ari harus menurunkan Imam Ali as, dan pemilihan khalifah harus dilakukan melalui musyawarah. Amru bin 'Ash mengedepankan Abu Musa al-Asy'ari atas dirinya untuk mengumumkan hasil musyawarah. Pertama, Abu Musa al-Asy'ari menurunkan Imam Ali as, akan tetapi ketika sampai giliran Amru bin 'Ash, bukannya ia mencopot Muawiyah malah ia menyetujui Abu Musa al-Asy'ari dalam menurunkan Imam Ali as dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah. Setelah itu terjadi percekcokan antara keduanya sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak layak.

Hasil Perang
Melalui arbitrasi tersebut kedua pasukan masing-masing mundur dan Muawiyah berhasil lolos dari kekalahan. Setelah itu, usaha apapun yang lakukan Imam Ali as untuk membentuk pasukan demi menyerang Syam, ia selalu dihadapkan dengan pembangkangan dari masyarakat Kufah dan Hijaz sehingga muncullah kelompok yang disebut dengan Khawarij dari dalam Kufah yang kemudian mereka menciptakan Perang Nahrawan.

Jumlah yang Gugur
Tentang jumlah orang yang gugur dari dua pasukan terdapat perbedaan. Sebagian ahli sejarah menyatakan: Dari dua pihak terdapat 70.000 pasukan yang gugur dimana dari jumlah ini 45.000 pasukan Muawiyah dan 25.000 pasukan Imam Ali as. Diantara para syuhada dari pasukan Imam Ali as yang keseluruhan berjumlah 25.000 terdapat para sahabat Badriyun (yang ikut perang Badar bersama Rasulullah Saw) yang mereka gugur di tangan pasukan Syam pada perang Shiffin. Mereka adalah:
Ø Hasyim bin 'Atabah
Ø Suhail bin Amru Anshari
Ø Abdullah bin Ka'ab Muradi
Ø Abu Hasyim Bajali
Ø Ya'la bin Umayah

 Sumber : Google Wikipedia

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...