KISAH PERANG SHIFFIN
Orientasi
Perang Shiffin (Arab: وقعة صفين )
(Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara
pertama orang Islam
dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini
terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah
bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di
tebing Sungai
Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 Hijriah.
Latar Belakang
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan,
Ali bin Abi Talib diangkat sebagai khalifah, tetapi penerimaan dari seluruh
kekhalifahan islam sangatlah sulit didapat. Ali bin Abi Thalib RA berkata
tentang dirinya yang diangkat umat Islam sebagai khalifah itu merasa agak
kurang senang. Sebab, di antaranya ada yang membunuhi Utsman bin Affan,
sekarang mereka berada di sisi pendukungnya agar bisa membaiatnya. Muawiyah,
Gubernur dari Suriah
yang merupakan kerabat dari khalifah yang terbunuh, sangat menginginkan
pembunuh dari sang Khalifah diadili dimuka hukum. Seperti yang diterangkan oleh
tabiin terkenal, Abu Muslim Al-Khaulani. Dia datang bersama
teman-temannya menanyai Muawiyah RA, dan berkata mereka padanya, "Kamu
menentang Ali dalam masalah khilafah atau kamu seperti dia?" Muawiyah
menjawab, "Tidak. Aku tahu benar bahwa dia lebih baik dariku; tetapi
kalian 'kan tahu, Utsman terbunuh dengan keji, sedang saya anak pamannya, dan
juga keluarganya yang menuntut qisas kepada orang yang terlibat dalam
pembunuhan itu. Maka kalian temuilah Ali dan katakan, '[Agar] segera menyerahi
para pembunuh Utsman'." Maka mereka datangi Ali dan menyampaikan hal itu
kepadanya, dan Ali menjawab, "Ia harus masuk baiat dan kemudian mereka
tuntut hal ini kepadaku."
Muawwiyah berpendapat Ali bin Abi Talib tidak
berniat untuk melakukan hal ini, sehingga Muawwiyah memberontak terhadap Ali
bin Abi Talib dan membuat Ali bin Abi Talib berniat memadamkan pemberontakan
Muawwiyah. Tapi walau demikian, yang benar menurut ulama adalah Ali hendak
melihat kasus ini dari perspektif mashlahah (keuntungan) dan mafsadah
(kerusakan). Sehingga, dia berpendapat, perlu menahan dulu kasus ini. Agar
supaya umat Islam bersatu dulu, baru melakukan qisas. Apalagi pembunuhnya hanya
2-3 orang saja, dan salah satunya seorang budak yang diketahui dari Mesir. Diketahui di belakang pembunuh-pembunuh
yang sedikit itu, kalau sampai qisas ditegakkan pada hari itu jua, maka
kabilah-kabilah pembela pembunuh itu akan segera melakukan kehancuran yang
lebih besar. Al-Juaniy, Imam al-Haramain berpendapat bahwa Muawiyah memang
memerangi Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak mengingkari kepemimpinannya, dan
tidak bermaksud merebutnya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dia hanya
menuntut agar terlaksananya qisas bagi para pembunuh Utsman, dengan asumsi dia
benar, tetapi dia salah dalam hal ini. Hasil dari keadaan ini adalah
pertempuran di Shiffin antara kedua belah pihak.
Jalannya Peperangan
Peperangan ini berlangsung imbang sehingga
kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru
runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Talib melemah
tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut
aliran Syiah,
Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Suni, Ali bin Abi Talib adalah khulafaur
rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Ummayyah. Kejadian kejadian disekitar pertempuran
Shiffin sangatlah kontroversial untuk Suni dan Syiah dan menjadi salah satu
penyebab perpecahan di antara keduanya.
Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah
sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan
keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa
terhindar. Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu
Darda’ dan Abu
Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir
sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi
Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.”
Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh
Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”
Dalam "Minhaj As Sunnah"
(4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka
tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi
kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan
pembelaan terhadap kami.” Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang
kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan
kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain.
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak.
Para utusan terus melakukan perundingan, dan
pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan,
hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah
menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku
telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya
telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…” Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan
mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada
bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam
Sabtu. Dalam "Al Aqdu Al Farid" (4/3140) disebutkan bahwa kdua
pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka
yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman,
tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan
dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak. Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam
pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang
ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang
disebutkan dalam "Minhaj As Sunnah" (6/237).
Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh
di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan
dalam "Al Bidayah wa An Nihayah" (7/288) bahwa pasukan Kufah
berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60
ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang,Namun menurut buku Sejarah
Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou'yb pasukan Ali bin Abi Thalib
berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam
berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.
Terbunuhnya Amr Bin Yasin
Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir
dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak,
dimana sebelumnya rasulullah telah
berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua
kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al
Bukhari dalam "Tarikh As Saghir" (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang
bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa rasulullah bersabda
mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam "Al Majma’ Az
Zawaid" (7/244). ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil
hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan
kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash
menjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan
masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.
Meninggikan Mushhaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam
perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al
Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam
beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak
sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita
tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan…”
Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah,
jika kita masih berperang esok, maka Romawi
akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia
akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak
kalian.”
Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai
pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!”
Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin
Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah
mendahulukan hal itu.” Jawab dia. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
dalam kitab Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij
mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amir
Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi
keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari.
”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama rasulullah saat
peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka
kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)” Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian
damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath
kepada rasulullah .
Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath
(hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun
berakhir.
Reorientasi
Perang Shiffin
(bahasa Arab: معركة صفين) adalah nama perang antara Imam Ali as
dan Muawiyah
yang terjadi pada bulan Shafar
tahun 37 Hijriyah di sebuah tempat yang bernama Shiffin. Muawiyah dan bala
tentaranya dalam perang ini digelari dengan istilah Qasitin (artinya
para pelanggar). Di tengah-tengah perang, ketika tentara Muawiyah hampir
mengalami kekalahan, mereka menancapkan Alquran di
atas tombak, melihat ini sebagian tentara Imam Ali as tidak melanjutkan
peperangan. Akhirnya masing-masing dari kedua pihak memilih seorang perwakilan
untuk mengadakan arbitrasi dan perangpun berakhir tanpa ada hasil. Dalam perang
ini Ammar
dan Khuzaima
mengalami kesyahidan.
Sebab
Terjadinya Perang
Benih-benih perang
Shiffin telah dimulai pada masa dimana Imam Ali as mulai menduduki kursi kekhalifahan; sebab Imam Ali as
pada awalnya menghendaki Abdullah bin
Abbas menjadi penguasa di Syam. Imam Ali as menuliskan
surat kepada Muawiyah dan meminta darinya
untuk datang ke kota Madinah bersama para
pembesarnya. Dalam suratnya Imam Ali as menyebutkan bahwa masyarakat tanpa
bermusyawarah dengannya telah membunuh Usman, akan tetapi saat ini berdasarkan musyawarah dan
kesepakatan Imam Ali as dipilih sebagai khalifah. Dalam salah satu surat yang
ditulis oleh Imam Ali as untuk Muawiyah tertulis sebagai berikut:
"Kepengikutanku adalah kepengikutan umum dan mencakup seluruh kaum
muslimin; baik mereka yang hadir di kota Madinah disaat pembaiatan atau mereka
yang ada di kota-kota Bashrah, Syam dan kota-kota lainnya. Dan anda mengira
bahwa dengan menuduh saya dalam kasus pembunuhan Utsman bisa membelot dari
baiat kepadaku. Semua tahu bahwa yang membunuh dia (Usman) bukanlah saya
sehingga harus melakukan Qishash terhadap saya dan anda merasa lebih berhak
untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Anda adalah orang yang termasuk
bersebrangan dan menentangnya dan pada saat itu dimana ia meninta bantuan dari
anda dan anda tidak membantunya sampai akhirnya dia terbunuh" Muawiyah tidak menjawab surat tersebut.
Pengumpulan Tentara
Setelah berakhir Perang Jamal, Imam Ali as
tinggal di kota Kufah
dan berusaha untuk meyakinkan Muawiyah
untuk taat kepadanya. Setelah beliau yakin bahwa selian menggunakan bahasa
kekerasan Muawiyah
tidak bisa diberi pemahaman dan dari sisi lain para pembesar kota Kufah
termasuk pembelanya dalam peperangan dengan Syam, dalam khutbahnya di depan
umum, ia mengajak masyarakat untuk pergi jihad. Imam Ali as menulis surat kapada Ibnu Abbas
untuk mengundangnya bersama masyarakat Bashrah,
dimana setelah undangan Imam Ali as banyak dari masyarakat Bashrah pergi ke
Kufah bersama Ibnu Abbas. Baliau juga menulis surat kapada Mikhnaf bin Sulaim pemimpin kota Isfahan
agar dia juga ikut bergabung dengan tentaranya. Beberapa wanita juga hadir dalam perang
Shiffin dan dengan syiar-syiar yang dilantunkan mereka memuji Imam Ali as serta
menyampaikan keutamaan-keutamaan beliau untuk menggerakan tentara Irak
untuk melawan tentara Syam. Diantara mereka adalah Saudah putri dari Amareh
Hamadani, Ummu Sinan, Zarqo' putri dari 'Adi Hamadani, Ummul Khair dan Jarwah
putri dari Marroh bin Ghalib Tamimi.
Para pengikut Muawiyah adalah orang-orang
seperti; Amru
bin 'Ash (yang tinggal di Palestina dan direkrut oleh Muawiyah
untuk memanfaatkan keahliannya dalam bermusyawarah serta memintanya untuk
bergabung dengan pengikut Muawiyah melawan pemerintahan Mesir), Ubaidillah bin
Umar, Abdurrahman bin Khalid bin Walid, Abdullah bin Amru bin 'Ash, Marwan bin Hakam,
Muawiyah bin Hadij, Dhahhak bin Qois, Busr bin Arthah, Syarhubail bin Dzul
Kila' dan Habib bin Muslimah.
Perang dimulai
Kemudian tentara Imam Ali as
bentrok dengan tentara Syam di perbatasan Romawi yang kini berada di kawasan
utara Irak dan Suriah. Imam Ali as mengutus Malik Asytar
kepada mereka dan menekankan kepadanya untuk tidak memulai peperangan bagaimana
pun keadaannya. Dengan datangnya Malik Asytar pasukan Syam
memulai peperangan dan bentrokan kedua kubu pun tidak bisa dielakan. Setelah
beberapa lama pasukan Syam pun mundur. Setelah
terjadi peperangan yang tak beraturan, ada kesepakatan untuk berhenti
berperang. Akan tetapi perundingan antara perwakilan Imam Ali as dan Muawiyah
berlanjut dan Muawiyah menjadikan syarat utamanya adalah membunuh orang-orang
seperti Ammar,
Adi bin Hatim, Malik dan orang-orang yang dalam pandangan dia adalah yang ikut
dalam pembunuhan Utsman.
Hari pertama bulan Shafar terjadilah perang besar antara dua pasukan,
setiap hari salah seorang dari para komandan Imam Ali as bergantian bertugas
untuk memimpin pasukan di garis depan. Hari pertama Malik Asytar, hari kedua Hasyim bin 'Atabah, hari ketiga, Ammar bin Yasir,
hari keempat Muhammad
bin Hanafiyah dan hari kelima komondan perang dipegang
oleh Abdullah
bin Abbas.
Pengepungan Sungai Furat
Pasukan Muawiyah
berada diantara pasukan Imam Ali as
dan sungai Furat,
mereka tidak mengizinkan pasukan Imam Ali as untuk mengambil air di sungai
Furat. Imam Ali as mengutus Musayyab bin Rabi' dan Sha'shaah bin Shuhan kepada Muawiyah dan
berkata: "Pergilah ke Muawiyah dan katakan bahwa pengikutmu berada
diantara kami dan air, dan menghalangi kami untuk mengambil air. Jika kami
mendahului kalian dan membuat kemah pasukan disana, maka kami tidak akan
menutup air buat kalian. Berhentilah untuk menutup air sehingga pasukan kami
dan pasukan kalian bisa memanfaatkannya secara sama atau kita perang untuk
mendapatkan air dan jika salah seorang dari kita menang, maka kemenangan bagi
dia". Dalam dialognya antara Muawiyah
dengan utusan Imam Ali as, Muawiyah marah dan berkata: "Ali tidak memiliki
hak atas air ini. Semoga Tuhan tidak memberikan air kepadaku dan ayahku dari
telaga Kautsar jika aku biarkan Ali atau sahabat-sahabatnya meminum air Furat.
Kecuali jika dia dengan pedang bisa menang". Kemudian
pasukan Amirul Mukminin menyerang pasukan Muawiyah dan berhasil menguasai
sungai Furat. Ketika itu Ali as memberikan perintah untuk membebaskan siapa
saja untuk meminum air dan tidak ada seorangpun yang dilarang. Oleh karena itu,
dari kedua pihak banyak orang-orang yang datang dan meminum air Furat.
Malam al-Harir
Malam al-Harir adalah malam yang sulit dalam
perang Shiffin. Di malam itu pasukan Imam Ali as
dan pasukan Muawiyah
terlibat peperangan dimana banyak sekali yang gugur dari kedua pihak. Menurut
Minqari, di malam itu selain suara denking pedang yang bisa membuat hati
orang-orang pemberanipun akan ketar-ketir, tidak terdengar suara yang lain.
Dalam menjelaskan kondisi malam itu, Ibnu
Miskawaih berkata: "Malam itu terjadi peperangan dimana tombak-tombak
patah dan tidak lagi tersisa anak panah, kemudian mereka menggunakan
pedang".
Di malam al-Harir, pasukan Imam Ali as hampir
mengalami kemenangan, namun Asy'ats yang ada diantara pasukan Kindi berdiri
serta dan berkhutbah dengan nada yang menuntut kemaslahatan, meminta untuk
menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi. Berdasarkan riwayat ini,
saat khutbah tersebut sampai ke Muawiyah, ia memerintahkan untuk menancapkan Alquran- di
ujung sebuah tombak.
Menancapkan Alquran pada Tombak
Pasukan Muawiyah
disebabkan serangan yang dilakukan oleh pasukan Malik Asytar,
mereka hampir mengalami kekalahan. Untuk bisa keluar dari kondisi ini Muawiyah
meminta bantuan kepada Amru bin 'Ash. Atas saran dari Amru bin 'Ash dan perintah
Muawiyah, orang-orang Syam menancapkan Alquran di
ujung tombak dan meneriakkan yel-yel; wahai penduduk Irak! Hakim kita adalah
Alquran. Disebutakn juga bahwa pasukan Syam berteriak: wahai kelompok Arab!
Pikirkanlah anak-anak dan istri-istri kalian! Jika kalian mati, besok siapa
yang akan berperang melawan kaum Romawi, Turki dan Persia?!
Reaksi Imam Ali as dan Para Pasukannya
Masyarakat berdatangan kepada Amam Ali as dan
berkata: hendaklah anda menjawab apa yang mereka ajak dimana sebenarnya kita
sudah musnah. Diantara pasukan Amirul Mukminin, Asy'ats bukan hanya tidak rela
untuk diam, bahkan ia lebih dari siapapun banyak bicara tentang keharusan untuk
mematikan api peperangan dan cenderung untuk berdamai. Akan tetapi Malik Asytar
yang tidak memiliki pilihan kecuali harus meneruskan peperangan, hanya bisa
terdiam. Amirul Mukminin Ali as bangkit
dan berkata: "Aku selalu menyukai untuk menyerahkan urusanku kepada kalian
dan aku bersama kalian... aku sebenarnya kemarin komandan kaum mukminin dan
sekarang aku yang dikomandani. Aku dulu sering melarang orang-orang dan saat
ini aku dilarang oleh orang-orang. Saat ini kalian memiliki kehidupan yang baik
dan aku tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi kalian dari kehidupan yang
tidak baik".
Arbitrasi
Dengan tipu daya yang dilancarkan oleh Amru bin 'Ash
dan Alquran
yang ditancapkan di ujung tombak, muncullah dua kelompok dalam pasukan Imam Ali as
dimana musuh menerima arbitrasi Alquran dan kami tidak punya hak berperang
dengan mereka. Imam Ali as dengan keras melawan pernyataan ini dan mengumumkan
bahwa perbuatan ini tidak lain hanyalah tipu daya belaka. Namun, Amirul Mukiminin dengan terpaksa menerima ajuan arbitrasi
Alqurani ini dengan mengirimkan surat kepada Muawiyah dengan catatan bahwa anda
(sebenarnya) bukanlah ahli Quran.
Pasukan Syam memilih Amru bin 'Ash sementara
Asy'ats dan sejumlah orang lainnya yang kemudian mereka terbentuk dalam
kelompok Mariqin
mengajukan Abu
Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan perundingan. Akan tetapi
Imam Ali as mengajukan Ibnu
Abas dan Malik Asytar,namum
Asy'ats dan para pengikutnya tidak menerima ajuan dari Imam Ali as dengan
alasan bahwa Malik Asytar lebih cenderung untuk memilih berperang dan Ibnu Abas
pun tidak bisa diterima karena Amru bin 'Asy adalah dari kabilah Mudhari, maka
lawannya haruslah dari orang Yaman.
Dua perwakilan diantara mereka mengambil
keputusan bahwa Amru bin 'Ash harus menurunkan Muawiyah dan Abu Musa al-Asy'ari
harus menurunkan Imam Ali as, dan pemilihan khalifah harus dilakukan melalui
musyawarah. Amru bin 'Ash mengedepankan Abu Musa al-Asy'ari atas dirinya untuk
mengumumkan hasil musyawarah. Pertama, Abu Musa al-Asy'ari menurunkan Imam Ali
as, akan tetapi ketika sampai giliran Amru bin 'Ash, bukannya ia mencopot
Muawiyah malah ia menyetujui Abu Musa al-Asy'ari dalam menurunkan Imam Ali as dan
mengangkat Muawiyah menjadi khalifah. Setelah itu terjadi percekcokan antara
keduanya sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak layak.
Hasil Perang
Melalui arbitrasi
tersebut kedua pasukan masing-masing mundur dan Muawiyah berhasil lolos dari kekalahan. Setelah itu, usaha
apapun yang lakukan Imam Ali as untuk membentuk
pasukan demi menyerang Syam, ia selalu dihadapkan dengan pembangkangan dari
masyarakat Kufah dan Hijaz sehingga muncullah
kelompok yang disebut dengan Khawarij dari dalam Kufah yang kemudian mereka menciptakan Perang
Nahrawan.
Jumlah
yang Gugur
Tentang jumlah orang
yang gugur dari dua pasukan terdapat perbedaan. Sebagian ahli sejarah
menyatakan: Dari dua pihak terdapat 70.000 pasukan yang gugur dimana dari
jumlah ini 45.000 pasukan Muawiyah dan 25.000 pasukan Imam Ali as. Diantara para syuhada dari pasukan Imam Ali as yang
keseluruhan berjumlah 25.000 terdapat para sahabat Badriyun (yang ikut perang Badar bersama Rasulullah
Saw) yang mereka gugur di tangan
pasukan Syam pada perang Shiffin. Mereka adalah:
Ø Hasyim bin 'Atabah
Ø Suhail bin Amru Anshari
Ø Abdullah bin Ka'ab Muradi
Ø Abu Hasyim Bajali
Ø Ya'la bin Umayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar