KISAH FATHU MAKKAH
Orientasi
Tatkala bangsa Arab
melihat pertempuran antara Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kaumnya (kabilah Quraisy), mereka berkata,
“Biarkan Muhammad berperang melawan kaumnya sendiri, jika dia menang, maka
benar bahwa dirinya seorang nabi dan sekaligus kebanggaan bagi kita bangsa Arab
dari umat yang lain. Dan jika sebaliknya dia kalah, maka kita telah selamat
dari kedustaannya.”
Di sisi lain, ada
golongan yang menunggu untuk masuk Islam apabila semua umat manusia telah masuk
Islam. Oleh karena itu, mereka menunggu fathu makkah (penaklukan Mekah). Sebab
kebanyakan manusia taklid dan mengekor pada manusia yang lain tanpa menilai
kebenaran yang hakiki dengan akalnya yang lurus dan dalil.
Sikap semacam ini
tentunya baik, akan tetapi yang lebih baik adalah menilai kebenaran Islam dan
memeluknya karena dalil yang menunjukkan kebenarannya dan tidak bergantung pada
kebanyakan orang. Oleh karena itu, tidak sama derajat mereka yang masuk Islam
pada awal dakwah dengan mereka yang masuk Islam pada akhir masa dakwah
Rasulullah. Tidak sama antara yang berkorban dengan jiwa dan harta dalam Islam
ketimbang lainnya. Tidak sama antara yang masuk Islam dan berjihad fi sabilillah sebelum fathu makkah dengan yang berjihad
sesudahnya. Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala : “Tidak sama antara
kalian yang berinfaq dan berperang sebelum fathu makkah atau hudaibiyah, mereka
itu lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang berinfaq dan berperang
sesudahnya.” (QS. Al-Hadid: 10)
Amru bin Salimah berkata, “Kaum Arab menunda keislaman mereka karena menanti fathu makkah. Maka tatkala terjadi fathu makkah, setiap kabilah bersegera masuk Islam dan bapakku segera mendahului kaumku masuk Islam.” (Diriwayatkan Bukhari, 4302)
Para musuh yang
memerangi kenabian menyangka akan mengalahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan mereka yang dikehendaki hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menunggu kemenangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
dia masuk Islam.
Fathu makkah artinya pembebasan
Mekah dari negeri kufur menjadi negeri Islam. Pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong dan
memenangkan tentara-Nya serta memberantas kekafiran (nasrullah wal fathu) sebagaimana dalam surat An-Nashr. Dahulu
sebagian sahabat mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beratnya siksaan Quraisy terhadap
mereka dan memohon keada beliau agar berdoa kepada Allah supaya menyegerakan
kemenangan akan tetapi Rasulullah menjawab, “Sungguh agama ini akan jaya akan tetapi kalian terburu-buru”.
Rasulullah mentarbiyah sahabatnya dengan pengorbanan dan kesabaran karena
buahnya pasti tercapai sekalipun lama. Lihatlah buah dari perjuangan dan
kesabaran mereka tercapai setelah 21 tahun dalam berdakwah dan jihad fi sabilillah.
Sebab
Terjadinya Fathu Makkah
Telah kita ketahui
bahwa dalam perjanjian damai di Hudaibiyah pada tahun ke-6 Hijriah terjadi
kesepakatan antara Quraisy dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya: Gencatan senjata
selama 10 tahun dan boleh bagi siapa saja yang hendak bersekutu dengan Nabi
Muhammad atau Quraisy. Maka Bani Bakr bergabung dengan Quraisy sedangkan bani
Khuza’ah bergabung dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua belah pihak
berada di masa itu dalam keadaan aman dan damai tanpa perang. Akan tetapi, kaum
kafir yang menghalalkan segala sesuatu tidak mungkin iltizam (komitmen) dan memelihara perdamaian. Setelah berlalu
setahun lebih Bani Bakr bersekutu dengan Quraisy memerangi Bani Khuza’ah sekutu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam atas dasar permusuhan masa lampau antara kedua kabilah tersebut.
Mereka dibantu oleh Quraisy dengan harta, senjata, dan tentara karena dendam
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dengan demikian, maka mereka telah melanggar perjanjian
Hudaibiyah dan mengobarkan api peperangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bani
Khuza’ah segera berangkat ke Madinah meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
beliau mengabulkan permohonan mereka.
Quraisy
Menyesal
Tindakan Quraisy
membantu sekutu mereka dalam memerangi sekutu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menujukkan bahwa mereka telah melanggar perdamaian Hudaibiyah dan mereka
menyadari akan hal ini. Mereka menyesal dan takut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
akibat yang akan timbul dari ulah mereka tersebut. Oleh karena itu, mereka
segera mengirim Abu Sufyan radhiallahu
‘anhu (yang waktu itu masih kafir, red.) ke Madinah dengan tujuan untuk memperbarahui akad
perdamaian damai.
Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu berangkat menuju ke
Madinah untuk memohan maaf kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbaiki perdamaian, tetapi
sesampainya di Madinah, ia tidak bertemu langsung dengan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
malu dan keberatan. Abu Sufyan radhiallahu
‘anhu menemui Abu Bakar radhiallahu
‘anhu agar beliau menjadi duta atau perantara dirinya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
kepada Umar radhiallahu ‘anhu,
lalu kepada Ali dan Fatimah radhiallahu
‘anhu, tetapi mereka semua menolak. Sikap para sahabat mulia ini
menunjukkan bahwa tidak ada wala’
(loyalitas) dan syafaat buat orang-orang kafir.
Diriwayatkan bahwa
Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu
tatkala sampai di Madinah, masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu Ummul Mukminin
–istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam– dan tatkala hendak duduk di tikar, maka Ummu Habibah
melipatnya. Tindakan tersebut yang membuat bapaknya heran seraya mengatakan,
“Apakah kamu melipat tikar ini karena jelek tidak layak aku duduki ataukah kamu
tidak mengizinkan aku karena kehormatan tikar ini?” Maka Ummu Habibah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ini
tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ayah tidak pantas mendudukinya sedang ayah seorang musyrik.”
Abu Sufyan mengatakan, “Wahai putriku, sekarang kamu menjadi anak yang durhaka
setelah pisah dengan orang tuamu.” Kemudian dia keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mengajaknya bicara, tetapi beliau diam tidak menjawabnya sedikit pun. Maka Abu
Sufyan kembali ke Mekah dalam keadaan sia-sia dan ini pertanda bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memaafkan karena mereka dalam pelanggaran ini.
Rasulullah
Menyiapkan Pasukan
Tibalah saatnya untuk
memerangi Quraisy dengan hak, dimana selama ini mereka memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sahabatnya tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintah para sahabatnya untuk bersiap perang, beliau merahasiakan tujuannya
agar Quraisy tidak bersiap perang, hingga umat Islam kepung negeri mereka.”
Mereka bersiap
hinggap terkumpul 10.000 tentara. Tidak ada yang tertinggal seorang pun dari
Muhajirin dan Anshar serta kabilah-kabilah yang tinggal di dekat Madinah.
Bilangan yang sangat banyak ini menunjukkan betapa besarnya kemenangan Islam
selama masa perjanjian Hudaibiyah (yang disebut oleh Allah dalam Surat Al-Fath
sebagai hari kemengan) yang baru berlangsung kurang dari dua tahun, betapa
banyak yang masuk Islam dalam selang waktu gencatan senjata antara Quraisy dan
kaum muslimin. Pada waktu Perang Ahzab tahun ke-5 pasukan sahabat hanya
sebanyak 3.000 tentara dan yang ikut di Hudaibiyah pada tahun ke-6 hanya 1400
sahabat. Ini menunjukkan pengaruh positif dakwah Islam tatkala dibiarkan leluasa
tanpa dihalangi atau diperangi.
Di tengah perjalanan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitahukan tujuannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menutup semua berita kepada kaum
Quraisy sebab beliau menghendaki penduduk Mekah meneyrah dengan damai dan tidak
menghendaki adanya peperangan terhadap kaumnya di Mekah.
Kisah
Hathib bin Abi Balta’ah
Sebagaimana kita
ketahui bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat merahasiakan peperangan ini dan berdoa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
menutup semua berita kepada kaum Quraisy, sebab beliau menghendaki penduduk
Mekah menyerah dengan damai dan tidak menghendaki adanya peperangan terhadap
kaumnya di Mekah. Akan tetapi, Hathib bin Abi Balta’ah radhiallahu ‘anhu demi kemaslahatan diri dan keluarganya
mengirim surat ke Mekah lewat seorang wanita memberitahukan kepada keluarganya
dan penduduk Mekah tentang tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahyu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
perbuatan Hathib ini, maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Ali, Zubair, dan Miqdad radhiallahu ‘anhum untuk mengejar
wanita tersebut sebelum tiba di Mekah. Seraya berkata, “Berangkatlah kalian hingga sampai di Raudhah Khah, di sana ada seorang
wanita membawa surat.”
Tatkala mereka
mendapati wanita itu di tempat tersebut, mereka meminta kepadanya untuk
menyerahkan surat tetapi dia mengingkari bahwa dirinya tidak membawa surat,
maka mereka mengatakan, “Keluarkan surat itu atau kami buka pakaianmu.” Lalu
dia (wanita itu) mengeluarkannya dari jalinan rambutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepada Hathib radhiallahu
‘anhu, “Kenapa engkau melakukan
ini, wahai Hathib?” Dia menjawab, “Saya tidak melakukannya karena murtad
atau cinta kekafiran, tetapi saya hendak memiliki penolong dari Quraisy yang
dapat menjaga kerabat saya.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia
jujur.” Adapun Umar radhiallahu
‘anhu berkata, “Izinkan saya bunuh orang munafik ini, wahai Rasulullah.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Sesungguhnya
dia ikut Perang Badar. Tahukah kamu, sesungguhnya Allah berkata, ‘Beramallah
kalian hai ahli badar, sungguh Aku telah mengampuni dosa kalian’.” Lalu
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurunkan ayat, : “Wahai orang-orang
yang beriman janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai wali
yang kalian cintai padahal mereka kafir.” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
Maka Umar radhiallahu ‘anhu menangis menyesali
perkataannya tersebut.
Mereka berangkat pada
bulan Ramadhan tahun ke-8 dalam keadaan berpuasa hingga tiba di Kudaid lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbuka dan menyuruh para sahabat untuk berbuka puasa.
Sebagaimana biasa,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala meninggalkan Madinah, maka beliau memilih khalifah di
Madinah Abu Ruhmin Kulsum bin Hushain.
Pembesar
Quraisy Masuk Islam
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
pasukannya tiba di Mekah beberapa tokoh Quraisy bertemu beliau untuk masuk
Islam yang semula mereka akan menuju ke Madinah di antaranya Abu Sufyan bin
Haris sepupu beliau dan Abdullah bin Abi Umayyah radhiallahu ‘anhu –dahulu bersama Abu Jahal- menghalangi Abu
Thalib mengatakan syahadat. Juga paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abbas radhiallahu ‘anhu, bersama keluarganya bertemu dengan beliau
untuk hijrah ke Madinah. Abbas radhiallahu
‘anhu telah masuk Islam sebelum itu, tetapi beliau tetap tinggal di
Mekah karena maslahat dakwah.
Ibnu Abdil Barr
mengatakan, “Sesungguhnya Abbas radhiallahu
‘anhu telah masuk Islam sebelum Perang Khaibar pada tahun ke-6, tetapi
beliau menyembunyikan Islamnya karena maslahat dakwah dan menjadi mata-mata
bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap Quraisy di Mekah.”
Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya
Umar radhiallahu ‘anhu tidak
memasukkan Abbas radhiallahu ‘anhu
dalam anggota majlis syura karena beliau tidak hijrah sebelum fathu makkah padahal Umar radhiallahu ‘anhu mengetahui
keutamaannya dan pernah bertawassul dengannya dalam istiqa.
Pelajaran
dari Kisah
Sesungguhnya dalam
kisah para sahabat terdapat ibrah
(pelajaran) bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Di antara ibrah yang kita ambil dari kisah dia
atas antara lain: Abu Sufyan tidak memaksakan kehendaknya pada putrinya dengan
melarangnya menikah dengan Rasulullah dan tidak menghukum anaknya ketika
melipat tikar padahal dia pembesar Quraisy dan tokoh kufur.
Wala’ hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
sekalipun kerabat atau manusia murka. Semua yang terjadi pada sahabat, meski
tampaknya tidak baik, atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjelaskan hukum syariat berkaitan
dengan peristiwa tesebut, seperti kisah Hathib radhiallahu ‘anhu.
Fathu makkah menyingkap tabir
syubhat yang menghalangi manusia dari Islam, maka tidak ada kebaikan bagi yang
tidak masuk Islam setelah fathu makkah
hingga akhir zaman. Seorang yang mulia terkadang melakukan pelanggaran namun
tidak kafir karenanya, sebab kejelakannya tenggelam dalam lautan kebaikannya.
Reorientasi
Fathu Makkah: Pelajaran dari Penaklukan Kota Mekkah
Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan
kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah
Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan
Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu
kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid
dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya
menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang
keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.
Sebab
Terjadinya Fathu Makkah
Diawali dari perjanjian damai antara kaum
muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota
kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota
perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu,
baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka,
bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir
Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua
suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah,
masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr
menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani
Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka
sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan
bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang
diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang
pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar
perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk
memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan
panjang lebar kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak
memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu
‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun
usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan
pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak
permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus
memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku
tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi,
bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah
sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan
berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang.
Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan
tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.” Dalam
kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin
dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun
pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh
sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,: “Jika
kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal:
58)
Kisah Hatib
bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah
mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu
Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar
ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada
seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk
dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju
Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada
seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya.
Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang
dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita
yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita
tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan
mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan
tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, : “Aku
bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat
itu atau kami akan menelanjangimu.” Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun
menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung
menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi
Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah
pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah.
Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad
dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku
bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara
tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang
bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku
ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab
menawarkan diri, : “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena
dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan
bijak menjawab, “Sesungguhnya Hatib pernah
ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka
kalian, karena kalian telah Saya ampuni.” Umar pun kemudian
menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau
berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy
terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan
keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di
Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan
dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang
kisah shahabat Hatib radhiyallahu
‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs.
Al Mumtahanah : 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil
dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu
‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas
terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam,
pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan
kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang
melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa
status mereka belum kafir.
Pasukan Islam
Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, beliau keluar Madinah bersama
sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum
tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau
bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk
berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau
berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika
masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat
keras terhadap Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
menerima taubat mereka dan masuk Islam. Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, “Saya berharap
dia bisa menjadi pengganti Hamzah –radhiyallahu
‘anhu-“.
Setelah beliau sampai di suatu tempat yang
bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk
membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah
dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan
meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri Makkah.
Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang
berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.
“Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya
Abu Sufyan “Itu Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah
orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan
memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat
membawamu ke hadapan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!”
jawab Abbas. Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia
berkata, : “Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah
menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas
mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung
masuk ke tempat Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam. Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata,
“Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.” Abbas pun
mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
“Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!” Esok
harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau bersabda,”Celaka
wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa
tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan, : “Demi ayah dan ibuku
sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan
selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.” Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui
bahwa aku adalah utusan Allah?” Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku
sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada
sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.” Abbas menyela, “Celaka kau! Masuklah
Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau
memenggal lehermu!” Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan
kesaksian yang benar. Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau
memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati
gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan
begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu
Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum
muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu
kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap
kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada
urusan dengan bani Fulan.” Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat
segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas,
siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah
bersama muhajirin dan anshar.” Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang
sanggup dan kuat menghadapi mereka.” Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu
adalah Nubuwah.” Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati
tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.” Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab, “Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.” Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab, “Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera
di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata
bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut
diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh
pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam
semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di
sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa
bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar
menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut
hingga beliau datang.
Ø Kemudian,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman
Allah: “Sesungguhnya kami memberikan kepadamu
kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1) Beliau mengumumkan kepada
penduduk Makkah, “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah
Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka
dia aman.” Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf
dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk
menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah
lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
(Qs. Al-Isra’: 81) “Kebenaran
telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan
mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Ø Kemudian,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang
berbagi anak panah ramalan.Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka.
Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Ø Kemudian,
beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah.
Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam
Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang
Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah,
beliau bersabda: “Wahai
orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan
pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
“Wahai orang Quraisy, apa yang
kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Merekapun
menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang
mulia.” Beliau bersabda, : “Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan
Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah
mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian
telah bebas!” Pada hari kedua, Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca
tahmid beliau bersabda, : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka
tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang
beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan
RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam
dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di
siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya
sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak
hadir.”
Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya
pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar.
Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat
dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan. Sejak saat itulah, Makkah
menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju
Madinah. Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah
sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam.
Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar