KISAH
ABU HURAIRAH RA
Orientasi
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu Pribadi yang
Mengagumkan
Musuh-musuh Islam selalu mengintai dan
mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian melemparkan syubhat-syubhat untuk
membuat keraguan atas kebenaran Islam. Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas
generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para
perawi hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, yaitu
perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah
kehidupannya, agar kaum muslimin memiliki hujjah, tidak terbawa arus propaganda
dan provokasi musuh-musuh Islam
Nama
dan Nasabnya
Namanya pada masa jahiliyah -menurut pendapat
yang rajih- adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, AtTirmidzi
dan Al Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi nama
seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang
boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama
Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih. Nama
tersebut merupakan salah satu nama dari sekian nama-nama yang dimiliki Abu
Hurairah. Menurut Al Hakim, nama itulah yang paling shah. Akan tetapi, Abu
Ubaid berkata, bahwa nama beliau adalah Abdullah; dan Ibnu Khuzaimah terbiasa
menggunakan nama tersebut.
Imam Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad
mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’i yang telah bertemu dengan
sahabat-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu Hurairah bernama
Abdullah. Hal ini membuat Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan benarnya dua
nama tersebut. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah orang Dausi –dengan
difathahkan huruf “dal” dan disukunkan huruf “waw”- berasal dari Bani Daus bin
‘Adtsan. Kabilah Daus ini berasal dari Al Azd. Sedangkan Al Azd sendiri
merupakan qabilah Yamaniah Qathaniyah yang terkenal silsilah nasab keturunannya
terjaga sampai kakek tertinggi Al Azd bin Al Ghauts, sebagaimana telah
dijelaskan oleh seorang pakar sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.
Jika demikian halnya, berarti dia adalah
Abu Hurairah Al Dausi Al Yamani. Imam Ad Daulabi meriwayatkan dari seorang
tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani
merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shiddiq. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah
tidak dikenal (majhul). Bahkan (perlu) kami tambahkan disini dengan menyatakan,
bahwa Ibnu Ishaq – pengarang kitab sirah yang terkenal ituberkomentar tentang
Abu Hurairah seraya berkata, ”Abu Hurairah adalah seorang mulia. Berkedudukan
tinggi dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”
Pamannya bernama Sa’ad bin Abu Dzubab yang
diangkat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur wilayah
Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan Umar. Nampaknya,
kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang gubernur, niscaya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengangkatnya sebagai gubernur.
Orang-orang yang meneliti sikap politik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mengangkat gubernur atau pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan
mengetahui, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat
orang yang pada masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jika masuk
Islam dan faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al Bajali untuk
menjadi wakil bagi kaumnya. (Demikian juga) Adi bin Hatim Ath Tha’i juga
diangkat sebagai pemimpin bagi kaumnya.
Abu Ubaid Al Qasim bin Salam menyatakan :
Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari Al Harits bin Abdurrahman
bin Abu Dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari Sa’ad bin Abu Dzubab,
ia berkata,”Aku mendatangi Rasulullah n . Lalu aku menyatakan diri masuk Islam.
Lalu aku bertanya,’Wahai, Rasulullah. Jadikan untuk kaumku pemimpin yang akan
mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam,’ lalu Nabi menunaikan hal itu
dan mengangkatku sebagai ‘amil untuk mengambil zakat mereka. Abu Bakar pun
mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk melakukan tugas
tersebut.”
Dalam kisah tersebut, kalau kita
perhatikan, memang tidak terdapat isyarat bahwa Sa’ad sebagai paman dari Abu
Hurairah. Namun isyarat tersebut terdapat pada sejarah biografi anaknya, Al
Harist bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bin
Auf menjelaskan, bahwa dia adalah anak dari paman Abu Hurairah. Telah sampai
kepada kita keterangan yang jelas dari Abu Salamah dengan sanad yang shahih
diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan
hal itu dalam biografinya, bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.
Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang
dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari jalur
paman dari ibu; sesungguhnya ibunya (Umaimah binti Shufaih bin Al Harist dari
Bani Daus) memiliki saudara bernama Sa’ad bin Shufaih, seorang pahlawan
pemberani Bani Daus. Pamannya inipun telah masuk Islam. Dengan demikian,
menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan nyatalah kebatilan
pendapat orang yang menyatakan jika Abu Hurairah seorang faqir terlantar.
Sebab Kuniyahnya yang Aneh
Abu Hurairah terkenal dengan kunniyah
(julukan)nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka memberikan
gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku
pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak
kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali
ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara
apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab,‘Anak kucing yang kutemukan
(saat menggembala kambing)’. Mereka berkata,‘Kalau begitu, engkau adalah Abu
Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus melekat padaku.” Akan
tetapi Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggilku Abu Hirin dan orang-orang memanggilku Abu Hurairah,” karenanya ia
berkata, ”Kalian memanggil dan menjulukiku dengan julukan laki-laki (Abu
Hirin), lebih aku sukai daripada julukan wanita (Abu Hurairah).” Disebutkan di
beberapa tempat dalam Shahih Bukhari, bahwa dalam berbagai kesempatan dan
peristiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah
dengan panggilan Abu Hirrin.
Sifat (Ciri Khusus) yang dimilikinya
Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan
sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya
cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang.
Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang tua yang mengepang rambut
kepalanya dan gigi serinya renggang. Muhammad bin Sirin memberikan ciri khusus,
bahwa Abu Hurairah adalah seorang yang berkulit putih, halus, lembut dan tidak
kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna’ (pohon pacar) dan berpakaian
dengan kain katun.
Keislaman dan Hijrahnya
Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan
kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang
yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi.
Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam di Mekkah, lalu kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru
kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Diantara mereka ialah Abu
Hurairah. Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin Al Kalbi tentang kisah Ath
Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk masuk Islam, lalu ayahnya masuk
Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu Hurairah saja yang memenuhi
panggilannya. Demikianlah permulaan kisah keislaman Abu Hurairah.
Kemudian Ath Thufail bin Amr Ad Dausi
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, ”Apakah baginda
Nabi berada dalam lindungan yang cukup kuat dan jaminan keamanan?” Dia berkata
lagi,”Ada perlindungan dan suaka politik pada Bani Daus yang ada sejak zaman
jahiliyah (jika engkau ingin),” namun Nabi enggan untuk mendapatkan jaminan
keamanan tersebut, karena (memilih) jaminan Allah kepada kaum Anshar. Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Ath Thufail pun hijrah ke
Madinah pula. Ath Thufail berkata,”Aku mendatangi Rasulullah bersama
orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku, sedangkan (waktu itu)
Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di Madinah tujuh puluh atau
delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”
Mulai saat itulah Abu Hurairah bertugas
dan bertanggung jawab untuk memaparkan berita-berita tentang dirinya dan berita
para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, ”Ketika Rasulullah berangkat
menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’ bin Al Fathah Al Ghifari sebagai
pejabat sementara Madinah, kami lalu tiba disana. Ketika tiba di Madinah,
jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata seseorang, ”Rasulullah
berada di Khaibar dan akan datang menemui kalian,” akupun menimpalinya,
”Tidaklah aku mendengar Rasulullah beristirahat di suatu tempat, kecuali aku
mendatanginya. Lalu kami menemui Siba’ bin Al Fathah dan kami bersiap-siap.
Kemudian aku menemui Rasulullah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota Makkah)
atau sehari setelahnya. Rasulullah telah menaklukan An Nuthah dalam keadaan
mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan disana
hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”
Masa Persahabatannya dengan Rasulullah Saw.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke
Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga
lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang
ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya, ”Aku
berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi
sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”
Namun Abu Hurairah sendiri menjelaskan
dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun. Seolah-olah
Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia ‘mulazamah’ hanya selama 3
tahun, yaitu setelah kedatangan mereka dari Khaibar, atau ia tidak menghitung
waktu-waktu safar (perjalanan) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
baik untuk berperang, berhaji maupun umrah. Sebab, mulazamahnya ketika berada
di Madinah sangatlah berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa
tersebut diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli
Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu lainnya,
sikap antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan. Wallahu a’lam. Atau
kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan perhitungan saat
bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani Al Alla’ Al Hadrami,
gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.
Keutamaan yang diraih Abu Hurairah
Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke kalangan
para sahabat, memberinya keutamaan bertambah. Dia mendapatkan pahala sebagai
sahabat Nabi, mendapatkan sifat ‘adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat
yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mulia.
Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al Qur’an dan hadits shahih
serta ijma’ generasi /pertama dari kaum muslimin.
Dia mendapatkan keutamaan atas do’a
Rasulullah kepada kabilahnya, Daus, agar mendapat petunjuk. Juga mendapatkan
keutamaan Yaman, karena ia sebagai orang Yaman. Demikian juga mendapatkan
pahala hijrah kepada Allah dan RasulNya, karena hijrahnya sebelum penaklukan
kota Mekkah dan mendapatkan keutamaan do’a Rasulullah kepadanya. Sekaligus
mendapatkan keutamaan sebagai orang miskin dan Ahli Shuffah, pahala berjihad di
bawah panji Rasulullah serta pahala menghafal hadits Rasulullah dan
menyampaikannya.
Cinta Abu Huraiah kepada Rasulullah Saw.
Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya: “Wahai, baginda
Rasulullah. Ketika aku melihat engkau, bahagia kurasakan dalam diriku dan sejuk
pandanganku”. Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama
Rasulullah, sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak menangis
berkali-kali sampai pingsan.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad
hasan (baik) sampai kepada Syafi’i Al Ashbahi tentang gambaran nyata cinta Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ketika kecintaannya itu sedang menguasai dirinya.
Ketika Syafi’i memasuki Madinah, tiba-tiba
ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang. Ia bertanya, ”Siapakah orang
itu?” Mereka menjawab, ”Abu Hurairah.” Lalu aku mendekatinya hingga duduk di
hadapannya, sedangkan ia sedang menyampaikan hadits kepada mereka. Ketika ia
diam dan sendirian, aku bertanya kepadanya, Aku tegaskan dengan
sebenar-benarnya, ketika anda menyampaikan kepadaku satu hadits yang anda
dengar dari Rasulullah, anda faham dan ketahui.” Lalu Abu Hurairah
menjawab,”Ya. Akan aku sampaikan kepadamu satu hadits yang telah disampaikan
Rasulullah kepadaku, aku faham dan ketahui,” lalu Abu Hurairah tertegun sampai
tercengang.
Kesabaran Abu Hurairah menahan Lapar untuk Belajar
Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Shuffah dalam keadaan faqir, tidak memiliki harta, rumah dan mata pencaharian.
Dia merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dan kepada
para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan makanan yang dinikmati
bersama dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri
menemani dan mulazamah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata,
hanya karena ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat
perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan hukum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Diantaranya ialah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari
Muhammad bin Sirin, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia
memakai dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari
bahan katun, lalu ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!” Abu Hurairah
menarik pakaiannya seraya berkata,”Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar
Nabi dan kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam keadaan pingsan, lalu datanglah
seseorang dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila,
padahal aku tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.
Abu Hurairah Ra. Berjihad
Abu Hurairah pun tidak tertinggal melaksanakan tugas suci membela agama dengan
berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak jelas keikut sertaannya dalam
beberapa peperangan Nabi, diantaranya:
1. Keikutsertaannya dalam perang Khaibar
dan perang di Wadi Al Qura’.
2. Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrahpengganti).
3. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.”
2. Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrahpengganti).
3. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.”
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga hadir
dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam Al Bukhari meriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang pengusiran tersebut. Ia berkata:
Ketika kami di dalam masjid, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, seraya
bersabda, ”Berangkatlah menuju pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar hingga sampai
di Baitul Midras.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Masuklah
ke dalam agama Islam, niscaya anda selamat. Ketahuilah, bahwa bumi ini milik
Allah dan RasulNya. Dan aku akan mengusir kalian dari tempat ini. Barangsiapa
diantara kalian memiliki sedikit harta, maka juallah. Jika tidak, ketahuilah
bahwa daerah ini milik Allah dan RasulNya.” Kisah ini diriwayatkan juga oleh
Imam Muslim.
4. Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu dalam Al Fath Al Akbar (penaklukan Makkah), Hunain dan Thaif. Dipaparkan
Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Maukah aku
ajarkan pada kalian satu hadits tentang kalian, wahai seluruh kaum Anshar?
(Lalu ia menyebut penaklukan kota Mekkah), seraya berkata,”Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam berangkat ke Mekkah. Setelah sampai disana, lalu Beliau
mengangkat Az Zubair (sebagai pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan.
Dan di sayap lainnya mengangkat Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah
(memimpin) pasukan infantri yang tidak berpakaian baju besi.
Mereka pun mengambil tempat dan posisi di tengah-tengah
lembah. Sementara itu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam
kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau memandang sekeliling dan melihatku,
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Abu Hurairahkah anda?” Aku pun
menjawab, ”Kupenuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak boleh menemuiku, kecuali dari kalangan
Anshar -selain Syaiban, menambahkan-(tambahan dari salah seorang perawi hadits
ini). “Panggilkan kaum Anshar.” Dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Mereka pun
mengelilingi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang Quraisy
dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil berkata,”Kita dahulukan
mereka. Jika mereka mendapatkan sesuatu (kemenangan), kita pun akan (merasakan)
bersama mereka. Dan jika mereka mendapatkan musibah, kita akan berikan yang
diminta dari kita.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,”Tidakkah
kalian menyaksikan kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut pengikut mereka?” Lalu
Beliau meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan
berkata, ”Temuilah aku di Shafa.” Abu Hurairah berkata, ”Kami pun bergegas
berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin membunuh seseorang,
kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari mereka menghadang kami,
sedikitpun.”
5. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang
Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam Ath Thahawi dengan sanad yang shahih
sampai kepada beliau Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami keluar bersama Rasul pada perang Tabuk.”
6. Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu dalam perang Mu’tah.
7. Keikutsertaannya menumpas gerakan
pemurtadan (harakatu ar riddah), sebagaimana telah diriwayatkan Imam Al Bukhari
dalam kisah penumpasan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap gerakan pemurtadan
ini. Abu Hurairah berkata: Ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
wafat dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai pengganti Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kufurlah orang-orang yang kufur dari
bangsa Arab. Umar bertanya kepada Abu Bakar,”Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda
akan memerangi mereka? Padahal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi
‘Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’. Karenanya, barangsiapa telah
mengucapkannya, ia telah terjaga dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan cara
yang haq. Dan hisab berikutnya berada pada Allah’.” Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu menjawab, ”Demi Allah. Aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan
antara shalat dan zakat, sebab zakat adalah haknya harta. Demi Allah. Jika
mereka menghalangiku meskipun cuma sedikit –dalam riwayat lain (ikat kepala)-
padahal sebelumnya (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mereka
menunaikannya, niscaya aku perangi mereka karena keengganannya (itu).” Umar pun
menimpalinya,” Demi Allah. Tidaklah aku melihat, melainkan Allah telah
melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka. Aku pun mengetahui dia
(berada) pada kebenaran. Imam Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i juga memaparkan
kisah ini. Tetapi lafadznya tidak menunjukkan keikutsertaan Abu Hurairah dalam
peperangan itu, kecuali dalam riwayat An Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat.
Namun dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang telah dishahihkan oleh Syaikh
Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu setelah
pemaparannya mengenai kisah tersebut: “Kami berperang bersama Abu Bakar, lalu
kami memandangnya sebagai keputusan yang sangat tepat”.
8. Keikut sertaannya dalam perang Yarmuk,
peperangan di Armenia dan daerah Jurjan, sebagaimana dipaparkan Ibnu Asakir
tentang kisah perang Yarmuk. Demikian juga Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Al
Ishabah menukil dari Ibnu Asakir juga.
Sedangkan Ibnu Khaldun memberikan catatan,
bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Hurairah tinggal bersama Gubernur
Armenia Abdurrahman bin Rabi’ah. Ketika Abdurrahman terbunuh dalam peperangan
melawan Turki, sebagian tentaranya menuju Jailan dan Jurjan. Di dalam barisan
tentara tersebut terdapat Salman Al Farisi dan Abu Hurairah.
Abu Hurairah tidak hanya mencukupkan
dengan jihad yang terus-menerus, mencurahkan kemampuan dan pengorbanannya ini
saja, (tetapi) ia juga berharap menambah dengan yang lainnya.
Imam An Nasa’i meriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjanjikan kami untuk memerangi India. Jika aku mendapatinya, maka akan aku
korbankan jiwa dan hartaku. Karena jika aku terbunuh, maka aku adalah syuhada’
yang paling utama. Dan jika aku kembali, maka aku adalah Abu Hurairah, orang
yang dibebaskan dari api neraka (al muharrarah).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz: Jika aku mendapatkan
syahid, maka aku menjadi sebaik-baiknya syuhada. Dan jika aku kembali (masih
hidup), maka aku adalah Abu Hurairah Al Muharrarah (terbebas dari api neraka).
Itulah gambaran singkat pribadi yang agung
seorang sahabat besar yang namanya sengaja dicaci maki secara membabi buta oleh
musuhmusuh Islam, kaum zindiq yang berkedok cinta ahli bait- red.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Difa’ ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Asy Syuruq, Bairut. Dengan bahasa bebas telah diindonesiakan dengan judul Kecemerlangan Abu Hurairah, yang akan diterbitkan oleh Pustaka Sunnah, Surabaya, Insya Allah.
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Difa’ ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Asy Syuruq, Bairut. Dengan bahasa bebas telah diindonesiakan dengan judul Kecemerlangan Abu Hurairah, yang akan diterbitkan oleh Pustaka Sunnah, Surabaya, Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar