KISAH
SITI KHADIJAH RA.
Orientasi
Dia
adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan
budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada
umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal
kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan
perniagaannya ke luar negeri.
Banyak
pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kahwin berapa
pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada
yang berkenan di hatinya. Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun
dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua
tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya. Mimpi
itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang
lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang
sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam
agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah
berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan
seorang Nabi akhir zaman.”
“Nabi
itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh.
“Dari
kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat.
“Dari
suku mana?”
“Dari
suku Quraisy juga.”
Khadijah
bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?”
“Dari
keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah
terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah
nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?”
Orang
tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad . Dialah bakal suamimu!”
Khadijah
pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia
merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa
bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu. Muhammad,
bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu yang miskin sejak
kecilnya, dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib, yang hidupnya pun serba
kekurangan. Meskipun demikian, pamanya amat sayang kepadanya, menganggapnya
seperti anak kandung sendiri, mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan
adab, tingkah laku dan budi pekerti yang terpuji.
Pada
suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama
‘Atiqah mengenai diri Muhammad. Beliau berkata: “Muhammad sudah pemuda dua
puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kawin. Tapi kita tak mampu mengadakan
perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.” Setelah memikirkan
segala ikhtiar, ‘Atiqah pun berkata: “Saudaraku, saya mendengar berita bahwa
Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat
ini. Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah
. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan
untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan isterinya.”
Abu
Thalib menyetujui saran saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia
pun tidak keberatan. ‘Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan
bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri
Syam. Khadijah, tatkala mendengar nama “Muhammad”, ia berfikir dalam hatinya:
“Oh… inikah takwil mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah bin Naufal,
bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan namanya Muhammad,
orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir zaman.” Seketika itu juga
timbullah hasrat di dalam hatinya untuk bersuamikan Muhammad, tetapi tidak
dilahirkannya karena kuatir akan menjadi fitnah.
“Baiklah,”
ujar Khadijah kepada ‘Atiqah, “saya terima Muhammad dan saya berterima kasih
atas kesediaannya. Semoga Allah melimpahkan berkatnya atas kita bersama.”.
Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang ada di kalbunya.
Kemudian ia meneruskan: “Wahai ‘Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam
rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad akan
diberikan lebih tinggi dari biasanya.”
‘Atiqah
berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya,
menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman
itu. Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua saudara itu memanggil
Muhammad seraya berkata: “Pergilah ananda kepada Khadijah r.a, ia
menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya.” Muhammad
menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari pekarangan
rumah pamannya, tiba-tiba ia mencucurkan air mata kesedihan mengenang nasibnya.
Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para
malaikat langit dan bumi.
Kesaksian Seorang Rahib
Tatkala
kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah, kepala rombongan:
“Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau
berjalan di depan, menuju ke negeri Syam!”
Muhammad
melaksanakan perintah. Setelah iring-iringan keluar dari halaman memasuki jalan
raya, tanpa sadar Muhammad menangis kembali, tiada yang melihatnya
kecuali Allah dan para malaikat-Nya. Dari mulutnya terucap suara kecil: “Aduh
hai nasib! dimana gerangan ayahku Abdullah, dimana gerangan ibuku Aminah.
Kiranya mereka menyaksikan nasib anaknya yang miskin yatim piatu ini, yang
justeru lantaran ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri
jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah
tumpah darahku.” Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih.
Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad dengan
agak istimewa, sesuai dengan wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat,
kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.
Perjalanan
mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas sekali. Tetapi
Muhammad berjalan senantiasa dipayungi awan yang menaunginya hingga
mereka berhenti di sebuah peristirahatan dekat rumah seorang Rahib Nasrani. Muhammad
turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah di bawah pohon
yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia terheran-heran melihat
gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah terjadi selama
ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena pernah dibacanya di dalam Kitab Taurat.
Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk menyiasat
siapa pemilik karomah dari kalangan mereka.
Semua
anggota rombongan hadir dalam majlis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW
seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan kendaraan. Ketika
Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas kafilah, bertanyalah
beliau: “Apakah di antara kalian masih ada yang tidak hadir di sini?”
Maisarah
menjawab: “Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang.”
Rahib
pergi menjemput Muhammad dan terus menjabat tangannya, membawanya ke
majlis perjamuan. Ketika Muhammad . bergerak, Rahib memperhatikan awan itu
turut bergerak pula mengikuti arah ke mana Muhammad berjalan. Dan di saat
Muhammad masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan
awan itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun
walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang memiliki
karomah dan keutamaan itu.
Rahib
masuk kembali dan mendekati Muhammad , bertanya: “Hai pemuda, dari negeri mana
asalmu?”
“Dari
Makkah”.
“Dari
qabilah mana?” tanya sang Rahib.
“Dari
Quraisy, tuan!”
“Dari
keluarga siapa?”
“Keluarga
Bani Hasyim.”
‘Siapa
namamu?”
“Namaku,
Muhammad.”
Serta
merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad
serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya mengucapkan: “Laa Ilaaha
Illallaah, Muhammadar Rasulullah.” Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan
perasaan takjub, seraya bertanya: “Sudikah engkau memperlihatkan tanda di
badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?”
“Tanda
apakah yang tuan maksudkan?” tanya Muhammad.
“Silakan
buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!”
Muhammad.
memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang
dimaksudkan. “Ya….ya….tertolong, tertolong!” seru Rahib. “Pergilah ke mana
hendak pergi. Engkau terus ditolong!” Rahib itu mengusap wajah Muhammad ,
sambil menambahkan: “Hai hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa’at di
akhirat, hai peribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai nabi rahmat bagi
seluruh alam!” Dengan pengakuan demikian, Rahib dari Ahlil-Kitab itu telah
menjadi seorang muslim sebelum Muhammad . dengan rasmi menerima wahyu kerasulan
dari langit.
Pasar
dibuka beberapa hari lamanya. Semua jualan laris dengan keuntungan berlipat
ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah. Kebetulan pada saat itu
bertepatan dengan hari Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara besar-besaran. Muhammad
, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton keramaian itu. Tatkala Muhammad
memasuki tempat upacara untuk menyaksikan cara mereka beribadat, maka
tiba-tiba berjatuhanlah semua lilin-lilin menyala yang bergantungan pada tali
di sekitar ruangan, yang menyebabkan orang – orang Yahudi gemetar ketakutan.
Seorang
di antara mereka bertanya: “Alamat apakah ini?” Semuanya heran, cemas dan
ketakutan. “Ini berarti ada orang asing yang hadir di sini,” jawab pengerus
upacara. “Kita baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan muncul bilamana seorang
lelaki bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, mendatangi hari raya agama
Yahudi. Mungkinkah sekarang orang itu berada di ruangan kita ini. Carilah
lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah tangkap!”
Abu
Bakar r.a, sahabat Muhammad sejak dari kecil, dan Maisarah, yang
mendengar berita itu segera mendekati Muhammad yang berdiri agak
terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah kesibukan
orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan. Tanpa menunda waktu lagi,
Maisarah segera memerintahkan kafilah berangkat pulang ke Makkah. Dengan
demikian tertolonglah Muhammad SAW dari kejahatan orang-orang Yahudi.
Nabi Muhammad Pulang Ke Makkah
Biasanya
dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari mendekati Makkah, Maisarah
mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a, memberitahukan bakal kedatangan
kafilah serta perkara-perkara lain yang menyangkut perjalanan. Maisarah
menawarkan kepada Muhammad : “Apakah engkau bersedia diutus membawa berita ke
Makkah?” Muhammad berkata: “Ya, saya bersedia apabila ditugaskan”.
Pemimpin
rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh utusan yang akan
berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun menulis sepucuk surat
memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan kafilah yang disertai Muhammad
SAW mendapat hasil laba yang sangat memuaskan, dan menceritakan pula tentang
pengalaman-pengalaman aneh yang berkaitan dengan diri Muhammad. Tatkala
Muhammad menuntun untanya dan sudah hilang dari pandangan mata, maka
Allah menyampaikan wahyu kepada malaikat Jibril a.s .: “Hai Jibril,
singkatkanlah bumi di bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW! Hai Israfil, jagalah
ia dari sebelah kanannya! Hai Mikail, jagalah ia dari sebelah kirinya! Hai
awan, teduhilah ia di atas kepalanya!”
Kemudian
Allah mendatangkan ngantuk kepadanya sehingga baginda tertidur nyenyak
dan tiba-tiba telah sampai di Makkah dalam tempoh yang cukup singkat. Saat
terbangun, ia heran mendapati dirinya telah berada di pintu masuk kota
kelahirannya. Baginda SAW sadar bahwa ini adalah mukjizat Tuhan kepadanya, lalu
bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa.
Sementara
baginda mengarahkan untanya menuju ke tempat Khadijah r.a, secara
kebetulan Khadijah r.a pada saat itu sedang duduk sambil kepalanya keluar
jendela memandangi jalan ke arah Syam, tiba-tiba dilihatnya Muhammad di
atas untanya dari arah bertentangan di bawah naungan awan yang bergerak
perlahan-lahan di atas kepalanya. Khadijah r.a menajamkan matanya, bimbang
kalau-kalau tertipu oleh penglihatannya, sebab yang dilihatnya hanyalah
Muhammad sendirian tanpa rombongan, padahal telah dipesannya kepada
Maisarah agar menjaganya sebaik-baik. Ia bertanya kepada wanita-wanita
sahayanya yang duduk di sekitarnya: “Apakah kamu mengenali siapa pengendara
yang datang itu?” sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.
Seorang
di antara mereka menjawab: “Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya sayyidati!” Kegembiraan
Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya: “Kalau benar Muhammad Al-Amiin, maka
kamu akan kumerdekakan bilamana ia telah sampai!” Tak lama kemudian muncullah
Muhammad di depan pintu rumah wanita hartawan itu, yang langsung
menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas: “Kuberikan anda unta pilihan,
tunggangan khusus dengan apa yang ada di atasnya.”
Muhammad
SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari ketua rombongan.
Ia minta izin pulang ke rumah Pamannya setelah melaporkan tentang perniagaan
mereka ke luar negeri.
Khadijah Menawarkan Diri
Muhammad
Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata: “Hai Al-Amiin,
katakanlah apa keperluanmu!” Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap
merendahkan diri tapi tahu harga dirinya, Muhammad berbicara lurus, terus
terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti. Katanya: “Kami sekeluarga
memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat
memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”.
Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh
ketakjuban.
“Oh,
itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk
menutupi keperluan yang engkau maksudkan,” kata Khadijah r.a. “Tetapi biarlah,
nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”. Ia berhenti sejenak,
meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung
isyarat: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab.
Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar
Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”. Khadijah
tertunduk lalu melanjutkan: “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah
bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi
kepadamu”.
Pemuda
Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam
pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu
apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di
hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin
(jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon
yang dimaksud oleh Khadijah r.a. Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu
keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya: “Aku merasa amat
tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng
dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan
oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah
juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah
kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya:
“Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”. ‘Atiqah tiba di rumah
Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta
kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan.
Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah
r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap
penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah: “Siapakah yang
sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu
bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad . Kalau ia mau, aku bersedia
menikah dengannya; kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga
mati”. Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua
wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius.
“Tapi
Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin
Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta
persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib,
supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang,
dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak
mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang
menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah
pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera
menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu
Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan
Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah
dengan Muhammad lebih dulu.”
Rumah
peninggalan Nabi Muhammmad saw dan sayyidah Khadijah
Sebelum
diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan
bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan
kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu bertanya: “Muhammad, kenapa engkau
masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad
menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
“Bagaimana
kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat
seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu,
apakah engkau akan menolaknya?”
“Siapakah
dia?” tanya Muhammad .
“Khadijah!”
Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya.
Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha
Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui
Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad. Setelah Muhammad menerima
pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah
r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima
belas tahun lebih tua daripadanya. Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada
Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena
hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan
dijodohkan dengannya.
Kalau
dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang
masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka
diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu. Hadir Waraqah bin Naufal dan
beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan
resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu
setuju. Tetapi dia meminta tempo untuk berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah
r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak
sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad padahal ia sangat amanah,
memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula
pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar
katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau
ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki.
Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a
menyerahkan urusannya.
Waraqah
bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga
perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai.
Lamaran diterima dengan persetujuan mas kahwin lima ratus dirham. Abu Bakar
r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad . sejak
dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang
melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara
adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah
seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa
pernikahan Muhammad dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua
bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai
wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad, sedang Waraqah bin
Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib
sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita
keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan
Mudhar.
“Begitupun
kita memuji Allah Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah
Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama
manusia.
“Sesungguhnya
anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan
laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun
ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang
dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah
mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan
mas kahwin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari
hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi
Allah , sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini,
yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah)
serta pengalaman-pengalaman hebat.
“Semoga
Allah memberkati pernikahan ini”.
Penyambutan
untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai
perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu
sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki,
mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman
kepada para tamu dan pengiring.
Selesai
upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya
dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan,
rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu.
Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau ridhoi !”
Itulah
sebagaimana Firman Allah yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8)
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang
sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah
r.a mendampingi Muhammad . selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun
sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia
isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian. Tahun wafatnya
disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).
Khadijah
r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah . ketika wahyu
pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW
menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang
disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil
menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama
dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata:
“Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah yang menguasai diri
Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat
kita.
“Allah
tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha
untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar?
Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tamu dan
mengulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah
r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam menegakkan kalimah
tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang dialaminya dari
gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran agama Islam, menangkis
segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan
hartawan Quraisy.
Layaklah
kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh
wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah . yang disampaikan
oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah . disertai salam dari Jibril a.s
peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta dihiburnya
dengan syurga. Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi
kepadanya tanpa terbatas. Nabi pernah berkata: “Wanita yang utama
dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah
binti Muhammad ., Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri
Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan
lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah . terhadap peribadi Khadijah r.a
ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan
beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbanga, dia telah
membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua
harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia
telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari
isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri
Rasulullah . dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya
meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama
Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim.
Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung
dari Rasulullah .
Sumber
: Dari Sahabat
Kisah Cinta Khadijah r.a dan Rasulullah SAW
Siapakah khadijah?
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda,
bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy
khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak
memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang
untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri. Banyak pemuda
Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang
dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang
berkenan di hatinya.
Bermimpi melihat matahari turun kerumahnya
Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun
dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua
tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya. Mimpi
itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang
lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang
sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam
agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah
bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.” “Nabi itu
berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh. “Dari kota Makkah
ini!” ujar Waraqah singkat. “Dari suku mana?” “Dari suku Quraisy juga.”
Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?” “Dari keluarga Bani Hasyim,
keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur. Khadijah terdiam
sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama
bakal orang agung itu, hai sepupuku?” Orang tua itu mempertegas: “Namanya
Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!” Khadijah pulang ke rumahnya dengan
perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan
sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari
manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Lamaran dari khadijah kepada Rasulullah s.a.w
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita
usahawan itu berkata Khadijah: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!”
(Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu
harga dirinya) Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu
tetapi pasti. Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku
dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh
bagi anak saudaranya yang yatim piatu” (Kepalanya tertunduk, dan wanita
hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban) Khadijah: “Oh, itukah….!
Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi
keperluan yang engkau maksudkan,”. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang
mencarikan calon isteri bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan
mengandung isyarat
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”. Khadijah (Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”. Khadijah (Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama
terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu
memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a
tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda
yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin
belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a. Rasulullah
SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia
menceritakan kepada Pamannya. Rasulullah SAW: “Aku merasa amat tersinggung oleh
kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini
dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya
itu. ‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat
naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim.
Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”.
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus
menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan,
maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina
puteraku, anak saudaraku Muhammad?” Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak
disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri
menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah:
Khadijah : “Siapakah yang sanggup menghina
keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah
yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya;
kalau tidak,aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat
‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi
serius. “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu
Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah
meminta persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu
Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku
diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata
seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena
dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman. ‘Atiqah
pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera
menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu
Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan
Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah
dengan Muhammad SAW lebih dulu.”
Khadijah yang cantik
Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu
ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a
yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu
bertanya: Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari
isteri?” Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”Nafisah
“Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat
seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu,
apakah engkau akan menolaknya?” Rasulullah SAW: “Siapakah dia?” tanya Muhammad
SAW.
Nafisah : “Khadijah!” Nafisah berterus terang.
“Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!” Usaha
Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui
Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW
menerimapemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan
Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang
usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada
Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena
hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan
dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur
empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan
bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu. Hadir Waraqah
bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu
Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua
bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan wanita
yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia
berkata kepada Waraqah: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad
SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan
keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”. “Benar katamu,
Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah. “Kalau ia tak berharta,
maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu
untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib
memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan
merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan
mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan
“Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan
sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy,
sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung,
apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula. Peristiwa
pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua
bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai
wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad.
Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan
dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah,
segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih
(Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. “Begitupun kita memuji
Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang
aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia. “Sesungguhnya
anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan
laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun
ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang
dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah
mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan
memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai
dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat
tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan
memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat.
“Semoga Allah memberkati pernikahan ini”. Penyambutan untuk memeriahkan majlis
pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak
lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang
lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada
mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a
membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah!
Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang
terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan,
hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke
jalan mana yang engkau redhai !” Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang
bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu
Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8) Alangkah bahagianya kedua pasangan
mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan
secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua
puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan
sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya,
bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul
Huzni). Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW.
ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika
Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama
yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan
menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah
yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil
berkata: “Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang
menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh
Allah bagi umat kita. “Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau
orang yang senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah
engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim
piatu, menghormati tamu dan mengulurkan bantuan kepada setiap orang yang
ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan
dirinya di dalam menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam
duka derita yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap
kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh
bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy. Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat
keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima
ucapan salam dari Allah SWT. yang disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada
Rasulullah SAW. disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan
kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga. Kesetiaan
Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. Nabi
SAW pernah berkata: “Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah
Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW., Maryam binti ‘Imran dan
Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah
SAW. terhadap peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang
terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih
dalam kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku;
dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah
kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri
yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”. Putera-puteri Rasulullah
SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal
di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah,
dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan
dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari
Rasulullah SAW.
Perjuangan Khadijah
Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan
dari kaum lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua
wanita itu berdiri di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja keras
mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah
binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia.
Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu’minin, sebaik-baik
isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya. Khadijah
menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau diangkat
menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua Hira’. Khadijah adalah
wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi SAW berdoa (memohon) kepada
Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa,
harta dan keluarga. Peri hidupnya harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan
dan jiwanya sarat dengan kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku
ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan
dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa.”
Kenapa kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini, padahal di hadapan
kita ada “wanita terbaik di dunia,” Khadijah binti Khuwailid, Ummul Mu’minin
yang setia dan taat, yang bergaul secara baik dengan suami dan membantunya di
waktu berkhalwat sebelum diangkat menjadi Nabi dan meneguhkan serta
membenarkannya. Khadijah mendahului semua orang dalam beriman kepada
risalahnya, dan membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan
keluarga. Maka Allah SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya dengan
sebaik-baik balasan dan memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam
istananya, sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hidupnya.
Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia
berkata :”Wahai, Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah
berisi kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan
salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah
rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya dan tidak ada
kepayahan.” [HR. Bukhari dalam “Fadhaail Ashhaabin Nabi SAW. Imam Adz-Dzahabi
berkata:”Keshahihannya telah disepakati.”]
Bukankah istana ini lebih baik daripada
istana-istana di dunia, hai, orang-orang yang terpedaya oleh dunia ? Sayidah
Khadijah r.a. adalah wanita pertama yang bergabung dengan rombongan orang
Mu’min yang orang pertama yang beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW.
Khadijah r.a. membawa panji bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad
dan bekerja keras. Dia habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia berdiri
di belakang suami dan Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut menjadi teladan
tertinggi bagi para wanita.
Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung
Nabi SAW sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama
kali di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat Kitab
yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan diri di
jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri
sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju dan tidak mundur.
Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung dalam
keadaan kesepian, tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.
Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga
malaikat meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan
takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah berkata
:”Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa
utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah, kemudian kembali
kepadaku.” Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya kepada Khadijah r.a. Khadijah
r.a. berkata :”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera pamanku. Demi Allah yang
menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau menjadi Nabi umat ini.” Nabi SAW
tidak mendapatkan darinya, kecuali pe neguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi
dirinya dan dukungan bagi urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya
sesuatu yang menyedihkan, baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya
atau penghindaran darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya,
melenyapkan kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya. Demikian
hendaknya wanita ideal.
Itulah dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah
mengirim salam kepadanya. Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu
kepada Rasul SAW seraya berkata kepadanya :”Sampaikan kepada Khadijah salam
dari Tuhannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril
menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab :”Allah
yang menurunkan salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam (kesejahteraan),
dan kepada Jibril semoga diberikan salam (kesejahteraan).”
Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak
diperoleh seorang pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk
Islam serta khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada
saat pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung
da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah yang
besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat
abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu
yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya, ikut serta merasakan
penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong- nya dengan jiwa dan
hartanya.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku
ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak
memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku
anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam “Musnad”-nya, 6/118]
Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah
r.a., dia berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai,
Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan
atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari
Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat)
dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.” [Shahih
Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya, 1/539]
Rujukan:Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah
SAW karangan Muhammad Ibrahim Saliim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar