KISAH
PERANG ZATUS SALASIL
Orientasi
Dzatus
Salasil: Saksi Ketaatan dan Kemenangan Tentara Muslim
Bukan tanpa alasan
Rasulullah menugaskan Amru untuk memimpin pasukan dalam Perang Dzatus Salasil.
Padahal, kala itu, ada Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab yang lebih senior dan
mumpuni. Sebuah kabar tak sedap terdengar Rasulullah SAW. Kabar
buruk itu datang dari Bani Qudha’ah yang menetap di sebuah daerah bernama
Dzatus Salasil. Penduduk yang tinggal di wilayah itu bersekutu dengan pasukan
Romawi alias Bizantium untuk menyerang umat Islam yang berbasis di kota
Madinah.
Mendengar
ancaman itu, Nabi SAW segera memanggil Amru bin Ash. Sebagai seorang tentara
Muslim, Amru segera mengencangkan pakaian dan senjatanya. Ia seakan sudah
mengetahui bahwa Rasulullah akan menugaskannya ke medan pertempuran. Amru pun
menghadap Nabi Muhammad yang sedang berwudlu. ‘’Hai Amru, sungguh aku ingin
mengirimmu ke satu tujuan, lalu Allah menyelamatkanmu dan memberimu ghanimah.
Aku pun harapkan untukmu harta itu, harapan yang baik,’’ kata Rasulullah SAW. ‘’Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku masuk Islam bukan karena menginginkan harta, tapi
ingin berjihad dan tetap bersamamu,’’ ungkap Amru. Rasulullah SAW lalu
membelitkan bendera putih di kepala Amru dan menyerahkan bendera hitam
kepadanya. Nabi lalu melepas Amr bersama 300 orang Muhajirin dan Anshar. Menurut
Abu Muhammad Harist, sebanyak 30 orang di antara tentara Islam itu adalah
pasukan berkuda. Rasulullah menyarankan agar mereka meminta tolong kepada suku Bali,
Udhra, dan Balqain. Amru bin Ash beserta pasukannya melangkah ke medan Perang
Dzatus Salasil. Pertempuran itu terjadi pada Jumadil Akhir tahun ke-8 Hijriah.
‘’Beberapa hari setelah kembalinya pasukan Muslimin dari Perang Mu’tah ke
Madinah,’’ ujar Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah.
Bukan
tanpa alasan Rasulullah menugaskan Amru untuk memimpin pasukan. Padahal, kala
itu, ada Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab yang lebih senior dan mumpuni.
Ternyata, Amru adalah seorang tentara Muslim yang nenek moyangnya berasal dari
daerah itu. ‘’Hal itu menunjukkan bolehnya mengangkat pimpinan yang kurang
keutamaannya dari yang lebih utama, jika yang kurang keutamaannya itu memiliki
sifat-sifat istimewa yang berkaitan dengan tugas itu,’’ tutur Dr Akram. Pasukan
tentara Muslim pun berjalan menuju medan perang dengan berjalan kaki pada malam
hari. Mereka beristirahat sambil mengintai musuh pada siang hari. Amru
sengaja menerapkan taktik itu agar stamina pasukannya tetap kuat. Selain itu,
pergerakan mereka pada malam hari tak diketahui musuh.
Saat
mendekati wilayah musuh, Amru mendapat laporan bahwa kekuatan pasukan lawan
begitu besar. Ia pun mengambil langkah cepat dengan memohon penambahan pasukan
kepada Rasulullah. Nabi SAW segera mengirim 200 orang tentara, termasuk
di dalamnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab. ‘’Pasukan bantuan itu dipimpin Abu
Ubaidah Amin bin al Jarrah,’’ ungkap Dr Akram. Menurut Amir Asy-Sya’bi (wafat
103 H), Abu Ubaidah ditempatkan sebagai penanggung jawab rombongan Muhajirin,
sedangkan Amru menjadi pimpinan kaum Badui. Kedua pasukan yang dikirimkan dari
Madinah pun bertemu.
Sempat
terjadi perselisihan ketika Abu Ubaidah hendak maju memimpin pasukan. Namun
Amru menolak kepemimpinan Abu Ubaidah. ‘’Engkau adalah komandan pasukanmu ini,
sedangkan Abu ‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin,” tutur sebagian pasukan.
Amru berkata, ‘’Kalian adalah bala bantuan yang saya minta.” ‘’Tahukah engkau
wahai Amru, yang ditetapkan Rasulullah terakhir adalah, ‘Jika engkau sampai
kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling menurut (kerja sama).’ Dan
apabila engkau tidak menaatiku, maka aku tetap akan menaatimu,’’ kata Abu
Ubaidah. Tongkat komando pun sepenuhnya berada di tangan Amru. Abu Ubaidah
sadar bahwa pasukan tentara Muslim tak akan kuat jika di dalamnya terjadi
perpecahan.
Malam
begitu dingin. Pasukan tentara Muslim menggigil kedinginan. Mereka pun
berinisiatif untuk menyalakan api unggun. Mengetahui pasukannya akan menyalakan
api, Amru segera melarangnya. ‘’Siapapun yang berani menyalakan api, saya akan
lemparnya ke dalam api itu,’’ cetus Amru. Pasukan tentara Muslim pun
kaget mendengar jawaban itu. Sejumlah tokoh Muhajirin berusaha untuk
membujuk Amru agar mengizinkan pasukan menyalakan api.
“Bukankah
kalian diperintah untuk mendengar dan taat kepadaku?’’ Tanya Amru kepada tokoh
Muhajirin itu. ‘’Ya, benar,’’ jawab kaum Muhajirin. “Maka kerjakanlah!” Umar bin Khattab sempat marah mendengar sikap
Amru itu. Umar berniat untuk melabrak Amru. Untunglah Abu Bakar segera
mengingatkannya. ‘’Wahai Umar, sesungguhnya Rasulullah tidak akan mengangkatnya
menjadi panglima, melainkan karena keahliannya dalam berperang.’’ Umar pun
terdiam. Dinginnya udara malam menusuk tulang. Tak ada api unggun yang
dinyalakan pasukan tentara Muslim. Mereka menaati perintah komandan perang.
Ketaatan mereka sungguh luar biasa. Dengan penuh keikhlasan mereka melewati
malam dengan tubuh yang menggigil kedinginan.
Pada
malam yang dingin itu Amru mimpi basah. ‘’Aku mimpi basah pada malam yang
sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku
bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku,’’ ujarnya seperti
tercantum dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Hibban dan
Ad-Daruquthuny itu. Pasukan tentara Muslim pun mengobrak-abrik pasukan tentara
musuh yang lemah. Setelah bertempur sekitar satu jam, tentara musuh kocar-kacir
diserbu pasukan yang dipimpin Amru. Awalnya, kaum Muslimin hendak mengejar
mereka, namun Amru melarangnya. ‘’Mengapa Amru melarang kita untuk mengejar
mereka, padahal kita nyaris memenangkan peperangan?’’ Tanya sejumlah pasukan.
Keputusan Amru itu kembali menuai protes dari Umar bin Khattab. ‘’Bagaimana
mungkin dia memerintahkan kita untuk berkumpul padahal pasukan kita sudah dekat
sekali dengan kemenangan?’’ ujar Umar. Lagi-lagi Abu Bakar menenangkan Umar.
‘’Wahai Umar, Rasulullah tidak akan mengangkatnya menjadi panglima, melainkan
karena keahliannya berperang. Jika kau lebih baik dari Amr, maka Rasulullah
pastilah akan memilihmu.” Umar pun terdiam.
Setelah
memenangkan peperangan, Amru mengutus Auf bin Malik al Asyja’i menemui
Rasulullah untuk menyampaikan berita tentang apa yang terjadi di Dzatus Salasil
dan melaporkan kondisi pasukan. Auf pun menjelaskan semua yang terjadi di
tempat tersebut, termasuk kebijakan Amru yang kontroversial selama di medan
perang. Begitu pasukan Amru tiba di Madinah, Rasulullah berbincang dengan Amru.
Nabi SAW mengklarifikasi kabar yang didengarnya dari Auf bin Mali. ‘’Mengapa
engkau melarang pasukanmu menyalakan api unggun?’’ Tanya Nabi SAW. ‘’Aku tak
setuju pasukanku menyalakan api, seperti pasukan musuh, karena khawatir mereka
akan melihat betapa sedikitnya pasukan Muslimin,’’ jawab Amru.
Rasulullah
juga menanyakan sikapnya yang melarang pasukan kaum Muslimin mengejar musuh
yang telah dilemahkan. ‘’Wahai Rasulullah, aku khawatir pasukan musuh mempunyai
bala bantuan yang bersembunyi di balik bukit. Sehingga mereka akan balik menyerang
kami.’’ Mendengar penjelasan itu, Rasulullah tersenyum dan memuji tindakan Amru
yang sangat berhati-hati itu. Nabi SAW kembali bertanya, ‘’Mengapa
engkauelaksanakan shalat bersama pasukanmu, sedangkan diriu sedang junub?’’ “Sesungguhnya
saya mendengar Allah berfirman, ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian,’’ (An-Nisa: 29). Mendengar
hal tersebut, Rasulullah tertawa dan tidak mengomentarinya.
Perang
Dzatus Salasil mengajarkan umat Islam untuk taat kepada pemimpin. Kisah itu
juga menggambarkan betapa ketaatan dan kerja sama tim yang baik akan membuahkan
hasil. Kewaspadaan dan kehati-hatian juga akan menghindarkan umat dari
kesalahan dan kekalahan.
Dzatus
Salasil adalah saksi ketaatan kaum Muslimin. Dzatus Salasi adalah nama sebuah
tempat yang bisa ditempuh dalam 10 hari perjalanan kaki. Letaknya berada di
bagian utara Madinah. Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadits Al-Nabawi,
Dzatus Salasil merupakan sumur Bani Judzam. ‘’Sekarang, Dzatu Salasil terletak
di barat laut Kerajaan Arab Saudi, di timur pelabuhan al-Wajh dan Duba,’’ tutur
Dr Syauqi.
Perang Dzatus Salasil,
Tahun 12 Hijriyah
Perang
Dzatus Salasil adalah salah satu perang penting yang terjadi antara kaum
muslimin melawan Persia dalam masa awal pembebasan daerah Persia. Peristiwa ini
terjadi di daerah dekat kota Ablah. Pasukan Islam dipimpin oleh Khalid bin
Al-Walid, sedangkan pasukan Persia dikomandani oleh Hurmus, penguasa kota
Ablah. Perang ini disebut Dzatus Salasil disebabkan orang-orang Persia
mengikatkan diri mereka dengan rantai-rantai, sehingga mereka tidak lari kocar
kacir,[1] agar mereka tidak meninggalkan komandan mereka sampai titik darah
terakhir. Perang dimulai dengan duel personal antara Khalid bin Al-Walid
melawan pemimpin Persia. Selama duel berlangsung, pasukan Persia berusaha
mengambil kesempatan untuk menyerang Khalid yang sendirian. Namun, pasukan kaum
muslimin mengetahui maksud tersebut. Oleh karena itu, pasukan kaum muslimin
berusaha melindungi Khalid. Akhirnya, Khalid berhasil mengalahkan dan membunuh
komandan Persia itu. Pasukan kaum muslimin pun berhasil mengalahkan Persia dan
memaksa mereka, sehingga pasukan Persia banyak yang tewas dan melarikan diri.
Pasukan Islam pun mendapatkan banyak harta rampasan (ghanimah) dari Persia.
Raja
Persia lalu mengirimkan pasukan sebagai bala bantuan di Salasil. Namun, pasukan
itu baru sampai setelah perang usai. Mereka lalu mendirikan kemah di daerah
Al-Midzar dan Pasukan Persia yang kocar kacir bergabung dengannya. Khalid bin
Al-Walid Radhiyallahu Anhu lalu berangkat ke kemah tersebut dan memerangi
mereka. Perang tersebut terkenal dengan perang Al-Midzar, di mana banyak sekali
pasukan Persia yang terbunuh.
Foot
Note:
[1].
Al-Azdi, Futuh Asy-Syam (59). Al-Baladziri, Futuh Al-Buldan (242). Ath-Thabari,
Tarikh Ath-Thabari (3/5).
[2].
Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari (3/6).
[3].
Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari (3/7).
Dikutip
dari: Penaklukan Dalam Islam, DR.Abdul Aziz bin Ibrahim Al Umari, Penerbit
Darussunnah
Dipublikasikan
kembali oleh: www.KisahIslam.net
Facebook
Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam
Reorientasi
Kisah Perang Zatus Salasil
Di tulis Oleh Al Ustadz Idral
Peristiwa ini terjadi tahun kedelapan hijriah, pada
bulan Jumadil Akhirah, beberapa hari sesudah meletusnya perang Mu’tah, di balik
lembah Wadil Qura yang berjarak sepuluh hari dari Madinah.
Sebuah berita sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
sepasukan orang dari Qudha’ah telah
berkomplot untuk mendekati ujung kota Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memanggil ‘Amr bin Al-‘Ash.
‘Amr bin Al-’Ash menceritakan:
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Hai ‘Amr. Ketatkan pakaian dan senjatamu,
dan menghadaplah kepadaku.” Akupun melakukannya lalu mendatangi beliau yang
sedang berwudhu. Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke arahku,
memerhatikanku seraya berkata: “Hai ‘Amr, sungguh aku ingin mengirimmu ke satu
tujuan, lalu Allah menyelamatkanmu dan memberimu ghanimah. Aku pun harapkan
untukmu harta itu, harapan yang baik.” Kata ‘Amr: Aku pun berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh, saya masuk
Islam bukan karena menginginkan harta, tapi saya masuk Islam karena memang
ingin berjihad dan tetap bersama anda.” Beliaupun berkata: “Wahai ‘Amr, harta
yang baik itu adalah untuk orang yang baik pula.” (HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad Syamiyyin)
Sikap ini menunjukkan betapa kuat iman, kejujuran, dan
keikhlasan ‘Amr dalam ber-Islam, juga semangatnya untuk selalu menyertai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal inipun diakui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam sebuah hadits
yang disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t (Ash-Shahihah 1/154 no. 155), beliau bersabda: “Orang-orang sudah masuk Islam, sedangkan
‘Amr telah beriman.” Asy-Syaikh Al-Albani menerangkan: “Dalam
hadits ini tersirat keutamaan ‘Amr bin Al-’Ash karena dipersaksikan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam keimanannya. Persaksian ini menunjukkan berita tentang surga bagi
beliau. Karena dalam sebuah hadits (Muttafaq ‘alaihi), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Tidak akan masuk surga
kecuali jiwa yang beriman.”
Kemudian Rasulullah n membelitkan bendera putih dan
menyerahkan bendera hitam kepadanya. Setelah itu beliau melepas ‘Amr bersama 300
orang Muhajirin dan Anshar. Di antaranya 30 orang pasukan berkuda. Pasukan
muslimin mulai bergerak keluar kota Madinah. Di siang hari pasukan berhenti,
istirahat. Malamnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Ini adalah salah
satu bukti kecerdikan dan keahlian ‘Amr bin Al-’Ash dalam berperang. Taktik ini
sangat menguntungkan pasukan muslimin karena:
Ø
Menjaga agar stamina pasukan tetap segar, tidak
dilemahkan oleh rasa haus dan panasnya matahari
Ø
Menyembunyikan gerak pasukan di malam hari dari
intaian musuh
Setibanya di sana, ‘Amr mendengar banyaknya jumlah
musuh. Beliaupun mengirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bala bantuan. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengirimkan bantuan 200 orang Muhajirin, termasuk di dalamnya Abu
Bakr dan ‘Umar serta mengangkat Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah , sebagai komandan
mereka.
Berselisih Adalah Kelemahan
Musa bin ‘Uqbah menceritakan dalam Sirah-nya:
Setelah bertemu ‘Amr, Abu ‘Ubaidah hendak maju
mengimami pasukan, tetapi ditahan oleh ‘Amr, dia berkata: “Kalian datang
kepadaku adalah sebagai bala bantuan. Aku panglima (di sini).” Orang-orang
Muhajirin berkata: “Engkau adalah komandan pasukanmu ini, sedangkan Abu
‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin.” ‘Amr membantah: “Tapi kalian adalah
bala bantuan yang saya minta.” Melihat keadaan ini, Abu ‘Ubaidah yang wataknya
lembut, berkata: “Engkau tahu wahai ‘Amr, terakhir yang ditetapkan Rasulullah n
ialah: ‘Jika engkau sampai kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling
menurut (kerja sama)’, dan engkau, kalau engkau tidak menaatiku, pasti saya
tetap menaati engkau.”
Maka Abu ‘Ubaidah pun menyerahkan kepemimpinan kepada
‘Amr bin Al-’Ash, . Sejak itu, ‘Amr pun menjadi imam bagi pasukan tersebut.
Alangkah indahnya, kehidupan mereka. Serba mudah dalam urusan dunia, jauh dari
ambisi kepemimpinan. Alangkah tanggap Abu ‘Ubaidah melihat kenyataan ini.
Sekecil apapun perselisihan di dalam tubuh pasukan muslimin dalam perang Dzatu
Salasil ini, pasti akan membuahkan kelemahan dan kekalahan. Sebab itulah dengan
segera beliau memadamkan api perselisihan itu dengan menyerahkan kepemimpinan
kepada ‘Amr. Malam harinya, pasukan muslimin beristirahat. Sebagian mereka
ingin menyalakan api unggun untuk berdiang. Tetapi ‘Amr sang panglima melarang
mereka. Bahkan mengancam: “Siapa yang berani menyalakan api unggun, akan saya
lemparkan dia ke dalamnya.”
Sikap tegas ini menyusahkan pasukan tersebut, apalagi
rasa dingin yang sangat menusuk. Beberapa tokoh Muhajirin membujuk ‘Amr, tapi
ditanggapi dengan pedas oleh ‘Amr. Bahkan kata ‘Amr: “Kamu diperintah untuk
mendengar dan taat kepada saya?” Sahabat itu berkata: “Betul.” “Kalau begitu,
kerjakan!” kata ‘Amr. Berita ini terdengar juga oleh ‘Umar dan membuatnya
berang hingga berniat ingin mendatangi ‘Amr. Tapi kemudian, dia ditahan oleh
Abu Bakr Ash-Shiddiq . Kata beliau: “Sesungguhnya Rasulullah n tidak
mengangkatnya menjadi panglima melainkan karena keahliannya dalam berperang.” Seketika
‘Umar pun terdiam. Semoga Allah meridhai Abu Bakr Ash-Shiddiq dan seluruh
sahabat Rasulullah n. Betapa dalamnya pengetahuan Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang
Rasulullah n, yang sudah tentu dalam hal-hal penting seperti ini, tidak mungkin
bertindak sia-sia.
Malam semakin dingin, tidak ada api yang menghangatkan.
Namun ketaatan mereka kepada pemimpin luar biasa. Suka atau tidak, kesulitan
seperti itu harus juga mereka tanggung. Di malam yang dingin itu, ‘Amr junub.
Dia bertanya kepada sahabat-sahabatnya: “Bagaimana pendapat kalian? Demi Allah,
saya junub. Kalau saya mandi, saya tentu mati.” Lalu diapun meminta dibawakan
air. Kemudian dia membasuh kemaluannya, berwudhu’ dan tayammum. Setelah itu dia
pun shalat mengimami pasukan tersebut. Kemudian, mereka mulai menyergap musuh
yang lengah. Setelah bertempur kira-kira satu jam, musuh merasakan kekuatan
pasukan ‘Amr bin Al-’Ash. Akhirnya mereka pun lari bercerai berai. Kaum
muslimin ingin mengejar mereka, namun dilarang oleh ‘Amr bin Al-’Ash.
Setelah perang usai, dan pasukan bersiap-siap kembali
ke Madinah, sang panglima mengutus ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i menemui Rasulullah
n untuk menyampaikan berita tentang keadaan pasukan dan kejadian yang ada
selama di sana. Setibanya di Madinah, ‘Auf menceritakan bagaimana Abu
‘Ubaidah menuruti ‘Amr, hingga akhirnya ‘Amr mengimami pasukan dan tetap
menjadi panglima mereka. Diceritakannya pula bagaimana ‘Amr melarang pasukan
muslimin menyalakan api unggun di tengah malam yang sangat dingin itu, dan
mencegah mereka mengikuti musuh mereka, serta shalat bersama pasukan dalam
keadaan junub.
Setelah ‘Amr dan pasukannya tiba di Madinah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajaknya bicara dan menanyakan apa-apa yang disampaikan oleh
‘Auf . ‘Amr bin Al-’Ash menjelaskan kepada beliau tentang larangannya kepada
mereka mengikuti jejak musuh dan menyalakan api, dia berkata: “Saya tidak suka
mereka menyalakan api, karena bisa jadi musuh akan melihat betapa sedikitnya
jumlah mereka (kaum muslimin). Saya melarang mereka mengejar, karena khawatir
musuh mempunyai bala bantuan yang bersembunyi di balik bukit itu, sehingga
kemudian berbalik menyerang pasukan muslimin.” Dikisahkan, setelah mendengar
penjelasan tersebut, Rasulullah n memuji Allah atas tindakan ‘Amr ini. Kemudian
beliau bertanya pula: “Hai ‘Amr,
engkau shalat bersama pasukanmu dalam keadaan engkau sedang junub?”
Kata ‘Amr: Sayapun menerangkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang menghalangiku untuk
mandi. Saya katakan: “Sesungguhnya saya mendengar Allah Subhanahuwat’ala
berfirman: “Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian.” (An-Nisa`:
29)
Mendengar keterangan ‘Amr, Rasulullah n tertawa dan
tidak mengomentarinya. Dari kisah ini diambillah beberapa kesimpulan, antara
lain: Membuktikan kefakihan ‘Amr bin Al-’Ash padahal dia baru beberapa bulan
masuk Islam. Boleh berijtihad di masa Rasulullah. Di sini terdapat pula persetujuan
(taqrir) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap ijtihad ‘Amr. Bolehnya tayammum walaupun ada air, karena alasan
(udzur) yang dibolehkan syariat, seperti dingin yang sangat berat. Bolehnya
imam yang tayammum mengimami makmum yang berwudhu.
Dengan berhasilnya pasukan ini memukul mundur musuh,
menjadi amanlah kedaulatan Islam terutama dari serangan musuh yang ada di
sebelah utara (Syam). Islampun semakin menyebarkan dakwahnya ke beberapa
wilayah Arab lainnya. Terlebih dengan terikatnya Quraisy serta para sekutunya
dengan perjanjian Hudaibiyah, maka kaum muslimin aman dari gangguan dan tekanan
mereka dalam berdakwah dan beribadah. Walaupun itu hanya sementara, karena
beberapa waktu kemudian, pihak Quraisy menodai kesepakatan yang mereka buat
dengan Rasulullah n, hingga meletuslah peristiwa Fathu Makkah.
Bani Qudha’ah termasuk kerabat ‘Amr. Banu Bila adalah khali (paman dari pihak ibu) Al-‘Ash
bin Wail. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengirimnya ke daerah ini untuk melunakkan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar