Kamis, 20 September 2018

KISAH PERANG ZATUS SALASIL


KISAH PERANG ZATUS SALASIL

Orientasi

Dzatus Salasil: Saksi Ketaatan dan Kemenangan Tentara Muslim
Bukan tanpa alasan Rasulullah menugaskan Amru untuk memimpin pasukan dalam Perang Dzatus Salasil. Padahal, kala itu, ada Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab yang lebih senior dan mumpuni. Sebuah kabar tak sedap terdengar Rasulullah SAW. Kabar buruk itu datang dari  Bani Qudha’ah yang menetap di sebuah daerah bernama Dzatus Salasil.  Penduduk yang tinggal di wilayah itu bersekutu dengan pasukan Romawi alias Bizantium untuk menyerang umat Islam yang berbasis di kota Madinah.

Mendengar ancaman itu, Nabi SAW segera memanggil Amru bin Ash. Sebagai seorang tentara Muslim, Amru segera mengencangkan pakaian dan senjatanya. Ia seakan sudah mengetahui bahwa Rasulullah akan menugaskannya ke medan pertempuran. Amru pun menghadap Nabi Muhammad yang sedang berwudlu. ‘’Hai Amru, sungguh aku ingin mengirimmu ke satu tujuan, lalu Allah menyelamatkanmu dan memberimu ghanimah. Aku pun harapkan untukmu harta itu, harapan yang baik,’’ kata Rasulullah SAW. ‘’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku masuk Islam bukan karena menginginkan harta, tapi ingin berjihad dan tetap bersamamu,’’ ungkap Amru. Rasulullah SAW lalu membelitkan bendera putih di kepala Amru dan menyerahkan bendera hitam kepadanya. Nabi lalu melepas Amr bersama 300 orang Muhajirin dan Anshar.  Menurut Abu Muhammad Harist, sebanyak 30 orang di antara tentara Islam itu  adalah pasukan berkuda. Rasulullah menyarankan agar mereka meminta tolong kepada suku Bali, Udhra, dan Balqain. Amru bin Ash beserta pasukannya melangkah ke medan Perang Dzatus Salasil. Pertempuran itu terjadi pada Jumadil Akhir tahun ke-8 Hijriah. ‘’Beberapa hari setelah kembalinya pasukan Muslimin dari  Perang Mu’tah ke Madinah,’’ ujar Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah.
                                                                              
Bukan tanpa alasan Rasulullah menugaskan Amru untuk memimpin pasukan. Padahal, kala itu, ada Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab yang lebih senior dan mumpuni.  Ternyata, Amru adalah seorang tentara Muslim yang nenek moyangnya berasal dari daerah itu. ‘’Hal itu menunjukkan bolehnya mengangkat pimpinan yang kurang keutamaannya dari yang lebih utama, jika yang kurang keutamaannya itu memiliki sifat-sifat istimewa yang berkaitan dengan tugas itu,’’ tutur Dr Akram. Pasukan tentara Muslim pun berjalan menuju medan perang dengan berjalan kaki pada malam hari. Mereka  beristirahat sambil mengintai musuh pada siang hari. Amru sengaja menerapkan taktik itu agar stamina pasukannya tetap kuat. Selain itu, pergerakan mereka pada malam hari tak diketahui musuh.

Saat mendekati wilayah musuh, Amru mendapat laporan bahwa kekuatan pasukan lawan begitu besar. Ia pun mengambil langkah cepat dengan memohon penambahan pasukan kepada Rasulullah.  Nabi SAW segera mengirim 200 orang tentara, termasuk di dalamnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab. ‘’Pasukan bantuan itu dipimpin Abu Ubaidah Amin bin al Jarrah,’’ ungkap Dr Akram. Menurut Amir Asy-Sya’bi (wafat 103 H), Abu Ubaidah ditempatkan sebagai penanggung jawab rombongan Muhajirin, sedangkan Amru menjadi pimpinan kaum Badui. Kedua pasukan yang dikirimkan dari Madinah pun bertemu.

Sempat terjadi perselisihan ketika Abu Ubaidah hendak maju memimpin pasukan. Namun Amru menolak kepemimpinan Abu Ubaidah. ‘’Engkau adalah komandan pasukanmu ini, sedangkan Abu ‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin,” tutur sebagian pasukan. Amru berkata, ‘’Kalian adalah bala bantuan yang saya minta.” ‘’Tahukah engkau wahai Amru, yang ditetapkan Rasulullah terakhir adalah, ‘Jika engkau sampai kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling menurut (kerja sama).’ Dan apabila engkau tidak menaatiku, maka aku tetap akan menaatimu,’’ kata Abu Ubaidah. Tongkat komando pun sepenuhnya berada di tangan Amru. Abu Ubaidah sadar bahwa pasukan tentara Muslim tak akan kuat jika di dalamnya terjadi perpecahan.
                                                                              
Malam begitu dingin. Pasukan tentara Muslim menggigil kedinginan. Mereka pun berinisiatif untuk menyalakan api unggun. Mengetahui pasukannya akan menyalakan api, Amru segera melarangnya. ‘’Siapapun yang berani menyalakan api, saya akan lemparnya  ke dalam api itu,’’ cetus Amru. Pasukan tentara Muslim pun kaget mendengar jawaban itu. Sejumlah tokoh Muhajirin  berusaha untuk membujuk Amru agar mengizinkan pasukan menyalakan api.
“Bukankah kalian diperintah untuk mendengar dan taat kepadaku?’’ Tanya Amru kepada tokoh Muhajirin itu. ‘’Ya, benar,’’ jawab kaum Muhajirin. “Maka kerjakanlah!”  Umar bin Khattab sempat marah mendengar sikap Amru itu. Umar berniat untuk melabrak Amru.  Untunglah Abu Bakar segera mengingatkannya. ‘’Wahai Umar, sesungguhnya Rasulullah tidak akan mengangkatnya menjadi panglima, melainkan karena keahliannya dalam berperang.’’ Umar pun terdiam. Dinginnya udara malam menusuk tulang. Tak ada api unggun yang dinyalakan pasukan tentara Muslim. Mereka menaati perintah komandan perang. Ketaatan mereka sungguh luar biasa. Dengan penuh keikhlasan mereka melewati malam dengan tubuh yang menggigil kedinginan.
                                                                              
Pada malam yang dingin itu Amru mimpi basah. ‘’Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku,’’ ujarnya seperti tercantum dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny itu. Pasukan tentara Muslim pun mengobrak-abrik pasukan tentara musuh yang lemah. Setelah bertempur sekitar satu jam, tentara musuh kocar-kacir diserbu pasukan yang dipimpin Amru. Awalnya, kaum Muslimin hendak mengejar mereka, namun Amru melarangnya. ‘’Mengapa Amru melarang kita untuk mengejar mereka, padahal kita nyaris memenangkan peperangan?’’ Tanya sejumlah pasukan. Keputusan Amru itu kembali menuai protes dari Umar bin Khattab. ‘’Bagaimana mungkin dia memerintahkan kita untuk berkumpul padahal pasukan kita sudah dekat sekali dengan kemenangan?’’ ujar Umar. Lagi-lagi Abu Bakar menenangkan Umar. ‘’Wahai Umar, Rasulullah tidak akan mengangkatnya menjadi panglima, melainkan karena keahliannya berperang. Jika kau lebih baik dari Amr, maka Rasulullah pastilah akan memilihmu.” Umar pun terdiam.
                                                                             
Setelah memenangkan peperangan, Amru mengutus Auf bin Malik al Asyja’i menemui Rasulullah untuk menyampaikan berita tentang apa yang terjadi di Dzatus Salasil dan melaporkan kondisi pasukan. Auf  pun menjelaskan semua yang terjadi di tempat tersebut, termasuk kebijakan Amru yang kontroversial selama di medan perang. Begitu pasukan Amru tiba di Madinah, Rasulullah berbincang dengan Amru. Nabi SAW mengklarifikasi kabar yang didengarnya dari Auf bin Mali. ‘’Mengapa engkau melarang pasukanmu menyalakan api unggun?’’ Tanya Nabi SAW. ‘’Aku tak setuju pasukanku menyalakan api, seperti pasukan musuh, karena khawatir mereka akan melihat betapa sedikitnya pasukan Muslimin,’’ jawab Amru.

Rasulullah juga menanyakan sikapnya yang melarang pasukan kaum Muslimin mengejar musuh yang telah dilemahkan. ‘’Wahai Rasulullah, aku khawatir pasukan musuh mempunyai bala bantuan yang bersembunyi di balik bukit. Sehingga mereka akan balik menyerang kami.’’ Mendengar penjelasan itu, Rasulullah tersenyum dan memuji tindakan Amru yang sangat berhati-hati itu. Nabi SAW kembali bertanya, ‘’Mengapa engkauelaksanakan shalat bersama pasukanmu, sedangkan diriu sedang junub?’’ “Sesungguhnya saya mendengar Allah berfirman, ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian,’’ (An-Nisa: 29). Mendengar hal tersebut, Rasulullah tertawa dan tidak mengomentarinya.

Perang Dzatus Salasil mengajarkan umat Islam untuk taat kepada pemimpin. Kisah itu juga menggambarkan betapa ketaatan dan kerja sama tim yang baik akan membuahkan hasil. Kewaspadaan dan kehati-hatian juga akan menghindarkan umat dari kesalahan dan kekalahan.
                                                                             
Dzatus Salasil adalah saksi ketaatan kaum Muslimin. Dzatus Salasi adalah nama sebuah tempat yang bisa ditempuh dalam 10 hari perjalanan kaki. Letaknya berada di bagian utara Madinah. Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadits Al-Nabawi, Dzatus Salasil merupakan sumur Bani Judzam. ‘’Sekarang, Dzatu Salasil terletak di barat laut Kerajaan Arab Saudi, di timur pelabuhan al-Wajh dan Duba,’’ tutur Dr Syauqi.

Perang Dzatus Salasil, Tahun 12 Hijriyah  
Perang Dzatus Salasil adalah salah satu perang penting yang terjadi antara kaum muslimin melawan Persia dalam masa awal pembebasan daerah Persia. Peristiwa ini terjadi di daerah dekat kota Ablah. Pasukan Islam dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid, sedangkan pasukan Persia dikomandani oleh Hurmus, penguasa kota Ablah. Perang ini disebut Dzatus Salasil disebabkan orang-orang Persia mengikatkan diri mereka dengan rantai-rantai, sehingga mereka tidak lari kocar kacir,[1] agar mereka tidak meninggalkan komandan mereka sampai titik darah terakhir. Perang dimulai dengan duel personal antara Khalid bin Al-Walid melawan pemimpin Persia. Selama duel berlangsung, pasukan Persia berusaha mengambil kesempatan untuk menyerang Khalid yang sendirian. Namun, pasukan kaum muslimin mengetahui maksud tersebut. Oleh karena itu, pasukan kaum muslimin berusaha melindungi Khalid. Akhirnya, Khalid berhasil mengalahkan dan membunuh komandan Persia itu. Pasukan kaum muslimin pun berhasil mengalahkan Persia dan memaksa mereka, sehingga pasukan Persia banyak yang tewas dan melarikan diri. Pasukan Islam pun mendapatkan banyak harta rampasan (ghanimah) dari Persia.

Raja Persia lalu mengirimkan pasukan sebagai bala bantuan di Salasil. Namun, pasukan itu baru sampai setelah perang usai. Mereka lalu mendirikan kemah di daerah Al-Midzar dan Pasukan Persia yang kocar kacir bergabung dengannya. Khalid bin Al-Walid Radhiyallahu Anhu lalu berangkat ke kemah tersebut dan memerangi mereka. Perang tersebut terkenal dengan perang Al-Midzar, di mana banyak sekali pasukan Persia yang terbunuh.

Foot Note:
[1]. Al-Azdi, Futuh Asy-Syam (59). Al-Baladziri, Futuh Al-Buldan (242). Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari (3/5).
[2]. Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari (3/6).
[3]. Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari (3/7).
Dikutip dari: Penaklukan Dalam Islam, DR.Abdul Aziz bin Ibrahim Al Umari, Penerbit Darussunnah
Dipublikasikan kembali oleh: www.KisahIslam.net
Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Reorientasi
Kisah Perang Zatus Salasil
Di tulis Oleh Al Ustadz Idral
Peristiwa ini terjadi tahun kedelapan hijriah, pada bulan Jumadil Akhirah, beberapa hari sesudah meletusnya perang Mu’tah, di balik lembah Wadil Qura yang berjarak sepuluh hari dari Madinah.
Sebuah berita sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bahwa sepasukan orang dari Qudha’ah telah berkomplot untuk mendekati ujung kota Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil ‘Amr bin Al-‘Ash.
‘Amr bin Al-’Ash  menceritakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Hai ‘Amr. Ketatkan pakaian dan senjatamu, dan menghadaplah kepadaku.” Akupun melakukannya lalu mendatangi beliau yang sedang berwudhu. Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke arahku, memerhatikanku seraya berkata: “Hai ‘Amr, sungguh aku ingin mengirimmu ke satu tujuan, lalu Allah menyelamatkanmu dan memberimu ghanimah. Aku pun harapkan untukmu harta itu, harapan yang baik.” Kata ‘Amr: Aku pun berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh, saya masuk Islam bukan karena menginginkan harta, tapi saya masuk Islam karena memang ingin berjihad dan tetap bersama anda.” Beliaupun berkata: “Wahai ‘Amr, harta yang baik itu adalah untuk orang yang baik pula.” (HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad Syamiyyin)

Sikap ini menunjukkan betapa kuat iman, kejujuran, dan keikhlasan ‘Amr dalam ber-Islam, juga semangatnya untuk selalu menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inipun diakui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam sebuah hadits yang disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t (Ash-Shahihah 1/154 no. 155), beliau bersabda: “Orang-orang sudah masuk Islam, sedangkan ‘Amr telah beriman.” Asy-Syaikh Al-Albani  menerangkan: “Dalam hadits ini tersirat keutamaan ‘Amr bin Al-’Ash karena dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keimanannya. Persaksian ini menunjukkan berita tentang surga bagi beliau. Karena dalam sebuah hadits (Muttafaq ‘alaihi), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman.”

Kemudian Rasulullah n membelitkan bendera putih dan menyerahkan bendera hitam kepadanya. Setelah itu beliau melepas ‘Amr bersama 300 orang Muhajirin dan Anshar. Di antaranya 30 orang pasukan berkuda. Pasukan muslimin mulai bergerak keluar kota Madinah. Di siang hari pasukan berhenti, istirahat. Malamnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Ini adalah salah satu bukti kecerdikan dan keahlian ‘Amr bin Al-’Ash dalam berperang. Taktik ini sangat menguntungkan pasukan muslimin karena:
Ø Menjaga agar stamina pasukan tetap segar, tidak dilemahkan oleh rasa haus dan panasnya matahari
Ø Menyembunyikan gerak pasukan di malam hari dari intaian musuh
Setibanya di sana, ‘Amr mendengar banyaknya jumlah musuh. Beliaupun mengirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bala bantuan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan bantuan 200 orang Muhajirin, termasuk di dalamnya Abu Bakr dan ‘Umar serta mengangkat Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah , sebagai komandan mereka.

Berselisih Adalah Kelemahan
Musa bin ‘Uqbah menceritakan dalam Sirah-nya:
Setelah bertemu ‘Amr, Abu ‘Ubaidah hendak maju mengimami pasukan, tetapi ditahan oleh ‘Amr, dia berkata: “Kalian datang kepadaku adalah sebagai bala bantuan. Aku panglima (di sini).” Orang-orang Muhajirin berkata: “Engkau adalah komandan pasukanmu ini, sedangkan Abu ‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin.” ‘Amr membantah: “Tapi kalian adalah bala bantuan yang saya minta.” Melihat keadaan ini, Abu ‘Ubaidah yang wataknya lembut, berkata: “Engkau tahu wahai ‘Amr, terakhir yang ditetapkan Rasulullah n ialah: ‘Jika engkau sampai kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling menurut (kerja sama)’, dan engkau, kalau engkau tidak menaatiku, pasti saya tetap menaati engkau.”

Maka Abu ‘Ubaidah pun menyerahkan kepemimpinan kepada ‘Amr bin Al-’Ash, . Sejak itu, ‘Amr pun menjadi imam bagi pasukan tersebut. Alangkah indahnya, kehidupan mereka. Serba mudah dalam urusan dunia, jauh dari ambisi kepemimpinan. Alangkah tanggap Abu ‘Ubaidah melihat kenyataan ini. Sekecil apapun perselisihan di dalam tubuh pasukan muslimin dalam perang Dzatu Salasil ini, pasti akan membuahkan kelemahan dan kekalahan. Sebab itulah dengan segera beliau memadamkan api perselisihan itu dengan menyerahkan kepemimpinan kepada ‘Amr. Malam harinya, pasukan muslimin beristirahat. Sebagian mereka ingin menyalakan api unggun untuk berdiang. Tetapi ‘Amr sang panglima melarang mereka. Bahkan mengancam: “Siapa yang berani menyalakan api unggun, akan saya lemparkan dia ke dalamnya.”

Sikap tegas ini menyusahkan pasukan tersebut, apalagi rasa dingin yang sangat menusuk. Beberapa tokoh Muhajirin membujuk ‘Amr, tapi ditanggapi dengan pedas oleh ‘Amr. Bahkan kata ‘Amr: “Kamu diperintah untuk mendengar dan taat kepada saya?” Sahabat itu berkata: “Betul.” “Kalau begitu, kerjakan!” kata ‘Amr. Berita ini terdengar juga oleh ‘Umar dan membuatnya berang hingga berniat ingin mendatangi ‘Amr. Tapi kemudian, dia ditahan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq . Kata beliau: “Sesungguhnya Rasulullah n tidak mengangkatnya menjadi panglima melainkan karena keahliannya dalam berperang.” Seketika ‘Umar pun terdiam. Semoga Allah meridhai Abu Bakr Ash-Shiddiq dan seluruh sahabat Rasulullah n. Betapa dalamnya pengetahuan Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang Rasulullah n, yang sudah tentu dalam hal-hal penting seperti ini, tidak mungkin bertindak sia-sia.

Malam semakin dingin, tidak ada api yang menghangatkan. Namun ketaatan mereka kepada pemimpin luar biasa. Suka atau tidak, kesulitan seperti itu harus juga mereka tanggung. Di malam yang dingin itu, ‘Amr junub. Dia bertanya kepada sahabat-sahabatnya: “Bagaimana pendapat kalian? Demi Allah, saya junub. Kalau saya mandi, saya tentu mati.” Lalu diapun meminta dibawakan air. Kemudian dia membasuh kemaluannya, berwudhu’ dan tayammum. Setelah itu dia pun shalat mengimami pasukan tersebut. Kemudian, mereka mulai menyergap musuh yang lengah. Setelah bertempur kira-kira satu jam, musuh merasakan kekuatan pasukan ‘Amr bin Al-’Ash. Akhirnya mereka pun lari bercerai berai. Kaum muslimin ingin mengejar mereka, namun dilarang oleh ‘Amr bin Al-’Ash.

Setelah perang usai, dan pasukan bersiap-siap kembali ke Madinah, sang panglima mengutus ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i menemui Rasulullah n untuk menyampaikan berita tentang keadaan pasukan dan kejadian yang ada selama di sana. Setibanya di Madinah, ‘Auf  menceritakan bagaimana Abu ‘Ubaidah menuruti ‘Amr, hingga akhirnya ‘Amr mengimami pasukan dan tetap menjadi panglima mereka. Diceritakannya pula bagaimana ‘Amr melarang pasukan muslimin menyalakan api unggun di tengah malam yang sangat dingin itu, dan mencegah mereka mengikuti musuh mereka, serta shalat bersama pasukan dalam keadaan junub.

Setelah ‘Amr dan pasukannya tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya bicara dan menanyakan apa-apa yang disampaikan oleh ‘Auf . ‘Amr bin Al-’Ash menjelaskan kepada beliau tentang larangannya kepada mereka mengikuti jejak musuh dan menyalakan api, dia berkata: “Saya tidak suka mereka menyalakan api, karena bisa jadi musuh akan melihat betapa sedikitnya jumlah mereka (kaum muslimin). Saya melarang mereka mengejar, karena khawatir musuh mempunyai bala bantuan yang bersembunyi di balik bukit itu, sehingga kemudian berbalik menyerang pasukan muslimin.” Dikisahkan, setelah mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah n memuji Allah atas tindakan ‘Amr ini. Kemudian beliau bertanya pula: “Hai ‘Amr, engkau shalat bersama pasukanmu dalam keadaan engkau sedang junub?” Kata ‘Amr: Sayapun menerangkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang menghalangiku untuk mandi. Saya katakan: “Sesungguhnya saya mendengar Allah Subhanahuwat’ala berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian.” (An-Nisa`: 29)

Mendengar keterangan ‘Amr, Rasulullah n tertawa dan tidak mengomentarinya. Dari kisah ini diambillah beberapa kesimpulan, antara lain: Membuktikan kefakihan ‘Amr bin Al-’Ash padahal dia baru beberapa bulan masuk Islam. Boleh berijtihad di masa Rasulullah. Di sini terdapat pula persetujuan (taqrir) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ijtihad ‘Amr. Bolehnya tayammum walaupun ada air, karena alasan (udzur) yang dibolehkan syariat, seperti dingin yang sangat berat. Bolehnya imam yang tayammum mengimami makmum yang berwudhu.

Dengan berhasilnya pasukan ini memukul mundur musuh, menjadi amanlah kedaulatan Islam terutama dari serangan musuh yang ada di sebelah utara (Syam). Islampun semakin menyebarkan dakwahnya ke beberapa wilayah Arab lainnya. Terlebih dengan terikatnya Quraisy serta para sekutunya dengan perjanjian Hudaibiyah, maka kaum muslimin aman dari gangguan dan tekanan mereka dalam berdakwah dan beribadah. Walaupun itu hanya sementara, karena beberapa waktu kemudian, pihak Quraisy menodai kesepakatan yang mereka buat dengan Rasulullah n, hingga meletuslah peristiwa Fathu Makkah.

Bani Qudha’ah termasuk kerabat ‘Amr. Banu Bila adalah khali (paman dari pihak ibu) Al-‘Ash bin Wail. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya ke daerah ini untuk melunakkan mereka. 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...