KISAH
ARYA PANANGSANG
Orientasi
Arya Penangsang
atau Arya Jipang atau Ji Pang Kang[1] adalah Raja Adipati Jipang yang memerintah pada pertengahan abad ke-15.
Pengikutnya melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto sebagai balas dendam karena Sunan
Prawoto telah membunuh P. Surowiyoto (Sekar), Bapak dari P. Arya Penangsang
demi menaikkan Trenggana (Bapak Sunan Prawoto) menjadi Raja Demak ke 3. Arya
Penangsang lalu menjadi raja Demak
ke 5 atau Penguasa terakhir Kerajaan Demak dan memindahkan pusat Pemerintahan
nya ke Jipang, sehingga pada masa itu dikenal dengan sebutan Demak jipang.
Namun pada tahun 1554 Arya penangsang tewas dibunuh Pasukan pemberontak
kiriman Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang
tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa
Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat
Kanda.
Arya
Penangsang juga terkenal sakti mandraguna serta memiliki kepribadian yang tegas
dan kukuh, baginya tidak ada kata kompromi dalam membela dan mempertahankan
kebenaran. Sifat yang demikian ternyata telah membuat gerah banyak pihak,
alhasil entah siapa yang mengomandoi para generasi penulis sejarah ini sehingga
secara keroyokan telah menghakimi sejarah P. Arya Penangsang. Disebutkan dalam
tulisan sejarahnya bahwa Arya Penangsang adalah orang yang punya kepribadian
kurang baik, pemberontak dan pembunuh, tempramental serta kurang sabar dalam
melakukan sesuatu. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki adik yang bernama Arya Mataram.
Silsilah
Menurut
Serat Kanda, Ayah dari Arya
Penangsang adalah Surowiyoto atau Raden Kikin atau sering disebut juga sebagai Pangeran
Sekar, ia adalah
putra Raden
Patah raja Demak
pertama. Ibu Raden Kikin adalah putri Raja Jipang sehingga ia bisa mewarisi
kedudukan kakeknya. selain Raden kikn ,Raja Demak Raden Patah juga memiliki dua
putra lagi yaitu Adipati Unus (putra pertama ) dan Raden Trenggono. Pada tahun
1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran
Sabrang Lor,
melakukan penyerangan ke Malaka yang saat itu wilayah ini dikuasai Portugis) Ia
gugur dalam perang itu. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana
saling berebut takhta .
Raden
Kikin memiliki 2 orang putra yang
bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram, sedangkan Raden Trenggana memiliki putra pertama bernama Raden Mukmin atau
yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto . Raden Mukmin membunuh pamannya yang
bernama Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sebuah sungai dengan
menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak saat itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen
("Bunga yang gugur di sungai").
Sepeninggal
Raden kikin Arya Penangsang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati
Jipang. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili
Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang
terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang sendiri saat ini terletak di Kecamatan
Cepu, Kabupaten Blora,
Jawa Tengah. Raden Trenggana naik takhta Kerajaan Demak sejak tahun 1521. Pemerintahannya
berakhir saat ia gugur di Panarukan,
Situbondo tahun
1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai raja keempat bergelar Sunan Prawoto.
Pada
tahun 1549 Arya Penangsang membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan
bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober.
Rangkud sendiri tewas saling bunuh dengan korbannya itu. Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia
datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun
jawaban Sunan
Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma,pernyataan
sunan ini membuat Ratu
Kalinyamat kecewa. Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu
anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya,
yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh. Arya Penangsang kemudian mengirim empat
orang utusan untuk membunuh Hadiwijaya , menantu Raden Trenggana yang
menjadi Adipati Pajang, namun ke empat utusan itu dapat
dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat
bahkan di beri hadiah pakaian Prajurit oleh Hadiwijaya.
Kemudian
Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai
Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus, pada kesempatan itu sunan kudus
memberikan tuah rajah yang sedianya disiapkan untuk tempat duduk Hadiwijaya,
akan tetapi atas nasihat dari salah satu punggawanya adipati Pajang Hadiwijaya
tidak menempatinya yang lalu diduduki oleh Arya Penangsang, padahal sebelumnya
telah di wanti-wanti oleh sunan kudus agar tidak menempati tempat yang telah di
beri Tuah rajah Kalacakra itu. Setelah Hadiwijaya pulang Sunan Kudus menyuruh
Arya Penangsang melakukan puasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah
Kalacakra.
Sayembara
Dalam
perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Adipati Pajang Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera membunuh Arya
Penangsang, dirinya yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak
dan Jepara jika Hadiwijaya menang. Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang
secara langsung karena merasa dirinya hanya sebagai mantu keluarga Demak.
Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang
tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati
dan Mataram.
Kedua
kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki
Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi mendaftar sayembara itu.demikian juga putra kandung ki ageng
pemanahan yang bernama Sutawijaya ikut pula mendaftar dalam sayembara. Oleh
karenanya Hadiwijaya mengerahkan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered,
untuk membantu Ki
Ageng Pemanahan dan
putra kandung nya, yaitu Sutawijaya untuk mengalahkan Sultan
Demak 5 Arya
penangsang .
Kematian
Ketika
pasukan Pajang datang menyerang Kotaraja Jipang,
saat itu P. Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya
berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan
emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara
kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi.
Meskipun sudah disabarkan adik Arya Penangsang ( Arya Mataram), Penangsang tetap berangkat ke
medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak
Rimang.
Kuda
Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda
betina, melompati bengawan. Perang antara Pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat
Bengawan Sore. dalam perang itu perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai
Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian kesaktian yang
dimiliki oleh Arya Penangsang membuatnya tetap bertahan. Ususnya yang terburai
dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang. Arya Penangsang
berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober
untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang malah
terpotong sehingga menyebabkan kematiannya. Dalam pertempuran itu Ki Matahun,
patih Jipang tewas pula, sedangkan Arya Mataram berhasil meloloskan diri.
Dampak Budaya
Tapi
bagi masyarakat sekitar Cepu entah itu yang berada di Kabupaten Blora maupun
Kabupaten Bojonegoro berpendapat lain. Untaian bunga melati pada keris
pengantin pria Jawa diibaratkan sebagai lambang kegagahan Arya Penangsang.
Meskipun telah terburai isi perutnya, namun Arya Penangsang tetap masih mampu
tegap berdiri hingga titik darah penghabisan. Dari perlambang itu, diharapkan
sang pengantin laki-laki kelak bisa menjaga kemakmuran, kebahagiaan, keutuhan
dan kehormatan rumah tangga meski dalam keadaan kritis seperti apa pun. Seperti
halnya Arya Penangsang yang tetap memegang prinsip hingga ajal tiba.
Pencetus Membunuh Arya Panangsang
Kyai Juru Martani (lahir: ? - wafat: Mataram, 1615)
adalah tokoh cerdik yang menjabat sebagai patih
pertama dalam sejarah Kesultanan
Mataram, bergelar Kyai
Adipati Mandaraka.
Silsilah Ki Juru
Martani
Ki Juru Martani / Kyai Adipati Mandaraka posisinya begitu sentral dalam
"Dinasty Mataram", baik sebagai perintis Mataram, sebagai anggota
keluarga besar keturunan Brawijaya, sebagai tokoh agama maupun sebagai
Penasehat Panembahan Senopati. Oleh karena itu kiranya perlu ada kajian khusus
mengenai keberadaannya. Ada beberapa versi mengenai asal-usul Ki Juru Martani,
diantaranya adalah Ki Juru Martani adalah putra Ki Ageng Saba atau Ki
Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul, putra Sunan Giri anggota Walisanga pendiri Giri Kedaton. Ibunya adalah putri dari Ki Ageng Sela, yang masih keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Juru Martani
memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki
Ageng Pamanahan,
putra Ki Ageng Ngenis, putra Ki Ageng Sela.
Dengan
demikian, Ki
Ageng Pemanahan
adalah adik sepupu sekaligus ipar Juru Martani. Juru Martani memiliki beberapa
orang anak yang menjadi bangsawan pada zaman Kesultanan
Mataram, antara
lain Pangeran Mandura dan Pangeran Juru Kiting. Pangeran Mandura berputra Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta. Mandurareja pernah mencoba berkhianat pada
pemerintahan Sultan
Agung tetapi batal.
Ia kemudian ikut menyerang Batavia yahun 1628
dan dihukum mati di sana bersama para panglima lainnya karena kekalahannya.
Sementara itu Upasanta diangkat menjadi bupati Batang. Putrinya dinikahi Sultan Agung sebagai selir,
yang kemudian melahirkan Amangkurat I.
Peran Ki Juru Martani
Nama
Juru Martani muncul dalam Babad
Tanah Jawi sebagai
tokoh yang mendesak Ki
Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi agar berani mengikuti sayembara menumpas Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah bupati Jipang Panolan yang
telah membunuh Sunan
Prawoto raja Demak
tahun 1549. Sayembara diadakan oleh Hadiwijaya bupati Pajang dengan hadiah, tanah Pati
dan Mataram. Ki
Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi semula tidak berani mengikuti sayembara karena takut pada kesaktian Arya Penangsang. Setelah Ki Juru Martani berjanji
menjadi pengatur strategi, maka keduanya pun berangkat mendaftar.
Ki Juru Martani sebagai Perintis
Kesultanan Mataram
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di
Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya
Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng
Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia
menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis,
Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan
bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid
Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh
keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama
Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru
Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram".
Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap
terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh
lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur
Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang
keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang
nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede,
Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki
kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap
sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
Ø
Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan
ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah
dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang
memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
Ø
Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan
Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung
kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah
dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu
pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan
islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga
sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak
Masjid, Surau dan Pesantren;
Ø
Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi"
yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para
Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara
sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan
kerajaan.
Ø
Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi
Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari
"Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan
Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan
Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
Strategi
untuk Membunuh Arya Penangsang
Strategi
untuk mengalahkan adipati Jipang disusun rapi oleh Juru Martani. Mula-mula Ki
Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi mendaftar sayembara sambil membawa serta Sutawijaya (putra kandung Ki
Ageng Pemanahan). Hadiwijaya merasa tidak tega karena Sutawijaya telah menjadi anak angkatnya. Maka,
ia pun memberikan pasukan Pajang untuk mengawal Sutawijaya. Pasukan Ki
Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi yang terdiri atas gabungan orang Pajang dan Sela berangkat dan menunggu di
sebelah barat Sungai Bengawan Sore. Juru Martani melarang mereka menyeberang
karena sungai tersebut sudah dimantrai oleh Sunan Kudus, guru Arya Penangsang.
Juru
Martani kemudian menangkap tukang kuda musuh yang sedang mencari rumput.
Telinga orang itu dipotong dan ditempeli surat tantangan atas nama Hadiwijaya.
Si
tukang kuda pulang ke kadipaten Jipang melapor pada majikannya. Arya Penangsang marah melihat pembantunya dilukai,
apalagi terdapat surat tantangan agar Arya Penangsang bertarung tanpa kawan melawan Hadiwijaya di tepi Sungai Bengawan Solo. Arya Penangsang tidak kuasa menahan emosi. Ia pun
berangkat melayani tantangan musuh. Siasat Juru Martani berhasil. Apabila surat
tantangan dibuat atas nama Ki
Ageng Pemanahan
atau Ki Panjawi, pasti Arya Penangsang tidak sudi berangkat.
Arya Penangsang tiba di tepi timur Bengawan Sore
berteriak-teriak menantang Hadiwijaya. Ia tidak berani menyeberang karena
ingat pesan Sunan
Kudus. Namun Juru
Martani sudah menyusun rencana jitu. Sutawijaya disuruh naik kuda betina yang sudah
dipotong ekornya. Akibatnya, kuda jantan
milik Arya
Penangsang yang
bernama Gagak Rimang bisa melihat alat vital si kuda betina. Kuda tersebut
menjadi liar dan tidak terkendali sehingga membawa Arya Penangsang menyeberangi sungai mengejar kuda
milik Sutawijaya. Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya segera menusuk perutnya menggunakan
tombak Kyai Plered. Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun
ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya.
Arya Penangsang yang sudah terluka parah masih bisa
meringkus Sutawijaya. Sutawijaya dicekik sampai tidak berdaya. Juru
Martani meneriaki Arya
Penangsang agar
bertarung secara adil. Karena Sutawijaya bersenjata tombak pusaka Kyai
Plered, maka ia juga harus memakai pusaka jika ingin membunuh Sutawijaya. Maka, Arya Penangsang pun mencabut keris pusaka Kyai
Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di
pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Arya Penangsang pun menemui kematiannya. Pasukan Jipang dipimpin Patih Matahun datang
menyusul majikan mereka. Melihat Arya Penangsang tewas, mereka pun menyerbu untuk
bela pati. Kesemuanya itu dapat ditumpas oleh Ki
Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi. Sayembara telah usai. Ki Juru Martani menyusun laporan palsu bahwa,
Arya
Penangsang mati
dikeroyok Ki
Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi. Apabila Hadiwijaya di Pajang mengetahui kalau pembunuh
sebenarnya adalah Sutawijaya, tentu ia akan lupa memberi hadiah
tanah Mataram dan Pati,
mengingat Sutawijaya adalah anak angkat Hadiwijaya.
Ki
Juru Martani Sebagai Penasihat Sutawijaya
Setelah
mengalahkan Arya Penangsang tahun 1549, Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak
tahun 1556. Ki Juru Martani ikut bergabung di desa itu. Ki Ageng Pemanahan meninggal tahun 1575,
digantikan Sutawijaya,
yang berambisi menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ki Juru Martani menjadi
penasihat Sutawijaya.
Ia juga mendukung perjuangan Sutawijaya selama masih berada pada jalan yang benar. Juru
Martani pun berangkat bertapa ke puncak Gunung
Merapi meminta bantuan penguasa di sana. Hasilnya, ketika terjadi perang
melawan Pajang
tahun 1582, Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan memuntahkan
laharnya menyapu pasukan Sultan
Hadiwijaya.
Kesaktian
Ki Juru Martani
Juru
Martani tidak hanya dikisahkan cerdik, tetapi juga memiliki kesaktian tinggi,
meskipun tidak pernah diceritakan bertarung melawan musuh. Babad
Tanah Jawi mengisahkan, Sutawijaya memiliki putra sulung bernama Raden Rangga yang
suka memamerkan kesaktiannya. Suatu hari Raden Rangga disuruh pergi ke rumah
Juru Martani untuk berguru. Pemuda itu pun berangkat dengan setengah hati
karena merasa lebih kuat daripada Juru Martani.
Sesampainya
di tujuan, Juru Martani sedang salat. Raden Rangga menunggu di teras mushala sambil
iseng melubangi batu lantai menggunakan jari. Juru Martani muncul dari dalam
dan mengatakan kalau batu mushala tersebut keras jadi jangan buat mainan.
Seketika itu juga, Raden Rangga tidak mampu lagi melubangi batu mushala dengan
jarinya. Sejak itu, Raden Rangga berguru pada Juru Martani dengan sepenuh hati
karena ia yakin kalau orang tua yang dianggapnya lemah dan tidak pernah
bertarung itu ternyata menyimpan kesaktian yang luar biasa.
Akhir
Hayat Ki Juru Martani
Ki
Juru Martani menjabat sebagai patih Kesultanan Mataram sejak pemerintahan Sutawijaya
tahun 1586-1601. Dilanjutkan pemerintahan Mas Jolang
putra Sutawijaya
yang memerintah tahun 1601-1613. Lalu digantikan oleh Adipati
Martapura putra Mas Jolang yang menjadi raja satu hari, dan dilanjutkan Sultan
Agung putra Mas Jolang lainnya yang naik takhta sejak tahun 1613.
Kyai
Juru Martani alias Adipati Mandaraka meninggal dunia pada tahun 1615. Kedudukannya
sebagai patih Mataram kemudian
digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Dengan demikian, Juru Martani mengabdi di
Mataram dalam
waktu yang sangat lama, yaitu ikut membuka Alas
Mentaok menjadi desa Mataram, sampai awal pemerintahan Sultan
Agung, cicit Ki Ageng Pemanahan.
Sultan
Agung memerintah sampai tahun 1645 kemudian digantikan oleh putranya, bergelar Amangkurat
I yang lahir dari permaisuri keturunan Ki Juru Martani.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar