Selasa, 30 Oktober 2018

KISAH KERAJAAN TEMBONG AGUNG


KISAH KERAJAAN TEMBONG AGUNG

Orientasi
Cipaku Darmaraja - Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih 696 - 721 M.

Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 – 732 M) dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya. Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan. Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Manarah dan Ki Balangantrang /Aria Bimaraksa pesiun sebagai patih Galuh.

Prabu Guru Adji Putih
Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M . Dalam Kitab Waruga Jagat bahwa Prabu Guru Aji Putih merupakan putra dari Ratu Komara keturunan Baginda Syah, putra Nabi Nuh yang ke-10 dari permaisurinya ke dua. Dalam kisah putra Nabi Nuh, ditemukan nama pada waktu kecil bernama Baginda Syah, kemudian beliau mempunyai putra Baginda Asram, beliau berputra Babar Buana, menurunkan putra Maha Patih, berputra Arga Larang, apuputra Bandul Gantangan, apuputra Sayar, apuputra Radjakana, apuputra Prabu Komara menurunkan putra :
1.    Prabu Permana
2.    Prabu Guru Adji Putih

Sejak kecil beliau tidak pernah mengenyam keindahan istana, karena tinggal di Karesian, sehari-hari mendapat tempaan budi pekerti, olahan batin dan ilmu keagamaan. Setelah tumbuh dewasa kira-kira berusia 20 tahun, diperintah olah ayahnya bernama Prabu Komara agar mengamalkan ilmunya, maka sejak dari itu Prabu Guru Adji Putih mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Bagala Asih Panyipuhan dengan melintasi Gunung Simpay, Mandalasakti, Gunung Penuh, Sawalangsungsang, kaki Gunung Sanghiyang, kemudian tiba di sebuah dusun kecil bernama Kampung Muara yang tidak jauh dari kali Cimanuk.

Pada awalnya Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan/Agama Sunda (Sunda = Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu tunggal. Agama Sunda sudah dianut oleh masyarakat Sunda kuna sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 – 168 ). Agama Sunda/Sunda wiwitan menganut faham Monotheisme (satu tuhan) seperti digambarkan dalam Pantun Bogor : "Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana".

Dalam Sahadat Pajajaran bahwa inti ajaran Agama Sunda hampir mirip dengan Surat Al Ikhlas. Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Pada hakekatnya ajaran Agama Sunda mengajarkan "Orang Sunda kudu Nyunda". Disitulah beliau mulai mengamalkan ilmunya dengan merekrut tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Kerajaan yang didirikan sederhana belum mendapat dukungan atau pengakuan dari seluruh rakyatnya, oleh karena sarana atau keperluan kerajaan belum terpenuhi. Dalam perkembangannya meminta bantuan kepada Raja Galuh sehingga terjadilah hubungan erat, selanjutnya menghantarkan pertemuan dengan putri Galuh bernama Nyi Mas Dewi Nawangwulan yang bergelar Ronggeng Sadunya. Setelah melangsungkan pernikahan, Nyi Mas Dewi Nawangwulan diboyong ke Istana Kerajaan Tembong Agung (Tembong = tampak, Agung = tinggi), ungkapan cita-cita bahwa kelak akan menjadi kerajaan yang besar dan berdaulat.

Perkawinan dengan Nyi Mas Dewi Nawangwulan melahirkan putra mahkota :
1. Prabu Tadjimalela (diperkirakan lahir + tahun 700 M)
2. Prabu Sokawayana
3. Prabu Harisdarma
4. Prabu Langlang Buana

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan merupakan putera dari Sempakwaja.

Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi resi. Setelah putra mahkota tumbuh dewasa, Prabu Guru Adji Putih turun tahta selanjutnya menobatkan putra sulungnya Prabu Tadjimalela pada saat terang bulan tahun Saka atau pada tahun 721 – 778 M. Sedangkan Prabu Sokawayana mendapat perintah untuk memperluas wilayah kekuasaan ke kawasan Gunung Tampomas maka beliau mendirikan Medang Kahiyangan.

Prabu Harisdarma mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke kawasan Garut di sekitar kaki Gunung Haruman, beliaulah yang menurunkan para menak di kawasan Garut. Putra bungsu atau Prabu Langlang Buana mengadakan perluasan wilayah ke kawasan Barat disekitar kaki Gunung Manglayang atau daerah Sukapura (Bandung). Prabu Guru Adji Putih yang bertahta dari tahun 696 - 721 M, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada putranya menjadi Resi, dengan mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Cipeueut. Kemudian menetap di daerah tersebut, selanjutnya mengembangkan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan yang telah dirintis oleh Sanghyang Resi Agung (pada abad ke-7).

Kesibukan mengajar para catriknya, tak menjadi perintang dalam mengembangkan niaganya. Beliau dikenal sebagai saudagar rempah-rempah yang mempunyai hubungan dengan Kerajaan Sunda Galuh. Pada abad itu pula tersiar kabar bahwa para saudagar dari Srilangka mendarat di pantai selatan pulau Jawa, kemudian menetap di kota-kota kecil seperti Garut dan Cirebon. Saudagar tersebut mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Islam yang telah disebut-sebut dalam wangsit leluhurnya.

Kedatangan mereka mendorong Prabu Guru Adji Putih melakukan pengkajian wangsit-wangsit leluhurnya (amanah), diantaranya : “Hiji waktu jalan kaarifan baris molongpong ti panto Mekah nepi ka Pulo Tutung (Afrika), jalma antay-antayan neangan kaarifan, tapi maranehna teu nyaho nu disebut arif”. Artinya : “Suatu saat jalan kaarifan akan membujur dari pintu Mekah sampai ke Pulau Hitam (Afrika), mereka berbondong-bondong mencari kearifan, tetapi mereka tidak tahu apa yang disebut arif”.

Wangsit itu mendorong untuk membuka hubungan niaga dengan saudagar rempah-rempah dari Teluk Persia yang menetap di Cirebon Girang. Hubungan kerjasama niaga menghantarkan Prabu Guru Adji Putih berlayar menuju negeri Mekah, dengan tujuan mengembangkan niaga. Di Kota Mekah bertemu dengan Syekh Ali keturunan Pangeran Baghdad. Sejak itulah Prabu Guru Adji Putih mulai mengenal ajaran Islam, bahkan secara ikhlas masuk agama Islam. Kemudian sepulangnya dari Mekah, diperintahkan agar mendirikan tempat wudhu tujuh muara, setelah itu diharuskan mendirikan Mesjid Jami (Rumah Allah). Setibanya di tanah air, beliau mendirikan tempat wudhu tujuh muara, dikenal dengan nama-nama yang menggunakan bahasa ibunya, seperti : (1) Cikahuripan, (2) Cikajayaan, (3) Cikawedukan, (4) Cikatimbulan, (5) Cisundajaya, (6) Cimaraja, (7) Cilemahtama.

1.    Cikahuripan
Maknanya adalah barangsiapa yang berwudhu di situ, maka akan memperoleh kemulyaan hidup, ditemukan di sekitar kaki Gunun Lingga kawasan Desa Cimarga Kecamatan Darmaraja.
2. Cikajayaan
Maknanya adalah simbol dari keinginan, barang siapa yang berwudhu disitu, akan memperoleh keunggulan (kejayaan) termasuk disegani dan awet muda. Ditemukan di kawasan Paniis kampong Cieunteung Desa Sukanagara Kecamatan Darmaraja.
3. Cikawedukan
Maknanya barang siapa yang berwudhu dan mandi disitu, dilandasi keyakinan, akan memperoleh kekuatan lahir batin, atau tidak akan tembus senjata tajam.
4. Cikatimbulan
Maknanya adalah barang siapa yang melakukan ma’rifat. Kemudian berwudhu dan mandi disitu maka akan mampu menghilang (halimunan) atau dapat tembus pandang, timbul tenggelam adalah khasiat yang sangat utama.
5. Cisundajaya
Maknanya adalah barang siapa yang meyakini ilmu-ilmu leluhur Sunda, kemudian berwudhu dan mandi disitu, akan memperkuat kejayaan Kisunda. Sunda dalam pandangan Prabu Guru Adji Putih, (Sun = bagus, Da = Dawa artinya panjang, terbagus dan terpanjang dalam rentang kejayaan).
6. Cimaraja
Maknanya adalah barang siapa yang mempelajari ilmu kepemimpinan, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan memperoleh kharisma dalam memimpin rakyat. Raja adalah pemimpin utama yang menentukan arah kehidupan rakyatnya.
7. Cilemahtama
Maknanya barang siapa yang menderita penyakit lahir maupun batin, kemudian mandi dan berwudhu di situ, akan disembuhkan dari bencana penyakit. Situs tersebut ditemukan di Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan.
8. Darmaraja.
Setelah menyelesaikan tempat-tempat wudhu tersebut, Prabu Guru Adji Putih berniat mendirikan Mesjid Jami, dengan memilih tempat di kawasan Nagrog yang terletak di kaki Gunung Lingga. Akan tetapi rencana tersebut gagal karena tidak mendapat dukungan dari rakyat. Sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan Gunung Masigid. Selanjutnya beliau kembali ke Keresian Bagala Asih Panyipuhan, bahkan lebih memusatkan kepada syiar agama, dengan memanfaatkan pendekatan adat tradisi budaya, kesenian dan pendekatan sosial kemasyarakatan.

Pandangan-pandangan Budaya
Prabu Guru Adji Putih setelah pergi ke Mekah dinobatkan sebagai Haji Darmaraja atau disebut Haji Purwa Sumedang (sosok yang pertama kali gelar haji di Darmaraja atau Sumedang), dengan gelar Prabu Guru Haji Adji Putih. Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji.

Selain Resi yang cukup dikenal, juga sebagai ahli fikir/tarekat yang merangkai pandangan-pandangan budaya yang mengunakan landasan Islam. Beliau menciptakan Syahadat dan ilmu Kacipakuan, artinya Pengakuan atau Ikrar kesaksian terhadap leluhurnya, yang berbunyi :  “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula”. Kemudian disempurnakan oleh anak cucunya menjadi “Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Prabu Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Eyang Haji Darmaraja, maring Ingsun”. Artinya: "Getaran jiwa menciptakan perasaan, getaran perasaan menjembatani jasad, dzat (ruh) untuk mengetahui diri sendiri, dekatlah dengan Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Haji Darmaraja, masuklah ke dalam jiwaku.
Selanjutnya disempurnakan lagi oleh anak cucunya : "Sir budi cipta rasa, sir rasa papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Purbawisesa, Terah wisesa, ratu galuh, galih kula aji putih, ngamupuk aji putih, ngabanyu aji putih, ngaraga sukma tembong aji sajati agung, sajatining diri tembong agung, marifat jati keursaning Allah. La ilaha illallah, Muhammaddarosullullah".  (Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati/ Nurani, penyaksian terhadap (Adam & Nabi syits), keturunan Syits dan Ratu Galuh (ketunanan nabi nuh), didalam saya ilmu putih, menggunakan ilmu putih...dst).

Selain itu beliau menciptakan simbol alif yang dinukilkan kedalam bentuk pusara atau batu nisan (tunggul kuburan), menunjukkan bahwa Tuhan itu satu. Jika alif dijabar bunyinya a, artinya akal, jika alif dijeer bunyinya i artinya iman, jika dipees artinya u artinya usaha. Tiga unsur itulah merupakan sumber kekuatan hidup. “Akal hade, usaha getol lamun teu iman, rea jalma beunghar tapi dunyana (pakaya) teu mangfaat. Iman hade, akal hebat tapi embung usaha hirupna ngayuni tatangkalan. Usaha hade, iman hade, tapi teu boga akal, rea jalma pinter kabalinger, temahna nyempitkeun ilmu agama”. Menjelang akhir hayatnya, beliau melakukan marifat di Cipeueut (menyempurnakan ilmunya) hingga meninggal dunia.

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di di Pajaratan Landeuh Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Eyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya.

========
Catatan :
 Jikalau kita lihat wangsit leluhurnya sebelum prabu aji putih menjadi menjadi resi islam kita bisa lihat dalam kitab hindu berikut ini :
 -   Manu (Nuh) sebagai nabi juga memiliki hukum, yang oleh umat Hindhu disebut Manusmriti (Law of Manu). Dalam Atharvaveda Book 20 Hymn 127 verses 1-13 dikatakan tentang datangnya nabi Muhammad, mengatakan: “Dia adalah Resi yang naik Onta.
-    Tidak mungkin itu orang India karena Reshi India (Brahman) tidak boleh naik Onta berdasarkan “Sacred Book of the east”, Volume 25, Law of Manu page 472. Menurut Manu Smirti Bab 11 ayat 202 “Seorang Brahman dilarang menaiki Onta atau Keledai.

Prabu Tadjimalela
Prabu Tadjimalela naik tahta pada tahun 721 – 778 M, dengan batas wilayah kekuasaan meliputi sepanjanng kali Cimanuk yang membujur dari selatan ke utara. Batas wilayah tersebut berdasarkan pengakuan yang berpijak di atas landasan teori perkiraan. Di awal pemerintahannya, mengganti nama Kerajaan Tembong Agung menjadi Kerajaan Hibar Buana yang memuat tentang angan-angan atau suatu cita-cita. Hibar = temaran cahaya, Buana = alam, menyimbolkan keinginan bahwa satu saat kerajaan tersebut akan menjadi kerajaan besar.

Pada saat sedang menata kerajaan, muncul pemberontakan di kawasan kaki Gunung Tjakrabuana, dipimpin oleh Gagak Sangkur yang didukung oleh wadya balad Talaga. Tujuannya ingin menghancurkan kekuasaan Prabu Tadjimalela. Kemudian Prabu Tadjimalela membawa pasukan ke kawasan tersebut, terjadi pertempuran di kawasan kaki Gunung Tjakrabuana lalu melebar ke daerah Malangbong dan Limbangan Garut. Pasukan Gagak Sangkur dapat dipukul mundur, lalu ditangkap. Sewaktu akan diadili, ia menyerah atau tunduk, bahkan bersedia untuk mengabdi kepada Prabu Tadjimalela. Selanjutnya diangkat sebagai Patih Agung. Berkat dukungan Patih Gagak Sangkur, Prabu Tadjimalela berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke wilayah selatan, sejak itulah Limbangan dan Malangbong Garut berada dalam kekuasaan Prabu Tadjimalela.

Satu saat beliau melakukan tafakur tujuannya untuk memperoleh petunjuk dan kekuatan dari khaliqnya, dengan harapan Kerajaan menjadi besar. Bisikan gaib mendorong beliau untuk meninggalkan Istana Kaprabon, kemudian melakukan tafakur di sebuah bukit Sangkanjaya yang terletak di deretan Gunung Sanghiyang. Saat melakukan tafakur beliau melihat tebaran cahaya yang menyilaukan, laihrlah sebuah ungkapan “Ingsun medangan” kira-kira aku melihat cahaya di tempat yang mulia. Dari ucapan tersebut berkembang menjadi nama sebuah Kerajaan, yaitu Kerajaan Sumedanglarang. Su dari perkataan insun = aku, medang = cahaya, larang = suatu tempat yang penuh dengan pantangan dan tantangan atau tempat yang mulia. Sejak itulah Kerajaan Sumedanglarang dikenal ke pelosok kota Sunda Galuh.

Prabu Tadjimalela (Tadji = tajam, malela = selendang) mengakhiri masa kesendiriannya dengan menikahi Nyi Mas Putri Galuh Pakuan, melalhirkan putra-putra mahkota :
1.    Prabu Lembu Agung
2.    Prabu Gajah Agung
3.    Sunan Ulun

Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung lahir secara bersamaan atau kembar. Setelah putranya dewasa, ada tanda-tanda Prabu Tadjimalela untuk meletakkan kekuasaan. Akan tetapi sadar bahwa kedua putra yang kembar itu sama-sama mempunyai hak memangku tahta nobat. Untuk menentukan pilihan, Prabu Tadjimalela membuat simbol yang memuat tuntuan moral yang melandasi kearifan. Maka kedua putranya diperintahkan agar melakukan tapa brata denganj simbol kelapa muda (duwegan). Barang siapa kelapa muda yang ditafakurinya tidak berair, maka tidak berhak menjadi raja. Keputusan itu disepakati oleh kedua putranya, kemudian mereka pergi meninggalkan istana Sumedanglarang. Selama empat puluh hari empat puluh malam melakukan kegiatan perenungan atau mengembarakan batiniahnya kea lam dimensi luar. Setelah selesai semedi, sama-sama mengupas kelapanya, namun kelapa muda milik Prabu Lembu Agung tak ada airnya. Ia menyadari bahwa dirinya tidak berhak menjadi raja, maka mendukung adik kembarnya sebagai calon Raja Sumedanglarang.

Prabu Gajah Agung tidak menerima begitu saja atau menolak terhadap keputusan kakak kembarnya, karena tidak mempunyai niat mengubah tradisi penyerahan Tahta Kerajaan, putra sulung yang berhak meneruskan kekuasaan ayahnya. Selain itu ajaran budaya Kasumedangan melandasi pandangan “Kasaluhureun ngahormat, kasahandapeun ngarahmat”. Hal itu pulalah yang melandasi pendapat adik kembarnya. Namun perdebatan bertambah seru. Masing-masing mempunyai pendapat, Prabu Lembu Agung beralasan harus patuh terhadap perintah ayahnya. Akhirnya perdebatan diakhiri pertarungan seru, akan tetapi tidak ada tanda-tanda yang mengalah.

Prabu Tadjimalela peka menyimak gelagat buruk yang terjadi, kemudian memanggil putranya yang sedang bertarung, baru pertarungan berhenti. Tadjimalela menasehati agar perbedaan pendapat tak diselesaikan dengan kekuatan fisik. Prabu Lembu Agung beralasan bahwa pertarungan tersebut membela amanat orang tua “Ciduh indung matak metu, reuhak bapa matak teurak, nuking nonggong ka indung bapa, waruga kabalur ku dosa” demikian juga Prabu Gajah Agung mempunyai alasan bahwa pertarungan itu hanya untuk membela hak kakaknya, karena saudara yang lebih dulu lahir ke dunia harus dihormati dan dijaga hak-haknya.

Prabu Tadjimalela memahami pendapat kedua putranya yang berbeda, tetapi maknanya sama-sama mengusahakan kebaikan. Kemudian menasehati bahwa kearifan penuntun kebenaran sejati, juga ibarat cahaya yang muncul dengan seketika, lalu menerangi seluruh alam pikiran manusia “Ngayuh kasampurnaan hurip bawa kasalna, ngudi sajatining becik” artinya: Mencapai kesempurnaan hidup, akan selalu mengusahakan kebenaran dan kebaikan sejati. Setelah memberi nasehat, beliau memutuskan bahwa Prabu Lembu Agung sebagai calon raja. Lembu Agung bersedia tetapi hanya sekedar raja, sebab yang berhak memegang tahta kerajaan adalah adiknya. Maka Prabu Lembu Agung diangkat jadi raja pada saat terang bulan Tahun Saka. Setelah Prabu Tadjimalela turun tahta, beliau menjadi resi kemudian mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Gunung Lingga, disitu melakukan marifat dalam upaya meyempurnakan ilmunya. Selama jadi Resi, banyak menciptakan pandangan-pandangan budaya yang disebut budaya Kasumedangan atau dalam istilah lain Ilmu Kasumedangan.

Cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedang Larang berawal dari kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Pernikahan Prabu Guru Aji Putih dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Ketika Batara Kusuma sedang bertapa, terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma berucap " In(g)sun Medal In(g)sun Madangan" (In(g)sun artinya "saya", Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya "Aku lahir untuk memberikan penerangan" dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, sedangkan kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai "tanah luas yang jarang bandingnya" (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya), sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai Tajimalela dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.

Prabu Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung (778 – 893 M) kemudian digantikan oleh Prabu Gajah Agung (893 – 998 M) sebagai raja Sumedang Larang ketiga dan mulai dari sini pusat pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan.

Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat.  Setelah wafatnya Prabu Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237 M) sebagai raja Sumedang Larang kelima mempunyai tiga putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat.  Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 M) sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan memiliki tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya Dewata.

Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M). Pada masa Ratu Sintawati / Nyai Mas Patuakan agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan.

Putra Pangeran Palakaran / Muhammad yaitu Rd. Solih atau Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum putri Nyi Mas Patuakan, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I. Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru.

Hasil pernikahan Ratu Pucuk Umum dengan Pangeran Santri mempunyai seorang putra bernama Pangeran Angkawijaya kelak bergelar Prabu Geusan Ulun . Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang. Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum'at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang pada waktu itu dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran "Sirna ing bumi" Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten

Yang akhirnya Sumedang mewarisi wilayah bekas wilayah Padjajaran dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat. sehingga Prabu Geusan Ulun mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra, sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang, Ciasem, dan Pamanukan.

Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.


Reorientasi
Kerajaan Tembong Agung adalah monarki yang pernah ada dalam sejarah kerajaan Tatar Pasundan di Nusantara sekitar abad 8 sampai 14 dan merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sumedang Larang yang kemudian diberi wewenang oleh Kerajaan Pajajaran melalui pemberian mahkota Binokasih dengan perangkat kerajaan lainnya via empat maha patih atau Kandaga Lante sekitar tahun 1579 M sebagai legitimasi penerus kerajaan Sunda selanjutnya.

Sejarah
Seorang resi keturunan dari Galuh datang ke sebuah kawasan di pinggiran sungai Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang sekarang. Kehadiran Resi yang bernama Prabu Guru Aji Putih ini, membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat, yaitu telah ada dan dirintis oleh Prabu Agung Cakrabuana sejak abad ke delapan. Secara perlahan-lahan dusun-dusun sekitar pinggiran sungai Cimanuk diikat oleh struktur pemerintahan dan kemasyarakatan. hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal kerajaan Sumedang Larang di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Aji Putih berputra Prabu Tajimalela. Menurut perbandingan generasi, dalam kropak 410, Prabu Tajimalela sezaman dengan tokoh Ragamulya (1340 - 1350) penguasa Kawali dan tokoh Suradewata, Ayah Batara Gunung bitung Majalengka. Prabu Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Menurut cerita rakyat, kepemimpinan Prabu Tajimalela sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).

Pada masa kekuasaan pernah terjadi pemberontakan disekitar Gunung Cakrabuana yang dilakukan oleh Gagak Sangkur. Terjadilah perang sengit antara wadia balad Gagak Sangkur dengan Prabu Tajimalela dengan kemenangan di pihak Prabu Tajimalela dan Gagak Sangkur dapat ditaklukan. Gagak Sangkur menyatakan ingin mengabdi kepada Prabu Tajimalela. Kemudian dilantik menjadi patih. Setelah itu, untuk menyempurnakan ilmunya Prabu Tajimalela meninggalkan Keraton untuk melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dan kukatan dari Yang Gaib, yang dikiaskan dalam ungkapan : Sideku sinuku tunggal mapat pancadria, diamparan boeh rarang, lelembutan ngajorang alam awang-awang, ngungsi angkeuhan nu can katimu.

Pada saat itulah kemudian ia tiba-tiba mengucapkan kata Insun Medal Mandangan yang kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang hingga abad 21. Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh Prabu Gajah Agung, yang berkedudukan di pinggir kali Cipeles dengan gelar Prabu Pagulingan sehingga daerah tersebut saat ini dikenal sebagai nama Ciguling termasuk wilayah Kecamatan Sumedang Selatan. Prabu Pagulingan digantikan oleh putranya dengan gelar Sunan Guling. Ia berputra bernama Ratnasih alias Nyi Rajamantri diperistri oleh Sribaduga Maharaja karena itu yang menggantikan Sunan Guling adalah adik Ratu Ratnasih bernama Mertalaya sebagai penguasa ke empat Sumedang Larang yang juga bergelar Sunan Guling.

Sunan Guling digantikan putranya Tirta Kusumah yang dikenal dengan nama Sunan Patuakan. Kemudian digantikan oleh adiknya Sintawati atau lebih dikenal dengan Nyi Mas Patuakan. Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Gorenda, Raja Talaga putra Ratu Simbar Kecana dari Kusumalaya, putra Dea Biskala. Dengan demikian ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh. Sunan Gorenda mempunyai dua istri : Mayangsari Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang. Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling ini, Sunan Gorenda dikaruniai seorang putri bernama Setyasih, yang kemudian bergelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri putra Pangeran Palakaran, putra Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Perkawinan Ratu Setyasih dengan Pangeran Santri inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang.

Dari perkawinan dengan Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum atau dikenal dengan nama Ratu Intan Dewata dikaruniai 6 (enam) orang putra, salah satunya Raden Angkawijaya, yang kemudian hari bergelar Prabu Guesan Ulun. Pada 14 Syafar Tahun Jim Akhir kerajaan Padjajaran runtag (runtuh) akibat serangan laskar gabungan Islam Banten, Pangkungwati dan Angka. Runtuhnya Kerajaan Padjajaran waktu itu tidak lantas menyeret Sumedang Larang ikut runtuh pula, karena sebagai masyarakat Sumedang pada waktu itu sudah memeluk Islam. Dengan berakhirnya Kerajaan Sumedang, justru Sumedang Larang makin berkembang menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.

Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Padjajaran mengutus empat orang Kandagalante : Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot, dan Nangganan untuk menyerahkan amanat kepada Prabu Geusan Ulun, yaitu pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya menjadi penerus Kerajaan Padjajaran Mahkota dan atribut Kerajaan Padjajaran dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun yang merupakan legalitas kebesaran Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Padjajaran.

Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan pada 22 April 1578 adalah Raja Sumedang Larang terakhir, karena setelah itu Sumedang Larang berada di bawah naungan kerajaan Mataram. Pangeran Aria Suradiwangsa sebagai penerus Geusan Ulun (putra dari Ratu Harisbaya dan Panembahan Ratu)  pada tahun 1620 berangkat ke Mataram, untuk menyerahkan Sumedang Larang berada dibawah naungan Mataram. Berdasarkan Piagam Sultan Agung Mataram, daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Pajajaran yang diwariskan ke kepada Kerajaan Sumedang Larang disebut Prayangan. Dengan demikian sejak itulah Sumedang Larang terkenal dengan nama "Priangan" artinya berserah dengan hati yang suci. Kedudukan penguasa Sumedang Larang menjadi Bupati Wedana.
Cerita Tentang Tembong Agung, Kerajaan yang Jadi Nama Waduk Jatigede

Waduk Jatigede resmi digenangi hari ini, Senin (31/8/2015). Proyek raksasa yang direncanakan 50 tahun lalu itu, diusulkan diganti namanya menjadi Waduk Tembong Agung. "Usulan penggantian nama untuk menghormati kerajaan yang pernah berdiri di sini, kerajaan Tembong Agung," ujar Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan saat peresmian penggenangan waduk Jatigede dimulai.
Dari berbagai referensi yang ditelusuri, cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung pada abad ke-12. Kerajaan itu didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih pada Tahun 900 Masehi, seorang resi dari Kerajaan Galuh. Kerajaan itu berada di salah satu desa yang tergenang yaitu Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja. Arti nama kerajaan itu Tampak Luhur.

Dikisahkan nama Sumedang muncul saat Prabu Tadjimalela, anak dari Guru Aji Putih yang meneruskan kekuasaan ayahnya. Ia dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang Larang. Saat kepemimpinan Prabu Tadjimalela Tembong Agung sempat diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam. Ia kerap bertapa. Hingga suatu ketika usai bertapa, ia melihat kilatan cahaya selama beberapa malam, dan Prabu Tadjimalela berucap "Insun medal insul madangan" yang artinya "aku lahir, aku menerangi". Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandinganya.

Prabu Tadjimalela mempunyai tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. Anak pertama dan keduanya tidak ada yang mau menjadi raja, meneruskan kekuasaannya. Akhirnya sang raja pun memerintahkan kedua anaknya Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung pergi ke Gunung Nurmala, yang saat ini disebut Gunung Sangkanjaya. Hal itu merupakan ujian keduanya. Prabu Lembung Agung dan Prabu Gajah Agung harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda. Siapapun yang kalah, berarti dialah yang akan menjadi raja. Konon dikisahkan, Prabu Gajah Agung tak kuasa menahan dahaga dan akhirnya membelah kelapa muda atau dawegan. Ia diperintahkan memimpin Kerajaan Sumedang Larang, namun mencari lagi ibukota sendiri. Ia memilih Ciguling. Setelah Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Kerajaan Sumedang Larang mencapai puncak kejayaaannya di masa kepemimpinan keturunannya, Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun, abad ke-16. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Sumber : Google Wikipedia

 


KISAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN


KISAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN

Orientasi
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah ibu kota (Dayeuh dalam Bahasa Sunda Kuno) Kerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada tahun 1030-1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.

Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang menunjukkan lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut.

Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda.

Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah penggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran
Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran:
1.    Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
2.    Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
3.    Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
4.    Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
5.    Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
6.    Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang

Toponimi Pakuan dan Pajajaran
Asal usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu :
1.    Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
2.    K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
3.    G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
4.    R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
5.    H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".

Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibu kota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane).

Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran". Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.

Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.

Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.

Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibu kota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu kota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibu kota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibu kota kerajaan. Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaraan.
Penelitian Lokasi Bekas Pakuan Pajajaran

Naskah Kuno
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:

“Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
“Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".

Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.

Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".

Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis". Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
Laporan Adolf Winkler (1690)

Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kompeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut : Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.

Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.

Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuno yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.

Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.

Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.

Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.

Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.

Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah telantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.

Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
1.    Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok - Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru).
2.    Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703.
3.    Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung - Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan.

Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
1.    Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
2.    Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
3.    Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota. Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.

Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.

Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan, "Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kontradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.

Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.

Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.

Rujukan
1.    “Maharadja Cri Djajabhoepathi, Soenda’s Oudst Bekende Vorst”, TBG, 57. Batavia: BGKW, page 201-219, 1915)
2.    Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16
3.    Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, Edi S. Ekajati, Pustaka Jaya, 2005
4.    The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor, Herwig Zahorka, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007-05-20

Reorientasi
Kerajaan Pajajaran ialah nama lain dari Kerajaan suku Sunda, yang mana Kerajaan Pajajaran tersebut berada di daerah Pakuan, Kota Bogor, Jawa Barat. Kata Pakuan ini diambil dari kata Pakuwuan yang mempunyai arti kota, kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang mengatakan ibu kota seagai sebutan kerajaan.

Ada beberapa catatan yang mengatakan bahwa Kerajaan Pajajaran ini berdiri kurang lebih sekitar pada tahun 923 Masehi dan didirikan atau dibentuk oleh Sri Jayabhupati, ibarat yang tercantum didalam Prasasti Sanghyang Tapak tahun 1030 Masehi yang dijumpai di Desa Pangcalikan dan Desa Bantarmuncang, Cibadak, Sukabumi, dan pinggir Sungai Cicatih.

Asal Mula Kerajaan Pakuan Pajajaran
Di akhir tahun 1400-an Kerajaan Majapahit mulai menyurut. Pemberontakan dan kegegeran terjadi dimana – mana, masing-masing antar saudara sedarah saling berebutan kekuasaan kerajaan. Masa kejatuhan atau kerobohan kepemimpinan Brawijaya V ini yang kemudian mengakibatkan kerabat-kerabat Kerajaan Majapahit berlindung atau menyelamatkan diri ke ibukota Kerajaan Galuh di daerah Kawali, Kuningan, Jawa Barat.

Raden Baribin ialah merupakan seorang keluarga dari Prabu Kertabumi yang ikut serta dalam pemindahan atau pengungsian tersebut. Kemudian Kerajaan Galuh pun menerima dan menyambut kedatangan Kerajaan Majapahit dengan baik dan damai. Sampai-sampai Raja Dewa Niskala menikahkan Ratna Ayu Kirana putri yang berasal dari Kerajaan Galuh dengan Raden Barin yang mana Raden Barin ini ialah masih termasuk sanak famili dari Prabu Kertabumi. Pernikahan-pernikahan yang diadakan oleh Raja Galuh tidak berhenti disitu saja. Raja Galuh selain dari menikahkan Ratna Ayu Kirana putri dari raja Kerajaan Galuh dengan Raden baribin, Raja Galuh juga menikahkan kembali salah satu sanak keluarg pengungsi dari rombongan Kerajaan Majapahit.

Setelah pernikahan ini berlanjut, ternyata adanya penyelanggaraan pernikahan ini mengakibatkan terjadinya kemarahan dari Kerajaan Sunda. Kemudian Kerajaan Sunda ini menanggapi bahwa Dewa Niskala dan Raja Galuh sudah menyalah gunakan aturan-aturan yang memang telah disetujui dari kedua kerajaan tersebut. Peraturan ini ialah peraturan yang keluar semenjak terjadinya peristiwa-peristiwa Bubat yang mengatakan bahwa dari Kerajaan Sunda dilarang untuk menikah dengan Kerajaan Majapahit, nah akibat dari adanya pernikahan dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit hampirnya saja terjadinya peperangan antar kedua kerajaan tersebut. sebenarnya kedua kerajaan tersebut adalah besan. Pengucapan kata besan itu dikarenakan Jayadewata anak dari Dewa Niskala menikah dengan putri dari anak raja Kerajaan Sunda, Raja Susuktunggal.

Untungnya ketika akan terjadinya peperangan antara kedua kerajaan tersebut, dewa penasehat bisa meredam semua amarah dari kedua pihak sehingga diputuskan dua raja dari kedua kerajaan tersebut turun jabatan, Kedua raja tersebut harus menaruh posisi mereka kepada putera-putera mahkota yang akan ditunjuk oleh masing-masing kerajaan. Kemudian Dewa Niskala menunjuk anak dari Jayadewata, tidak hanya Dewa Niskala saja yang memilih anak dari Jayadewata Prabu Susuktunggal pun menunjuk dengan tunjukan yang sama persis dengan tunjukkan Dewa Niskala yaitu anak dari Jayadewata.

Lalu Jayadewata menyatukan kembali kedua kerajaan tersebut dan membawa nama Sri Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Kemudian nama Pakuan Pajajaran pun menjadi terkenal sebagai nama kerajaan

Sejarah Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran adalah salah satu kerajaan hindu yang letaknya di daerah Pulau Jawa, yakni berada di bagian Pulau Jawa bagian barat yang beribu kota di daerah Bogor. Diterangkan dari beberapa sumber yang ditangkap menerangkan bahwa Sejarah Pajajaran atau Kerajaan Pajajaran ini dibentuk pada tahun 923 Masehi.

Yang mana Kerajaan Pajajaran ini dibentuk dan didirikan oleh Sri Jayabhupati yang juga dikatakan didalam prasasti Sang Hyang Tapak di desa Banrarmuncang dan Pancilakan Sukabumi.
Didalam sejarah, Kerajaan Pajajaran ini terbentuk sesudah meninggalnya Wasta Kencana yang mana Wasta Kencana ini meninggal kurang lebih pada tahun 1475 mengikuti sejarah Kerajaan Galuh. Raja dari kerajaan ini dibagi menjadi dua bagian sesudah meninggalnya Rahyang Wastu Kencana.

Dewa Niskala dan Prabu Susuktunggal ialah merupakan dari dua bagian dari Kerajaan Galuh yang mempunyai tingkatan yang sama. Kerajaan Pajajaran yang letaknya berada di wilayah Kota Bogor dibawah dari kepemerintahan Prabu Susuktunggal dan Kerajaan Galuh yang meliputi Parahyangan yang mana Parahyangan ini bertepatan di wilayah Kawali kawasan Dewa Siskala.
Kedua raja itu tidak mendapatkan gelar Prabu Siliwangi, karena kekuasaan-kekuasaan mereka tidak meliputi seluruh wilayah tanah sunda.

Berbeda sekali dengan Prabu Siliwangi yang awalnya diduduki oleh Prabu Wangi dan Rahyang Wastu. Sebelum terbentuknya Kerajaan Pajajran, berikut ini terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang mungkin perlu kalian ketahui untuk menambah wawasan tentang sejarah. Kerajaan tersebut ialah terdiri dari Tarumanegara, Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Kawali.

Misteri Hilangnya Kerajaan Pajajaran
Sebenarnya Kerajaan Pajajaran ini tidak lepas dari kerajan-kerajaan tersebut, karena Kerajaan ini ialah sambungan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Kisah-kisah misteri dari menghilangnya kerajaan ini disebabkan adanya penyerangan dari kerajaan lain. Sehingga pada masa itu kurang lebih pada tahun 1579 Kerajaan Banten lah yang menyelesaikan atau mengakhiri Kerajaan Pajajaran. Pasukan-pasukan yang diketuai atau dipimpin oleh Maulana Yusuf membawa kedudukan Raja dari Pakuan ke Surasowan di daerah Banten sebagai tanda sudah runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Kedaton yang dibawa lari itu bentuknya seerti bongkahan batu yang memiliki ukuran 200 x 160 x 20 cm. Pasukan Kerajaan Banten yang dibawah kepemerintahan Maulana Yusuf memboyong kembali ke Banten sebagai sebuah bentuk budaya politik di jaman dulu yang memiliki tujuan supaya di Pakuan tidak bisa melantik seseorang untuk dijadikan sebagai raja yang baru dan Maulana Yusuflah secara otomatis menjadi raja tersebut.

Silsilah Prabu Siliwangi
Prabu Jayadewata atau yang lebih populer dengan sebutan Prabu Siliwangi ialah merupakan seorang raja yang memiliki pengaruh tinggi di wilayah tanah sunda. Gelar atau julukan Siliwangi yang pegangnya bukan berarti tidak memiliki arti tersendiri.
Arti dari kata Siliwangi adalah orang yang mengambil alih Raja Wangi. Sampai detik ini, menurut sejarah saat ini banyak sekali yang mencatat raja yang mendapati julukan Siliwangi. Jadi, sudah tidak di herankan kembali apabila sejarah atau silsilah Prabu Siliwangi dapat dikatakan agak rumit.

Tetapi, berdasarkan cerita dari Eyang Androi Cigondewah, sejarah atau silsilah Prabu Siliwangi ini awal mulanya berawal dari keturunan-keturunan Maharaja Adi Mulya. Dari keturunan tersebut keluar 3 nama besar, yakni Prabu Ciung Wanara, Prabu Lingga Hiang dan Sri Ratu Purbasari
Prabu Lingga Hiang ini mempunyai 2 orang putra, Cakrawati dan Prabu Lingga Wesi itulah anak dari Prabu Lingga Hiang. Dari keturunan-keturunan Prabu Lingga Wesi inilah keluar nama Susuk Tunggal, Banyak Wangi, Banyak Larang, Prabu Mundingkawati (Siliwangi I), Prabu Linggawastu dan Prabu Anggalarang (Siliwangi).

Dari garis silsilah Angga Larang, keturunan Prabu Siliwangi dilanjutkan oleh Prabu Siliwangi yakni Prabu Jaya Pupukan dan R. Rangga Pupukan. Silsilah Prabu Siliwangi dari Seorang Maharaja Adi Mulya Maha Raja Adi Mulya atau Ratu Galuh Ajar Sukaresi menikah dengan Nyai Ujung Sekarjingga atau Dewi Naganingrum dan memliki putra:
1.    Prabu Ciung Wanara
2.    Sri Ratu Purba Sari
3.    Prabu Lingga Hiang
4.    Prabu Susuk Tunggal
5.    Prabu Lingga Wesi
6.    Prabu Banyak Larang
7.    Brabu Banyak Wangi
8.    Prabu Lingga Buana atau Prabu Mung Kawati
9.    Prabu Wastu Kencana
10.    Prabu Anggalarang

Kesaktian Prabu Siliwangi
Kisah cerita tentang betapa saktinya Prabu Siliwangi ini memang selalu membuat diri kita untuk mengetahui betapa banyaknya kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi sang legenda dari Kerajaan Pajajaran. Pada umumnya tidak mungkin sekalin apabila seluruh daerah kekuasaan kerjaan yang di pimpin olehnya jikalau raja dari kerajaan tersebut tidak mempunyai ilmu kanuragan yang mumpuni.

Ilmu kanuragan apa yang sesungguhnya dimiliki Oleh sang raja dari Kerajaan Pajajaran? Kisah cerita tentang sejarah Prabu Siliwangi ini memang sangat menarik sekali untuk di analisa lebih jelas lagi. Bahkan didalam sebuah kisah sejarah Prabu Siliwangi ini terdapat banyak sekali cerita-cerita yang hingga saat ini masih menjadi misteri. Selain dari kisah-kisah yang sampai saat ini masih dibilang menjadi kisah misteri, pertarungan sengit dengan Raden Kian Santang dari keturunannya sendiri pun hingga saat ini belum begitu jelas kisah cerita yang sebenarnya.

Prabu Siliwangi ini sangat dikenal sekali sebagai salah satu Pemimpin atau raja dari Kerajaan Pajajaran sebagaimana telah dijelaskan melalui tulisan didalam kitab Suwasit, yang mana kitab Suwasit ini menceritakan tentang sejarah Kerajaan Pajajaran yang berisi tulisan-tulisan mengenai kisah perjalanan Prabu Siliwangi. Sebelum Prabu Siliwangi menjadi raja, di masa kecil nya Prabu Siliwangi ini di didik dan diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang pakar di Pelabuhan Muara Jati pada di daerah Kerajaan Singapura (Lokasi tersebut saat ini dikenal dengan Kota Cirebon) dan Prabu Siliwangi ini ialah keturunan ke 12 dari Maharaja Adimulia. Sesudah Prabu Anggararang memiliki perasaan bahwa putranya tersebut pantas menduduki jabatan Raja Gajah sesudah kepemimpinannya, dan pada akhirnya kedudukan raja diserahkan kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum di beri gelar Siliwangi)

Pertarungan Prabu Siliwangi
Di tanah Sunda Jawa Barat, tidak ada satu orang pun yang tidak kenal dengan nama Prabu SIliwangi yang mana Prabu Siliwangi ini adalah seorang raja dari Kerajaan Pajajaran yang sangat identik dengan ilmu-ilmu kesaktiannya, yaitu ajian harimau putih sangat dikenal sebagai salah satu yang pernah dipunyai oleh tanah Pasundan, Jawa Barat. Didalam Kitab Suwasit, diceritakan bahwa seorang yang bernama Pangeran Pamanah Rasa ialah merupakan anak putra mahkota dari Prabu Anggararang penguasa KErajaah Gajah untuk meneruskan kerajaan ayah nya sebagai Raja Gajah selanjutnya.

Dikisahkan juga di tengah-tengah kepemimpinannya menjadi seorang raja, Prabu Pamanah Rasa sering yang namanya menggembara hewan ke suatu wilayah. Didalam perjalanan menggembaranya, Prabu Ramanah Rasa dihalangi oleh siluman Harimau Putih di kawasan hutan yang letak lokasinya sekarang berada didaerah Majalengka. Karena diantara mereka berdua merasa terganggu satu sama lain pertempuran tidak bisa dihindarkan. Kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi dan Siluman Harimau Putih yang diketahui mempunyai kesaktian yang begitu tinggi juga bertarung dan bertempur dengan sengit.
Akan tetapi, kesaktian yang dimiliki oleh seorang raja dari Kerajaan Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi namanya berhasil mengalahkan musuhnya dan membuat Siluman Harimau Putih itu tunduk kepada Prabu Siliwangi.

Pusaka Prabusiliwangi
Seiring dengan melebarnya daerah Kerajaan Gajah, kemudian Prabu Siliwangi ini membuat pusaka sakti yang saat ini menjadi logo Provinsi Jawa Barat, yakni kujang namanya. Senjata kujang ini juga bisa menambah kesaktian Prabu Siliwangi. Bentuk dari pusaka kujang ini melengkung dengan ukiran-ukiran kepala harimau pada gagangnya. Ukiran kepala harimau tersebut yang ada pada gagang atau pegangan kujang itu konon katanya digunakan oleh Prabu Siliwangi ini untuk menginat akan jasa-jasa pendaming setianya, yakni siluman Harimau Putih. Legenda kesaktian Prabu Siliwangi ini sejak dulu memang telah banyak orang-orang yang mengenal legenda kesaktian tersebut, selain itu Raja dari Kerajaan Pajajaran ini begitu populer atau terkenal sebagai salah satu raja yang bijaksana dan arip serta sangat mencintai kepada rakyat-rakyatnya.

Makam Prabu Siliwangi
Hingga saat ini dan detik ini belum ada yang mengetahui secara langsung tentang akhir cerita dari hidupnya Prabu Siliwangi, karena Makam Prabu Siliwangi hingga saat ini belum diketahui pasti letak yang aslinya. Orang-orang banyak yang meyakini bahwa Prabu Siliwangi bersama pasukannya menghilang, dan memindahkan kerajaannya kedalam alam Ghaib. Dan melanjutkan kehidupannya bersama pengikut-pengikutnya dan membangun kembali kerajaan ghaib di wilayah Gunung Salak, kawasan daerah Kota Bogor Jawa Barat.

Memang kebanyakan orang-orang terdahulu ini mengatakan bahwa raja dari Kerajaan Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi ini belum ada yang mengetahui letak sebenarnya makam sang prabu tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pasukannya itu beralih ke daerah Gunung Salak dan membuat kerajaan Ghaib disana. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa makam sang raja tersebut terletak di daerah Cirebon, ada juga yang mengatakan di Gunung Gede Pangrango. Memang diluar sana banyak sekali yang mengatakan demikian, akan tetapi perkataan-perkataan yang dikatakan oleh mereka mengenai makam prabu siliwangi ini belum begitu jelas mana perkataan yang benar dan mana perkataan yang tidak benar.
Dan yang pastinya, diantara kita semua belum ada yang mengetahui letak makam tersebut.

Legenda Prabu Siliwangi
Cerita tentang Prabu Siliwangi ini begitu dikenal didalam sejarah suku sunda sebagai seorang raja di Kerajaan Pajajaran. Salah satu tulisan kuno yang menerangkan mengenai kisah perjalanan hidup Prabu Siliwangi ialah Kitab Suwasit namanya. Didalam kitab tersebut terdapat sebuah tulisan yang di tulis dengan memakai bahasa sunda kuno yang tertulis pada selembar kulit Macan putih yang dijumpai di daerah Desa Rajagaluh, Jawa Barat.

Prabu Siliwangi ini ialah seorang raja terbesar di tanah Sunda yang memliki kesaktian yang sangat luar biasa, beliau juga seorang raja yang sangat bijaksana yang memimpin para rakyat-rakyatnya di Kerajaan Pakuan Pajajaran Putra dari Prabu Anggalarang. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan singapura (seblum bernama kota cirebon). Setelah Raden pemanah Rasa Dewasa & sudah cukup ilmu yang diajarkan oleh ki gedeng sindangkasih. Beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk Mengabdi kepada ayahandanya prabu Angga Larang/dewa Niskala. Setelah itu Raden pemanah Rasa Menikahi Putri ki gedeng sindangkasih.
Yang bernama Nyi Ambet kasih. Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu dewa Niskala atau prabu Angga Larang sedang dlm masa keemasanya. Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum Di karawang yg berbatasan Langsung dengan kerajaan Sunda,sampai sungai ci-pamali berbatasan Dengan Majapahit.

Sumber : Google Wikipedia


 


KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...