KISAH
GAJAH MADA
Orientasi
Gajah Mada
(wafat k. 1364) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan
Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi,
kitab,
dan prasasti
dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak
setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri
Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih.
Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar)
pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian
sebagai Amangkubhumi (Perdana
Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah
Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa,
yang tercatat di dalam Pararaton. Ia menyatakan tidak akan memakan palapa
sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat
itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya.
Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Banyak
masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya sebagai pahlawan
dan simbol nasionalisme Indonesia dan persatuan Nusantara.
Lahirnya
Gajah Mada
“Pada saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu
itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang dimakamkan di Siwabudha…Rakryan Mapatih
Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang
terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa
Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri
Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih
Jirnnodhara membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang
mengikuti wafatnya paduka Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha)
yang gugur di kaki Bhatara.”
Demikian
bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai
mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan
berhak memberi titah membangun bangunan suci (caitya) untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti itu
memberitakan pembangunan caitya bagi
Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di istananya bersama patihnya,
Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara
Jayakatwang dari Kadiri.
Menurut
arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki
alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh pendahulu lainnya.
Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden Wijaya
sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. kemungkinan besar bangunan suci yang
didirikan atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya,
Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain
yang dihubungkan dengan Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini
sangat mungkin didirikan tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton
Singhasari.
Menurut
Agus, berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada
dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi
baginya :
Ø Pertama, Gajah Mada mencari
legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah
Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki
wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara
Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. Dengan
demikian Gajah Mada seakan meneruskan politik pengembangan mandala hingga
seluruh Dwipantara (Nusantara)
yang awalnya telah dirintis oleh Kertanegara.
Ø Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen-dharma-an tokoh selalu dibangun oleh
kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden
Wijaya dibangun tahun 1321 pada masa Jayanegara; dan Candi Bhayalango bagi
Rajapatmi Gayatri dibangun tahun 1362 oleh cucunya, Hayam Wuruk. Atas alasan
itu, Gajah Mada masih keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada
masih punya hubungan darah dengan Kertanagara.
Ayah
Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya
ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. Gajah Pagon tidak
mungkin orang biasa, bahkan sangat mungkin anak dari salah satu selir
Kertanagara karena dalam kitab Pararaton,
nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu
mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala
desa Pandakan. Menurutnya, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah
dengan putri kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada
yang mengabdi pada Majapahit.
Gajah
Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya
Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri
resmi Kertanagara. Dengan demikian, tidak mengherankan dan dapat dipahami
mengapa Gajah Mada sangat menghormati Kertanagara karena Raja itu adalah
eyangnya sendiri. Hanya keturunan Kertanegara saja yang akan dengan senang hati
membangun caitya berupa
Candi Singasari untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu. Bahkan konsepsi
Dwipantra Mandala dari Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah
Mada dalam mencetuskan Sumpah Palapa.
Awal
Karier
Tidak
ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya,
kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang karirnya naik saat
menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara (pengawal Raja) pada masa
Prabu
Jayanagara (1309-1328). Terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada, sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan merupakan nama
sejak menjabat sebagai patih.
Menurut
Pararaton,
Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara
berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328)
ke desa Badander dan memadamkan pemberontakan Ra Kuti (salah seorang Dharmaputra,
pegawai istana yang diistimewakan sejak masa Raden Wijaya). Sebagai balas jasa,
dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca
disebutkan bahwa Jayanagara mengangkat Gajah Mada menjadi patih Kahuripan
(1319). Dua tahun kemudian, dia menggantikan Arya Tilam yang mangkat sebagai
patih di Daha / Kediri.
Pengangkatan ini membuatnya kemudian masuk ke strata sosial elitis istana
Majapahit pada saat itu. Selain itu, Gajah Mada digambarkan pula sebagai
"seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan
tulus ikhlas serta berpikiran sehat".
Pasca
Jayanagara mangkat, Arya Tadah yang merupakan Mahapatih Amangkubhumi
mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Ibusuri Gayatri yang
menggantikan kedudukan Jayanegara dan menunjuk Patih Gajah Mada dari
Daha/Kediri. Gajah Mada sebagai Patih Daha sendiri tak langsung menyetujuinya,
tetapi ia ingin membuat jasa terlebih dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu
sedang memberontak.
Tribuwana
Wijayatunggadewi yang menjadi Rani Kahuripan menjadi pelaksana tugas
pemerintahan Majapahit. Bahkan setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana
Wijayatunggadewi tetap sebagai Maharani dari kerajaan Majapahit. Setelah Keta
dan Sadeng dapat ditaklukan oleh Gajah Mada, barulah pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat
menjadi Mahapatih Amangkubhumi
secara resmi menggantikan Arya Tadah (Mpu Krewes)
yang sudah sepuh, sakit-sakitan, dan meminta pensiun sejak tahun 1329.
Sumpah
Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi
pada tahun 1258 Saka (1334
M)
Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan
menikmati palapa
atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil
menaklukkan Nusantara.
Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton
dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai
berikut :
Ø
“Sira Gajah Mada pepatih
amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah
nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram,
Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”
bila dialih-bahasakan mempunyai arti :
Ø
Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin
melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai)
Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun,
Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama,
sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan seperti Ra
Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif.
Tindakan mereka mebuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Hal ini
diperkuat juga oleh Muhammad Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara. Gajah Mada pun
meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana
Tunggadewi. Dia sangat berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar,
walaupun Arya Tadah membantu sekuat tenaga.
Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan
dalam segala kesulitan kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet Muljana, Arya
Tadah sebenarnya juga ikut menertawakan program politik Gajah Mada itu karena
pada hakikatnya, Arya Tadah alias Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada
menjadi patih amangkubumi sebagai
penggantinya. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun
1331. Ketika itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan
kepada Gajah Mada, sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi
patih, bukan mahapatih. Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar
mendahuluinya mengepung Sadeng. Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada
dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi datang sendiri ke Sadeng membawa tentara
Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas nama Sang Rani sendiri. Semua
peserta penaklukan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah Mada mendapat gelar angabehi, dan Kembar dinaikkan
sebagai bekel araraman.
Saat itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha.
Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara
selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah
menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di
seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru
(Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya),
dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang
disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara.
Dilema
Terdapat
dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit
yakni Pulau Madura
dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini
mempunyai keterkaitan erat dengan Nararya
Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya
pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat:
Prasasti Kudadu 1294 dan Pararaton
Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun
1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.
Perang Bubat
Dalam
Kidung Sunda
diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu
Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi putri Sunda
sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda,
dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan
pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa
menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit.
Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak
seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu
menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah
ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu
langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari
jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan
melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.
Dalam
Nagarakretagama
diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk
sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri
Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang
raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura"
yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada.
Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali
sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.
Akhir
Hidup
"Tersebut pada tahun saka angin delapan utama
(1285). Baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam... Sekembalinya dari
Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering.
Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran ke Jawa. Di Pulau Bali serta Kota
Sadeng memusnahkan musuh.”
Begitulah
bunyi pemberitaan dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh
70/1-3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir
Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk
yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan ke Simping
(Blitar) dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke
ibukota Majapahit.
Meski
perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada
hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris
Munandar dalam Gajah Mada
Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba
menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Sumber pertama adalah Kakawin Nagarakretagama yang
ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan
kematiannya yang wajar pada tahun 1286 Saka (1364 M). Dari
cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah
Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman
Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah
Probolinggo ini memang terdapat air terjun bernama Madakaripura yang airnya
jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu
terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam dan dipercaya
dulu Gajah Mada menjadi pertapa dengan menarik diri dari dunia ramai
sebagai wanaprastha (menyepi
tinggal di hutan) hingga akhir hayatnya.
Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa
Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam
pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke
khayangan. Namun, Agus Aris Munandar menyatakan bahwa akhir kehidupan Gajah
Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi
Bubat. Selanjutnya, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada memang
sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan
keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibukota Majapahit dalam Nagarakretagama, segera setelah
mendengar sang patih sakit.
Absennya
Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam
Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia
langsung menemui ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan
pengganti kedudukan sang Mahapatih Amangkubhumi.
Namun, "Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,”
tulis Nagarakretagama pupuh
71/3.
Hayam
Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah
Mada. Karena tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada,
Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Mpu Nala
Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan
negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua
orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk
memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Mahapatih Amangkubhumi
menggantikan posisi Gajah Mada.
Penghormatan
Sebagai
salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di
masyarakat Indonesia
pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno
dan Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah
Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu,
meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan
demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha
kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta
adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit
telekomunikasi
Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa,
yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia.
Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik
diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku
fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan
Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan
Sumpah Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan
lain-lainnya.
Sumber
: Google Wikipedia
Misteri
Kematian Gajah Mada
Akhir riwayat Gajah Mada
masih misteri. Disebut menyepi sebagai pertapa atau moksa ke khayangan. “Tersebut
pada tahun saka angin delapan utama (1285). Baginda menuju Simping demi
pemindahan candi makam... Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura.
Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk
keluhuran Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.”
Begitulah
bunyi pemberitaan dalam Nagarakretagama pupuh
70/1-3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.
Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan
ke wilayah Blitar pada 1364 dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia
segera kembali ke ibukota Majapahit. Kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu
mengisahkan akhir hidup sang patih digdaya dengan kematian yang wajar.
Meski
perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada
hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris
Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber
yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Dari cerita-cerita rakyat Jawa
Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat. Dia kemudian
memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan,
wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Sekarang, di wilayah Probolinggo terdapat
air terjun bernama Madakaripura. Air terjun ini jatuh dari tebing yang tinggi.
Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan
satu goa yang cukup menjorok dalam. “Di dalam goa itulah dipercaya dulu Gajah
Mada bertapa hingga akhir hayatnya,” lanjut Agus. Untuk bertapa di dalam gua
itu harus melewati kolam dan menembus tirai air terjun yang menutupinya.
Adapun
Kidung
Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini
tidak mengisahkan sang patih menyingkir untuk menjadi pertapa. Kidung ini
membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia
moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan.
Terlepeas
dari itu, Agus berpendapat, mungkin saja sang patih sebelum akhir hidupnya
memang telah menjadi pertapa di tengah para rsi di suatu wilayah
yang tak jauh dari Majapahit. Apabila Kota Majapahit itu adalah situs Trowulan
di Mojokerto, wilayah di selatannya terdapat daerah berbukit yang ditutupi
hutan jati dan tanaman lainnya. Di area perbukitan itu banyak dijumpai ceruk
dan goa alam yang dapat dimasuki manusia. Sayangnya, penelitian arkeologi
menyangkut hal ini memang belum pernah dilakukan. Namun, Agus menduga goa di
wilayah perbukitan selatan Trowulan itu mungkin pernah memiliki peranan di masa
silam. Di masa silam, mungkin goa itu banyak digunakan oleh penduduk Majapahit
yang menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi
tinggal di hutan), atau sebagai pertapa sebelum ajal menjemput. “Mungkin Gajah
Mada juga pernah hidup di salah satu goa di selatan Trowulan sebelum
kematiannya,” jelas Agus.
Gajah
Mada begitu dikagumi. Kejayaannya di masa muda masih terus diingat. Namun, kata
Agus, akhir kehidupannya lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu
dengan pecahnya tragedi Bubat. Dengan ini, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa
Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan
yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya
Rajasanagara ke ibukota Majapahit dalam Nagarakretagama,
segera setelah mendengar sang patih sakit. Absennya Gajah Mada dalam politik
Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam Wuruk sangat bersedih. Bahkan
dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui ibunya, kedua adik,
dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang Patih
Amangkubhumi. Namun, tak ada yang bisa menggantikannya. “Baginda berpegang
teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama
pupuh 71/3.
Fakta
dan Mitos tentang Gajah Mada Si Gajah Mabuk
Gajah Mada mendadak ramai diperbincangkan
khalayak luas. Pemicunya adalah penafsiran lain dari sejarah patih Majapahit
yang legendaris itu. Jadi heboh di media sosial, mencuat pendapat bahwa Gajah
Mada adalah Gaj Ahmada yang beragam Islam. Di luar isu
tersebut, sebelumnya secara umum di kalangan masyarakat Indonesia, Gajah Mada
dikenal sebagai patih terbesar Kerajaan Majapahit, kerajaan bercorak
Hindu-Buddha yang terbesar pada abad ke-14 hingga ke-15. Peran Gajah Mada
ditonjolkan Muhamad Yamin melalu buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara
yang terbit pertama kali pada 1945 dan telah dicetak ulang belasan kali. Buku
itu mengisahkan kisah kepahlawanan Gajah Mada sebagai patih Kerajaan Majapahit.
Dalam
buku tersebut, Yamin menampilkan foto sekeping terakota yang mewujud wajah
lelaki berpipi tembem dan berbibir tebal. Di bawah foto sosok itu, Yamin
menuliskan, "Gajah Mada... Rupanya penuh dengan kegiatan yang maha tangkas
dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan
jauh." Hasan Djafar, arkeolog dan ahli sejarah kuno dari Universitas
Indonesia, menyebutkan kepingan terakota itu ada di Museum Trowulan dan
sejatinya merupakan bagian dari celengan kuno. Kepingan itu, dalam
keterangannya yang ditulis kembali, Selasa 20 Juni 2017, tidak ada
kaitannya dengan Gajah Mada.
Di
bawah ini adalah beberapa fakta perihal Gajah Mada berdasarkan buku Agus Aris
Munandar berjudul Gajah Mada: Biografi Politik (2010).
Ø Mitos kelahiran Gajah Mada
Kisah kelahiran Gajah Mada penuh
dengan mitos untuk melegitimasi kedudukannya sebagai orang besar. Kitab Usana
Jawa menyebutkan Gajah Mada lahir begitu saja dari buah kelapa.
Di lain pihak, Babad Gajah Mada
mengatakan Gajah Mada merupakan anak dari Dewa Brahma—salah satu dari tiga dewa
utama kaum Hindu—dengan istri seorang pendeta muda bernama Mpu Sura Dharma
Yogi. Setelah dewasa, Gajah Mada diambil oleh Mahapatih Majapahit untuk mengabdi
kepada raja. Kisah-kisah yang berbau supranatural ini jamak tercatat dalam
babad-babad tanah Jawa dengan tujuan kelahiran Gajah Mada sudah direstui kekuatan adi kodrati.
Dengan kata lain, proses kelahirannya sudah menandakan Gajah Mada ditakdirkan
menjadi orang yang terkenal atau disegani.
Gajah Mada Gajah Mabuk?
Ø Gajah Mada bukan nama asli
Babad Arung Bondan menyatakan Gajah
Mada adalah anak seorang patih Majapahit. Agus Aris Munandar menduga Gajah Mada
merupakan anak Gajah Pagon, pengawal setia Raden Wijaya, raja pertama Majapahit
yang membuka Hutan Tarik sebagai cikal bakal kerajaan.
Kitab Pararaton menyebut kedua orang
itu berwatak sama, yakni pemberani, tahan mental, tidak mudah menyerah, setia
kepada tuannya, dan berperilaku seperti hewan gajah yang dapat mengadang semua
penghalang.
Kata "gajah" mengacu pada
hewan yang dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai vahana (hewan tunggangan)
Dewa Indra. Gajah milik Indra dinamai Airavata. Sementara “mada” dalam bahasa
Jawa Kuno berarti ‘mabuk’. Maka, bisa dibayangkan jika seekor gajah tengah
mabuk, ia akan berjalan seenaknya, beringas, dan menerabas segala rintangan.
Sepertinya itu nama yang cocok dan sudah dipikirkan betul-betul sebelum
diberikan kepada Gajah Mada.
Ø Gajah Mada dan Pasukan Bhayangkara
Seperti kebiasaan masyarakat Hindu,
seorang anak akan dilepas untuk berguru kira-kira 12 tahun lamanya. Setelah
itu, ia akan mengabdikan dirinya untuk raja dan masyarakat. Gajah Mada yang
sudah dibekali ilmu kewiraan bertugas dalam satuan khusus pengawal raja.
Pasukan ini dinamai Bhayangkara, dari bahasa Sansekerta yang berarti “hebat dan
menakutkan”. Istilah itu termaktub dalam dua kata Jawa kuno, yakni bhaya yang
berarti ‘bahaya, atau berbahaya, menakutkan,’ sementara angkara dari kata
ahangkara yang berarti ‘aku’ atau ‘kami’. Maka istilah bhayangkara dapat
diartikan sebagai ‘kami [yang] menakutkan’. Dalam pasukan Bhayangkara inilah
pengabdian dan prestasi Gajah Mada dibangun untuk menjaga Kerajaan Majapahit.
Pararaton menyebut Gajah Mada mengiringi Raja Jayanegara mengungsi ke Desa
Badander saat terjadi pemberontakan oleh Kuti. Menariknya, saat Jayanegara
dibunuh oleh tabib Tanca, Gajah Mada diisukan mengatur pembunuhan itu.
Konon,
ia tak suka pada kelakuan Raja Jayanegara yang sudah melanggar
perundang-undangan kerajaan lantaran menggauli istri orang. Perbuatan tersebut
adalah hal yang nista karena dalam kitab Kutaramanawardharmasastra disebutkan
hukuman bagi orang yang mengganggu perempuan yang telah bersuami cukup berat.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar