KISAH
PRABU JAYABAYA
Orientasi
Siapa
Sebenarnya Prabu Jayabaya, Sang Peramal Masa Depan Nusantara?
Maharaja
Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama
gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara
Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pemerintahan Jayabhaya
Pemerintahan
Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa
prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144),
serta Kakawin Bharatayuddha (1157). Pada prasasti Hantang, atau biasa juga
disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya
Kediri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah
untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang melawan
Jenggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja
yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri. Kemenangan
Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa
dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun
1157.
Jayabhaya dalam Tradisi Jawa
Nama
besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul
dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu
Jayabaya. Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah
Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya
bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra
Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa. Permaisuri
Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi
Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan
sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan
Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya
turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan
Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk
setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang. Prabu Jayabaya adalah
tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa
naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar,
Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya. Dikisahkan dalam Serat Jayabaya
Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana
Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan
Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari
nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis
pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti
siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat
itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan
kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari
Kadiri. Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama
Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya.
Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah
tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat
anonim.
Ramalan Jayabaya
Ramalan
Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa
yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja kerajaan Kadiri.
Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang
dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal-usul utama serat
jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri
Prapen. Sekalipun banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait
pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwasanya Jayabayalah yang membuat
ramalan-ramalan tersebut. ”Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di
Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.”
Meskipun
demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya,
yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab
mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya,
bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya
menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan
Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi
tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah
dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah
titisan Dewi Sri.
Dari
berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada
umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu,
yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) yang
dikumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun
dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang
ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah
sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M). Kitab Jangka
Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I
dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun
1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang
bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan”
yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
Memang
beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui
sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya
terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara
Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda bernama Sabda Palon
dan Nayagenggong. Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga
Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya
sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit,
Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dan
lain-lain. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya
di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada
tahun 1691-1704.
Kemudian
diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu
masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu
untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan G.G Van
Hoorn. Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga
diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan
kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang
terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa
1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta.
Kedudukannya
sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran
Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu
III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh
Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi, 10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747
M. Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab
Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” Karangan Sunan Giri ke-3
tersebut. Selanjutnya para pujangga di belakang juga menyebut nama baru itu. Kitab
Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir
bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti
dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut
sebagai ”Giri Kedaton”. Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman peralihan
kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni
sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481
M.
Namun
demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan
diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis
kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari
Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedaton ini
lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di
Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481
M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau
mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H).
Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan
jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai “Ratu Bobodo” ialah Sultan
Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi
setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar,
yang juga hendak dibasmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah
Kerajaan ini jatuh pula, lalu diganti oleh penguasa baru yakni, Ratu
Sundarowang Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung)
yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau,
dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah
seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja
Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh
Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat
Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun
dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti
di zaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti
beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas
merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis
Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat
perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke
Jakarta/Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh
Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang
lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari
Kediri. Nama yang diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu
Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/Kediri.
Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat
sebagai pandai meramal.
Sang
pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA
JAYABAYA” yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar
serta gambaran pertumbuhan negara-negara yang dikarangnya sebelumnya dalam bentuk
babad. Lalu dari hasil penelitiannya dicarikan inti sarinya dan diorbitkan
dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat
perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita
sang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber
semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi,
sekarang ternyata menunjukkan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh
yang kini benama “REPUBLIK INDONESIA”. Kedua sumber yang diperpadukan itu
ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup di abad-abad kemudian,
terutama pujangga terkenal R.Ng. Ranggawarsita, cucu buyut pujangga Yasadipura
I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka
Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para
pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang merupakan sumber
perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya
karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan
belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan
baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan
tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama
lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua
itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri
ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata
karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis
kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M)
bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan
begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
Sejarah
Asal Usul Raja Jayabaya Dari Kerajaan Kediri
Pada
Zaman dahulu telah Dikisahkan bahwa ada seorang Pemimpin yang Adil dan
Bijaksana dari Kerajaan Kadiri yaitu Raja
Jayabaya, Beliau merupakan titisan dari Arjuna. Negaranya bernama
Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra
Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa. Permaisuri
Raja Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi
Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan
sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan
Astradarma raja Yawastina, melahirkan Prabu Anglingdarma menjadi raja
Malawapati.
Kelahiran Jayabaya
Raja
gendrayana dari mamenang mengetahui istrinya kanjeng ratu widarbo dewi
padmowati sudah hamil, sang istri meminta woh sumawarna. karena itu sang raja
lalu menitipkan kerajaan mamenang kepada patih sutikna. Kemudian sang raja
dengan berganti pakaian kesatria dan berpamitan kepada dua istrinya segera
keluar dari kedaton mamenang. Didampingi semar gareng dan petruk prabu
gendrayana menghadap resi daneswara, untuk meminta petunjuk mengenai adanya woh
sumawarna yang ada di gunung aswata tersebut. Sang resi mengatakan memang benar
ada wahyu ratu yang ada dalam woh sumawarna yang terdapat di gunung aswata
tersebut. Sang prabu meminta diantarkan untuk mendekati buah sumawarna tadi.
Tiba tiba datanglah macan hitam yang langsung menggondol sang prabu gendrayana. Maka terjadilah perang kembang antara macan hitam dan prabu gendrayana yang berahir dengan matinya sang macan. Setelah matinya sang macan berubah menjadi hyang wisnu. Dimana hyang wisnu memberikan kepada prabu gendrayana woh sumawarna dengan mengatakan bahwa inilah wahyu ratu tersebut. Sang prabu gendrayana sangat gembira dan menghaturkan terimakasih kemudian pamit undur diri. Hyang wisnu pun menghilang. Dalam perjalanan pulang rombongan prabu gendrayana dihadang oleh pasukan kerajaan hima himantaka dibawah pimpinan prabu drawayana. Mengetahui prabu gendrayana berhasil mendapat woh sumawarna maka sang prabu drawayana meminta agar woh sumawarna tersebut diberikan.
Karena tidak dituruti oleh prabu gendrayana maka pecahlah pertempuran diantara mereka, pasukan hima himantaka dapat dipukul mundur. Raja drawayana dikalahkan oleh prabu gendrayana dan memilih untuk melarikan diri. Sesampainya di mamenang prabu gendrayana menerima kunjungan rombongan saudaranya dari hatsina, yaitu rombongan prabu yudayaka yang juga dikenal sebagai prabu sudarsana bersama para istri. Mereka datang hendak melihat seperti apa bentuk wahyu woh sumawarna. Maka prabu gendrayana pun menunjukan seperti apa bentuk buah sumawarna tersebut. para tetamu semua melihat dengan sangat teramat kagumnya. Kemudian buah tadi diberikan kepada istrinya dewi padmowati. buah tersebut kemudian dimakan lalu lahirlah jabang bayi yang kemudian di beri nama NARAYANA atau JAYABAYA.
Pemerintahan Jayabaya di Kerajaan Kediri
Pemerintahan
Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kerajaan Kediri. Peninggalan
sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti
Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157). Pada prasasti Hantang, atau
biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang
artinya Kedirimenang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan
anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang
melawan Jenggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah
raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan
Kediri.
Kemenangan Jayabhaya atas Kerajaan Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun 1157. Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dihormati oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang.
Prabu Jayabaya merupakan tokoh yang identik dengan ramalan masa depan pada Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya. Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kerajaan Kadiri. Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.
Ramalan Jayabaya pada Nusantara
Ramalan
Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa
yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, rajaKerajaan Kadiri.
Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan
secara turun temurun oleh para pujangga.
Asal Usul utama serat jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Jayabayalah yg membuat ramalan-ramalan tersebut.
"Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani."
Asal Usul utama serat jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Jayabayalah yg membuat ramalan-ramalan tersebut.
"Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani."
Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Isi Ramalan Jayabaya
Ramalan
Jayabaya, adalah ramalan tentang keadaan Nusantara di suatu masa pada masa
datang. Dalam Ramalan Jayabaya itu dikatakan, akan datang satu masa penuh
bencana. Gunung-gunung akan meletus, bumi berguncang-guncang, laut dan sungai,
akan meluap. Ini akan menjadi masa penuh penderitaan. Masa kesewenang-wenangan
dan ketidakpedulian. Masa orang-orang licik berkuasa, dan orang-orang baik akan
tertindas. Tapi, setelah masa yang paling berat itu, akan datang zaman baru,
zaman yang penuh kemegahan dan kemuliaan. Zaman Keemasan Nusantara. Dan zaman
baru itu akan datang setelah datangnya sang Ratu Adil, atau Satria Piningit.
Ramalan Jayabaya ditulis ratusan tahun yang lalu, oleh seorang raja yang adil dan bijaksana dari Kerajaan Kediri. Raja itu bernama Prabu Jayabaya (1135-1159). Ramalannya kelihatannya begitu mengena dan bahkan masih diperhatikan banyak orang ratusan tahun setelah kematiannya. Ramalan Jayabaya ini memang lumayan fenomenal, banyak ramalannya yang bisa ditafsirkan mendekati keadaan sekarang. Di antaranya : “Datangnya bangsa berkulit pucat yang membawa tongkat yang bisa membunuh dari jauh dan bangsa berkulit kuning dari Utara (zaman penjajahan )."kreto mlaku tampo jaran", "Prau mlaku ing nduwur awang-awang", kereta berjalan tanpa kuda dan perahu yang berlayar di atas awan (mobil dan pesawat terbang?) Datangnya zaman penuh bencana di Nusantara (Lindu ping pitu sedino, lemah bengkah, Pagebluk rupo-rupo ), gempa tujuh kali sehari, tanah pecah merekah, bencana macam-macam.Dan ia bahkan (mungkin) juga meramalkan global warming, "Akeh udan salah mongso", datangnya masa di mana hujan salah musim.
Ramalan Jayabaya ditulis ratusan tahun yang lalu, oleh seorang raja yang adil dan bijaksana dari Kerajaan Kediri. Raja itu bernama Prabu Jayabaya (1135-1159). Ramalannya kelihatannya begitu mengena dan bahkan masih diperhatikan banyak orang ratusan tahun setelah kematiannya. Ramalan Jayabaya ini memang lumayan fenomenal, banyak ramalannya yang bisa ditafsirkan mendekati keadaan sekarang. Di antaranya : “Datangnya bangsa berkulit pucat yang membawa tongkat yang bisa membunuh dari jauh dan bangsa berkulit kuning dari Utara (zaman penjajahan )."kreto mlaku tampo jaran", "Prau mlaku ing nduwur awang-awang", kereta berjalan tanpa kuda dan perahu yang berlayar di atas awan (mobil dan pesawat terbang?) Datangnya zaman penuh bencana di Nusantara (Lindu ping pitu sedino, lemah bengkah, Pagebluk rupo-rupo ), gempa tujuh kali sehari, tanah pecah merekah, bencana macam-macam.Dan ia bahkan (mungkin) juga meramalkan global warming, "Akeh udan salah mongso", datangnya masa di mana hujan salah musim.
Nah, naik turunnya peradaban sebenarnya sudah banyak dianalisis, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Di antaranya oleh Ibnu Khaldun(Muqaddimah, 1337, Wikipedia: Ibn Khaldun), Gibbon (Decline and Fall, 1776), Toynbee (A Study of History), atau Jared Diamond. Intinya sederhana. Manusia atau bangsa, bisa berubah. Manusia bisa lupa, dan sebaliknya juga bisa belajar. Bangsa bisa bangkit, hancur, dan bisa juga bangkit lagi.
Bagaimana dengan Satria Piningit ?
Banyak
juga teori tentang manusia-manusia istimewa yang datang membawa perubahan. Di
dunia, orang-orang itu sering disebut "Promethean", diambil dari nama
dewa Yunani Prometheus yang memberikan api (pencerahan) pada manusia. Toynbee
menamakannya Creative Minorities. Tapi mereka bukan sekedar “manusia-manusia ajaib”,
melainkan orang-orang yang memiliki kekuatan dahsyat, yaitu kekuatan ilmu, dan
kecintaan pada bangsanya, sesama manusia, dan pada Tuhannya. Lihat misalnya
berapa banyak hadis Nabi Muhammad tentang pentingnya ilmu. Dan perhatikan
lanjutan pidato Bung Karno ini : "Selama kaum intelek Bumiputra belum bisa
mengemukakan keberatan-keberatan bangsanya, maka perbuatan-perbuatan yang
mendahsyatkan itu (pemberontakan) adalah pelaksanaan yang sewajarnya dari
kemarahan-kemarahan yang disimpan … terhadap usaha bodoh memerintah rakyat
dengan tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh keinginan-keinginan dan
kepentingan-kepentingan mereka…"
Satria piningit, adalah orang-orang yang peduli pada bangsanya, berilmu tinggi, dan telah memutuskan untuk berbuat sesuatu. Mereka lah, dan hanya merekalah yang bisa melawan kehancuran, dan akhirnya membangkitkan peradaban. Di zaman kegelapan, selalu ada saja orang yang belajar. Di antarabanyak orang lupa, selalu ada saja orang baik. Bahkan walau cuma satu orang. Kadang, kerusakan itu justru membakar jiwanya untuk berbuat sesuatu. Belajar, berjuang, berkorban. Seperti Nabi Muhammad yang melihat bangsanya hancur, atau Soekarno yang melihat bangsanya diinjak-injak. Mereka lalu berjuang menyelamatkan bangsanya. Promethean, Ratu Adil yang mendatangkan zaman kebaikan.
Ramalan Jayabaya mungkin bisa dipahami secara ilmiah, bahwa manusia dan peradaban memang selalu bisa bangkit, hancur, dan bangkit lagi. Dan mungkin karena Jayabaya menyadari manusia bisa lupa, dia sengaja menulis ini sebagai peringatan agar manusia tidak lupa. Dan itulah satu tanda kearifan sang Prabu Jayabaya. Mungkin, ini juga dorongan pada manusia agar selalu berbesar hati, optimis. Bahwa di saat yang paling berat sekalipun, suatu hari akhirnya akan datang juga Masa Kesadaran, Masa Kebangkitan Besar, Masa Keemasan Nusantara.
Ramalan
Jayabaya
Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa
yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya
di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama serat ramalan
Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat
jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang
membuat ramalan-ramalan tersebut. “Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya
di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.”
Meskipun
demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya,
yakni Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut bahwa
Prabu Jayabaya memiliki karya tulis dalam kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin
Bharatayuddha, Kakawin
Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya. Kakawin Bharatayuddha hanya
menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan
Bharatayuddha, sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi
tentang cerita ketika sang prabu Kresna ingin menikah dengan Rukmini dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Asal
Usul
Dari
berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada
umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu,
yakni Kitab Asrar (Musarar)
karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang
kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya
selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali
1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab
"Jangka Jayabaya" pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II)
yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini
memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya
kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat
Demak. Memang dia keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila dia dapat
mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya
Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama
baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V
dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping
itu dia menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala
zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa
buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad
Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku
Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn
yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn
(1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan
pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton
pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika
keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta
pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban
sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih
untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M). Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7
Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11
di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh putranya
sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di
Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga
keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10
Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Analisis
Jangka
Jayabaya yang dikenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang
sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3
tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran
gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu
diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut
sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman
peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M,
yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali
pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat
”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.
Sejak
Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang
dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481)
Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu
seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini
kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan
Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang
wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa
Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat
julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian
karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan
setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di
basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah
Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu
Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa
dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau,
dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah
seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja
Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh
Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat
Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah dia turun dari
tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti
dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti dia
dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka
lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram
sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang
Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia
oleh Sultan
Agung).
Oleh
Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang
lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari
Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu
Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri.
Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal
masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis
kembali, dengan gubahan "Jangka Jayabaya" dengan ini yang dipadukan
antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan
negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad. Lalu dari hasil, penelitiannya
dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan
harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di
kemudian hari.
Cita-cita
yang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber
semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi,
sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh
yang kini benama "Republik Indonesia". Kedua sumber yang diperpadukan
itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad
kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I
pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka
Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para
pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber
perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya
karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat
ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa
karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau
ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan
historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan
Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat
Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya
ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M)
bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca
sekarang ini.
Kitab
Musasar Jayabaya
Asmarandana
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri
yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Ø
Dia sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang
Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Ø
Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang
tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
Ø
Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu
tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum
bernama, Sultan Maolana.
Ø
Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya
disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa
pantas dihormati.
Ø
Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang
Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar.
Ø
Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian
kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan
sebaik-baiknya. Karena dia telah mengerti kehendak Dewata.
Ø
Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita.
Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Diapun ingat tinggal menitis 3
kali.
Ø
Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang
ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
Ø
Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak
kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa
membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Ø
Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk.
Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
Ø
Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung
Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
Ø
Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu
Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu..
Ø
Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum
kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
Ø
Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama
di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa
brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
Ø
Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar
memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh
warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
Ø
Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam,
kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon
kajar dan kembang mojar satu bungkus.
Ø
Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar
menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu
waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
Ø
Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris
kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan
raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
Ø
Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian
merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
Ø
Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh.
Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih
muda.
Sinom
Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai
kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja
di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
Ø
Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada zaman lagi
bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah
lagi. Diberi lambang zaman Catur semune segara asat.
Ø
Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat
raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan
keburukan.
Ø
Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian
ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan
saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Ø
Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap
diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama
Kala-wisesa.
Ø
Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka.
Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara,
Setelah seratus tahun kemudian musnah.
Ø
Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi
pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian
berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata.
Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara
berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar. Hidangannya
Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian
berganti zaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan
pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya. Enam puluh lima tahun kemudian musnah.
Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat
berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung
kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman Kalajangga. Beribukota
Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun
kemudian musnah. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di
desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan
sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di Mataram. Kalasakti Prabu
Anyakrakusuma.
Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya,
disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta
pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil. Raja perkasa tetapi berbudi
halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang
putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol
Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang
Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu.
Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang. Berdagang di tanah Jawa kemudian
mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga
terpandang di pulau Jawa. zaman sudah berganti meskipun masih keturunan
Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang. Raja berpasukan
campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar
Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune
kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang penuh
inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian
berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun
nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum
tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang.
Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak
berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak
dapat ditolak.
Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati
berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara
Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang
Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan). Nakhoda(Orang
asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan
bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan
besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer
tetukar( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk
menggantikannya). Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat
mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben
tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala
Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik.
Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi
Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara. Hukum
dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak
ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar
sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua. Wanita hilang
kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai
perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah. Banyak hal-hal yang
luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga.
Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak
kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi
Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu
Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan
Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan
ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu,
sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan
bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya
tampan senyumnya manis sekali.
Isi
Ramalan
Ø
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran ---> Kelak jika
sudah ada kereta tanpa kuda.
Ø
Tanah Jawa kalungan wesi ---> Pulau Jawa berkalung
besi.
Ø
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang ---> Perahu berjalan
di angkasa.
Ø
Kali ilang kedhunge ---> Sungai kehilangan mata
air.
Ø
Pasar ilang kumandhang ---> Pasar kehilangan suara.
Ø
Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak
---> Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
Ø
Sekilan bumi dipajeki ---> Sejengkal tanah dikenai
pajak.
Ø
Jaran doyan mangan sambel ---> Kuda suka makan
sambal.
Ø
Wong wadon nganggo pakeyan lanang --->Orang perempuan
berpakaian lelaki.
Ø
Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking
zaman ---> Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik.
Ø
Akeh janji ora ditetepi ---> Banyak janji tidak
ditepati.
Ø
Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe ---> Banyak
orang berani melanggar sumpah sendiri.
Ø
Manungsa padha seneng nyalah ---> Orang-orang
saling lempar kesalahan.
Ø
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi ---> Tak peduli
akan hukum Hyang Widhi.
Ø
Barang jahat diangkat-angkat ---> Yang jahat
dijunjung-junjung.
Ø
Barang suci dibenci ---> Yang suci (justru)
dibenci.
Ø
Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwi t---> Banyak
orang hanya mementingkan uang.
Ø
Lali kamanungsan ---> Lupa jati kemanusiaan.
Ø
Lali kabecikan ---> Lupa hikmah kebaikan.
Ø
Lali sanak lali kadang ---> Lupa sanak lupa saudara.
Ø
Akeh bapa lali anak ---> Banyak ayah lupa anak.
Ø
Akeh anak wani nglawan ibu --->Banyak anak berani
melawan ibu.
Ø
Nantang bapa ---> Menantang ayah.
Ø
Sedulur padha cidra ---> Saudara dan saudara saling
khianat.
Ø
Kulawarga padha curiga ---> Keluarga saling curiga.
Ø
Kanca dadi mungsuh ---> Kawan menjadi lawan.
Ø
Akeh manungsa lali asale ---> Banyak orang lupa
asal usul.
Ø
Ukuman Ratu ora adil ---> Hukuman Raja tidak adil.
Ø
Akeh pangkat sing jahat lan ganji l---> Banyak
pejabat jahat dan ganjil
Ø
Akeh kelakuan sing ganjil ---> Banyak ulah-tabiat
ganjil
Ø
Wong apik-apik padha kapencil ---> Orang yang baik
justru tersisih.
Ø
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin
---> Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
Ø
Luwih utama ngapusi ---> Lebih mengutamakan menipu.
Ø
Wegah nyambut gawe ---> Malas untuk bekerja.
Ø
Kepingin urip mewah ---> Inginnya hidup mewah.
Ø
Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka
---> Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
Ø
Wong bener thenger-thenger ---> Orang (yang) benar
termangu-mangu.
Ø
Wong salah bungah ---> Orang (yang) salah gembira
ria.
Ø
Wong apik ditampik-tampik ---> Orang (yang) baik
ditolak ditampik (diping-pong).
Ø
Wong jahat munggah pangkat ---> Orang (yang) jahat
naik pangkat.
Ø
Wong agung kasinggung ---> Orang (yang) mulia
dilecehkan
Ø
Wong ala kapuja ---> Orang (yang) jahat
dipuji-puji.
Ø
Wong wadon ilang kawirangane ---> perempuan hilang
malu.
Ø
Wong lanang ilang kaprawirane ---> Laki-laki hilang
jiwa kepemimpinan.
Ø
Akeh wong lanang ora duwe bojo ---> Banyak
laki-laki tak mau beristri.
Ø
Akeh wong wadon ora setya marang bojone ---> Banyak
perempuan ingkar pada suami.
Ø
Akeh ibu padha ngedol anake ---> Banyak ibu menjual
anak.
Ø
Akeh wong wadon ngedol awake ---> Banyak perempuan
menjual diri.
Ø
Akeh wong ijol bebojo ---> Banyak orang gonta-ganti
pasangan.
Ø
Wong wadon nunggang jaran ---> Perempuan menunggang
kuda.
Ø
Wong lanang linggih plangki ---> Laki-laki naik
tandu.
Ø
Randha seuang loro ---> Dua janda harga seuang
(Red.: seuang = 8,5 sen).
Ø
Prawan seaga lima ---> Lima perawan lima picis.
Ø
Dhudha pincang laku sembilan uang ---> Duda pincang
laku sembilan uang.
Ø
Akeh wong ngedol ngelmu ---> Banyak orang berdagang
ilmu.
Ø
Akeh wong ngaku-aku ---> Banyak orang mengaku diri.
Ø
Njabane putih njerone dhadhu ---> Di luar putih di
dalam jingga.
Ø
Ngakune suci, nanging sucine palsu ---> Mengaku
suci, tapi palsu belaka.
Ø
Akeh bujuk akeh lojo---> Banyak tipu banyak
muslihat.
Ø
Akeh udan salah mangsa---> Banyak hujan salah
musim.
Ø
Akeh prawan tuwa---> Banyak perawan tua.
Ø
Akeh randha nglairake anak---> Banyak janda melahirkan
bayi.
Ø
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne---> Banyak
anak lahir mencari bapaknya.
Ø
Agama akeh sing nantang---> Agama banyak ditentang.
Ø
Prikamanungsan saya ilang---> Perikemanusiaan
semakin hilang.
Ø
Omah suci dibenci---> Rumah suci dijauhi.
Ø
Omah ala saya dipuja---> Rumah maksiat makin
dipuja.
Ø
Wong wadon lacur ing ngendi-endi---> Perempuan
lacur dimana-mana.
Ø
Akeh laknat---> Banyak kutukan.
Ø
Akeh pengkianat---> Banyak pengkhianat.
Ø
Anak mangan bapak---> Anak makan bapak.
Ø
Sedulur mangan sedulur---> Saudara makan saudara.
Ø
Kanca dadi mungsuh---> Kawan menjadi lawan.
Ø
Guru disatru---> Guru dimusuhi.
Ø
Tangga padha curiga--->Tetangga saling curiga.
Ø
Kana-kene saya angkara murka ---> Angkara murka
semakin menjadi-jadi.
Ø Sing weruh
kebubuhan---> Barangsiapa tahu terkena beban.
Ø
Sing ora weruh ketutuh---> Sedang yang tak tahu
disalahkan.
Ø
Besuk yen ana peperangan---> Kelak jika terjadi
perang.
Ø
Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---> Datang
dari timur, barat, selatan, dan utara.
Ø
Akeh wong becik saya sengsara---> Banyak orang baik
makin sengsara.
Ø
Wong jahat saya seneng---> Sedang yang jahat makin
bahagia.
Ø
Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--->
Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
Ø
Wong salah dianggep bener---> Orang salah dipandang
benar.
Ø
Pengkhianat nikmat---> Pengkhianat nikmat.
Ø
Durjana saya sempurna---> Durjana semakin sempurna.
Ø
Wong jahat munggah pangkat---> Orang jahat naik
pangkat.
Ø
Wong lugu kebelenggu---> Orang yang lugu
dibelenggu.
Ø
Wong mulya dikunjara---> Orang yang mulia
dipenjara.
Ø
Sing curang garang---> Yang curang berkuasa.
Ø
Sing jujur kojur---> Yang jujur sengsara.
Ø
Pedagang akeh sing keplarang---> Pedagang banyak
yang tenggelam.
Ø
Wong main akeh sing ndadi---> Penjudi banyak
merajalela.
Ø
Akeh barang haram---> Banyak barang haram.
Ø Akeh anak
haram---Banyak anak haram.
Ø
Wong wadon nglamar wong lanang---> Perempuan
melamar laki-laki.
Ø
Wong lanang ngasorake drajate dhewe---> Laki-laki
memperhina derajat sendiri.
Ø
Akeh barang-barang mlebu luang---> Banyak barang
terbuang-buang.
Ø
Akeh wong kaliren lan wuda---> Banyak orang lapar
dan telanjang.
Ø
Wong tuku ngglenik sing dodol---> Pembeli membujuk
penjual.
Ø
Sing dodol akal okol---> Si penjual bermain siasat.
Ø
Wong golek pangan kaya gabah diinteri---> Mencari
rizki ibarat gabah ditampi.
Ø
Sing kebat kliwat---> Yang tangkas lepas.
Ø
Sing telah sambat---> Yang terlanjur menggerutu.
Ø
Sing gedhe kesasar---> Yang besar tersasar.
Ø
Sing cilik kepleset---> Yang kecil terpeleset.
Ø
Sing anggak ketunggak---> Yang congkak terbentur.
Ø
Sing wedi mati---> Yang takut mati.
Ø
Sing nekat mbrekat---> Yang nekat mendapat berkat.
Ø
Sing jerih ketindhih---> Yang hati kecil tertindih
Ø
Sing ngawur makmur---> Yang ngawur makmur
Ø
Sing ngati-ati ngrintih---> Yang berhati-hati
merintih.
Ø
Sing ngedan keduman---> Yang main gila menerima
bagian.
Ø
Sing waras nggagas---> Yang sehat pikiran berpikir.
Ø
Wong tani ditaleni---> Orang (yang) bertani diikat.
Ø
Wong dora ura-ura---> Orang (yang) bohong
berdendang.
Ø
Ratu ora netepi janji, musna panguwasane--> -Raja
ingkar janji, hilang wibawanya.
Ø
Bupati dadi rakyat---> Pegawai tinggi menjadi
rakyat.
Ø
Wong cilik dadi priyayi---> Rakyat kecil jadi
priyayi.
Ø
Sing mendele dadi gedhe---> Yang curang jadi besar.
Ø
Sing jujur kojur---> Yang jujur celaka.
Ø
Akeh omah ing ndhuwur jaran---> Banyak rumah di
punggung kuda.
Ø
Wong mangan wong---> Orang makan sesamanya.
Ø
Anak lali bapak---> Anak lupa bapa.
Ø
Wong tuwa lali tuwane---> Orang tua lupa ketuaan
mereka.
Ø
Pedagang adol barang saya laris---> Jualan pedagang
semakin laris.
Ø
Bandhane saya ludhes---> Namun harta mereka makin
habis.
Ø
Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---> Banyak
orang mati lapar di samping makanan.
Ø
Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara--->
Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
Ø
Sing edan bisa dandan---> Yang gila bisa bersolek.
Ø
Sing bengkong bisa nggalang gedhong---> Si bengkok
membangun mahligai.
Ø
Wong waras lan adil uripe nggrantes lan
kepencil---> Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
Ø
Ana peperangan ing njero---> Terjadi perang di
dalam.
Ø
Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah
paham---> Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
Ø
Durjana saya ngambra-ambra---> Kejahatan makin
merajalela.
Ø
Penjahat saya tambah---> Penjahat makin banyak.
Ø
Wong apik saya sengsara---> Yang baik makin
sengsara.
Ø
Akeh wong mati jalaran saka peperangan---> Banyak
orang mati karena perang.
Ø
Kebingungan lan kobongan---> Karena bingung dan
kebakaran.
Ø
Wong bener saya thenger-thenger---> Si benar makin
tertegun.
Ø
Wong salah saya bungah-bungah---> Si salah makin
sorak sorai.
Ø
Akeh bandha musna ora karuan lungane---> Banyak
harta hilang entah ke mana
Ø
Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan
sababe---> Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
Ø
Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram--->
Banyak barang haram, banyak anak haram.
Ø
Bejane sing lali, bejane sing eling---> Beruntunglah
si lupa, beruntunglah si sadar.
Ø
Nanging sauntung-untunge sing lali---> Tapi
betapapun beruntung si lupa.
Ø
Isih untung sing waspada---> Masih lebih beruntung
si waspada.
Ø
Angkara murka saya ndadi---> Angkara murka semakin
menjadi.
Ø
Kana-kene saya bingung---> Di sana-sini makin
bingung.
Ø
Pedagang akeh alangane---> Pedagang banyak
rintangan.
Ø
Akeh buruh nantang juragan---> Banyak buruh melawan
majikan.
Ø
Juragan dadi umpan---> Majikan menjadi umpan.
Ø
Sing suwarane seru oleh pengaruh---> Yang bersuara
tinggi mendapat pengaruh.
Ø
Wong pinter diingar-ingar---> Si pandai direcoki.
Ø
Wong ala diuja---> Si jahat dimanjakan.
Ø
Wong ngerti mangan ati---> Orang yang mengerti
makan hati.
Ø
Bandha dadi memala---> Hartabenda menjadi penyakit
Ø
Pangkat dadi pemikat---> Pangkat menjadi pemukau.
Ø
Sing sawenang-wenang rumangsa menang ---> Yang
sewenang-wenang merasa menang
Ø
Sing ngalah rumangsa kabeh salah---> Yang mengalah
merasa serba salah.
Ø
Ana Bupati saka wong sing asor imane---> Ada raja
berasal orang beriman rendah.
Ø
Patihe kepala judhi---> Maha menterinya benggol
judi.
Ø
Wong sing atine suci dibenci---> Yang berhati suci
dibenci.
Ø
Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat--->
Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
Ø
Pemerasan saya ndadra---> Pemerasan merajalela.
Ø
Maling lungguh wetenge mblenduk ---> Pencuri duduk
berperut gendut.
Ø
Pitik angrem saduwure pikulan---> Ayam mengeram di
atas pikulan.
Ø
Maling wani nantang sing duwe omah---> Pencuri
menantang si empunya rumah.
Ø
Begal pada ndhugal---> Penyamun semakin kurang
ajar.
Ø
Rampok padha keplok-keplok---> Perampok semua
bersorak-sorai.
Ø
Wong momong mitenah sing diemong---> Si pengasuh
memfitnah yang diasuh
Ø
Wong jaga nyolong sing dijaga---> Si penjaga
mencuri yang dijaga.
Ø
Wong njamin njaluk dijamin---> Si penjamin minta
dijamin.
Ø
Akeh wong mendem donga---> Banyak orang mabuk doa.
Ø
Kana-kene rebutan unggul---> Di mana-mana berebut
menang.
Ø
Angkara murka ngombro-ombro---> Angkara murka
menjadi-jadi.
Ø
Agama ditantang---> Agama ditantang.
Ø
Akeh wong angkara murka---> Banyak orang angkara
murka.
Ø
Nggedhekake duraka---> Membesar-besarkan durhaka.
Ø
Ukum agama dilanggar---> Hukum agama dilanggar.
Ø
Prikamanungsan di-iles-iles---> Perikemanusiaan
diinjak-injak.
Ø
Kasusilan ditinggal---> Tata susila diabaikan.
Ø
Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---> Banyak
orang gila, jahat dan hilang akal budi.
Ø
Wong cilik akeh sing kepencil---> Rakyat kecil
banyak tersingkir.
Ø
Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---> Karena
menjadi kurban si jahat si laknat.
Ø
Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit--->
Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
Ø
Lan duwe prajurit---> Dan punya prajurit.
Ø
Negarane ambane saprawolon---> Lebar negeri
seperdelapan dunia.
Ø
Tukang mangan suap saya ndadra---> Pemakan suap
semakin merajalela.
Ø
Wong jahat ditampa---> Orang jahat diterima.
Ø
Wong suci dibenci---> Orang suci dibenci.
Ø
Timah dianggep perak---> Timah dianggap perak.
Ø
Emas diarani tembaga---> Emas dibilang tembaga.
Ø
Dandang dikandakake kuntul---> Gagak disebut
bangau.
Ø
Wong dosa sentosa---> Orang berdosa sentosa.
Ø
Wong cilik disalahake---> Rakyat jelata
dipersalahkan.
Ø
Wong nganggur kesungkur---> Si penganggur
tersungkur.
Ø
Wong sregep krungkep---> Si tekun terjerembab.
Ø
Wong nyengit kesengit---> Orang busuk hati dibenci.
Ø
Buruh mangluh---> Buruh menangis.
Ø
Wong sugih krasa wedi---> Orang kaya ketakutan.
Ø
Wong wedi dadi priyayi---> Orang takut jadi
priyayi.
Ø
Senenge wong jahat---> Berbahagialah si jahat.
Ø
Susahe wong cilik---> Bersusahlah rakyat kecil.
Ø
Akeh wong dakwa dinakwa---> Banyak orang saling
tuduh.
Ø
Tindake manungsa saya kuciwa---> Ulah manusia
semakin tercela.
Ø
Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih
lan disenengi---> Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
Ø
Wong Jawa kari separo---> Orang Jawa tinggal
setengah.
Ø
Landa-Cina kari sejodho ---> Belanda - Cina tinggal
sepasang.
Ø Akeh wong ijir,
akeh wong cethil---> Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
Ø
Sing eman ora keduman---> Si hemat tidak mendapat
bagian.
Ø
Sing keduman ora eman---> Yang mendapat bagian
tidak berhemat.
Ø
Akeh wong mbambung---> Banyak orang berulah dungu.
Ø
Akeh wong limbung---> Banyak orang limbung.
Ø
Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka--->
Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.
Sumber :
Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar