KISAH JAYAKATWANG
Orientasi
Jayakatwang
adalah bupati Gelanggelang (kini Madiun) yang pada tahun 1292 memberontak dan meruntuhkan Kerajaan Singhasari. Ia
kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan sampai tahun 1293.
Silsilah Jayakatwang
Jayakatwang juga sering kali disebut dengan
nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng. Dalam berita Cina ia disebut Ha-ji-ka-tang.
Nagarakretagama dan Kidung Harsawijaya menyebutkan Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya raja terakhir Kadiri. Dikisahkan pada tahun 1222 Ken Arok mengalahkan Kertajaya. Sejak itu Kadiri menjadi bawahan Singhasari di mana sebagai bupatinya adalah Jayasabha putra Kertajaya. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama
Sastrajaya. Pada tahun 1271
Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Mungkin Sastrajaya menikah dengan saudara
perempuan Wisnuwardhana, karena dalam prasasti Mula Malurung
Jayakatwang disebut sebagai keponakan
Seminingrat (nama lain Wisnuwardhana). Prasasti itu juga
menyebutkan nama istri Jayakatwang adalah Turukbali putri Seminingrat. Dari prasasti Kudadu
diketahui Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Kertanagara. Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanagara adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan.
Negeri yang Dipimpin Jayakatwang
Nagarakretagama, Pararaton, Kidung
Harsawijaya, dan Kidung Panji
Wijayakrama menyebut Jayakatwang adalah raja bawahan di Kadiri yang memberontak terhadap Kertanagara di Singhasari. Naskah prasasti Kudadu
dan prasasti
Penanggungan menyebut Jayakatwang pada saat memberontak masih
menjabat sebagai bupati Gelang-Gelang. Setelah Singhasari runtuh, baru kemudian ia menjadi raja di Kadiri.
Sempat muncul pendapat bahwa Gelang-Gelang
merupakan nama lain dari Kadiri. Namun gagasan tersebut digugurkan
oleh naskah prasasti Mula Malurung
(1255). Dalam prasasti itu dinyatakan dengan tegas kalau Gelang-Gelang dan Kadiri adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti itu
menyebutkan kalau saat itu Kadiri diperintah Kertanagara sebagai yuwaraja (raja muda), sedangkan Gelang-Gelang diperintah oleh
Turukbali dan Jayakatwang. Lagi pula lokasi Kadiri berada di daerah Kediri, sedangkan Gelang-Gelang ada di daerah Madiun. Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.
Pemberontakan
Jayakatwang
Pararaton dan Kidung
Harsawijaya menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya
(Kertajaya) dikalahkan Ken Arok pendiri Singhasari. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Aria Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi
anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena saat itu Singhasari sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian
besar pasukannya ke luar Jawa. Adapun Aria Wiraraja adalah mantan pejabat Singhasari yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanagara.
Jayakatwang melaksanakan saran Aria Wiraraja. Ia mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Guyang menyerbu Singhasari dari utara. Mendengar hal itu, Kertanagara segera mengirim pasukan untuk menghadapi yang
dipimpin oleh menantunya, bernama Raden Wijaya. Pasukan Jaran Guyang berhasil dikalahkan. Namun
sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singhasari kosong.
Pasukan kedua Jayakatwang menyerang Singhasari dari arah selatan dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang. Dalam serangan
tak terduga ini, Kertanagara tewas di dalam istananya. Menurut
prasasti Kudadu,
Ardharaja putra Jayakatwang yang
tinggal di Singhasari bersama istrinya, ikut serta dalam pasukan Raden Wijaya. Tentu saja ia berada dlam posisi sulit karena
harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan Raden Wijaya dan memilih bergabung dengan pasukan
Gelang-Gelang.
Kekalahan
Jayakatwang
Peristiwa kehancuran Singhasari terjadi tahun 1292.
Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan Kadiri sebagai pusat pemerintahannya. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi Hutan Tarik untuk dibuka
menjadi kawasan wisata perburuan.
Sesungguhnya Aria Wiraraja telah berbalik melawan Jayakatwang. Saat itu ia
ganti membantu Raden Wijaya untuk merebut kembali takhta
peninggalan mertuanya. Pada tahun 1293 pasukan Mongol datang
untuk menghukum Kertanagara yang telah berani menyakiti
utusan Kubilai Khan tahun 1289. Pasukan Mongol tersebut diterima Raden Wijaya di desanya yang bernama Majapahit. Raden Wijaya yang mengaku sebagai ahli
waris Kertanagara bersedia menyerahkan diri kepada Kubilai Khan asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan
Jayakatwang.
Berita Cina menyebutkan perang terjadi pada tanggal 20 Maret
1293. Gabungan pasukan Mongol dan Majapahit menggempur kota Kadiri sejak pagi hari. Sekitar 5000 orang Kadiri tewas menjadi korban. Akhirnya pada sore harinya,
Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol.
Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti diserang balik oleh pihak Majapahit untuk diusir keluar dari tanah Jawa.
Sebelum meninggalkan Jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati Jayakatwang
dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Menurut kitab Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama, Jayakatwang
yang telah menyerah lalu ditawan di benteng pertahanan Mongol di Hujung Galuh.
Menurut Pararaton dan Kidung
Harsawijaya, ia meninggal di dalam tahanan penjara Hujung Galuh setelah
menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
Referensi
Ø Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya.
Jakarta: Bhratara.
Ø Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan(terbitan
ulang 1965). Yogyakarta: LKIS.
Ø Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi
ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Kisah Asal usul dan Silsilah Jayakatwang,
Pemusnahan Kerajaan Singasari
Jayakatwang adalah bupati Gelang-Gelang yang
pada tahun 1292 memberontak dan meruntuhkan Kerajaan Singhasari. Ia kemudian
membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan sampai tahun 1293. Jayakatwang
juga sering kali disebut dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng.
Dalam berita Cina ia disebut Ha-ji-ka-tang.
Nagarakretagama dan Kidung Harsawijaya menyebutkan Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya raja terakhir Kadiri. Dikisahkan pada tahun 1222 Ken Arok mengalahkan Kertajaya. Sejak itu Kadiri menjadi bawahan Singhasari di mana sebagai bupatinya adalah Jayasabha putra Kertajaya. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Sastrajaya menikah dengan saudara perempuan Wisnuwardhana, karena dalam prasasti Mula Malurung Jayakatwang disebut sebagai keponakan Seminingrat (nama lain Wisnuwardhana).Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Dalam prasasti Mula Malurung, Maharaja Tumapel Seminingrat menyebut Sri Jayakatwang sebagai menantu juga kemenakannya. Sebagai menantu karena Sri Jayakatwang berpermaisuri putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali, rajamuda Gelang-Gelang sejak 1255M. Sebagai kemenakan karena ibu Sri Jayakatwang adalah adik Seminingrat. Ketegasan Seminingrat menyebutan kemenakan kepada Jayakatwang dalam Prasasti Mula Malurung cenderung mengartikan bahwa Jayakatwang putra kandung dari adik kandung perempuan Seminingrat atau Ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung Seminingrat atau putri kandung Sang Anusapati sehingga sangat layak disebut dengan tegas dalam prasasti Mula Malurung.
Karena merupakan putra dari adik kandung perempuannya, maka kelak Seminingrat tidak ragu menjodohkan Jayakatwang dengan putri bungsunya Nararya Turukbali, yuwaraja Gelang-Gelang. Sekali lagi ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung Maharaja Seminingrat.
Sebagaimana telah dipaparkan, adik kandung Seminingrat adalah Dewi Seruni. Dari prasasti Kudadu diketahui Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Kertanagara. Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanagara adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan.
Hal ini sangatlah wajar ketika seorang raja mengikat tali keluarga dengan menjodohkan keturunannya dengan keturunan saudara kandungnya sendiri. Hal itu dilakukan supaya darah keturunan raja tidak pergi kemana-mana, masih tetap dalam satu keluarga atau setidaknya garis keturunan seorang raja tetap utuh menurun sampai bawah. Ini pula yang kemudian dilakukan Maharaja Seminingrat ketika menduduki tahta Tumapel yang kemudian berbesanan dengan adik kandung perempuannya. Terjadi pernikahan sesama cucu Sang Anusapati. Putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali menikah dengan Jayakatwang, putra adik kandung perempuan Seminingrat.
Nararya Turukbali dan Jayakatwang saudara sepupu juga. Pernikahan seperti itu pernah pula dilakukan moyangnya Erlangga yang menikah dengan kakak sepupunya atau dengan Dewi Laksmi, putri kedua Dharmawangsa, raja Medang Watan. Pernikahan antar saudara sepupu juga dilakukan Seminingrat sendiri. Seminingrat menikah dengan adik sepupunya bernama Waning Hyun, putri sulung Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Wonga Teleng adalah paman Seminingrat. Dapat dikatakan Seminingrat mengikuti langkah yang ditempuh ayahnya Sang Anusapati yang berbesanan dengan adik seibunya Mahisa Wonga Teleng.
Jika ayahnya berbesanan dengan adik sepupu seibu beda ayah, Seminingrat berbesanan dengan adik kandung sendiri, menjodohkan putrinya Nararya Turukbali dengan kemenakannya Sri Jayakatwang. Tetapi bagaimanapun juga semua perkawinan antar saudara itu bertujuan untuk menjaga keaslian darah keluarga raja. Sangat pantas pula ketika mengeluarkan piagam kerajaan pemganugerahan desa Mula Malurung kepada Sang Pranaraja, Sri Maharaja Seminingrat menyebut dengan tegas bahwa Sri Jayakatwang adalah menantu sekaligus kemenakannya. Menegaskan kembali bahwa Nararya Turukbali dan Sri Jayakatwang adalah sama-sama cucu sang Anusapati, ayahanda Seminingrat, yang sepantasnya mendapat kedudukan bagus di dalam keluarga raja.
Pemerintahan Jayakatwang
Nagarakretagama, Pararaton, Kidung
Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Jayakatwang adalah raja
bawahan di Kadiri yang memberontak terhadap Kertanagara di Singhasari. Naskah
prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan menyebut Jayakatwang pada saat
memberontak masih menjabat sebagai bupati Gelang-Gelang. Setelah Singhasari
runtuh, baru kemudian ia menjadi raja di Kadiri. Sempat muncul pendapat bahwa
Gelang-Gelang merupakan nama lain dari Kadiri. Namun gagasan tersebut
digugurkan oleh naskah prasasti Mula Malurung (1255).
Dalam prasasti itu dinyatakan dengan tegas kalau Gelang-Gelang dan Kadiri adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti itu menyebutkan kalau saat itu Kadiri diperintah Kertanagara sebagai yuwaraja (raja muda), sedangkan Gelang-Gelang diperintah oleh Turukbali dan Jayakatwang.
Lagi pula lokasi Kadiri berada di daerah Kediri, sedangkan Gelang-Gelang ada di daerah Madiun. Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.
Dalam prasasti itu dinyatakan dengan tegas kalau Gelang-Gelang dan Kadiri adalah dua wilayah yang berbeda. Prasasti itu menyebutkan kalau saat itu Kadiri diperintah Kertanagara sebagai yuwaraja (raja muda), sedangkan Gelang-Gelang diperintah oleh Turukbali dan Jayakatwang.
Lagi pula lokasi Kadiri berada di daerah Kediri, sedangkan Gelang-Gelang ada di daerah Madiun. Kedua kota tersebut terpaut jarak puluhan kilometer.
Pemberontakan Jayaktwang
Pararaton dan Kidung Harsawijaya menceritakan
Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok
pendiri Singhasari. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Aria
Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi anjuran supaya
Jayakatwang segera memberontak karena saat itu Singhasari sedang dalam keadaan
kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa. Adapun Aria Wiraraja
adalah mantan pejabat Singhasari yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap
sebagai penentang politik Kertanagara.
Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Daha pada 1293M dan pendirian Kerajaan Majapahit. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel.
Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Daha pada 1293M dan pendirian Kerajaan Majapahit. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel.
Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa. Jayakatwang melaksanakan saran Aria Wiraraja. Ia mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Goyang menyerbu Singhasari dari utara atau dari arah Hering. Jadi melalui lembah timur gunung Penanggungan. Pasukan Jaran Guyang berderap riuh merajalela di sepanjang perjalanan menuju kotaraja Singasari. Sudah barang tentu para penduduk di sepanjang perjalanan itu gemetar kocar-kacir, mengungsi dan sebagian mencari perlindungan ke Singasari sekaligus menyampaikan pesan kepada pihak keraton.
Mendengar kabar penyerbuan itu, Sri Kertanagara memerintahkan Nararya Sanggramawijaya dan Ardharaja memimpin pasukan menghadang laju pasukan musuh dari utara. Nararya Sanggramawijaya diiringi para kesatria terkemuka Tumapel seperti Arya Adikara, Banyak Kapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Ki Ageng Gajah Pagon, serta tiga putra Arya Wiraraja yaitu Nambi, Peteng, dan Wirot. Semua prajurit terbaik itu melawan pasukan Daha di bagian utara serentak mengamuk dan pasukan Jaran Guyang terpukul mundur.
Namun sesungguhnya pasukan kecil ini hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singhasari kosong. Tanpa diduga bergeraklah pasukan besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Laksa menuju daerah Lawor, diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan, tanpa mengibarkan panji-panji. Kedatangnya di Sidhabuwana langsung berderap menuju kota Singasari. Yang menjadi pemimpin adalah Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot, dan Bawong. Ardharaja putra Jayakatwang, tentu saja berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan pasukan Raden Wijaya, bergabung dengan pasukan Daha atau Gelang-Gelang.
Saat itu Sri Kertanagara sedang mengadakan pesta minuman keras sebagai salah satu ritual agamanya. Dengan gagah keluar menghadapi serangan musuh. Sang maharaja Tumapel itu akhirnya gugur di Balai Manguntur sebagai kesatria bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Tumenggung Wirakreti. Kotaraja Singasari jatuh. Peristiwa kehancuran Singhasari terjadi tahun 1292.Tumapel dikuasai sepenuhnya oleh Jayakatwang. Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan Daha sebagai pusat pemerintahannya. Sementara Nararya Sanggramawijaya melarikan diri ke Terung di utara Singhasari. Karena terus dikejar musuh rombongan memilih pergi ke timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, Nararya Sanggramawijaya menyeberangi Selat Madura meminta perlindungan Arya Wiraraja penguasa Songeneb.
Gugurnya Jayakatwang
Arya Wiraraja hanya menyimpan dendam pribadi
pada Kertanegara, berhubungan dengan sikap sang raja yang antara lain
menggabungkan tiga agama yaitu Siwa Buda dan Jawa menjadi agama Siwa Boja. Arya
Wiraraja menganut Siwa seperti Raden Wijaya. Sedangkan Jayakatwang penganut
Wisnu sebagaimana leluhur Panjalu, agama warisan Erlangga. Setelah dendam
pribadi pada Kertanegara terbalas, Arya Wiraraja berniat menyingkirkan pengaruh
Jayakatwang yang menganut Wisnu, Arya Wiraraja cenderung mendukung Raden Wijaya
yang menganut Siwa.
Maka setelah menerima kedatangan rombongan nararya Sanggramawijaya, Arya Wiraraja berbalik haluan membantu putra Dyah Lembu Tal itu merebut kembali takhta peninggalan mertuanya. Nararya Sanggramawijaya berjanji jika kelak berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja.
Maka setelah menerima kedatangan rombongan nararya Sanggramawijaya, Arya Wiraraja berbalik haluan membantu putra Dyah Lembu Tal itu merebut kembali takhta peninggalan mertuanya. Nararya Sanggramawijaya berjanji jika kelak berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja.
Siasat pertama pun dijalankan. Langkah pertama Arya Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Nararya Sanggramawijaya dan seluruh pengikutnya siap menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Panjalu Daha menerimanya dengan senang hati. Sri Jayakatwang segera mengirim utusan menjemput rombongan Nararya Sanggramawijaya di pelabuhan Jungbiru. Siasat berikutnya, Nararya Sanggramawijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Arya Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb membantu Wijaya membuka hutan tersebut yang kemudian diberi nama Majapahit.
Sampai kemudian, berdasarkan catatan Dinasti Yuan, pada 1293M pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa berniat menghukum Kertanagara lantaran pada 1289M telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan. Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia lalu mengundang Ike Mese ke Desa majapahit dan memberi tahu jika dirinya ahli waris Raja Kertanagara yang sudah wafat.
Nararya Sanggramawijaya meminta bantuan pihak Mongol untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang. Setelah itu baru bersedia menyatakan tunduk pada kekuasaan Kubilai Khan. Mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese, Sri Jayakatwang segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha.
Berita Cina menyebutkan perang terjadi pada 20 Maret 1293. Gabungan pasukan Mongol dan Majapahit menggempur kota Daha sejak pagi hari. Sekitar 5000 orang Daha menjadi korban. Kota Daha benar-benar Dahanapura, kota api. Daha lautan api. Pasukan besar Mongol membungihangus keraton Jayakatwang. Akhirnya pada sore harinya, Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol. Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti diserang balik oleh pihak Majapahit diusir dari tanah Jawa. Sebelum meninggalkan Jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman. Setelah Jayakatwang hancur, Nararya Sanggramawijaya meminta izin kembali ke Majapahit, mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampai di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke Daha di mana pasukan Mongol berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Prabu Jayakatwang Raja Terakhir Dinasti
Sanjaya di Jawa
Prabu Jayakatwang adalah raja terakhir dari
Kerajaan Kediri yang silsilahnya kakek moyang bertaut pada raja-raja Agung dari
(Dinasti) Wangsa Sanjaya seperti Jayabaya, Airlangga,
Dharmawangsa, Isnaya (Mpu Sendok) dan Sanjaya yang diantara penginggalanya adalah
Borobudur dan Prambanan.
Jayakatwang adalah cucu dari Raja Kertajaya,
raja Kediri yang dibunuh dan ditumbangkan oleh Begundal Ken Arok yang lalu
mencoba mendirikan Kerajaan baru bernama Singosari di atas runtuhan Kediri dan
mendirikan Dinasti Wangsa baru, (Dinasti) Wangsa Rajasa.
Ken Arok adalah anak seorang kusir yang ayahnya mati terbunuh ketika dia masih
dalam kandungan Ibunya. Ketika dia lahir, ibunya tidak berminat mengasuhnya
karena hendak menikah lagi, sehingga Ken Arok bayi dibuang di area pemakaman
lalu dipungut dan diasuh sebagai anak oleh pencuri bernama Lembong.
Ken Arok lalu tumbuh menjadi berandalan dan
menjadi perampok paling ditakuti di wilayah kerajaan Kediri. Dia lalu
bersahabat dengan putra Tunggul Ametung, akuwu/camat wilayah
Tumapel bawahan Kediri. Karena tertarik pada istri Tunggul Ametung, Ken Dedes.
Dengan siasat keris pusaka Mpu Gandring, Ken Arok sukses membunuh Tunggul
Ametung, lalu menjadi penguasa Tumapel kemudian menggulingkan kekuasaan. Keberhasilan
suksesi berdarah ini karena dirinya didukung oleh seorang Brahmana Siwa asal
India bernama Lohgawe yang memaklumatkan pada rakyat bahwa Ken Arok adalah
avatar Dewa Siwa. Berkat kampanye Lohgawe ini, Ken Arok berhasil merebut
simpati kaum Brahmana lalu mendeklarasikan Tumapel merdeka dari Kediri. Sejak
saat itu pula, aliran Hindu Siwa juga lebih dominan di tanah jawa daripada
Hindu Wishnu.
Pasukan Kediri yang mencoba memadamkan
pemberontakan ini dan dipimpin langsung oleh Raja Kertajaya dikalahkan oleh
Tumapel dan Raja Kertajaya pun terbunuh dalam perang ini. Sejak saat itu
Kerajaan Kediri menjadi daerah jajahan Tumapel yang menjadi kerajaan baru
dengan nama baru, Singosari dan Ken Arok bergelar sebagai Ranggah Rajasa,
pendiri Wangsa Rajasa yang keturunanya akan turun temurun memerintah Jawa dari
Era Majapahit sampai Mataram Islam dengan segala intrik perang saudara. Dalam
Negarakertagama, riwayat kelam kehidupan Ken Arok coba disembunyikan dengan
disebut lahir tanpa ibu dan putra dari Bathara Girinata. Hal ini bisa dimaklumi
karena naskah tersebut memang ditulis untuk mengagungkan para Raja Majapahit,
dari Wangsa Rajasa, tentu tidak patut bila nenek moyang
pendiri raja Majapahit ditulis sebagai berandal, pencuri, pengkhianat dan
lain-lain.
Jayakatwang, harapan terakhir kebangkitan Wangsa Sanjaya yang gagal
Kekalahan Raja
Kertajaya membuat para keturunan Wangsa Sanjaya mengungsi meninggalkan Kediri.
Mereka mendirikan kerajaan baru bernama Glangglang di bumi Ngurawan Madiun.
Sekarang Desa Gelonggong, Ngurawan, Dolopo, Madiun. Di daerah ini, wangsa
Sanjaya memerintah sampai tiga generasi. Hingga lahirnya Jayakatwang, cucu dari
Kertajaya, Raja Kediri yang dikalahkan Ken Arok. Saat Jayakatwang memimpin
Glangglang. Singosari dipimpin oleh Raja Kertanegara, anak dari Ken Arok.
Kertanegara adalah
raja lalim yang tidak disukai oleh rakyat maupun raja-raja lainya. Utusan
diplomasi Mongol yang datang padanya dipotong telinganya. Kesempatan ini tak
disia-siakan oleh Jayakatwang. Mendapat dukungan rakyat, dia melancarkan
serangan ke Singosari, menurunkan Kertanegara dan Wangsa Rajasa dari
tahta. Mengembalikan kejayaan Wangsa Sanjaya lagi. Jayakatwang membangun
kembali kerajaan Kediri. Karena memiliki jiwa welas asih dan bijaksana,
Jayakatwang tidak membunuh putra Mahkota Singosari bernama Raden Wijaya,
memberinya ampun dan tanah perdikan di Hutan Tarik.
Air susu ini dibalas
oleh air tuba oleh Raden Wijaya, dia memanfaatkan pasukan Mongol yang
sebenarnya datang ke tanah Jawa untuk menghukum Kertanegara Raja Singosari,
ayahnya. Tapi dengan licik dia sukses memanfaatkan Mongol untuk menghancurkan
Kediri Baru dan membantai semua anggota keluarga Jayakatwang. Musnah sudah
Keturunan Wangsa Sanjaya Sanjaya yang agung, yang telah berabad-abad membangun
peradaban Jawa sejak era kerajaan Medang/Mataram Kuno hingga Kerajaan Kediri. Sejarah
para raja dari Wangsa Rajasa selanjutnya dipenuhi oleh perang saudara,
pemberontakan, pengkhianatan panglima dan patih. Sejak era Majapahit berdiri
sampai era Keraton Solo sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar