KISAH
RAJA GALUH MAJALENGKA
Orientasi
Konon
dahulunya Desa Rajagaluh adalah sebuah Kerajaan dibawah wilayah kekuasaan
kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi.Saat itu Kerajaan
Rajagaluh dibawah tampuk pimpinan seorang raja yang terkenal digjaya sakti
mandraguna. Agama yang diantunya adalah agama Hindu.Pada tahun 1482 Masehi,
Syeh Syarif Hidayatulloh ( Sunan Gunung Jati ) mengembangkan Islam di Jawa
Barat dengan secara damai. Namun dari sekian banyak Kerajaan di tatar Pasundan
hanya Kerajaan Rajagaluh yang sulit ditundukan.
Setelah Kerajaan Cirebon memisahkan diri dari wilayah Kerajaan Pajajaran maka pembayaran upeti dan pajak untuk Kerajaan Cirebon dibebeaskan, namun untuk Kuningan pajak dan upeti masih berlaku. Untuk penarikan pajak dan upeti dari Kuningan Prabu Siliwangi mewakilkan kepada Prabu Cakra Ningrat dari Kerajaan Rajagaluh. Akhirnya Prabu Cakra Ningrat mengutus Patihnya yang bernama Adipati Arya Kiban ke Kuningan, namun ternyata adipati Kuningan yang bernama adipati Awangga menolak mentah-mentah tidak mau membayar pajak dengan alasan bahwa Kuningan sekarang masuk wilayah Kerajaan Cirebon yang sudah membebaskan diri dari Kerajaan Pajajaran. Sebagai akibat dari penolakannya maka terjadilah perang tanding antara Adipati Awangga dan Adipati Arya Kiban. Dalam perang tanding keduanya sama-sama digjaya, kekuatannya seimbang sehingga perang tanding tidak ada yang kalah atau yang menang. Tempat perang tanding sekarang dikenal sebagai desa JALAKSANA artinya jaya dalam melaksanakan tugas.
Perang
tanding tersebut dapat didengar oleh Syeh Syarif Hidayatulloh yang kemudian
beliau mengutus anaknya Arya Kemuning yang dikenal sebagai Syeh Zainl Akbar
alias Bratakalana untuk membantu Adipati Awangga dalam perang tanding. Dengan
bantuan Arya Kemuning akhirnya adipati Arya Kiban dapat dikalahkan. Adipati
Arya Kiban melarikan diri dan menghilang didaerah Pasawahan disekitar Telaga
Remis, sebagian prajuritnya ditahan dan sebagian lagi dapat meloloskan diri ke
Rajagaluh.Semenjak kejadian tersebut Kerajaan Rajagaluh
segera menghimpun kekuatannya kembali untuk memperkokoh pertahanan
menakala ada serangan dari Kerajaan Cirebon.Sebagai pengganti Adipati Arya
Kiban ditunjuknya Arya mangkubumi, Demang Jaga Patih, Demang Raksa Pura, dan
dibantu oleh Patih Loa dan Dempu Awang keduanya berasal dari Tata/dataran Cina.
Syeh Syarif Hidayatulloh melihat Kerajaan Rajagaluh dengan mata hatinya berkesimpulan bahwa prajurit Cirebon tidak akan mampu menaklukan Rajagaluh kecuali dengan taktik yang halus. Hal ini mengingat akan kesaktian Prabu Cakraningrat. Akhirnya Syeh Sarif Hidayatulloh mengutus 3 (tiga) orang utusan yakni Syeh Magelung Sakti, Pangeran Santri, Pangeran Dogol serta diikut sertakan ratusan Prajurit. Pengiriman utusan dari Cirebon dengan segera dapat diketahui oleh Prabu Cakra Ningrat, beliaupun segera menugaskan patih Loa dan Dempu Awang untuk menghadangnya. Saat itupun terjadilah pertempuran sengit, namun prajurit Cirebon dapat dipukul mundur, Melihat prajurit Cirebon kucar-kacir maka majulah Syeh Magelung Sakti, Pangeran Santri dan Pangeran Dogol, terjadilah perang tanding melawan Patih Loa dan Dempu Awang. Perang tanding tidak kunjung selesai karena kedua belah pihak seimbang kekuatannya, yang akhirnya pihak Cirebon tidak berani mendekati daerah Rajagaluh, begitupun sebaliknya.
Atas
kejadian ini Prabu Cakra Ningrat segera mengutus Patih Arya Mangkubumi
ditugaskan untuk menancapkan sebuah Tumbak Trisula pada sebuah Lubuk sungai
disekitar tempat terjadinya perang tanding. Akibatnya tancapan tombak tersebut
serta merta air sungai tersebut berubah menjadi panas dan dapat membahayakan
bagi prajurit Cirebon manakala menyebranginya. Kejadian tersebut mengundang
marahnya pihak Cirebon. Nyi Mas Gandasari cepat bertindak, dengan kesaktiannya
ia mengencingi sungai tersebut. Serta merta air sungaipun tidak berbahaya lagi
walaupun airnya tetap panas. Tempat kejadian tersebut sekarang dikenal dengan
nama Desa Kedung Bunder.
Setelah kejadian itu syeh Magelung Sakti dan kawan-kawan serta prajuritnya berupaya mendekati kota Rajagaluh, rombongan kemudian berhenti ditepian kota Rajagaluh, membuat perlindungan sebagai tempat pengintaian. Tempat tersebut berada disekitar Desa Mindi yang sekarang dikenal dengan hutan tenjo.Pada saat yang bersamaan Syeh Syarif Hidayatulloh mengutus pula Nyi Mas Gandasari, ia ditugaskan untuk menggoda Prabu Cakra Ningrat, dengan harapan Nyi Mas Gandasari dapat melarikan Zimat Bokor Mas ( Kandaga Mas ) sebagai zimat andalan kesaktian Prabu Cakra Ningrat.
Saat mendekati wilayah Rajagaluh Nyi Mas Gandasari menyamar sebagai pengemis dan ia selamat luput dari pengawasan prajurit Rajagaluh. Begitu masuk pinggiran Kota Rajagaluh, peran penyamarannya dirubah menjadi ronggeng keliling. Pinggiran kota tersebut sekarang dikenal sebagai Desa Lame. Gerak-gerik penyamaran Nyi Mas Gandasari tidak terlepas dari pengawasan dan Pengintaian Syeh Magelung Sakti dan kawan-kawan. Ketenaran Nyimas Ronggeng begitu cepat meluas baik dari kecantikannya ataupun lemah gemulai tariannya yang mempesona. Berita ketenaran Nyi Ronggeng sampai pula ke istana. Dengan penuh penasaran Prabu Cakra Ningrat memanggil Nyi Ronggeng ke istana. Usai Nyi Ronggeng mempertunjukan kebolehannya. Tanpa diduga sebbelumnya ternyata Sang Prabu Cakra Ningrat langsung terpikat hatinya. Gelagat perubahan yang terjadi pada Prabu Cakra Ningrat segera diketahui oleh anaknya Nyi Putri Indangsari. Dinasehatilah ayahnya agar jangan terpikat oleh Nyi Ronggeng.Namun, nasehat Nyi Putri ternyata tidak digubrisnya diacuhkannya, bahkan Sang Prabu berkenan mengajaknya Nyi Ronggeng masuk ke istana malahan beliau sampai mengajak tidur bersama.
Nyi Ronggeng menolak ajakan terakhir dari Sang Prabu Cakra Ningrat, Nyi Ronggengpun dapat mengabulkan ajakan beliau untuk tidur bersama asal dengan syarat Prabu Cakra Ningrat terlebih dahulu dapat memperlihatkan zimat andalannya yaitu Bokor Mas.Syarat tersebut disetujui oleh Sang Prabu, maka diperlihatkanlah zimat yang dimaksud, serta merta dirabalah zimat tersebut oleh Nyi Ronggeng.Bertepatan dengan itu tiba-tiba Sang Prabu ingin buang air kecil, maka kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nyi Ronggeng. Bokor Mas langsung diambil dan dibawa lari saat Sang Prabu buang hajat kecil.Dil luar Nyi Mas Gandasari dihadang oleh seekor banteng besar penjaga istana, namun dengan kesaktiannya ia dapat lolos dari amukan banteng tersebut.
Kejadian tersebut segera terlihat oleh Syeh Magelung Sakti dan kawan-kawannya, banteng itupun ditebasnya sampai putus lehernya.
Kendatipun
kepalanya sudah terpisah namun kepala banteng tersebut masih bisa mengamuk
menyeruduk membabi buta, namun akhirnya kepala banteng tersebut terkena
tendangan Syeh Magelung Sakti sehingga melayang dan jatuh didaerah ciledug yang
sekarang dikenal sebagai Desa Hulu Banteng. Sedangkan badannya lari kearah
utara sampai akhirnya terjerembab ke sebuah Lubuk Sungai. Sekarang dikenal
sebagai Desa Leuwimunding. Prajurit Cirebon terus menyerbu kota Rajagaluh.
Pertahanan Rajagaluh sudah lemah sehingga Rajagaluh mengalami kekalahan. Prabu
Cakra Ningrat sendiri melarikan diri ke kota Talaga bergabung dengan Prabu
Pucuk Umum. Yang kemudian keduanya pergi menuju Banten (Ujung Kulon).
Sementara anaknya Nyi Putri Indangsari tidak ikut serta dengan ayahnya karena rasa jengkel sebab saran-saran Nyi Putri Indangsari tidak didengar oleh ayahnya. Nyi Putri Indangsari sendiri malah pergi kesebelah utara sekarang di kenal dengan Desa Cidenok. Di Cidenok Nyi Putri tidak lama, ia teringat akan ayahnya. Nyi Putri sadar apapun kesalahan yang dilakukan oleh Sang Prabu Cakra Ningrat, sang Prabu adalah ayah kandungnya yang sangat ia cintai, iapun berniat menyusul ayahnya, namun ditengah perjalanan Nyi Putri dihadang oleh prajurit Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Birawa. Nyi Putri dan pengawalnya ditangkap kemudian diadili. Pengadilan akan membebaskan hukuman bagi Nyi Putri dengan syarat mau masuk islam.
Akhirnya
semua pengawalnya masuk islam tapi Nyi Putri sendiri menolaknya, maka Nyi Putri
Indangsari ditahan disebuah gua. Alkisah menghilangnya Adipati Arya Kiban yang
cukup lama akibat kekalahannya oleh Adipati Awangga saat perang tanding, ia
timbul kesadarannya untuk kembali ke Rajagaluh untuk menemui Prabu Cakra
Ningrat untuk meminta maaf atas kesalahannya. Namun yang ia dapatkan hanyalah
puing-puing kerajaan yang sudah hancur luluh. Ia menangis sedih penuh
penyesalan. Ia menrenungkan nasibnya dipinggiran kota Rajagaluh. Tempat
tersebut sekarang dikenal dengan Batu Jangkung (batu tinggi). Ditempat itu pula
akhirnya Adipati Arya Kiban ditangkap oleh prajurit Cirebon, kemudian
ditahan/dipenjarakan bersama Nyi Putri Indangsari disebuah gua yang dikenal
dengan Gua Dalem yang berada di daerah Kedung Bunder, Palimanan. Dikisahkan
bahwa Nyi Putri Indangsari dan Adiapti Arya Kiban meninggal di gua tempat ia
dipenjarakan (Gua Dalem), kisah lain keduanya mengilang.
Kerajaan Galuh
Kerajaan Galuh
adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya terletak antara Sungai
Citarum di sebelah barat dan Sungai Ci Serayu
juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari
kerajaan Kendan,
bawahan Tarumanagara.
Sejarah
mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah
berbahasa Sunda
yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai
Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi
selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya
di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Saat
Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia pada
tahun 669,
kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Sri Maharaja Tarusbawa, menantunya dari
Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara.
Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh,
dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk
berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda
sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Kerajaan
Kembar
Wretikandayun
mempunyai tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru di Galunggung),
Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak. Setelah
menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702), Wretikandayun
diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab kedua kakaknya
menjadi resiguru.[8]
Dari
Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan Purbasora.
Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret ke
perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari
istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha,
Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha dan Sena
lantas menikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri (atau disebut
Sanjaya).
Kakuasaan
Galuh yang diwariskan pada Mandiminyak (702-709), kemudian diteruskan
oleh Sena. Karena merasa punya hak mahkota dari Sempakwaja, Demunawan dan
Purbasora merebut kekuasaan Galuh dari Sena (tahun 716). Akibat terusir, Sena
dan keluarganya lantas mengungsi ke Marapi di sebelah timur, dan menikah dengan
Dewi Citrakirana, putra dari Sang Resi Padmahariwangsa, raja Indraprahasta.
Raja-Raja
Galuh
Raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh:
- Wretikandayun (Rahiyangta ri Menir, 612-702)
- Mandiminyak atau Prabu Suraghana (702-709)
- Sanna atau Séna/Sannaha (709-716)
- Purbasora (716-723)
- Rakeyan Jambri/Sanjaya, Rakai Mataram/Harisdarma (723-732); Galuh bersatu dengan Sunda
- Tamperan Barmawijaya (732-739)
- Sang Manarah (739-746)
- Rakeyan ri Medang (746-753)
- Rakeyan Diwus (753-777)
- Rakeyan Wuwus (777-849)
- Sang Hujung Carian (849-852)
- Rakeyan Gendang (852-875)
- Dewa Sanghiyang (875-882)
- Prabu Sanghiyang (882-893)
- Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
- Sang Lumahing Winduraja (900-923)
- Sang Lumahing Kreta (923-1015)
- Sang Lumahing Winduraja (1015-1033)
- Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
- Sang Lumahing Taman (1183-1189)
- Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
- Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
- Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
- Aki Kolot (1229-1239)
- Prabu Maharaja (1239-1246)
- Prabu Bunisora (1357-1371)
- Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
- Dewa Niskala (1475-1483)
- Ningratwangi (1483-1502)
- Jayaningrat (1502-1528)
- maharaja cipta sanghyang di galuh ( 1528-1595 )
Atau menurut Naskah Wangsakerta daftar lengkap
raja-raja yang bertahta di Kerajaan Galuh antara lain:
- Sang Wretikandayun (534-592) Saka (S)/ (612/3-670/1) M (Masehi) sebagai Raja Galuh.
- Sang Mandiminyak/ Suraghana (624-631) Saka/ (702/3-709/10) M.
- Sang Senna atau Sanna, 631-638 Saka/ (709/10-716/7) M.
- Sang Purbasura (638-645) Saka/ (716/7-723/4) M.
- Sang Sanjaya, Rakai Mataram (645-654) Saka/ (723/4-732/3) M, sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Sang Tamperan (654-661) Saka/ (732/3-739/40) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Sang Manarah (661-705) Saka/ (740-784), sebagai penguasa Galuh.
- Sang Manisri (705-721) Saka/ (783/4-799/800) Masehi sebagai raja Galuh.
- Sang Tariwulan (721-728) Saka/ (799/800-806/7) sebagai raja Galuh.
- Sang Welengsa (728-735) Saka (806/7-813/4) M sebagai raja Galuh.
- Prabhu Linggabhumi (735-774) Saka/ (813/4-852/3) M sebagai raja Galuh.
- Danghyang Guru Wisuddha (774-842) Saka/ (852/ 3-920/1) M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Jayadrata (843-871) S/ (921/2-949/50 M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Harimurtti (871-888) S/ (949/50-966/7) M.
- Prabhu Yuddhanagara (888-910) S/ (966/7-988/9) M sebagai ratu Galuh.
- Prabhu Linggasakti (910-934) S/ (988/9-1012/3) M sebagai ratu Galuh.
- Resiguru Dharmmasatyadewa (934-949) S (1012/3-1027/8) M sebagai raja Galuh.
- Prabhu Arya Tunggalningrat (987-1013) S/ (1065/6-1091/2) M sebagai raja wilayah Galuh.
- Resiguru Bhatara Hyang Purnawijaya (1013-1033) S/ (1091-1111) M sebagai ratu Galuh.
- Bhatari Hyang Janawati (1033-1074) S/ (1111/2-1152/3) M sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung.
- Prabhu Dharmmakusuma (1074-1079) S/ (1152/3-1157/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
- Prabu Guru Darmasiksa (1097-1219) S/ (1157/8-1297/8) M sebagai maharaja Galuh dan Sunda.
- Rakeyan Saunggalah (1109-1219) S/ (1167/8-1297/8) M sebagai ratu Galuh, (1219-1225) S/ (1297/8-1303/4) M menjadi Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Citragandha (1225-1233) S/ (1303/4¬-1311/2) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Linggadewata (1233-1255) S/ (1311/2-1333/4) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Ajiguna (1255-1262) S/ (1333/4-1340/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Ragamulya (1262-1272) S/ (1340/1¬-1350/1) M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Maharaja Linggabhuwana (1272-1279) S/ (1350/1-1357/8 M sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.
- Mangkubhumi Suradhipati (1279-1293) S/ (1357/8-1371/2) M, Maharaja Galuh dan Sunda .
- Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1293-1397) S/ (1371/2¬-1475/6), penguasa Galuh dan Sunda.
- Dewa Niskala atau Ningrat Kancana (1397-1404) S/ (1475/6-1482/3 M, sebagai raja Galuh.
- Prabhu Ningratwangi (1404-1423) S/ (1482/3-1501/2) M, sebagai ratu Galuh mewakili kakaknya, Sri Baduga Maharaja penguasa Galuh dan Sunda.
- Prabhu Jayaningrat (1423-1450) S/ (1501/2-1528/9) M Prabhu Jayaningrat bukan ratu Galuh terakhir, dan kerajaan Galuh tidak ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon namun Kawali tidak jadi pusat Kerajaan Galuh tetapi berpindah ke Galuh Salawe Pangauban di Cimaragas, Ciamis.
- Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh Salawe ( 1528-1595 ) di Cimaragas, Ciamis. Masa Kerajaan Galuh berakhir di jaman Mataram 1595 saat itulah raja raja di seluruh pulau Jawa termasuk galuh di turunkan statusnya menjadi kebupatian oleh Mataram. [10]. [11]
- Prabu Cipta Permana (1595-1618) M raja Kerajaan Galuh terakhir? Dapat pula dilihat dalam Daftar Bupati Ciamis dimana Adipati Panaekan (1618 - 1625) M sebagai bupati Galuh pertama (Kerajaan Galuh jadi Kabupaten Galuh sampai tahun 1914) atau Ciamis (nama Kabupaten Ciamis sejak 1916 zaman bupati Aria Sastrawinata yang menjabat tahun 1914 - 1935).
Kisah klasik Sang Manarah Baginda Maharaja Jayaprakosa Mandaleswara
Salakabuana (Ciung Wanara)
Galuh Kawali sepeninggal Prabu Jayaningrat
Sepeninggal Prabu Jayaningrat, penguasa Galuh Kawali
dalam pengaruh Cirebon:
- Pangeran Dungkut (lungkut) (1528 - 1575 M) putra Lanangbuana, raja kuningan menjadi penguasa Galuh Kawali pengganti Jayaningrat.
- Pangeran Bangsit (1575-1592 M) disebut juga Mas Palembang putra Pangeran Dungkrut.
- Pangeran Mahadikusumah/Apun di Anjung (1592 M) putra Pangeran Bangsit.
- Pangeran Usman (1643) menikahi putri Pangeran Mahadikusumah dan ia yang pertama dimakamkan di situs kawali.
- Dalem Adipati Singacala (1643-1718 M) putra Adidempul Cicit pangeran Bangsit, menikahi Nyi Anjungsari putri Pangeran Usman.
Sementara di wilayah Galuh lain yaitu Galuh Pangauban (Ciamis Selatan). Nama
Galuh muncul lagi yang ingin menjadi Ratu Galuh yang menguasai kerajaan kecil
(semacam kandaga lante) tempat Pangauban (perlindungan). Terletak antara
Cipamali dan Cisanggarung lalu ke daearah aliran Sungai Citanduy. Kerajaan
Galuh yang dirancang oleh Pucuk Umum (Pangauban) dibangun oleh Kamalarang
dibantu oleh masyarakat Pakidulan yang tempatnya di tengah hutan berjarak dari
laut sepenyirihan (kurang lebih 5 km) luasnya kurang lebih 100 depa persegi
(sekitar 1,2 m). [15]
Sekelilingnya dipagar tanaman Haur Kuning yang
berduri, sebelah Utara dibuat alun-alun yang luasnya 50 depa persegi, di
sebelah Selatan ada tanah kosong seluas 50 deupa persegi. Bangunan keratonnya
sangat sederhana tenggaranya didirikan tujuh rumah untuk para menteri dan
pegawai negara yang penting. Di sekitar rumpun haur dikelilingi oleh perumahan
rakyat yang setia sebanyak 100 orang ditambah oleh rakyat Bagolo serta Kamulyan
Maratama, Maradua, dan Maratiga yang setia kepada Prabu Haur Kuning dalam
membangun pusat Galuh Pangauban. [16]
Pada tahun 1516 M Pucuk Umum (Pangauban) karena
simpati kepada Islam dan ajarannya pernah memimpin pasukan ke Malaka membantu
Patih Yunus dari Kesultanan Demak atas perintah Raden Patah.
Tapi Pucuk Umum tidak mau diangkat menjadi pimpinan Islam karena alasannya
harus menyerang kerajaan Pajajaran sedangkan Pajajaran itu adalah eyangnya,
akhirnya Pucuk Umum dibuang ke Ujung Kulon bersama istrinya.
Prabu Haur Kuning (1535 – 1580 M) putra Pucuk Umum
(Pangauban). Maharaja Cipta Sanghiang (1580 – 1595 M ) putra Prabu Haur Kuning
yang menjadi raja Galuh Gara Tengah dengan Gelar Maharaja Prabu Cipta Sanghyang Permana dan termasuk Raja Galuh
terakhir yang beragama Hindu jasadnya dilarung di Ciputrapinggan sekarang
adalah desa Putrapinggan, Kalipucang, Pangandaran.
Prabu Cipta Permana (1595 – 1618 M) Ratu Galuh yang pertama masuk Islam karena
menikahi Tanduran Tanjung putri Maharaja Mahadikusumah, penguasa Cirebon di
Galuh Kawali.
Sebelum tahun 1596 M Cirebon belum
terikat oleh Mataram bahkan daerah Ciamis Utara yang dimaksud utara Citanduy
ada di bawah kekuasaan Cirebon termasuk Panjalu,
Ciamis. Pada tahun 1618, Mataram menguasai Galuh dimulai pergantian gelar Raja
yang tadinya bergelar Ratu atu Sanghyang dengan gelar Adipati yaitu bupati di
bawah kekuasaan Mataram.
Wilayah Galuh pada Masa Hindia Belanda
Kabupaten Galuh Ciamis, kejayaan zaman Kangjeng Prabu
Kangjeng
Prabu sebagai bupati Galuh yang keenambelas ini paling ternama. Ia mempunyai
ilmu yang tinggi dan merupakan bupati pertama di wilayah itu yang bisa membaca
huruf latin. Memerintah dengan adil disertai dengan kecintaannya pada rakyat.
Empat puluh tujuh tahun lamanya Raden Adipati Aria Kusumadiningrat memimpin
Galuh Ciamis (1839-1886).
Pemerintah
kolonial saat itu sedang menjalankan Tanam Paksa.
Sebetulnya di tatar Priangan sejak tahun 1677 sudah dilaksanakan
juga apa yang disebut Preangerstelsel
atau sistem Priangan yang berkaitan dengan komoditi kopi. Sampai sekarang
terabadikan dalam lagu yang berurai air mata yang bunyinya "Dengkleung dengdek, buah kopi
raranggeuyan. Ingkeun saderek, ulah rek dihareureuyan", gambaran
seorang wanita yang sedih berkepanjangan karena ditinggal pujaan hati bekerja
dalam tanam paksa. Dari Preangerstelsel,
di tempat lain dimekarkan menjadi Culturstelsel.
Jelas di Kabupaten Galuh ini bukan cuma komoditi kopi yang dipaksa harus
ditanam olah rakyat, tetapi juga nila. Proyek nila ini menimbulkan insiden Van Pabst
yang menyebabkan Bupati Ibanagara dicopot dari jabatannya.
Awal Mula adanya Perkebunan Kelapa di Galuh
Tentu saja Kangjeng Prabu bersedih hati dan prihatin menyaksikan rakyatnya dipaksa harus menanam kopi dan nila, sementara hasilnya diambil oleh Belanda. Rakyat hanya kebagian mandi keringatnya, cuma kebagian repotnya saja, meninggalkan anak, isteri, dan keluarga, sehari-hari hanya mengurus kebun kopi dan teh. Di zaman tanam paksa kopi inilah saat kelahiran tembang sedih Dengkleung Dengdek. Tertulis dalam majalah Mangle, almarhum Kang Pepe Syafe'i R. A. diminta berceritera saat bersantai di perkebunan Sineumbra di Bandung selatan. Saat itu administratur Mangle adalah Max Salhuteru yang penuh perhatian pada kehidupan budaya tradisional Sunda. Pepe Syafe'i didaulat untuk menceriterakan sejarah lahirnya tembang dramatis Deungkleung Dengdek oleh administratur itu.
Kangjeng
prabu sendiri menangis dalam hati, tidak tega menyaksikan rakyat tersiksa oleh
pemerintah kolonial. Untuk mengurangi nestapa rakyat, agar selama bekerja tanam
paksa tidak sampai perasaan kehilangan kerabat itu mengharu biru setiap waktu,
dilakukanlah pembangunan berupa pembuatan beberapa saluran air dan bendungan,
yang sekarang disebut saluran tersier dan sekunder termasuk dam yang kokoh.
Sampai kini masih ada saluran air Garawangi yang dibangun tahun 1839, Cikatomas tahun 1842, Tanjungmanggu yang
lebih terkenal dengan sebutan Nagawiru
(berarti Naga biru) dibangun tahun 1843, dan saluran air Wangunreja tahun 1862.
Selanjutnya
bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur sebelum berbakti
pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun kelapa di berbagai
tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki saat seserahan diwajibkan untuk membawa
tunas kelapa, yang selanjutnya harus ditanam di halaman rumah tempat mereka
mengawali perjalanan bahtera rumah tangga.
Dari
zaman Kangjeng prabu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat subur,
dengan produksinya yang menumpuk (ngahunyud)
di setiap pelosok kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor
menjadi gudang kelapa paling makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak
kelapa didirikan oleh para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor
adalah Gwan Hien, yang oleh
lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di Pawarang
yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa bom saat
Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian juga yang
lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit dan minyak
goreng jenis lainnya.
Pembangunan Sekolah Sunda
Dari
tahun 1853
Kangjeng prabu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari kayu Jati yang
kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektare, dengan kolam
ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain dari keraton,
ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek keraton juga ada masjid.
Tahun 1872
di komplek keraton ini dibangun Jambansari dan pemakaman keluarga Bupati. Di
sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat dikeramatkan. Dulu tidak ada yang
berani melanggarnya, orang Galuh percaya air situ itu mengandung khasiat
seperti yang dituliskan oleh Kangjeng prabu dalam guguritan yang dibuatnya, "Jamban tinakdir Yang Agung, caina tamba panyakit, amal jariah kaula,
bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning."
Artinya kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung, airnya penyembuh
penyakit, amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali
mas pajeng kuning."
Menurut
para menak Galuh zaman sekarang, terutama keturunan Kangjeng prabu, zaman dulu guguritan yang disusun dalam pupuh
Kinanti ini suka dinyanyikan oleh anak-anak sekolah rakyat. Selain bangunan
untuk kepentingan keluarga Bupati, Kanjeng prabu juga membangun gedung-gedung
pemerintahan dan sarana lainnya. Antara tahun 1859 sampai 1877 pembangunan
berlangsung tanpa henti. Diawali dengan dibangunnya gedung pemerintahan
kabupaten yang megah, tepatnya di gedung DPRD sekarang, menghadap utara. Lantas
gedung untuk Asisten Residen, yang sekarang menjadi gedung negara atau gedung
kabupaten, sekaligus tempat tinggal Bupati sekeluarga. Bangunan lainnya adalah
markas militer, rumah pemasyarakatan, masjid agung, gedung kantor telepon.
Tampaknya
Kangjeng prabu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan masyarakat.
Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa
Perancis ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga
Bupati, sengaja dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor
kabupaten untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa
Belanda. Tahun 1862, Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang
kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar
Sunda.
Dalam
upaya menyebarkan agama Islam, Kangjeng prabu mempunyai cara-cara tersendiri. Terutama
dalam upaya menghilangkan kepercayaan sebagian masyarakat yang masih menyimpan
sesembahan berupa arca batu setinggi manusia. Kangjeng prabu sengaja suka
mengadakan silaturahmi dan pengajian dengan mengajak serta masyarakat.
Dalam
kumpulan seperti itulah ia mengajak rakyatnya supaya mereka setiap akan pergi
ke pengajian dan perkumpulan, membawa arca yang ada di rumahnya masing-masing.
"Kita satukan dengan arca kepunyaan saya," katanya. Rakyat setuju
saja diminta membawa arca seperti itu dan dengan jujur mengakui bahwa di
rumahnya memiliki arca. Dengan demikian, tanpa memakan waktu yang lama, sudah
tidak ada lagi arca yang disimpan di rumah-rumah rakyat. Masyarakat beribadah
dengan sungguh-sungguh memuji keagungan Allah. Islam mekar memancar seputaran
Galuh. Sementara arca-arca yang dikumpulkan rakyat, ditumpuk begitu saja di
Jambansari. Sekelilingnya ditanami pepohonan yang rimbun. Itu sebabnya sampai
sekarang banyak arca di pemakaman Kangjeng prabu di Selagangga.
Kangjeng
prabu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca aksara latin,
juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang berkembang di
masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng prabu juga menguasai makhluk gaib yang di
Ciamis terkenal disebut onom.
Tahun 1861,
jalan kereta api akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari
Tasikmalaya ke Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta. Kangjeng
prabu segera mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota
Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya
pembuatannya memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang panjang di
Cirahong dan Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima permohonan itu.
Walaupun stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tetapi Ciamis sampai
kini dilewati jalan kereta api, di antaranya kereta api Galuh.
Tahun
1886 Kangjeng
prabu lengser kaprabon,
jabatannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Adipati Aria
Kusumasubrata. Tapi walaupun sudah pensiun, Kangjeng prabu tidak hanya mengaso
sambil ongkang-ongkang kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah dan
membangun Galuh Ciamis. Masih pada zamannya berkuasa, Undang-undang Agraria
mulai dipakai, tepatnya tahun 1870. Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan
swasta, di antaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan,
Damarcaang, dan Sindangrasa.
Tahun
1915 Kabupaten
Galuh secara resmi masuk ke Karesidenan Priangan, dan sebutannya menjadi
Kabupaten Ciamis. Tanggal 1 Januari 1926 Pulau Jawa dibagi
menjadi tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jawa Barat
dibagi menjadi lima karesidenan, 18 Kabupaten
dan enam kotapraja.
Ciamis selanjutnya masuk ke Karesidenan Priangan Timur.
Di
lokasi keraton Selagangga, Kangjeng prabu juga membuat masjid megah. Orang yang
dipercayai untuk mengurus dan menghidupkannya adalah Haji Abdul Karim. Untuk
pemekaran agama Islam, Bupati Galuh memerintahkan para Kepala Desa supaya di
tiap desanya didirikan masjid, selain untuk ibadah secara umum, juga untuk
anak-anak dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Pendeknya untuk membangun
mental spiritual masyarakat. Masjid Selagangga sangat ramai dikunjungi para
remaja.
Peninggalan Kangjeng prabu
Namun
kini yang ada hanya tinggal makam keluarga dan Jambansari yang tinggal secuil.
Situ yang dulu ada di sebelah barat telah tiada bekasnya barang sedikitpun.
Padahal dulu ada dua situ, di sebelah barat dan timur. Sekarang sudah berubah
menjadi perkampungan. Tanah yang dulu menjadi milik anak dan cucu Christiaan Snouck Hurgronje, sebelah timur
tapal batas dengan Jambansari, kini juga sudah menjadi perkampungan.
Pemakaman
Kangjeng prabu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara oleh Yayasan yang
dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke belakang, sempat telantar
kurang terurus karena tiadanya biaya. Jambansari hampir hilang terkubur
ilalang. Maka didatangilah rumah keluarga Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia di Jakarta yang saat itu dijabat Ir. Radinal Muchtar. Oleh
keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta diangkat lagi
martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak Galuh Ciamis, keturunan
Kangjeng prabu. Jadi masih merasa perlu bertanggungjawab untuk memelihara
pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh sangat dimulyakan.
Ada
yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama yang
bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan
Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan
mengikuti nama pimpinan Muhammadiyah. Oleh sebab itu orang Galuh tetap
menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada peninggalan Kangjeng prabu yang
dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh Ciamis. Tanpa mengurangi rasa
hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati untuk mengembalikan nama Jalan
Selagangga untuk mengenang Kanjeng prabu yang memiliki keraton di tempat itu,
memimpin Galuh dari sana, bahkan dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa
(Jambansari) Selagangga. Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang bisa
diterima bila Jalan Selagangga harus berganti nama.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar