KISAH KERAJAAN BLAMBANGAN
Orientasi
Seiring dengan berjalannya waktu, eksistensi
Kabupaten Banyuwangi yang kerap muncul diberbagi media masa membuat wilayah ini
makin dikenal oleh khalayak luas. Hal ini tentu tak lepas dari peran seorang
pemimpin yang berhasil mengendalikan tongkat komando di wilayahnya. Beberapa
peristiwa penting yang pernah terjadi di kabupaten yang terletak di ujung timur
Pulau Jawa ini, dari dulu hingga sekarang memang kerap menjadi sorotan publik.
Bahkan, ada diantaranya menjadi isu Nasional yang hingga detik ini masih menjadi
misteri. Tampil seksi dengan membawa nama besar Kerajaan Blambangan, Kabupaten
Banyuwangi memang selalu menjadi perhatian orang banyak. Bahkan, tak sedikit
yang penasaran. Ada apa, dan mungkinkah ada sesuatu dibalik nama
Blambangan hingga membuat nama Banyuwangi kerap menjadi sorotan.
Dewasa ini, saat menyebut nama Blambangan,
maka sosok yang keluar adalah ‘Menak Jinggo’.
Konon, tokoh tersebut merupakan Raja Blambangan yang dimanifestasikan oleh
banyak masyarakat Banyuwangi sebagai seorang pemimpin atau pahlawan Blambangan
yang mempunyai jiwa corsa dengan tubuh gagah perkasa dengan bersenjatakan gada
emas di tangan kanannya. Kepercayaan masyarakat Banyuwangi mengenai Raja
Blambangan yang satu ini memang sudah mendarah daging. Bahkan, kebanyakan dari
masyarakat seakan kurang bisa menerima jika ada orang atau sekelompok yang
mencoba mematahkan alur cerita yang sudah turun-temurun itu. Disisi lain, ada
cerita rakyat dari Banyuwangi tentang Damarwulan yang hingga ini juga masih
eksis turun temurun. Tapi sebelum masuk ke alur cerita itu, ada sepenggal kisah
pengantar yang nyaris dilupakan orang.
Begini ceritanya
Tersebutlah seorang ratu dari Majapahit
bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era pemerintahannya, Majapahit berhasil
menaklukkan banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah
kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan, itu. Salah satu kerajaan yang
menjadi incaran Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Adipati
Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti mandraguna dan arif bijaksana. Ratu
Majapahit itu pun berupaya menundukkannya dengan sebuah sayembara. Dalam
sayembara itu berbunyi “Barangsiapa yang mampu
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan ku angkat menjadi Adipati
Blambangan yang baru, menggantikan dia.” Demikian maklumat Ratu Ayu
Kencana Wungu yang dibacakan di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang.
Namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet. Hingga suatu hari
datanglah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Jaka Umbaran. Rupanya,
Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo Marcuet, bahwa Adipati itu hanya
dapat dikalahkan dengan pusakanya sendiri. Maka, dia memerintahkan Dayun
sahabatnya untuk mencuri pusaka tersebut dan dengan senjata Gada Wesi Kuning
(yang dicurinya dari Menak Jinggo sendiri), akhirnya Jaka Umbaran berhasil
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Alhasil, hingga saat ini gelar Minak Jinggo
yang disematkan oleh Ratu Ayu Kencana Wungu atas jasa Jaka Umbaran yang
berhasil membunuh Kebo Marcuet pun terbawa arus masa hingga hari ini.
Mirisnya, Adipati Blambangan yang
sesungguhnya, yakni Kebo Mercuet, saat ini hanya tinggal nama saja. Pahlawan
dan pejuang sejati yang dihinakan dan dianggap sebagai makhluk bertanduk
seperti kerbau ini, seiring dengan berjalannya waktu seakan dilupakan oleh
masyarakat. Hingga detik ini, orang menganggap jika cerita yang beredar
tersebut adalah 100 persen mempunyai kebenaran yang mutlak. Bahkan, kerancuan
sejarah Blambangan seakan menjadi hal yang biasa saja dan bukan menjadi
persoalan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin tantangan
generasi mendatang terkait sejarah yang mendekati benar ini akan susah untuk
diluruskan. Bahkan, tumpang tindih antara Bhre Wirabhumi, Kebo Mercuet, Jaka
Umbaran, Menakjinggo, Bhre Narapati, dan Damarwulan, akan terjadi apabila semua
pihak tidak membuka wawasan dalam pemahaman sejarah Blambangan.
Catatan: Kebo/Lembu/Mahisa adalah gelar kebangsawanan,
putera seorang raja. Dengan nama Kebo, berarti dia putera raja yang ditempatkan
di Blambangan. Lebih tepatnya, Putera Raja Hayam Wuruk yang menjadi raja di
Blambangan.
Reorientasi
Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis
Panji berjudul Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu
popular di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang
satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan yang tak
pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni Kerajaan Blambangan.
Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis 1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.
Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan
diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran
untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah
awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka
sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula
Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu.
Menurut Nagarakretagama, yang memimpin
penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi
berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang
menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat
peristiwa Nambi berlangsung. Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan
keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana
pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita
langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang
Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah
Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M. Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur” yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa “Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim
utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina.
Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak
berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana
mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya kiriman stempel
perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti
ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus:
meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap
Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana yang tengah
bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403
Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406,
baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada
kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu
angkat Bhre Wirabhumi yakni Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke
Kedaton Kulon, Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi
penguasa Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359
Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari,
putri bungsu Bhre Pandan Salas. Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih
dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M)
Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah
Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di
laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama “Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik
yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu
menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad
setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri.
Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.
Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada
1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu
juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama
dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke
Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri
sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478.
Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang
Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre
Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri.
Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga
Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang
menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di Panarukan ke Malaka pada
1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini
bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud
menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian
dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak
pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan
Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di
Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya
Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan
sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan
bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih
terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”. Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun
atau Sinuhun Macan Putih, Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram.
Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja
Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan
perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I
(Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan
pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan
berhasli menguasai ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan—yang
dipastikan adalah Tawang Alun—dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali.
Sementara itu, pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah
penyakit yang memaksa dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu,
Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak
memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing. Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
Petilasan Tawang Alun bertapa di Rowo Bayu
Sepak terjang Tawang Alun ini banyak tercatat dalam arsip Belanda, ketika masa terakhir pemerintahannya. Arsip Belanda itu, misalnya, mencatat prosesi pembakaran jenazah (ngaben) Tawang Alun (meninggal 18 September 1691) yang begitu spektakuler. Bagaimana tak spektakuler jika dalam upacara ngaben itu sebanyak 271 istri dari 400 istri Tawang Alun ikut membakar diri (sati) ke dalam kobaran api? Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang, posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya sekitar setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya mirip pendopo berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.
Pendopo yang dipercayai sebagai tempat penyimpanan abu Tawang Alun di Desa Macan Putih, Kec. Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Mengenai nama Tawang Alun sebagai wilayah administratif, catatan Bujangga Manik memerikan sebuah tempat bernama Padang Alun. Padang Alun ini dilewatinya sehabis menapaki Balungbungan atau Blambangan (setelah sebelumnya menyeberang dulu dari Bali), menuju wilayah Jawa Barat melalui jalur pantai selatan Jawa. Toponimi Padang Alun di sini tentu mengingatkan kita pada nama Tawang Alun. Dilihat dari segi semantis (makna kata), kata padang berdekatan dengan kata tawang: padang dalam bahasa Jawa berarti “cahaya, terbuka”, tawang berarti “terbuka, tidak tertutup bayang-bayang” (Noorduyn, J dan A. Teeuw, 2009: 512). Dari jabaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Padang Alun pada abad ke-15/ke-16 tak lain adalah nama alternatif dari Tawang Alun. Deskripsi ini memperkuat dugaan bahwa nama Tawang Alun untuk penguasa wilayah ini diambil dari nama tempat di mana ia memerintah, atau mungkin saja sebaliknya. Kemungkinan besar, penguasa “Padang Alun” pada masa Bujangga Manik melewati wilayah ini tak lain adalah Tawang Alun.
Reruntuhan Candi Tawang Alun di Desa Buncita, Kec. Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, yang tidak terawat. Masyarakat setempat memercayai bahwa candi ini didirikan oleh Resi Tawang Alun untuk dipersembahkan kepada salah seorang selirnya, Putri Alun. Kebenaran kisah tersebut masih harus diselediki, dan apakah berhunungan dengan keberadaan Raja Tawang Alun dari Blambangan.
“Puputan Bayu” Melawan VOC. Setelah Tawang
Alun meninggal, Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng di Bali.
Setelah itu, VOC Belanda berusaha menguasai Blambangan. Perang pun meletus pada
25 Maret 1767 dan pusat Blambangan dapat dikuasai VOC. Namun, perjuangan rakyat
Blambangan tak pernah padam. Pangeran Agung Wilis atau Wong Agung Wilis, yang
baru dilantik menjadi raja Blambangan, langsung angkat senjata melawan VOC.
Sayang, Pangeran Agung Wilis dapat ditangkap VOC dan diasingkan ke Selong,
dekat Pasuruan.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.
Jagapati merupakan keturunan Tawang Alun. Saat itu pusat Kerajaan Blambangan berada di Lateng (sekarang Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi). Ia melarikan diri karena tidak puas terhadap VOC yang mengangkat raja Islam yang ternyata korup. Jagapati segera menobatkan diri sebagai Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan menghimpun prajurit-prajurit Blambangan yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati membangun tempat yang mirip kerajaan. Kini, Rowo Bayu sebuah rawa di kaki Gunung Raung yang dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar. Rawa yang airnya berwarna hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren, Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan. Pemandangan di sekitar Rowo Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, di kaki Gunung Raung.
Perlawanan Pangeran Jagapati ini diramaikan oleh seorang pejuang wanita bernama Mas Ayu Wiwit. Pada 1771 pejuang ini bersama rakyat Blambangan melawan serbuan Belanda yang bermarkas di Desa Songgon dan juga melawan serangan rakyat Madura pesisir Jawa Timur yang dipimpin oleh Ki Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu Wiwit, Mas Jagapati, bersama para pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki Tumbhakmental, Ki Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki Jagalara dengan sekuat tenaga mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan Bayu berlangsung sejak 2 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771.
VOC yang marah segera mengirimkan 1.500 pasukannya guna menumpas prajurit Blambangan, pada Oktober 1772. VOC membakar lumbung-lumbung padi di Songgon, sehingga perlawanan rakyat Blambangan melemah karena kelaparan. Perang pun pecah kembali. Kali ini, ribuan prajurit Blambangan dibunuh, kepala mereka digantungkan di pohon-pohon di sekitar Rowo Bayu. Rakyat Blambangan yang semula berjumlah 8.000-an hanya tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat serangan VOC itu. Penduduk Blambangan lainnya memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah pegunungan di sebelah selatan atau baratdaya.
Diperkirakan, setelah Puputan Bayu selesai, lebih dari separuh penduduk Blambangan lenyap. Untuk menutupi kekurangan jumlah penduduk ini, pemerintah kolonial Belanda mengerahkan penduduk dari wilayah lain untuk mendiami Blambangan. Sementara itu, penduduk Blambangan yang tidak melarikan diri kini dikenal sebagai masyarakat “sing”. Kata sing berarti “tidak”, dan di sini bermakna “orang yang tidak ikut mengungsi”. Baru seabad kemudian, pada masa Thomas Raffles, penduduk Banyuwangi tercatat berkisar 8.554 jiwa.
Muncar, Ibukota Baru
Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC
memindahkan ibukota kerajaan ke wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan
dengan Pelabuhan Ulupampang (kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan
VOC atas pertimbangan guna mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan
Gelgel dan Mengwi di Bali berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan
raja-raja Bali untuk merebut Blambangan dapat dimengerti mengingat sebelumnya
kerajaan-kerajaan di Bali itu selalu memberikan bantuan kepada Blambangan saat
peperangan melawan VOC maupun melawan kerajaan-kerajaan Islam.
Melihat ancaman yang serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali dengan jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja di Blambangan dengan harapan proses islamisasi berlangsung lebih cepat.
Di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan bercorak Islam dimulai. Dari Muncar, ibu kota Kerajaan kemudian berpindah ke Banyuwangi (saat ini menjadi letak Pendopo Kabupaten Banyuwangi). Pada masa ibukota di Muncar ini, otomatis eksistensi Blambangan sebagai kerajaan telah lenyap.
Ketika islamisasi makin berkembang di Blambangan, banyak warga yang memilih untuk menyeberang ke Bali. Mereka masuk sebuah hutan bernama Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama Hindu dan menolak pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.
Sementara itu, Pelabuhan Muncar sendiri merupakan jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 dan ke-18 di Blambangan. VOC mengangkat warga Tionghoa menjadi kepala pelabuhan. Pelabuhan ini cukup ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Cina, Arab, dan beberapa wilayah Nusantara, sehingga di sekitar pelabuhan terdapat perkampungan-perkampungan berbagai etnis tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik untuk memetakan wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut dari masa Lumajang, sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota terakhir, jelas bahwa pusat Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan jelas pula bahwa Kerajaan Blambangan merupakan negara yang selalu berada dalam kondisi politik yang bersitegang dan penuh dengan konflik luar negeri.
Letak Istana
Membicarakan letak istana(-istana) Blambangan
tentu tak mudah. Hal ini, pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini
berpindah-pindah. Bila kita menetapkan bahwa pusat pemerintahan pertama
kerajaan Blambangan adalah Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita
menelusuri jejak-jejak budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum
ada temuan yang bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran
kita alihkan ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.
Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih pernah melakukan penggalian di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai rampung. Walau begitu, bukannya tak ada bukti sama sekali mengenai bangunan pada masa Kerajaan Blambangan ini. Warga sekitar Desa Macan Putih masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang diperkirakan bekas bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding ukuran batu bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu bata itu masih belum jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding keraton. Yang bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial Belanda.
Selain di Desa Agung Macan Putih, ada pula
Situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, yang dipercaya sebagai
bekas reruntuhan bagian kerajaan atau benteng kerajaan yang memiliki panjang
sekitar 5 km. Di dalam situs ini terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di
antaranya berlubang di tengah. Kesembilan batu yang tengahnya berlubang itu
berfungsi sebagai umpak atau penyangga, karena itulah situs ini dinamakan Umpak
Songo (Sembilan Penyangga). Ketika ditemukan, situs ini terpendam pada
kedalaman 1 – 0,5 m dari permukaan tanah, membentang dari Masjid Pasar Muncar
hingga area persawahan Desa Tembokrejo. Diduga, benteng atau istana ini
merupakan peninggalan Blambangan pada saat ibukota pindah ke Muncar.
Bangunan lain yang merupakan peninggalan
Kerajaan Blambangan pada periode Muncar adalah Siti Hinggil (Setinggil) yang
bermakna “Tanah yang Ditinggikan” (siti adalah tanah, hinggil/inggil adalah
tinggi). Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar.
Fungsi Siti Hinggil adalah sebagai pos pengawasan VOC untuk memata-matai musuh
dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan, yakni berupa batu
pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing guna mengawasi keadaan di
sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil ini dari Situs Umpak Songo cukup
ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur. Ada pula kolam dan sebuah sumur
kuno yang ditemukan di sekitar Pura Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok
Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan
sejarah Blambangan yang lainnya terdapat di Museum Daerah berupa guci dan
asesoris gelang lengan.
Blambangan, Pusat Keagamaan
Dari teks Bujangga Manik yang ditulis sekitar
abad ke-16, kita dapat memperoleh sebuah nama daerah sebagai tempat bertapanya
kaum agamawan Hindu, yakni “Balungbungan” yang, bila merujuk teks naskah
tersebut, terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sangat mungkin sekali bahwa nama
Blambangan pada abad ke-16 (dan juga abad-abad sebelumnya) adalah Balungbungan,
atau Balungbungan merupakan penulisan lain dari Blambangan atau Balambangan.
Ada pun tokoh dalam Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Sunda dari keraton Pakuan yang bercita-cita menjadi pertapa yang mencari jalan menuju kehidupan abadi. Tokoh ini menolak menikah dan memilih untuk bertapa di Balungbungan, guna mencari tempat peristirahatan terakhir. Setiba di Balungbungan, setelah berhari-hari berjalan menapaki wilayah utara Jawa dari Pakuan (di sekitar Bogor, Jawa Barat), tokoh ini melakukan laku tapa, mendirikan pesanggrahan, berkebun, dan mendirikan lingga. Di tempat ini ia tinggal selama setahun lebih setelah didatangi oleh seorang biarawati (“ebon”) yang ingin ikut bertapa. Tokoh ini memilih untuk melanjutkan perjalanannya ke Bali daripada harus ditemani seorang yang wanita—karena takut akan godaan melakukan hal-hal yang dilarang.
Dari keterangan yang diperoleh dari naskah berbahasa Sunda Kuno tersebut, jelas bahwa Balungbungan merupakan salah satu tujuan kaum agama kala itu yang ingin menjadi pertapa dan tujuan para peziarah dari berbagai pelosok. Meski tak ada keterangan lain yang diperoleh dari naskah tersebut mengenai Balungbungan kecuali sebagai tempat keagamaan, namun kiranya kita dapat memahami sepenggal peranan Balungbungan pada masa bersangkutan. Dari uraian Bujangga Manik kita diyakinkan bahwa agama yang dipeluk oleh sebagian masyarakat Blambangan pra-Islam adalah Hindu.
Pada abad ke-16, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam, hanya ada dua kerajaan yang berpegang teguh pada coraknya yang Hindu, yakni Sunda-Pajajaran dan Blambangan. Dua kerajaan ini pula yang melakukan hubungan politik dengan Portugis yang bermarkas di Malaka. Persekutuan ini merupakan usaha politis dua kerajaan tersebut dalam menahan penetrasi kerajaan-kerajaan Islam yang justru tengah berusaha menghalau pengaruh Portugis di kawasan Nusantara. Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan perjuangan masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di Blambangan pun berubah. Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai diimani oleh sebagian masyarakat Blambangan—juga agama Nasrani yang diperkenalkan oleh Belanda.
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Tak banyak sumber yang memberitakan mengenai
sistem sosial dan ekonomi yang dianut oleh masyarakat Blambangan. Tome Pires
(Lombard, 2008: 171) menulis bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak
memprosuksi hamba atau hulun alias budak, dan Blambangan merupakan salah satu
pengekspor golongan masyarakat tersebut. Ada pun kehidupan ekonomi-sosial
masyarakat Blambangan sangat bergantung pada padi. Hal ini berkesesuaian dengan
berita bahwa pasukan VOC membakar lumbung-lumbung padi saat menyerang
Blambangan. Fakta bahwa baik Panarukan maupun Muncar adalah kota-pelabuan
menimbulkan anggapan bahwa kehidupan ekonomi kawula Blambangan bergantung pula
pada penghasilan laut. Selanjutnya, belum diketahui pasti apa lagi hasil bumi
yang dikelola oleh masyarakat Blambangan, namun kiranya dapat disejajarkan
dengan apa yang digarap oleh masyarakat Majapahit.
Blambangan dalam Roman Damarwulan-Minakjinggo
Muljana menulis bahwa cerita roman Damarwulan
dan Minakjinggo muncul setelah meletusnya Perang Paregreg yang terjadi pada
1406. Perang inilah yang menginspirasi sastrawan Jawa—yang entah siapa
orangnya—untuk membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung sudah berapa
kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni sendratari, ketoprak,
dan teater. Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga
buah serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis Serat
Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak mengetahui pasti
fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg. Maka dari itu, cukup beresiko pula
bila kita menghubungkan kisah Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa
Paregreg. Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad
kemudian setelah peristiwa berlangsung.
Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama
Minakjinggo ingin mempersunting Ratu Majapahit Kenya Kencanawungu. Ia menaikkan
statusnya, dari adipati menjadi raja Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma.
Sang Ratu yang tak ingin diperistri oleh Minakjinggo (yang digambarkan
bertabiat kasar, buruk rupa, dan berbadan besar) yang sudah memiliki dua orang
istri, Dewi Puyengan dan Dewi Waita. Sang Ratu segera mengadakan sayembara:
barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan diberi hadiah
berlimpah. Raja Minakjinggo pun mengobrak-abrik Majapahit dengan Gada Wesi
Kuningnya. Sebelum ke Majapahit, pasukan Blambangan menyerang Lumajang; bahkan
dikirim pula utusan ke Ternate untuk diminta bantuan oleh Minakjingo. Para
prajurit dan pejabat Majapahit banyak yang gugur, termasuk Ranggalawe. Tatkala
situasi tak menentu ini, datanglah Damarwulan. Damarwulan adalah putra dari
Patih Majapahit bernama Udara. Setelah dewasa ia mengabdi kepada pamannya,
Patih Loh Gender di Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput. Putri sang Patih,
Dewi Anjasmara, terpikat pada Damarwulan.
Singkat cerita, Damarwulan menghadap
Kencanawungu dan diangkat menjadi panglima Majapahit. Berangkatlah Damarwulan
menghadapi Minakjinggo. Berkat bantuan kedua istri Minakjinggo, Waita dan
Puyengan, Damarwulan berhasli mengalahkan Minakjinggo, memenggal kepalanya
sebagai bukti kepada Ratu kencanawungu. Damarwulan membawa kepala Minakjinggo
ke Majapahit. Namun, di tengah jalan ia dikhianati oleh dua orang anak Loh
Gender, yakni Layang Seta dan Layang Kumitir, yang mengaku sebagai utusan Ratu
Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo diserahkan oleh Damarwulan.
Cerita selanjutnya gampang ditebak. Layang Seto dan Layang Kumitir pun dianggap
pahlawan oleh ratu dan rakyat Majapahit. Namun, akhirnya kedok mereka berdua
terkuak, Damarwulan pun menikah dengan Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit
dengan gelar Prabu Mertawijaya. Pernikahan Damarwulan dengan Ratu Kencanawungu
membuahkan seorang putra bernama Brawijaya.Raffles menulis (2008: 234) bahwa
pada abad ke-19 cerita Damarwulan-Minakjingo merupakan cerita favorit orang
Jawa dan kerap dipentaskan dalam bentuk wayang klitik (wayang dari kayu dengan
tinggi 10 inci) dan wayang beber (sosok wayang digambar pada lembaran kertas
yang keras di mana dalang memberikan dialog).
Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu
Kencanawungu merupakan perwujudan sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo
adalah Bhre Wirabhumi. Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang
bertolak belakang dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe
sebagai Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan
tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu
diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat tersebut
sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang (Majapahit, yang
diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah memperolok pihak yang kalah,
yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok Minakjinggo. Mengapa? Karena dalam
seni Banyuwang dan Janger, sosok Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan
dan ia memberontak karena Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk
dinikahi oleh Minakjinggo. Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk
mengukuhkan pengetahuan masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam
(juga Pajang dan Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan
begitu mereka merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka.
Kepustakaan
Ø Damayanti,
Nuning dan Haryadi Suadi. 20 Mei 2009. “Ragam dan Unsur Spiritualitas pada
Ilustrasi Naskah Nusantara 1800-1900-an”. Diambil 29 September 2010. [online].
Tersedia di http://www.wacananusantara.org/1/382/ragam-dan-unsur-spiritualitas-pada-ilustrasi-naskah-nusantara-1800-190
an?mycustomsessionname=f92184768c5154ba2855048acf688ba7.
Ø Ningtyas,
Ika. “Menjejaki Keagungan Kerajaan Blambangan”. [online]. Tersedia di http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html.
Ø Noorduyn,
J dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Terjemahan oleh Hawe Setiawan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Ø Lombard,
Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya 2—Jaringan Asia. Terjemahan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sumber
Tulisan; http://www.wacananusantara.org/content/view/category/6/id/739
Orientasi
Seiring dengan berjalannya waktu, eksistensi
Kabupaten Banyuwangi yang kerap muncul diberbagi media masa membuat wilayah ini
makin dikenal oleh khalayak luas. Hal ini tentu tak lepas dari peran seorang
pemimpin yang berhasil mengendalikan tongkat komando di wilayahnya. Beberapa
peristiwa penting yang pernah terjadi di kabupaten yang terletak di ujung timur
Pulau Jawa ini, dari dulu hingga sekarang memang kerap menjadi sorotan publik.
Bahkan, ada diantaranya menjadi isu Nasional yang hingga detik ini masih menjadi
misteri. Tampil seksi dengan membawa nama besar Kerajaan Blambangan, Kabupaten
Banyuwangi memang selalu menjadi perhatian orang banyak. Bahkan, tak sedikit
yang penasaran. Ada apa, dan mungkinkah ada sesuatu dibalik nama
Blambangan hingga membuat nama Banyuwangi kerap menjadi sorotan.
Dewasa ini, saat menyebut nama Blambangan,
maka sosok yang keluar adalah ‘Menak Jinggo’.
Konon, tokoh tersebut merupakan Raja Blambangan yang dimanifestasikan oleh
banyak masyarakat Banyuwangi sebagai seorang pemimpin atau pahlawan Blambangan
yang mempunyai jiwa corsa dengan tubuh gagah perkasa dengan bersenjatakan gada
emas di tangan kanannya. Kepercayaan masyarakat Banyuwangi mengenai Raja
Blambangan yang satu ini memang sudah mendarah daging. Bahkan, kebanyakan dari
masyarakat seakan kurang bisa menerima jika ada orang atau sekelompok yang
mencoba mematahkan alur cerita yang sudah turun-temurun itu. Disisi lain, ada
cerita rakyat dari Banyuwangi tentang Damarwulan yang hingga ini juga masih
eksis turun temurun. Tapi sebelum masuk ke alur cerita itu, ada sepenggal kisah
pengantar yang nyaris dilupakan orang.
Begini ceritanya.
Tersebutlah seorang ratu dari Majapahit
bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era pemerintahannya, Majapahit berhasil
menaklukkan banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah
kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan, itu. Salah satu kerajaan yang
menjadi incaran Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Adipati
Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti mandraguna dan arif bijaksana. Ratu
Majapahit itu pun berupaya menundukkannya dengan sebuah sayembara. Dalam
sayembara itu berbunyi “Barangsiapa yang mampu
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan ku angkat menjadi Adipati
Blambangan yang baru, menggantikan dia.” Demikian maklumat Ratu Ayu
Kencana Wungu yang dibacakan di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang.
Namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet. Hingga suatu hari
datanglah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Jaka Umbaran. Rupanya,
Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo Marcuet, bahwa Adipati itu hanya
dapat dikalahkan dengan pusakanya sendiri. Maka, dia memerintahkan Dayun
sahabatnya untuk mencuri pusaka tersebut dan dengan senjata Gada Wesi Kuning
(yang dicurinya dari Menak Jinggo sendiri), akhirnya Jaka Umbaran berhasil
mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan
kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan Jaka Umbaran menjadi Adipati
Blambangan yang baru dengan gelar Menak Jinggo.
Alhasil, hingga saat ini gelar Minak Jinggo
yang disematkan oleh Ratu Ayu Kencana Wungu atas jasa Jaka Umbaran yang
berhasil membunuh Kebo Marcuet pun terbawa arus masa hingga hari ini.
Mirisnya, Adipati Blambangan yang
sesungguhnya, yakni Kebo Mercuet, saat ini hanya tinggal nama saja. Pahlawan
dan pejuang sejati yang dihinakan dan dianggap sebagai makhluk bertanduk
seperti kerbau ini, seiring dengan berjalannya waktu seakan dilupakan oleh
masyarakat. Hingga detik ini, orang menganggap jika cerita yang beredar
tersebut adalah 100 persen mempunyai kebenaran yang mutlak. Bahkan, kerancuan
sejarah Blambangan seakan menjadi hal yang biasa saja dan bukan menjadi
persoalan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin tantangan
generasi mendatang terkait sejarah yang mendekati benar ini akan susah untuk
diluruskan. Bahkan, tumpang tindih antara Bhre Wirabhumi, Kebo Mercuet, Jaka
Umbaran, Menakjinggo, Bhre Narapati, dan Damarwulan, akan terjadi apabila semua
pihak tidak membuka wawasan dalam pemahaman sejarah Blambangan.
Catatan: Kebo/Lembu/Mahisa adalah gelar kebangsawanan,
putera seorang raja. Dengan nama Kebo, berarti dia putera raja yang ditempatkan
di Blambangan. Lebih tepatnya, Putera Raja Hayam Wuruk yang menjadi raja di
Blambangan.
Reorientasi
Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis
Panji berjudul Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu
popular di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang
satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan yang tak
pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni Kerajaan Blambangan.
Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis 1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.
Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan
diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran
untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah
awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka
sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula
Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu.
Menurut Nagarakretagama, yang memimpin
penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi
berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang
menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat
peristiwa Nambi berlangsung. Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan
keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana
pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita
langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang
Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah
Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M. Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur” yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa “Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim
utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina.
Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak
berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana
mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya kiriman stempel
perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti
ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud yang lebih khusus:
meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap
Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram Wikramawardhana yang tengah
bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403
Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406,
baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada
kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu
angkat Bhre Wirabhumi yakni Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke
Kedaton Kulon, Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi
penguasa Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359
Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari,
putri bungsu Bhre Pandan Salas. Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih
dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M)
Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah
Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di
laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama “Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik
yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu
menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad
setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri.
Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.
Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang
menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di Panarukan ke Malaka pada
1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini
bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud
menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian
dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak
pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan
Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”. Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun
atau Sinuhun Macan Putih, Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram.
Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja
Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan
perang dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I
(Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan
pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan
berhasli menguasai ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan—yang
dipastikan adalah Tawang Alun—dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali.
Sementara itu, pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah
penyakit yang memaksa dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu,
Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak
memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing. Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
Petilasan Tawang Alun bertapa di Rowo Bayu
Sepak terjang Tawang Alun ini banyak tercatat dalam arsip Belanda, ketika masa terakhir pemerintahannya. Arsip Belanda itu, misalnya, mencatat prosesi pembakaran jenazah (ngaben) Tawang Alun (meninggal 18 September 1691) yang begitu spektakuler. Bagaimana tak spektakuler jika dalam upacara ngaben itu sebanyak 271 istri dari 400 istri Tawang Alun ikut membakar diri (sati) ke dalam kobaran api? Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang, posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya sekitar setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya mirip pendopo berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.
Pendopo yang dipercayai sebagai tempat penyimpanan abu Tawang Alun di Desa Macan Putih, Kec. Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Mengenai nama Tawang Alun sebagai wilayah administratif, catatan Bujangga Manik memerikan sebuah tempat bernama Padang Alun. Padang Alun ini dilewatinya sehabis menapaki Balungbungan atau Blambangan (setelah sebelumnya menyeberang dulu dari Bali), menuju wilayah Jawa Barat melalui jalur pantai selatan Jawa. Toponimi Padang Alun di sini tentu mengingatkan kita pada nama Tawang Alun. Dilihat dari segi semantis (makna kata), kata padang berdekatan dengan kata tawang: padang dalam bahasa Jawa berarti “cahaya, terbuka”, tawang berarti “terbuka, tidak tertutup bayang-bayang” (Noorduyn, J dan A. Teeuw, 2009: 512). Dari jabaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Padang Alun pada abad ke-15/ke-16 tak lain adalah nama alternatif dari Tawang Alun. Deskripsi ini memperkuat dugaan bahwa nama Tawang Alun untuk penguasa wilayah ini diambil dari nama tempat di mana ia memerintah, atau mungkin saja sebaliknya. Kemungkinan besar, penguasa “Padang Alun” pada masa Bujangga Manik melewati wilayah ini tak lain adalah Tawang Alun.
Reruntuhan Candi Tawang Alun di Desa Buncita, Kec. Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, yang tidak terawat. Masyarakat setempat memercayai bahwa candi ini didirikan oleh Resi Tawang Alun untuk dipersembahkan kepada salah seorang selirnya, Putri Alun. Kebenaran kisah tersebut masih harus diselediki, dan apakah berhunungan dengan keberadaan Raja Tawang Alun dari Blambangan.
“Puputan Bayu” Melawan VOC. Setelah Tawang
Alun meninggal, Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng di Bali.
Setelah itu, VOC Belanda berusaha menguasai Blambangan. Perang pun meletus pada
25 Maret 1767 dan pusat Blambangan dapat dikuasai VOC. Namun, perjuangan rakyat
Blambangan tak pernah padam. Pangeran Agung Wilis atau Wong Agung Wilis, yang
baru dilantik menjadi raja Blambangan, langsung angkat senjata melawan VOC.
Sayang, Pangeran Agung Wilis dapat ditangkap VOC dan diasingkan ke Selong,
dekat Pasuruan.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.
Jagapati merupakan keturunan Tawang Alun. Saat itu pusat Kerajaan Blambangan berada di Lateng (sekarang Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi). Ia melarikan diri karena tidak puas terhadap VOC yang mengangkat raja Islam yang ternyata korup. Jagapati segera menobatkan diri sebagai Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan menghimpun prajurit-prajurit Blambangan yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati membangun tempat yang mirip kerajaan. Kini, Rowo Bayu sebuah rawa di kaki Gunung Raung yang dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar. Rawa yang airnya berwarna hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren, Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan. Pemandangan di sekitar Rowo Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, di kaki Gunung Raung.
Perlawanan Pangeran Jagapati ini diramaikan oleh seorang pejuang wanita bernama Mas Ayu Wiwit. Pada 1771 pejuang ini bersama rakyat Blambangan melawan serbuan Belanda yang bermarkas di Desa Songgon dan juga melawan serangan rakyat Madura pesisir Jawa Timur yang dipimpin oleh Ki Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu Wiwit, Mas Jagapati, bersama para pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki Tumbhakmental, Ki Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki Jagalara dengan sekuat tenaga mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan Bayu berlangsung sejak 2 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771.
VOC yang marah segera mengirimkan 1.500 pasukannya guna menumpas prajurit Blambangan, pada Oktober 1772. VOC membakar lumbung-lumbung padi di Songgon, sehingga perlawanan rakyat Blambangan melemah karena kelaparan. Perang pun pecah kembali. Kali ini, ribuan prajurit Blambangan dibunuh, kepala mereka digantungkan di pohon-pohon di sekitar Rowo Bayu. Rakyat Blambangan yang semula berjumlah 8.000-an hanya tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat serangan VOC itu. Penduduk Blambangan lainnya memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah pegunungan di sebelah selatan atau baratdaya.
Diperkirakan, setelah Puputan Bayu selesai, lebih dari separuh penduduk Blambangan lenyap. Untuk menutupi kekurangan jumlah penduduk ini, pemerintah kolonial Belanda mengerahkan penduduk dari wilayah lain untuk mendiami Blambangan. Sementara itu, penduduk Blambangan yang tidak melarikan diri kini dikenal sebagai masyarakat “sing”. Kata sing berarti “tidak”, dan di sini bermakna “orang yang tidak ikut mengungsi”. Baru seabad kemudian, pada masa Thomas Raffles, penduduk Banyuwangi tercatat berkisar 8.554 jiwa.
Muncar, Ibukota Baru
Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC
memindahkan ibukota kerajaan ke wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan
dengan Pelabuhan Ulupampang (kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan
VOC atas pertimbangan guna mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan
Gelgel dan Mengwi di Bali berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan
raja-raja Bali untuk merebut Blambangan dapat dimengerti mengingat sebelumnya
kerajaan-kerajaan di Bali itu selalu memberikan bantuan kepada Blambangan saat
peperangan melawan VOC maupun melawan kerajaan-kerajaan Islam.
Melihat ancaman yang serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali dengan jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja di Blambangan dengan harapan proses islamisasi berlangsung lebih cepat.
Di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan bercorak Islam dimulai. Dari Muncar, ibu kota Kerajaan kemudian berpindah ke Banyuwangi (saat ini menjadi letak Pendopo Kabupaten Banyuwangi). Pada masa ibukota di Muncar ini, otomatis eksistensi Blambangan sebagai kerajaan telah lenyap.
Ketika islamisasi makin berkembang di Blambangan, banyak warga yang memilih untuk menyeberang ke Bali. Mereka masuk sebuah hutan bernama Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama Hindu dan menolak pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.
Sementara itu, Pelabuhan Muncar sendiri merupakan jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 dan ke-18 di Blambangan. VOC mengangkat warga Tionghoa menjadi kepala pelabuhan. Pelabuhan ini cukup ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Cina, Arab, dan beberapa wilayah Nusantara, sehingga di sekitar pelabuhan terdapat perkampungan-perkampungan berbagai etnis tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik untuk memetakan wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut dari masa Lumajang, sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota terakhir, jelas bahwa pusat Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan jelas pula bahwa Kerajaan Blambangan merupakan negara yang selalu berada dalam kondisi politik yang bersitegang dan penuh dengan konflik luar negeri.
Letak Istana
Membicarakan letak istana(-istana) Blambangan
tentu tak mudah. Hal ini, pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini
berpindah-pindah. Bila kita menetapkan bahwa pusat pemerintahan pertama
kerajaan Blambangan adalah Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita
menelusuri jejak-jejak budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum
ada temuan yang bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran
kita alihkan ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.
Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih pernah melakukan penggalian di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai rampung. Walau begitu, bukannya tak ada bukti sama sekali mengenai bangunan pada masa Kerajaan Blambangan ini. Warga sekitar Desa Macan Putih masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang diperkirakan bekas bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding ukuran batu bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu bata itu masih belum jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding keraton. Yang bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial Belanda.
Selain di Desa Agung Macan Putih, ada pula
Situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, yang dipercaya sebagai
bekas reruntuhan bagian kerajaan atau benteng kerajaan yang memiliki panjang
sekitar 5 km. Di dalam situs ini terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di
antaranya berlubang di tengah. Kesembilan batu yang tengahnya berlubang itu
berfungsi sebagai umpak atau penyangga, karena itulah situs ini dinamakan Umpak
Songo (Sembilan Penyangga). Ketika ditemukan, situs ini terpendam pada
kedalaman 1 – 0,5 m dari permukaan tanah, membentang dari Masjid Pasar Muncar
hingga area persawahan Desa Tembokrejo. Diduga, benteng atau istana ini
merupakan peninggalan Blambangan pada saat ibukota pindah ke Muncar.
Bangunan lain yang merupakan peninggalan
Kerajaan Blambangan pada periode Muncar adalah Siti Hinggil (Setinggil) yang
bermakna “Tanah yang Ditinggikan” (siti adalah tanah, hinggil/inggil adalah
tinggi). Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar.
Fungsi Siti Hinggil adalah sebagai pos pengawasan VOC untuk memata-matai musuh
dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan, yakni berupa batu
pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing guna mengawasi keadaan di
sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil ini dari Situs Umpak Songo cukup
ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur. Ada pula kolam dan sebuah sumur
kuno yang ditemukan di sekitar Pura Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok
Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan
sejarah Blambangan yang lainnya terdapat di Museum Daerah berupa guci dan
asesoris gelang lengan.
Blambangan, Pusat Keagamaan
Dari teks Bujangga Manik yang ditulis sekitar
abad ke-16, kita dapat memperoleh sebuah nama daerah sebagai tempat bertapanya
kaum agamawan Hindu, yakni “Balungbungan” yang, bila merujuk teks naskah
tersebut, terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sangat mungkin sekali bahwa nama
Blambangan pada abad ke-16 (dan juga abad-abad sebelumnya) adalah Balungbungan,
atau Balungbungan merupakan penulisan lain dari Blambangan atau Balambangan.
Ada pun tokoh dalam Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Sunda dari keraton Pakuan yang bercita-cita menjadi pertapa yang mencari jalan menuju kehidupan abadi. Tokoh ini menolak menikah dan memilih untuk bertapa di Balungbungan, guna mencari tempat peristirahatan terakhir. Setiba di Balungbungan, setelah berhari-hari berjalan menapaki wilayah utara Jawa dari Pakuan (di sekitar Bogor, Jawa Barat), tokoh ini melakukan laku tapa, mendirikan pesanggrahan, berkebun, dan mendirikan lingga. Di tempat ini ia tinggal selama setahun lebih setelah didatangi oleh seorang biarawati (“ebon”) yang ingin ikut bertapa. Tokoh ini memilih untuk melanjutkan perjalanannya ke Bali daripada harus ditemani seorang yang wanita—karena takut akan godaan melakukan hal-hal yang dilarang.
Dari keterangan yang diperoleh dari naskah berbahasa Sunda Kuno tersebut, jelas bahwa Balungbungan merupakan salah satu tujuan kaum agama kala itu yang ingin menjadi pertapa dan tujuan para peziarah dari berbagai pelosok. Meski tak ada keterangan lain yang diperoleh dari naskah tersebut mengenai Balungbungan kecuali sebagai tempat keagamaan, namun kiranya kita dapat memahami sepenggal peranan Balungbungan pada masa bersangkutan. Dari uraian Bujangga Manik kita diyakinkan bahwa agama yang dipeluk oleh sebagian masyarakat Blambangan pra-Islam adalah Hindu.
Pada abad ke-16, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam, hanya ada dua kerajaan yang berpegang teguh pada coraknya yang Hindu, yakni Sunda-Pajajaran dan Blambangan. Dua kerajaan ini pula yang melakukan hubungan politik dengan Portugis yang bermarkas di Malaka. Persekutuan ini merupakan usaha politis dua kerajaan tersebut dalam menahan penetrasi kerajaan-kerajaan Islam yang justru tengah berusaha menghalau pengaruh Portugis di kawasan Nusantara. Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan perjuangan masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di Blambangan pun berubah. Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai diimani oleh sebagian masyarakat Blambangan—juga agama Nasrani yang diperkenalkan oleh Belanda.
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Tak banyak sumber yang memberitakan mengenai
sistem sosial dan ekonomi yang dianut oleh masyarakat Blambangan. Tome Pires
(Lombard, 2008: 171) menulis bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak
memprosuksi hamba atau hulun alias budak, dan Blambangan merupakan salah satu
pengekspor golongan masyarakat tersebut. Ada pun kehidupan ekonomi-sosial
masyarakat Blambangan sangat bergantung pada padi. Hal ini berkesesuaian dengan
berita bahwa pasukan VOC membakar lumbung-lumbung padi saat menyerang
Blambangan. Fakta bahwa baik Panarukan maupun Muncar adalah kota-pelabuan
menimbulkan anggapan bahwa kehidupan ekonomi kawula Blambangan bergantung pula
pada penghasilan laut. Selanjutnya, belum diketahui pasti apa lagi hasil bumi
yang dikelola oleh masyarakat Blambangan, namun kiranya dapat disejajarkan
dengan apa yang digarap oleh masyarakat Majapahit.
Blambangan dalam Roman Damarwulan-Minakjinggo
Muljana menulis bahwa cerita roman Damarwulan
dan Minakjinggo muncul setelah meletusnya Perang Paregreg yang terjadi pada
1406. Perang inilah yang menginspirasi sastrawan Jawa—yang entah siapa
orangnya—untuk membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung sudah berapa
kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni sendratari, ketoprak,
dan teater. Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga
buah serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis Serat
Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak mengetahui pasti
fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg. Maka dari itu, cukup beresiko pula
bila kita menghubungkan kisah Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa
Paregreg. Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad
kemudian setelah peristiwa berlangsung.
Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama
Minakjinggo ingin mempersunting Ratu Majapahit Kenya Kencanawungu. Ia menaikkan
statusnya, dari adipati menjadi raja Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma.
Sang Ratu yang tak ingin diperistri oleh Minakjinggo (yang digambarkan
bertabiat kasar, buruk rupa, dan berbadan besar) yang sudah memiliki dua orang
istri, Dewi Puyengan dan Dewi Waita. Sang Ratu segera mengadakan sayembara:
barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan diberi hadiah
berlimpah. Raja Minakjinggo pun mengobrak-abrik Majapahit dengan Gada Wesi
Kuningnya. Sebelum ke Majapahit, pasukan Blambangan menyerang Lumajang; bahkan
dikirim pula utusan ke Ternate untuk diminta bantuan oleh Minakjingo. Para
prajurit dan pejabat Majapahit banyak yang gugur, termasuk Ranggalawe. Tatkala
situasi tak menentu ini, datanglah Damarwulan. Damarwulan adalah putra dari
Patih Majapahit bernama Udara. Setelah dewasa ia mengabdi kepada pamannya,
Patih Loh Gender di Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput. Putri sang Patih,
Dewi Anjasmara, terpikat pada Damarwulan.
Singkat cerita, Damarwulan menghadap
Kencanawungu dan diangkat menjadi panglima Majapahit. Berangkatlah Damarwulan
menghadapi Minakjinggo. Berkat bantuan kedua istri Minakjinggo, Waita dan
Puyengan, Damarwulan berhasli mengalahkan Minakjinggo, memenggal kepalanya
sebagai bukti kepada Ratu kencanawungu. Damarwulan membawa kepala Minakjinggo
ke Majapahit. Namun, di tengah jalan ia dikhianati oleh dua orang anak Loh
Gender, yakni Layang Seta dan Layang Kumitir, yang mengaku sebagai utusan Ratu
Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo diserahkan oleh Damarwulan.
Cerita selanjutnya gampang ditebak. Layang Seto dan Layang Kumitir pun dianggap
pahlawan oleh ratu dan rakyat Majapahit. Namun, akhirnya kedok mereka berdua
terkuak, Damarwulan pun menikah dengan Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit
dengan gelar Prabu Mertawijaya. Pernikahan Damarwulan dengan Ratu Kencanawungu
membuahkan seorang putra bernama Brawijaya.Raffles menulis (2008: 234) bahwa
pada abad ke-19 cerita Damarwulan-Minakjingo merupakan cerita favorit orang
Jawa dan kerap dipentaskan dalam bentuk wayang klitik (wayang dari kayu dengan
tinggi 10 inci) dan wayang beber (sosok wayang digambar pada lembaran kertas
yang keras di mana dalang memberikan dialog).
Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu
Kencanawungu merupakan perwujudan sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo
adalah Bhre Wirabhumi. Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang
bertolak belakang dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe
sebagai Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan
tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu
diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat tersebut
sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang (Majapahit, yang
diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah memperolok pihak yang kalah,
yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok Minakjinggo. Mengapa? Karena dalam
seni Banyuwang dan Janger, sosok Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan
dan ia memberontak karena Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk
dinikahi oleh Minakjinggo. Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk
mengukuhkan pengetahuan masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam
(juga Pajang dan Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan
begitu mereka merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka.
Kepustakaan
Ø Damayanti,
Nuning dan Haryadi Suadi. 20 Mei 2009. “Ragam dan Unsur Spiritualitas pada
Ilustrasi Naskah Nusantara 1800-1900-an”. Diambil 29 September 2010. [online].
Tersedia di http://www.wacananusantara.org/1/382/ragam-dan-unsur-spiritualitas-pada-ilustrasi-naskah-nusantara-1800-190
an?mycustomsessionname=f92184768c5154ba2855048acf688ba7.
Ø Ningtyas,
Ika. “Menjejaki Keagungan Kerajaan Blambangan”. [online]. Tersedia di http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html.
Ø Noorduyn,
J dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Terjemahan oleh Hawe Setiawan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Ø Lombard,
Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya 2—Jaringan Asia. Terjemahan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sumber
Tulisan; http://www.wacananusantara.org/content/view/category/6/id/739
Tidak ada komentar:
Posting Komentar