KISAH
KERAJAAN KEDIRI DAN JENGGALA
Orientasi
Kediri dan Jenggala
Kerajaan Kediri
Kediri, adalah salah
satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1049 (satu lainnya adalah
Janggala), yang dipecah oleh Airlangga untuk dua puteranya. Airlangga membagi
Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk menghindari perselisihan dua puteranya,
dan ia sendiri turun tahta menjadi pertapa. Wilayah Kerajaan Kediri adalah
bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Tak banyak yang diketahui peristiwa di
masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi
Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali
dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada
masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan
Jawa dengan cerita Panji. Raja terkenal Kediri adalah Jayabaya (1135-1159).
Jayabaya di kemudian
hari dikenal sebagai "peramal" Indonesia masa depan. Pada masa
kekuasaannya, Kediri memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada
masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kediri. Waktu itu
Kediri memiliki armada laut yang cukup tangguh. Beliau juga terkenal karena
telah memerintahan penggubahan Kakawin Bharatayuddha.Raja terakhir Kediri
adalah Kertajaya, (1185-1222). Kertajaya dikenal sebagai raja yang kejam,
bahkan meminta rakyat untuk menyembahnya. Ini ditentang oleh para Brahmana.
Sementara itu, di Tumapel (wilayah bawahan Kediri di daerah Malang) terjadi
gejolak politik: Ken Arok membunuh penguasa Tumapel Tunggul Ametung dan
mendirikan Kerajaan Singhasari. Ken Arok kemudian memanfaatkan situasi politik
di Kediri, ia beraliansi dengan Brahmana, dan lalu menghancurkan Kediri. Dengan
meninggalnya Kertajaya, Kediri menjadi wilayah Kerajaan Singhasari.
Situs Tondowongso Merupakan Peninggalaan Kerajaan Kediri
Rabu, 14 Maret 2007 14:17 WIB
Rabu, 14 Maret 2007 14:17 WIB
TEMPO Interaktif,
Kediri: Tim ekspedisi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) memastikan
situs yang ditemukan di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur, merupakan peninggalan jaman kerajaan Kadhiri
(Kediri) awal. "Situs di Tondowongso dibangun pada abad XI. Ini merupakan
karya seni transisi perpindahan kerajaan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Masterpiece
yang luar biasa," kata I Made Kusumajaya, Kepala BP3 Trowulan, Mojokerto
Rabu (14/3) didiampingi Ketua Tim penggalian, Aris Siviani.
Menurut I Made Kusumajaya, ketika pusat kerajaan dipindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, orang-orang juga ikut pindah, sehingga banyak candi dibangun di kawasan Jawa Timur. Proses perpindahan itu terjadi sejak tahun 929 M.
Menurut I Made Kusumajaya, ketika pusat kerajaan dipindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, orang-orang juga ikut pindah, sehingga banyak candi dibangun di kawasan Jawa Timur. Proses perpindahan itu terjadi sejak tahun 929 M.
Kerajaan Kediri merupakan kerajaan tertua di Jawa Timur. Setelah masa kerajaan Kediri, disusul kerajaan Singosari kemudian Majapahit. Ketiga kerajaan itu memiliki keterkaitan dari sisi historis dan arsitektur. Sejumlah ciri-ciri yang menjadi patokan bahwa situs Tondowongso merupakan peninggalan jaman kerajaan Kadhiri awal adalah jenis arca yang ditemukan memiliki teksture yang sangat halus. Arca-arca yang ditemukan merupakan arca Hindu, yaitu Arca Brahma, Syiwa, Durga, Lingga, Yoni dan Lembu Andini. Tiap arca ditempatkan pada ruang-ruang tersendiri dalam komplek candi.
Kerajaan Jenggala
Kerajaan Jenggala
(1042 M - 1045 M), ini pecahan dari kerajaan
Kahuripan yang dibagi dua oleh Prabu Airlangga tahun 1042 Masehi atau 963
Saka. Kerajaan Jenggala ini meliputi
wilayah delta kali Brantas atau di sekitar kabupaten Sidoarjo sekarang, jadi menguasai
pelabuhan-pelabuhan juga ibukuta mewarisi ibukota kerajaan Kahuripan. Wilayah kekuasaan
Jenggala juga meliputi wilayah Malang,
Surabaya,
Rembang dan Pasuruan atau hampir seluruh pesisir utara Jawa Timur.
Sebenarnya Prabu Airlangga memecah kerajaan jadi 4 atau 5 bagian tetapi yang berkembang cuman Jenggala dan Kediri (atau Pangjalu/Panjalu), malah Jenggala akhirnya juga hilang karena gabung dengan Kediri. Ada banyak versi yang menceritakan penggabungan Jenggala dan Kediri ini, ada yang disebabkan ada perkawinan politik antara raja Kediri dengan putri Jenggala yaitu putri Kirana juga ada yang menyebut kalau Jenggala kalah perang lawan kerajaan Kediri.
Peninggalan Rada susah mencari peninggalan dari kerajaan Jenggala ini, ada candhi Prada di dhusun Reno Pencil kabupaten Sidoarjo tetapi candhi itu dirusak penduduk di tahun 1965 (peristiwa G 30 S/PKI).
Pada jaman dahulu waktu tata pemerintahan di kabupaten Sidoarjo masih memakai sistem lama, kabupaten ini dibagi jadi beberapa Kawedanan (setingkat Kecamatan sekarang), yaitu diantaranya ada yang namanya Kawedanan Jenggala, yang sekarang sudah dihapus. Peninggalan lainnya yaitu kesenian wayang dan juga gamelan Jawa pesat perkembangannya di jaman kerajaan Jenggala ini, awalnya kalau menceritakan sejarah kesenian-kesenian Jawa itu harus menyebut nama-nama penguasa keturunan Airlangga ini. Raden Panji Asmarabangun, putra Lembu Amiluhur itu dianggap pencipta wayang orang malah jadi dhalang di pagelaran wayang di Kraton Jenggala. Sampai sekarang belum ada kepastian apa tokoh Panji Asmarabangun ini sama dengan tokoh Panji Rawisrengga yang memakai gelar Sri Suryawisesa, raja Jenggala kedua, juga belum ada kepastian apa tokoh raden Panji Ino Kartapati (atau kadang disebut Raden Panji Kasatrian) yang ahli gamelan itu sama dengan tokoh Panji Rawisrengga.
Lembu Amiluhur
Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa
Raden Kudalaleyan dan bergelar Suryaamiluhur
Dari sumber lain disebut kalau raja pertama kerajaan Janggala itu Jayanegara, lantas diganti oleh putranya yaitu Wajadrawa, Wajadrawa lantas menjodohkan putrinya yaitu Putri Kirana dengan Raja kerajaan Kadiri yaitu Kameswara. Perkawinan (politik) ini menyebabkan Jenggala lebur dengan Pangjalu dan tamat riwayatnya.
Sidoarjo ----Dulu Berdiri Kerajaan Jenggala
Bagi pencinta cerita-cerita Panji, yang biasanya dipentaskan lewat teater tradisional seperti Arja maupun Drama Gong di Bali. Kerajaan Jenggala sudah pasti begitu populer dalam ingatan, walau saat ini tidak ada nama Jenggala lagi yang dipakai sebagai nama kota atau kabupaten.
Berdasarkan sejarah, Kerajaan Jenggala dulu berdiri di Sidoarjo, Jawa Timur. Wilayah yang dalam beberapa bulan ini menjadi perhatian publik karena sumur eksplorasi gas dan minyak milik PT Lapindo Brantas mengeluarkan ribuan kubik lumpur panas, tanpa mampu ditanggulangi.
Tahun 1019 - 1042 Kerajaan Jawa Timur diperintah seorang putra hasil perkawinan antara Putri Mahendradata dengan Udayana (seorang Pangeran Bali) yang bernama Airlangga. Saat pemerintahan Airlangga, keadaan negara tenteram, keamanan terjamin, dan negara mengalami kemajuan pesat. Karena Raja Airlangga mempunyai dua putra, di akhir pemerintahannya ia membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk diserahkan kepada kedua putranya, agar di kemudian hari tidak terjadi perebutan tahta. Pembagian terjadi pada 1042, yakni Kerajaan Daha (Kediri) dan Kerajaan Jenggala.
Kerajaan Jenggala berdiri 1042 terletak di Delta Brantas, yang meliputi pesisir utara seluruhnya. Dengan demikian menguasai bandar-bandar dan muara sungai besar dan Kecamatan Gedangan menjadi pusat pemerintahannya. Sementara Kerajaan Kediri tidak memiliki bandar sebuah pun sehingga walaupun hasil pertanian di Kediri sangat besar dan upeti mengalir dengan sangat besar, semuanya tidak dapat diperdagangkan karena Kerajaan Kediri tertutup dari laut sebagai jalan perdagangan pada waktu itu Maka timbullah perebutan bandar antara Kerajaan Kediri dan Jenggala, yang kemudian menimbulkan peperangan besar antara kedua kerajaan tersebut, di mana keduanya menuntut kekuasaan atas Kerajaan Airlangga. Perang berakhir dengan kekalahan Kerajaan Jenggala, pada 1045.
Sumber lainnya menyebutkan, di Delta Brantas antara 1042 - 1045 pernah berdiri suatu kerajaan yaitu Kerajaan Jenggala. Hal itu dapat dibuktikan pada waktu Kabupaten Sidoarjo susunan pemerintahannya dibagi menjadi beberapa kawedanan (distrik). Ternyata nama-nama kawedanan tersebut masih memakai nama-nama yang digunakan pada masa Kerajaan Jenggala, misalnya Jenggala I, Jenggala II, Rawapulo I, Rawapulo II, dan sebagainya. Nama-nama ini hilang kira-kira tahun 1902.
Legenda Galuh Candra Kirana dan Cerita Panji
Raja Kuripan /
Jenggala memiliki putra mahkota bernama Raden Inu Kertapati. Seorang ksatria
tampan, gagah berani serta berbudi pekerti luhur. Raden Inu Kertapati memiliki
dua orang punakawan bernama Punta dan Jeruje yang selalu setia menemaninya
kemanapun dia pergi. Sementara itu, adik raja Kuripan yang memerintah di Daha
memiliki dua orang putri. Yang pertama anak permaisuri Puspaningrat; bernama
Galuh Chandra Kirana yang cantik jelita, penyabar dan berbudi halus. Sedangkan
yang kedua dari selir bernama Paduka Liku, bernama Galuh Ajeng. Berbeda dengan
Galuh Chandra Kirana yang halus pekertinya, Galuh Ajeng menuruni sifat ibunya
yang manja, kasar dan pendengki.
Saat putra putri raja berangkat dewasa, terbit keinginan raja Kuripan untuk menyatukan kembali kerajaan melalui pernikahan anaknya Inu Kertapati dengan Galuh Chandra Kirana. Apalagi mereka sebetulnya telah saling mengenal dan berhubungan baik sejak kecil. Maka diutuslah patih untuk meminang Chandra Kirana dan pinangan itu tentu saja disambut gembira keluarga kerajaan termasuk Chandra Kirana yang memang diam-diam mencintai Inu Kertapati.
Sayangnya, kedengkian melanda Paduka Liku. Dia tidak dapat menerima bahwa , bukan Ajeng anaknya yang juga sama cantiknya, yang dipinang putra mahkota Kuripan. Dia lalu meminta adiknya untuk mencari guna-guna untuk “meraih kasih sayang raja” dan diam-diam merancang upaya menyingkirkan permaisuri. Upayanya berhasil. Permaisuri meninggal dunia setelah makan kue beracun yang dikirim oleh Paduka Liku. Sementara kemarahan raja akibat kematian permaisurinya, luluh berkat guna-guna yang disimpannya di bawah bantal.
Setelah kematian permaisuri, berbagai cobaan mendera hidup Chandra Kirana akibat ulah Paduka Likud an Ajeng. Yang paling menyakitkan adalah saat sang prabu menggunting rambut sang putri karena Chandra tidak mau menyerahkan boneka emas kiriman Rd Inu kepada Ajeng.
Tak tahan dengan cobaan yang terus menerus menderanya, bersama Mahadewi, salah satu selir prabu yang lain serta beberapa pengikut setianya, termasuk Ken Bayan dan Ken Sangit dayangnya, Galuh Chandra Kirana kemudian melarikan diri. Sang putri berserta para pengikut setia membangun sebuah dusun kecil sebagai tempat persembunyian di hutan. Tempat yang dinamakan Asmarantaka. Di sinilah putri menyamar sebagai ksatria “perampok budiman” bernama Panji Semirang. Sedangkan kedua dayangnya beralih rupa menjadi Kuda Perwira dan Kuda Peranca yang gagah.
Sementara itu Rd. Inu Kertapati yang tidak mengetahui hilangnya sang calon istri segera bersiap berangkat ke Daha dan mengabarkan kepada raja bahwa mereka siap untuk melaksanakan pernikahan. Paduka Liku kemudian menghasut raja agar pernikahan tetap dilaksanakan dengan mengganti pengantin perempuan dengan Galuh Ajeng. Malam menjelang pernikahan, kota kerajaan diporakporandakan oleh tamu yang tak dikenal dan menyebabkan batalnya acara pernikahan Inu dengan Ajeng.Kisah Panji Semirang masih berlanjut dengan pencarian Galuh Chandra Kirana. Raden Inu Kertapati bersumpah untuk tidak kembali ke kerajaan Kuripan sebelum menemukan calon permaisurinya.
Joko Dolog
Ditengah kota
Surabaya, tepatnya di Taman Apsari, yaitu di jalan Joko Dolog, terdapat
beberapa peninggalan kuno yang merupakan warisan budaya nenek moyang. Salah
satu peninggalan tersebut adalah arca Budha Mahasobya yang lebih dikenal dengan
nama JOKO DOLOG. Pada lapiknya terdapat prasasti yang merupakan sajak, memakai
huruf Jawa kuno, dan berbahasa Sansekreta. Dalam prasasti tersebut disebutkan
tempat yang bernama Wurare, sehingga prasastinya disebut dengan nama prasasti Wurare.
Arca Budha Mahasobya ini berasal dari Kandang Gajak. Pada 1817 dipindahkan ke
Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah kandang Gajak dulu merupakan wilayah
Kedoeng Wulan, yaitu daerah dibawah kekuasaan Majapahit. Pada masa penjajahan
Belanda termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan masa sekarang termasuk
wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten
Mojokerto – Jawa Timur.
Arca Budha
Mahasobya, yang terkenal dengan nama Joko Dolog ini, sekarang banyak dikunjungi
orang-orang yang mohon berkah. Namun jika melihat lapiknya, disebut prasati
Wurare, sangat menarik karena memuat beberapa data sejarah di masa lampau. Angka
prasasti menunjukkan 1211 Saka dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya
bernama Nada. Prasasti yang berbentuk sajak sebanyak 19 baik ini isi pokoknya
dapat dirinci menjadi 5 hal, yaitu :
1. Pada
suatu saat ada seorang pendeta yang benama Arrya Bharad bertugas membagi Jawa
menjadi 2 bagian, yang kemudian masing-masing diberi nama Jenggala dan Panjalu.
Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena ada perebutan kekuasaan diantara putra
mahkota.
2.Pada
masa pemerintahan raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya,
Crijayawarddhani, kedua daerah itu disatukan kembali.
3. Pentahbisan raja (yang
memerintahkan membuat prasasti) sebagai Jina dengan gelar Cri Jnanjaciwabajra.
Perwujudan sebagai Jina Mahasobya didirikan di Wurare pada 1211 Saka.
4. Raja dalam waktu singkat berhasil
kembali menyatukan daerah yang telah pecah, sehingga kehidupan menjadi
sejahtera.
5. Penyebutan
si pembuat prasasti yang bernama Nada, sebagai abdi raja.
Beberapa data tersebut
jka dipadukan dengan data-data sejarah yang lain seperti kitab Negarakretagama,
Pararaton, dan prasasti-prasasti yang lain, akan menghasilkan kerangka sejarah
yang gambling. Sebelumnya kita tinjau kembali lima tokoh yang disebutkan dalam
prasasti Wurare tersebut. Kelima tokoh tersebut adalah Arrya Bharad,
Jayacriwisnuwarddhana yang disebut juga dengan nama Crihariwarddhana,
Crijayawarddhani, Raja (yang memerintah membuat prasasti), dan Nada (sebagai
pelaksana pembuat prasasti).
Siapa sebetulnya raja yang memerintah membuatkan prasati ini ? Jawabnya tidak lain adalah raja Kertanegara, yaitu raja Singosari terakhir. Dalam prasasti disebutkan bahwa ia adalah anak raja Crijayawisnuwarddhana dengan Crijayawarddhani. Nama Crijayawisnuwarddhana sekarang lebih dikenal dengan nama Wisnuwarddhana atau Ranggawuni.Kemudian Arrya Bharad, nama ini dikenal pada masa pemerintahan raja Airlangga. Sedangkan Nama sudah jelas disebutkan bahwa ia adalah abdi raja. Selanjutnya dari prasasti ini dapat diketahui data-data sejarah yang penting sebagai berikut :Pada jaman kerajaan Medang, yaitu masa akhir pemerintahan raja Airlangga, tepatnya 963 Saka, terjadi pembagian kerajaan menjadi dua.
Hal ini terpakasa
dilakukan untuk menghindari perebutan kekuasaan diantara 2 putra mahkota.
Pembagian kerajaan dilakukan oleh seorang pendeta yang sangat terkenal
kesaktiannya, bernama Arrya Bharad. Caranya membasahi dan membelah bumi dengan
air kendi yang berkilat, Kedua kerajaan ini dibatasi oleh gunung Kawi dan
sungai Brantas, dan masing-masing disebut kerajaan Jenggala dan Panjalu.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas, dengan
pelabuhan Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Ibukotanya adalah Kahuripan, yaitu
bekas ibukota kerajaan Airlangga. Sedangkan kerajaan Panjalu, yang kemudian
dikenal dengan nama Kediri, meliputi daerah Kediri dan Madiun. Ibukotanya Daha,
yang mungkin didaerah Kediri sekarang.
Pada jaman
kerajaan Singosari, tepatnya pada masa pemerintahan raja Wisnuwarddhana,
kerajaan Panjalu dan Jenggala berusaha disatukan kembali dibawah kekuasaan
kerajaan Singosari. Usaha yang dilakukan raja Wisnuwarddhana untuk
mempersatukan tersebut dengan cara mengawinkan anaknya yang bernama Turukbali
dengan Jayakatwang yang meupakan keturunan raja Kediri terakhir yaitu raja
Kertajaya. Jayakatwang yang merasa bahwa ia adalah pewaris sah atas tahta Kdiri
sehingga ia berusaha merebut kembali kekuasaannya. Ulahnya yang selalu berusaha
merebut kekuasaan itulah yang ingin dicegah raja Wisnuwarddhana dengan jalan
mengadakan perkawinan politik tersebut. Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh
keturunannya yang bernama raja Kertanegara yang mengawinkan anaknya dengan anak
Jayakatwang yang bernama Arddhara.
Kenyataan tetap
membuktikan bahwa usaha yang baik tidak selalu lancar. Jayakatwang tetap
berusaha merebut kekuasaan. Kertanegara dianggap sebagai orang yang tidak
berhak atas tahta kerajaan. Cara yang ditempuh Kertanegara untuk menunjukkan
bahwa ia adalah putra mahkota yang sah yaitu dengan menyebutkan
Crijayawisnuwarddhana dan Crijayawarddhani sebagai orang tuanya dalam prasasti
Wurare itu. Disamping itu, disebutkan bahwa Kertanegara adalah raja yang pandai
dalam dharma dan sastra, serta sebagai pendeta dari keempat pulau. Ia
dikukuhkan sebagai Jina Mahasobya dengan gelar Crijnanaciwabajra.
Maksud pengukuhannya sebagai Jina adalah untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesaran dirinya. Mahasobya adalah dewa Aksobhya tertinggi. Sebutan Kertanegara sebagai Mahasobhya berarti ia mempunyai sifat yang ada dalam diri Dewa Aksobhya dan emanasinya, yaitu mempunyai sifat damai, berkuasa, dan kekuasaannya yang tiada tandingannya. Sedangan gelarnya sebagai Cri Jnannaciwabajra dapat berarti bahwa ia adalah orang yang mempunyai pengalaman atau berpengalaman seperti Dewa Siwa, serta dapat memusnahkan kejahatan untuk kesejahteraan semua umat manusia.
Selain itu, gelar-gelar Kertnegara tersebut juga mempunyai latar belakang politik. Raja Kertanegara ingin menyaingi raja Kubilai Khan yang dikukuhkan sebagai Jina Mahamitabha. Persaingan ini timbul karena raja Kubilai Khan ingin berkuasa diseluruh Asia Tengara. Tetapi raja Kertanegara tidak mau tunduk begitu saja. Pada 1211 Saka, utusan dari raja Kubilai Khan bernama Meng-Ch’I, yang meminta pengakuan kekuasaan Kubilai Khan, ditolak dan disuruh pulang ke Mongol oleh raja Kertanegara. Semua itu dilakukan bertepatan dengan dibuatnya prasasti Wurare yang menyatakan kekuasaan dan kebesaran raja Kertanegara sebagai Jina Mahasobhya. Mahasobhya adalah Jina yang menguasai mata angin sebelah timur, sedangkan Mahamitabha menguasai mata angin sebelah barat. Dengan demikian Kubilai Khan menguasai wilayah bagian barat sedangkan Kertanegara menguasai wilayah bagian timur.
Dari semua keterangan tersebut dapat diketahui bahwa arca Joko Dolog merupakan perwujudan raja Kertanegara sendiri. Sedangkan prasasti yang dipahatkan mengelilingi lapiknya mengandung nilai sejarah politik yang penting. Terutama sebagai bukti bahwa bangsa kita sejak jaman dahulupun tidak mau begitu saja menyerah kepada penjajah asing. Juga berusaha menggalang persatuan untuk menegakkan kekuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar