Minggu, 04 November 2018

KISAH KERAJAAN SUMEDANG LARANG


KISAH KERAJAAN SUMEDANG LARANG

Orientasi
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-16 Masehi di Tatar Pasundan, Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang yang pusat wilayahnya berada di Kabupaten Sumedang, merupakan Kerajaan yang berdiri dari sisa-sisa Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Islam Kerajaan Sunda, setelah Pakuan jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Wilayah kerajaan ini meliputi Jawa Barat dan wilayah Banyumasan yang tidak berada di bawah kekuasaan Banten dan Kesultanan Cirebon. Kerajaan ini berakhir saat Suriadiwangsa (anak tiri Geusan Ulun, yang merupakan keturunan Harisbaya keturunan Mataram dan Panembahan Ratu dari Cirebon) menyerahkan kerajaan pewaris trah Siliwangi, Sumedang Larang kepada Kesultanan Mataram di tahun 1601.

Pemerintahan di Wilayah Sumedang dan sekitarnya
No.
Masa
Tahun
1
Kerajaan Sumedang Larang (bagian dari kerajaan Pajajaran)
900 - 1530
2
Kerajaan Sumedang Larang (bagian dari kesultanan Cirebon) masa pangeran Santri hingga pangeran Geusan Ulun
1530 - 1585
3
Kerajaan Sumedang Larang (berdaulat penuh setelah mendeklarasikan diri berpisah dengan Cirebon pasca peristiwa Harisbaya) masa prabu Geusan Ulun hingga prabu Suryadiwangsa
1585 - 1620
4
Bergabung dengan Kesultanan Mataram terkait penyerangan ke Batavia
1620 - 1706
5
1706 - 1811
6
Pemerintahan Inggris
1811 - 1816
7
Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie
1816 - 1942
8
Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
9
Pemerintahan Republik Indonesia
1945 - 1947
10
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda
1947 - 1949
11
Pemerintahan Negara Pasundan
1949 - 1950
12
Pemerintahan Republik Indonesia
1950 - sekarang

Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Adji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Pemerintahan berdaulat
No.

Nama
Tahun
1

Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang


a

b

c

d

e

f

g
2

Nama penguasa kerajaan Sumedang Larang pada masa bergabung dengan kesultanan Cirebon


a
Pangeran Santri (Pangeran Soleh cucu dari Pangeran Panjunan, Cirebon) suami dari Nyimas Setyasih
1530 - 1579

b
Pangeran Angkawijaya
1579 - 1585
3

Nama penguasa kerajaan Sumedang Larang pada masa lepas dari kesultanan Cirebon


a
1579 - 1601

j
Prabu Suriadiwangsa (anak Prabu Geusan Ulun dengan putri Harisbaya)
1601 - 1620
4

Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II guna penyerangan ke Batavia (Mataram berinisiatif agar dalam proses penyerangan hanya ada satu komando (tidak ada dua raja) dan disepakati komando dipegang oleh Mataram)


a
1620 - 1625

b
1625 - 1633

c
1633 - 1656

d
1656 - 1706
5

Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang


a
1706 - 1709

b
1709 - 1744

c
1744 - 1759

d
1759 - 1761

e
1761 - 1765

f
1765 - 1773

g
Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
1773 - 1775

h
Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
1775 - 1789

i
1789 - 1791

j
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
1791 - 1800

k
1800 - 1810

l
1805 - 1810

m
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
1810 - 1811

n
1811 - 1815

o
1815 - 1828

p
1828 - 1833

q
1833 - 1834

r
1834 - 1836

s
1836 - 1882

t
1882 - 1919

u
1919 - 1937

v
1937 - 1942

w
1942 - 1945

x
1945 - 1946
6

Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia


a
1946 - 1947
7'

Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia


a
1947 - 1949
'8



a
1949 - 1950
9

Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia


a

b
1950 - 1951

c
1951 - 1958

d
1958 - 1960

e
1960 - 1966

f
1966 - 1970

g
1970 - 1972

h
1972 - 1977

i
1977 - 1983

j
Drs. Sutarja
1983 - 1988

k
Drs. Sutarja
1988 - 1993

l
1993 - 1998

m
Drs. H. Misbach
1998 - 2003

n
H. Don Murdono,SH. Msi
2003 - 2008

o
H. Don Murdono,SH. Msi
2008 - 2013

p
Drs. H. Endang Sukandar, M.Si

q
Drs. H. Ade Irawan, M.Si
2013 - Sekarang

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan dia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga dia dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekadar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamelekaran, Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Nyimas Setyasih (Ratu Pucuk Umum), anak dari Raja Tirtakusumah (raja Sumedang Larang) yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi pangeran Soleh (Pangeran Santri) (diperkirakan hidup pada tahun 1505-1579 M). Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka) Pangeran Soleh diserahi kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya dan kemudian dia dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang (bahasa Cirebon : Ki Gede Sumedang) dengan gelar Kusumahdinata[3] keduanya memerintah kerajaan Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Soleh (Pangeran Santri) adalah Putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan atau Pangeran Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda, tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka) diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung Pakungwati atas diangkatnya Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang Larang juga keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah timur (Galuh). Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.  Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
1.      Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2.   Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
3.      Kiyai Demang Watang di Walakung.
4.      Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
5.      Santowaan Cikeruh.
6.      Santowaan Awiluar.
7.   Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
8.      Prabu Geusan Ulun
9.  Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton dia mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante.
Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja Palangka Sriman Sriwacana direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan dia pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga hampir terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.

Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peristiwa tersebut pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
1.      Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2.      Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3.      Kiyai Kadu Rangga Gede
4.      Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5.      Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6.      Raden Ngabehi Watang
7.      Nyi Mas Demang Cipaku
8.      Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9.      Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10.  Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11.  Nyi Mas Rangga Pamade
12.  Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13.  Pangeran Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu.
14.  Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15.  Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
16.  Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pemerintahan saat penggabungan dengan Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Prabu Suriadiwangsa (Rangga Gempol) memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang bergabung dengan Mataram dalam rangka memerangi Belanda dan menyerang Batavia, disepakai oleh keduanya bahwa hanya akan ada satu komando dalam upaya memerangi Belanda di Batavia dan dipegang oleh Mataram sehingga untuk menunjang teraturnya rantai komando maka wilayah Sumedang Larang statusnya kabupatian wedana (luas wilayah kerajaan Sumedang Larang tidak berubah pada saat bergabung dengan Mataram dalam rangka penyerangan ke Batavia). Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan dan persiapan penyerangan kepada Belanda. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Pangeran Suriadiwangsa (Rangga Gempol) beserta pasukannya untuk merebut Sampang di Madura dan berhasil tanpa jalan peperangan (hal tersebut dikarenakan ibunya yang bernama Harisbaya adalah keturunan Madura) Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia.

Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.

Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.

Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon (putri Prabu Geusan Ulun) yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.

Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.

Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur.

Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.

Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.

Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.

Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.

Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian :
1. Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
2.  Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
3.     Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.

Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.


RAJA-RAJA KERAJAAN SUMEDANG LARANG
(Dan Bupati-Wedana Sumedang Larang / Bupati Sumedang)

I.    MASA KERAJAAN MANDIRI
01. Prabu Guru Aji Putih tahun 900
02. Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela Tahun 950
.... (anak Dewa Goeroe Adji Poetih)
02a.Pabu Lemboe Agoeng
.... (anak pertama Tadjimalela, pengganti sementara ayahnya yang menjadi Resi, hingga ayahnya wafat, lalu menjadi Resi juga)
03. Prabu Gajah Agung tahun 980
.... (anak kedua Tadjimalela)
04. Sunan Guling Tahun1000
.... (anak Prabu Gajah Agung)
04a.Rd Mertalaya
.... (anak Sunan Guling)
05. Sunan Tuakan Tahun 1200
.... (anak Rd Mertalaya)
06. Nyi Mas Ratu Patuakan Tahun 1450
.... (anak Sunan Tuakan)
07. Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata / Nyimas Setyasih tahun 1530 - 1578
.... (anak NM Ratu Patuakan) Bersama
07+. Pangeran Santri Tahun1530 - 1578
.... (Pangeran Soleh cucu dari Pangeran Panjunan, Cirebon) suami dari Nyimas Setyasih
08. Pangeran Angkawijaya/ Prabu Geusan Ulun Tahun 1578 - 1601
.... (anak Ratu Putjuk Umun dan Pangeran Santri)

II.         MASA PEMERINTAHAN MATARAM
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II guna penyerangan ke Batavia (Mataram berinisiatif agar dalam proses penyerangan hanya ada satu komando (tidak ada dua raja) dan disepakati komando dipegang oleh Mataram)
09. Suriadiwangsa, Rangga Gempol I Tahun 1620 - 1625
....(anak Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya)
10. Pangeran Rangga Gede tahun 1625 - 1633
.... (anak Prabu Geusan Ulun dan NM Gedeng Waru)
11. Pangeran Rangga Gempol II Koesemadinata V tahun 1633 - 1656
.... (anak Pangeran Rangga Gede)
12. Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
... (anak Pangeran Rangga Gempol II dan NRA Sepoeh)

III.       MASA PEMERINTAHAN KUMPENI/VOC DAN KERAJAAN BELANDA
Dalem Tumenggung Tanumaja tahun 1706 - 1709
.... (anak Rangga Gempol III)
14. Pangeran Karuhun tahun 1709 - 1744
.... (anak Dalem Tanumaja)
15. Private Dalem Istri Rajaningrat tahun 1744 - 1759
.... (anak Pangeran Karuhun); Didampingi/bersama
15+. Kd Adipati Soerianagara
.... (suami dan sepupunya)
16. Dlm Rd Anom KOESOEMADINATA VIII / Dalem Anom Tahun 1759 - 1761
....(anak Dalem Istri Rajaningrat)
17. Dlm Rd Surianagara II / Dalem Adipati Surianagara II tahun 1761 - 1765
.... (anak Dalem Anom)
18. Private / Dalem Adipati Surialaga Tahun 1765 - 1773
.... (adik Dalam Surianagara II)
19. Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) tahun 1773 - 1775
.... (bupati Panyelang, dari jalur Parakanmuncang)
20. Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
.... (menantu Dalem Tanubaya)
21.. Private Dalem Aria Sacapati tahun 1789 - 1791
.... (sepupu 3 kali Dalem Anom)
22. Pangeran Kornel Soerianagara III Koesoemadinata IX Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata tahun 1791 - 1811
.... (anak Dalem Surianagara II)
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Kaisar Napoleon Bonaparte tahun 1805 - 1810
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte Tahun 1810 - 1811

IV.       MASA PEMERINTAHAN INGGRIS
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 – 1815

V.        MASA PEMERINTAHAN BELANDA
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828
23. Dlm Adipati Ageung Koesoemajoeda Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung Tahun 1828 - 1833
.... (anak Pangeran Kornel)
24. Private Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit Tahun 1833 - 1834
.... (keponakan Dalem Ageung)
25. Private tahun 1834 - 1836
.... (cucu Dalem Soeiadilaga (18))
26. Pangeran Soegih Soeria Koesoemah Adinata / Pangeran Soegih Tahun 1836 - 1882
.... (anak Dalem Ageung)
27. Private Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah Tahun 1882 - 1919
.... (anak Pangeran Sugih)
28. Private Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937
.... (saudara Pangeran Mekah lain ibu)
29. Private Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri Tahun 1937 – 1942
 .... (cucu Pangeran Sugih)

VI.       MASA PEMERINTAHAN JEPANG
29. Private Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri Tahun 1942 - 1945
VII. MASA PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA
29. Private Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri Tahun 1945 - 1946
30 Private Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
.... (cicit Pangeran Sugih)
31. Private Raden Tumenggung M. Singer Tahun 1947 - 1949
.... (cucu Pangeran Sugih)
30. Private Raden Hasan Suria Sacakusumah Tahun 1949 - 1950 (Sebagai Bupati Negara Pasundan / RIS)

MASA SELANJUTNYA BUPATI TIDAK BERDASARKAN KETURUNAN RAJA-RAJA SUMEDANG LARANG
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) Tahun 1950 :
1.      Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951
2.      Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958
3.      Antan Sastradipura 1958 - 1960
4.      Muhammad Hafil 1960 - 1966
5.      Adang Kartaman 1966 - 1970
6.      Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972
7.      Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977
8.      Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983
9.      Drs. Sutarja 1983 - 1988
10.  Drs. Sutarja 1988 - 1993
11. Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998
12. Drs. H. Misbach 1998 - 2003
13. H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008
14. H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013
15. Drs. H. Endang Sukandar, M.Si 2013
16. Drs. H. Ade Irawan, M.Si
17. Drs. H. Eka Setiawan           

Sumber : Google Wikipedia







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...