KISAH KERAJAAN SUMEDANG LARANG
Orientasi
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam
yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-16
Masehi di Tatar Pasundan, Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak
sebesar popularitas kerajaan Demak,
Mataram, Banten
dan Cirebon dalam literatur sejarah
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan
bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa
Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan
Banten.
Sejarah
Kerajaan
Sumedang Larang yang pusat wilayahnya berada di Kabupaten Sumedang, merupakan Kerajaan yang
berdiri dari sisa-sisa Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Sumedang
Larang merupakan penerus Islam Kerajaan Sunda, setelah Pakuan jatuh ke tangan Kesultanan
Banten. Wilayah kerajaan ini meliputi Jawa Barat
dan wilayah Banyumasan yang tidak berada di bawah kekuasaan Banten dan Kesultanan Cirebon. Kerajaan ini berakhir saat
Suriadiwangsa (anak tiri Geusan Ulun, yang merupakan keturunan Harisbaya
keturunan Mataram dan Panembahan Ratu dari Cirebon) menyerahkan kerajaan
pewaris trah Siliwangi, Sumedang Larang kepada Kesultanan Mataram di tahun 1601.
Pemerintahan di Wilayah Sumedang dan
sekitarnya
No.
|
Masa
|
Tahun
|
1
|
Kerajaan Sumedang Larang (bagian dari kerajaan Pajajaran)
|
900 - 1530
|
2
|
Kerajaan Sumedang Larang (bagian dari kesultanan Cirebon) masa pangeran Santri
hingga pangeran Geusan Ulun
|
1530 - 1585
|
3
|
Kerajaan Sumedang Larang (berdaulat penuh setelah
mendeklarasikan diri berpisah dengan Cirebon pasca peristiwa Harisbaya) masa
prabu Geusan Ulun hingga prabu Suryadiwangsa
|
1585 - 1620
|
4
|
Bergabung dengan Kesultanan Mataram terkait penyerangan
ke Batavia
|
1620 - 1706
|
5
|
Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC)
|
1706 - 1811
|
6
|
Pemerintahan Inggris
|
1811 - 1816
|
7
|
Pemerintahan Belanda
/ Nederland Oost-Indie
|
1816 - 1942
|
8
|
Pemerintahan Jepang
|
1942 - 1945
|
9
|
Pemerintahan Republik Indonesia
|
1945 - 1947
|
10
|
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda
|
1947 - 1949
|
11
|
Pemerintahan Negara Pasundan
|
1949 - 1950
|
12
|
Pemerintahan Republik Indonesia
|
1950 - sekarang
|
Asal-mula nama
Kerajaan
Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak Hindu, yang didirikan oleh
Prabu Aji Putih atas perintah
Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami
beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Adji Putih pada abad ke XII.
Kemudian pada masa zaman Prabu
Tajimalela, diganti menjadi Himbar
Buana, yang berarti menerangi
alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun
medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Kata
Sumedang diambil dari kata Insun
Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang
berpendapat berasal dari kata Insun
Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada
tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
No.
|
Nama
|
Tahun
|
|
1
|
Nama Raja-raja Kerajaan
Sumedang Larang
|
||
a
|
|||
b
|
|||
c
|
|||
d
|
|||
e
|
|||
f
|
|||
g
|
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas
Ratu Dewi Inten Dewata / Nyimas Setyasih
|
||
2
|
Nama penguasa kerajaan
Sumedang Larang pada masa bergabung dengan kesultanan Cirebon
|
||
a
|
Pangeran Santri (Pangeran Soleh cucu dari Pangeran
Panjunan, Cirebon) suami dari Nyimas Setyasih
|
1530 - 1579
|
|
b
|
Pangeran Angkawijaya
|
1579 - 1585
|
|
3
|
Nama penguasa kerajaan
Sumedang Larang pada masa lepas dari kesultanan Cirebon
|
||
a
|
1579 - 1601
|
||
j
|
Prabu Suriadiwangsa (anak Prabu Geusan Ulun dengan putri Harisbaya)
|
1601 - 1620
|
|
4
|
Nama Bupati Wedana Masa
Pemerintahan Mataram II guna penyerangan ke Batavia
(Mataram berinisiatif agar dalam proses penyerangan hanya ada satu komando
(tidak ada dua raja) dan disepakati komando dipegang oleh Mataram)
|
||
a
|
1620 - 1625
|
||
b
|
1625 - 1633
|
||
c
|
1633 - 1656
|
||
d
|
1656 - 1706
|
||
5
|
|||
a
|
1706 - 1709
|
||
b
|
1709 - 1744
|
||
c
|
1744 - 1759
|
||
d
|
1759 - 1761
|
||
e
|
1761 - 1765
|
||
f
|
1765 - 1773
|
||
g
|
Dalem
Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
|
1773 - 1775
|
|
h
|
Dalem
Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
|
1775 - 1789
|
|
i
|
1789 - 1791
|
||
j
|
Pangeran
Kornel / Pangeran Kusumahdinata
|
1791 - 1800
|
|
k
|
1800 - 1810
|
||
l
|
Bupati
Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
|
1805 - 1810
|
|
m
|
Bupati
Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
|
1810 - 1811
|
|
n
|
1811 - 1815
|
||
o
|
1815 - 1828
|
||
p
|
1828 - 1833
|
||
q
|
1833 - 1834
|
||
r
|
1834 - 1836
|
||
s
|
1836 - 1882
|
||
t
|
1882 - 1919
|
||
u
|
1919 - 1937
|
||
v
|
1937 - 1942
|
||
w
|
1942 - 1945
|
||
x
|
1945 - 1946
|
||
6
|
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
|
||
a
|
1946 - 1947
|
||
7'
|
Bupati Masa Pemerintahan
Belanda / Indonesia
|
||
a
|
1947 - 1949
|
||
'8
|
|||
a
|
1949 - 1950
|
||
9
|
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
|
||
a
|
|||
b
|
1950 - 1951
|
||
c
|
1951 - 1958
|
||
d
|
1958 - 1960
|
||
e
|
1960 - 1966
|
||
f
|
1966 - 1970
|
||
g
|
Drs. Supian Iskandar
|
1970 - 1972
|
|
h
|
Drs. Supian Iskandar
|
1972 - 1977
|
|
i
|
Drs. Kustandi Abdurahman
|
1977 - 1983
|
|
j
|
Drs. Sutarja
|
1983 - 1988
|
|
k
|
Drs. Sutarja
|
1988 - 1993
|
|
l
|
Drs. H. Moch.
Husein Jachja Saputra
|
1993 - 1998
|
|
m
|
Drs. H. Misbach
|
1998 - 2003
|
|
n
|
H. Don Murdono,SH. Msi
|
2003 - 2008
|
|
o
|
H. Don Murdono,SH. Msi
|
2008 - 2013
|
|
p
|
Drs. H. Endang
Sukandar, M.Si
|
||
q
|
Drs. H. Ade Irawan,
M.Si
|
2013 - Sekarang
|
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai
pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota
di Leuwihideung (sekarang
Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan
Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya
(Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain
menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh
karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah
harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang
Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan
kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan
dia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga dia dinyatakan kalah
dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus
mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi
raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekadar
memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang
diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu
Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan
Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah
Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan
di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan
Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi
raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian
dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan
Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu
Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan
Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas
Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal
menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu
Pucuk Umun menikah dengan Pangeran
Kusumahdinata, putra Pangeran Pamelekaran, Ibunya Ratu
Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal
dengan julukan Pangeran Santri
karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan
pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak
itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada
pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan
Sumedang Larang. Nyimas Setyasih (Ratu Pucuk Umum), anak dari Raja Tirtakusumah
(raja Sumedang Larang) yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi pangeran
Soleh (Pangeran Santri) (diperkirakan hidup pada tahun
1505-1579 M). Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka)
Pangeran Soleh diserahi kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya
dan kemudian dia dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang (bahasa
Cirebon : Ki Gede
Sumedang) dengan gelar Kusumahdinata[3]
keduanya memerintah kerajaan Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan
ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Soleh (Pangeran Santri) adalah Putra
Pangeran Pamelekaran atau Pangeran
Muhammad, cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan atau Pangeran
Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk
Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari
Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan
Sunda, tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka)
diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung Pakungwati atas
diangkatnya Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang Larang juga
keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah timur (Galuh).
Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan
Ulun atau dikenal dengan Prabu
Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang
dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya. Dari
pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak,
yaitu :
1.
Pangeran
Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2. Kiyai
Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk
agama Islam.
3.
Kiyai
Demang Watang di Walakung.
4.
Santowaan
Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
5.
Santowaan
Cikeruh.
6.
Santowaan
Awiluar.
7. Ratu
Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
8. Prabu Geusan
Ulun
9. Prabu Geusan
Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran
Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang
letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung,
Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang
Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang
sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada
tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau
Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun,
Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang
oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka
menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur.
Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum
meninggalkan Keraton dia mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu
Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk
mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante.
Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol
kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya
seperti benten, siger, tampekan, dan kilat
bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di
Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang
Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja Palangka
Sriman Sriwacana direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota
kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu
Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi
bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang
menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya
Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut
Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh
tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan
pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC
di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang
ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram
sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang
menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu
Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan dia pergi ke
Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit
setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke
Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan
disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung
Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta
wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon.
Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu
Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan
pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan,
dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke
Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim
pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga hampir terjadi perang
antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Akhirnya Sultan
Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan
menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh
Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat
Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang
Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peristiwa tersebut pula
ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang
pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya
dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut
ia memiliki lima belas orang anak:
1. Pangeran Rangga
Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2. Raden Aria
Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu
Rangga Gede
4. Kiyai Rangga
Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria
Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi
Watang
7. Nyi Mas Demang
Cipaku
8. Raden Ngabehi
Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga
Wiratama, di Cibeureum
10. Rd. Rangga
Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11. Nyi Mas Rangga
Pamade
12. Nyi Mas Dipati
Ukur, di Bandung
13. Pangeran
Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu.
14. Pangeran
Tumenggung Tegalkalong
15. Rd. Kiyai
Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
16.
Prabu
Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena
selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati
(bupati).
Pemerintahan saat penggabungan
dengan Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada
saat Prabu Suriadiwangsa (Rangga Gempol) memegang kepemimpinan, pada tahun 1620
M Sumedang Larang bergabung dengan Mataram dalam rangka memerangi Belanda dan
menyerang Batavia, disepakai oleh keduanya bahwa hanya akan ada satu komando
dalam upaya memerangi Belanda di Batavia dan dipegang oleh Mataram sehingga
untuk menunjang teraturnya rantai komando maka wilayah Sumedang Larang
statusnya kabupatian wedana
(luas wilayah kerajaan Sumedang Larang tidak berubah pada saat bergabung dengan
Mataram dalam rangka penyerangan ke Batavia). Hal ini dilakukannya sebagai
upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan dan persiapan
penyerangan kepada Belanda. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada
Pangeran Suriadiwangsa (Rangga Gempol) beserta pasukannya untuk merebut Sampang
di Madura
dan berhasil tanpa jalan peperangan (hal tersebut dikarenakan ibunya yang
bernama Harisbaya adalah keturunan Madura) Sedangkan pemerintahan untuk
sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika
setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke
Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk
menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia
akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia
menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada
Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Tanggal
12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat
tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut
juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC
di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628.
Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu
Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia.
Tapi,
setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang
sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut
kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk
terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan
dari Jawa.
Baru
dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC,
pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di
sana. Tersinggung karena merasa tak
dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur
VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah
kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden
Saribanon (putri Prabu Geusan Ulun) yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang
mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun
hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari
Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari
Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari
Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa
gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.
Mendengar
kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan
perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah -
Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur
yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan
langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua
utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada
Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap
teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah
satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu
tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan
akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar
dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal
menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur.
Sultan
Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan
perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya
Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap
penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur
dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum
mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur
hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung
Narapaksa dari Mataram.
Dari
kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus
menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa
bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan
ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati
Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan,
Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang
tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari
Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum
juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten
mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu
pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang
merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang
untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan
hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur
pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram.
Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara
dipenggal kepalanya.
Sepeninggal
Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di
wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram
dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah
Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya
berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal
dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah
habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk
memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh
(Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian :
1. Kabupaten
Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R.
Wirawangsa,
2. Kabupaten
Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung
Wirangun-angun,
3. Kabupaten
Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung
Tanubaya.
Kesemua
wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II),
yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati)
Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga
kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik
politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun
artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja
dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara
umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang
letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung
Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.
RAJA-RAJA
KERAJAAN SUMEDANG LARANG
(Dan
Bupati-Wedana Sumedang Larang / Bupati Sumedang)
I. MASA KERAJAAN MANDIRI
01. Prabu Guru
Aji Putih tahun 900
02. Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela Tahun 950
.... (anak Dewa Goeroe Adji Poetih)
02a.Pabu Lemboe Agoeng
.... (anak pertama Tadjimalela, pengganti sementara ayahnya yang menjadi Resi, hingga ayahnya wafat, lalu menjadi Resi juga)
03. Prabu Gajah Agung tahun 980
.... (anak kedua Tadjimalela)
04. Sunan Guling Tahun1000
.... (anak Prabu Gajah Agung)
04a.Rd Mertalaya
.... (anak Sunan Guling)
05. Sunan Tuakan Tahun 1200
.... (anak Rd Mertalaya)
06. Nyi Mas Ratu Patuakan Tahun 1450
.... (anak Sunan Tuakan)
07. Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata / Nyimas Setyasih tahun 1530 - 1578
.... (anak NM Ratu Patuakan) Bersama
07+. Pangeran Santri Tahun1530 - 1578
.... (Pangeran Soleh cucu dari Pangeran Panjunan, Cirebon) suami dari Nyimas Setyasih
08. Pangeran Angkawijaya/ Prabu Geusan Ulun Tahun 1578 - 1601
.... (anak Ratu Putjuk Umun dan Pangeran Santri)
02. Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela Tahun 950
.... (anak Dewa Goeroe Adji Poetih)
02a.Pabu Lemboe Agoeng
.... (anak pertama Tadjimalela, pengganti sementara ayahnya yang menjadi Resi, hingga ayahnya wafat, lalu menjadi Resi juga)
03. Prabu Gajah Agung tahun 980
.... (anak kedua Tadjimalela)
04. Sunan Guling Tahun1000
.... (anak Prabu Gajah Agung)
04a.Rd Mertalaya
.... (anak Sunan Guling)
05. Sunan Tuakan Tahun 1200
.... (anak Rd Mertalaya)
06. Nyi Mas Ratu Patuakan Tahun 1450
.... (anak Sunan Tuakan)
07. Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata / Nyimas Setyasih tahun 1530 - 1578
.... (anak NM Ratu Patuakan) Bersama
07+. Pangeran Santri Tahun1530 - 1578
.... (Pangeran Soleh cucu dari Pangeran Panjunan, Cirebon) suami dari Nyimas Setyasih
08. Pangeran Angkawijaya/ Prabu Geusan Ulun Tahun 1578 - 1601
.... (anak Ratu Putjuk Umun dan Pangeran Santri)
II. MASA PEMERINTAHAN
MATARAM
Nama
Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II guna penyerangan ke Batavia (Mataram
berinisiatif agar dalam proses penyerangan hanya ada satu komando (tidak ada
dua raja) dan disepakati komando dipegang oleh Mataram)
09. Suriadiwangsa, Rangga Gempol I Tahun 1620 - 1625
....(anak Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya)
10. Pangeran Rangga Gede tahun 1625 - 1633
.... (anak Prabu Geusan Ulun dan NM Gedeng Waru)
11. Pangeran Rangga Gempol II Koesemadinata V tahun 1633 - 1656
.... (anak Pangeran Rangga Gede)
12. Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
... (anak Pangeran Rangga Gempol II dan NRA Sepoeh)
09. Suriadiwangsa, Rangga Gempol I Tahun 1620 - 1625
....(anak Prabu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya)
10. Pangeran Rangga Gede tahun 1625 - 1633
.... (anak Prabu Geusan Ulun dan NM Gedeng Waru)
11. Pangeran Rangga Gempol II Koesemadinata V tahun 1633 - 1656
.... (anak Pangeran Rangga Gede)
12. Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
... (anak Pangeran Rangga Gempol II dan NRA Sepoeh)
III. MASA PEMERINTAHAN
KUMPENI/VOC DAN KERAJAAN BELANDA
Dalem
Tumenggung Tanumaja tahun 1706 - 1709
.... (anak Rangga Gempol III)
14. Pangeran Karuhun tahun 1709 - 1744
.... (anak Dalem Tanumaja)
15. Private Dalem Istri Rajaningrat tahun 1744 - 1759
.... (anak Pangeran Karuhun); Didampingi/bersama
15+. Kd Adipati Soerianagara
.... (suami dan sepupunya)
16. Dlm Rd Anom KOESOEMADINATA VIII / Dalem Anom Tahun 1759 - 1761
....(anak Dalem Istri Rajaningrat)
17. Dlm Rd Surianagara II / Dalem Adipati Surianagara II tahun 1761 - 1765
.... (anak Dalem Anom)
18. Private / Dalem Adipati Surialaga Tahun 1765 - 1773
.... (adik Dalam Surianagara II)
19. Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) tahun 1773 - 1775
.... (bupati Panyelang, dari jalur Parakanmuncang)
20. Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
.... (menantu Dalem Tanubaya)
21.. Private Dalem Aria Sacapati tahun 1789 - 1791
.... (sepupu 3 kali Dalem Anom)
22. Pangeran Kornel Soerianagara III Koesoemadinata IX Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata tahun 1791 - 1811
.... (anak Dalem Surianagara II)
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Kaisar Napoleon Bonaparte tahun 1805 - 1810
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte Tahun 1810 - 1811
.... (anak Rangga Gempol III)
14. Pangeran Karuhun tahun 1709 - 1744
.... (anak Dalem Tanumaja)
15. Private Dalem Istri Rajaningrat tahun 1744 - 1759
.... (anak Pangeran Karuhun); Didampingi/bersama
15+. Kd Adipati Soerianagara
.... (suami dan sepupunya)
16. Dlm Rd Anom KOESOEMADINATA VIII / Dalem Anom Tahun 1759 - 1761
....(anak Dalem Istri Rajaningrat)
17. Dlm Rd Surianagara II / Dalem Adipati Surianagara II tahun 1761 - 1765
.... (anak Dalem Anom)
18. Private / Dalem Adipati Surialaga Tahun 1765 - 1773
.... (adik Dalam Surianagara II)
19. Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) tahun 1773 - 1775
.... (bupati Panyelang, dari jalur Parakanmuncang)
20. Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
.... (menantu Dalem Tanubaya)
21.. Private Dalem Aria Sacapati tahun 1789 - 1791
.... (sepupu 3 kali Dalem Anom)
22. Pangeran Kornel Soerianagara III Koesoemadinata IX Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata tahun 1791 - 1811
.... (anak Dalem Surianagara II)
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Kaisar Napoleon Bonaparte tahun 1805 - 1810
22. Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte Tahun 1810 - 1811
IV. MASA PEMERINTAHAN
INGGRIS
22. Pangeran
Kornel sebagai Bupati Masa Pemerintahan Inggris
1811 – 1815
V. MASA PEMERINTAHAN
BELANDA
22. Pangeran
Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland 1815 -
1828
23. Dlm Adipati Ageung Koesoemajoeda Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung Tahun 1828 - 1833
.... (anak Pangeran Kornel)
24. Private Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit Tahun 1833 - 1834
.... (keponakan Dalem Ageung)
25. Private tahun 1834 - 1836
.... (cucu Dalem Soeiadilaga (18))
26. Pangeran Soegih Soeria Koesoemah Adinata / Pangeran Soegih Tahun 1836 - 1882
.... (anak Dalem Ageung)
27. Private Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah Tahun 1882 - 1919
.... (anak Pangeran Sugih)
28. Private Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937
.... (saudara Pangeran Mekah lain ibu)
29. Private Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri Tahun 1937 – 1942 .... (cucu Pangeran Sugih)
23. Dlm Adipati Ageung Koesoemajoeda Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung Tahun 1828 - 1833
.... (anak Pangeran Kornel)
24. Private Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit Tahun 1833 - 1834
.... (keponakan Dalem Ageung)
25. Private tahun 1834 - 1836
.... (cucu Dalem Soeiadilaga (18))
26. Pangeran Soegih Soeria Koesoemah Adinata / Pangeran Soegih Tahun 1836 - 1882
.... (anak Dalem Ageung)
27. Private Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah Tahun 1882 - 1919
.... (anak Pangeran Sugih)
28. Private Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937
.... (saudara Pangeran Mekah lain ibu)
29. Private Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri Tahun 1937 – 1942 .... (cucu Pangeran Sugih)
VI. MASA PEMERINTAHAN JEPANG
29. Private
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri Tahun 1942 -
1945
VII. MASA PEMERINTAHAN REPUBLIK
INDONESIA
29. Private
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri Tahun 1945 -
1946
30 Private Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
.... (cicit Pangeran Sugih)
31. Private Raden Tumenggung M. Singer Tahun 1947 - 1949
.... (cucu Pangeran Sugih)
30. Private Raden Hasan Suria Sacakusumah Tahun 1949 - 1950 (Sebagai Bupati Negara Pasundan / RIS)
30 Private Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
.... (cicit Pangeran Sugih)
31. Private Raden Tumenggung M. Singer Tahun 1947 - 1949
.... (cucu Pangeran Sugih)
30. Private Raden Hasan Suria Sacakusumah Tahun 1949 - 1950 (Sebagai Bupati Negara Pasundan / RIS)
MASA SELANJUTNYA BUPATI TIDAK
BERDASARKAN KETURUNAN RAJA-RAJA SUMEDANG LARANG
Bupati
Masa Pemerintahan Republik Indonesia Radi
(Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) Tahun 1950 :
1. Raden
Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951
2. Sulaeman
Suwita Kusumah 1951 - 1958
3. Antan
Sastradipura 1958 - 1960
4. Muhammad
Hafil 1960 - 1966
5. Adang
Kartaman 1966 - 1970
6. Drs.
Supian Iskandar 1970 - 1972
7. Drs.
Supian Iskandar 1972 - 1977
8. Drs.
Kustandi Abdurahman 1977 - 1983
9. Drs.
Sutarja 1983 - 1988
10. Drs.
Sutarja 1988 - 1993
11. Drs.
H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998
12. Drs.
H. Misbach 1998 - 2003
13. H.
Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008
14. H.
Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013
15. Drs.
H. Endang Sukandar, M.Si 2013
16. Drs.
H. Ade Irawan, M.Si
17. Drs.
H. Eka Setiawan
Sumber :
Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar