Rabu, 14 November 2018

KISAH KESULTANAN KESEPUHAN


KISAH KESULTANAN KESEPUHAN

Orientasi
Kesultanan Kasepuhan adalah suatu wilayah hasil pembagian kesultanan Cirebon kepada ketiga orang puteranya setelah meninggalnya Sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu pakungwati II pada tahun 1666[1], namun menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m, 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Putera pangeran Girilaya masing-masing adalah Pangeran Raja Martawijaya yang kemudian memerintah Kesultanan Kasepuhan yang berpusat di keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Kartawijaya yang memerintah kesultanan Kanoman yang berpusat di keraton Kanoman dan Pangeran Raja Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon yang bertugas dalam hal pendidikan putra-puteri keraton, Pangeran Raja Wangsakerta bertempat tinggal di keraton Kasepuhan dan membantu Pangeran Raja Martawijaya memerintah kesultanan Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.

Sejarah Kesultanan Kasepuhan
Kesultanan Kasepuhan resmi berdiri pada tahun yang sama dengan berdirinya kesultanan Kanoman yaitu pada tahun 1679 dengan pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja, dikatakan pada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton Dua tahun setelahnya yaitu pada tahun 1679, kesultanan-kesultanan di Cirebon melakukan klaim atas wilayah-wilayah di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura sebagai bagian dari wilayahnya kepada Belanda.

Masuknya pengaruh Belanda
Pada tahun 1677, para pengeran (bahasa Cirebon : Elang) dari kesultanan Cirebon yang ditawan oleh Mataram berhasil diselamatkan oleh kesultanan Banten dengan bantuan Trunojoyo, setelah sebelumnya pangeran Nasiruddin yang pada masa itu menjabat sebagai wali sultan Cirebon meminta bantuan kepada sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten untuk menyelamatkan saudaranya yang ditawan Mataram. Pada kurun waktu itu Banten yang sedang mengalami peperangan dengan Belanda pun dibebani tugas untuk menghindari kisruh meluas didalam keluarga besar kesultanan Cirebon yang memang sudah terpecah sebelumnya dalam menentukan penerus tahta kesultanan Cirebon, akhirnya sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten memutuskan untuk melantik Syamsuddin (Martawijaya) sebagai sultan Sepuh, Badruddin (Kartawijaya) sebagai sultan Anom dan Nasiruddin (Wangsakerta) sebagai Panembahan Cirebon yang menguasai kepustakaan dan pendidikan di Cirebon utamanya para bangsawan.

Penegasan ketiganya sebagai penguasa Cirebon kemudian dilakukan di keraton Pakungwati (kini bagian dari kompleks keraton Kasepuhan) pada tahun 1679, namun ternyata masalah internal keluarga besar ini tidak selesai begitu saja yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda yang sedang berperang dengan kesultanan Banten untuk mengirimkan pasukannya guna menyerang Cirebon. Pada tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua kesultanan yaitu kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta serta memaksa mereka untuk menyetujuinya. Perjanjian persahabatan tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiganya sebagai para penguasa Cirebon sementara pada perjanjian tanggal 7 Januari 1681 tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs, perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula, lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda). Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.

Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon : pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon. Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon), Belanda mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya ;

“bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing”

Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut. Belanda kemudian kembali mengirimkan utusan untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun perjajian yang ditandatangani pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.

Belanda dalam masalah pribawa
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan (pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808).

Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II.

Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap).

Pada tahun 1706, klaim kesultanan-kesultanan Cirebon atas wilayah-wilayah di selatan dikabulkan oleh Belanda, Belanda kemudian mengangkat Pangeran Arya Cirebon (putra kedua sultan Sepuh Syamsuddin) sebagai overseer (pengawas) untuk wilayah-wilayah tersebut  Jabatan Overseer hanya diberikan Belanda kepada para penguasa Cirebon, seperti sultan Kasepuhan yang menjadi overseer untuk wilayah Kuningan dan Cirebon, serta sultan Kanoman yang menjadi Overseer untuk wilayah Majalengka. Wilayah-wilayah di selatan tersebut kemudian dikenal dengan nama wilayah Cirebon-Priyangan (wilayah Priyangan yang berada dibawah pengaruh kesultanan Cirebon), sebagai tindak lanjut dari dikabulkannya klaim kesultanan-kesultanan Cirebon pada wilayah Cirebon-Priyangan maka para penguasa daerah di wilayah Cirebon-Priyangan termasuk Pangeran Tanumaja (anak Pangeran Panembahan, penguasa Sumedang) pada saat akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Sumedang secara resmi, beliau harus melewati uji kesetiaan terlebih dahulu kepada Belanda dan overseer wilayah Cirebon-Priyangan yaitu Pangeran Arya Cirebon.

Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.

Belanda menguasai politik Cirebon
Akhirnya pada tahun 1700-an, setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat sejak diangkatnya Jacob Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon dapat dikatakan habis (secara politik).

Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon
Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat. Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706, secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut :
"... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ...

Keadaan di kesultanan Kasepuhan
Sultan Sepuh IV yaitu Amir Sena Muhammad Jaenudin atau yang dikenal sebagai Sultan Jaenudin II (menggantikan Sultan Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta dari tahun 1723 - 1753) dia dikatakan telah mengirimkan puteranya yaitu Pangeran Raja (PR) Panengah Abdul Khayat Suryanegara untuk belajar di pesantren, ketika kembali ke keraton Kasepuhan dari pembelajarannya di pesantren, dia merasakan ketidaknyamanan tinggal di dalam keraton, ternyata perasaan yang sama juga dirasakan oleh kakaknya yaitu Pangeran Raja Adipati (PRA) Sjafiudin (yang kemudian menjadi Sultan Sepuh V)  bagi mereka berdua, keraton Kasepuhan sekarang suasananya sudah sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan suasana keraton pada masa kecil mereka, suasana keraton sekarang sudah banyak dimasuki oleh orang-orang eropa ataupun para pribumi yang berpihak terhadap penjajah Belanda.

Banyak para kerabat kesultanan yang tidak senang akan keadaan sekarang di mana pihak kesultanan dibatasi pergerakannya, seperti kedudukan sultan sebagai penguasa politik digantikan oleh pejabat residen dan bupati, sultan hanya diberikan kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat. Pada keadaan seperti itu, sultan seperti tidak memiliki kewenangan bahkan untuk mengurusi masalah internal keraton termasuk mengangkat para pangeran yang kesemuanya harus mendapat persetujuan dari pihak penjajah Belanda (di mana Belanda mengeluarkan Besluit atau Surat Keterangan (SK) sebagai pengakuan Belanda terhadap status kebangsawanan orang tersebut), sebagai ganti dirampasnya hak-hak sultan tersebut, Belanda memperlakukan sultan seperti para aparatur sipilnya yaitu dengan memberikan tunjangan bulanan dan dana pensiun.

Adanya persetujuan Belanda yang dilengkapi dengan Besluit (Surat Keterangan) tentang pengakuan kebangsawanan seseorang oleh Belanda mengakibatkan banyak keturunan bangsawan yang tidak mendapatkan gelar turun-temurunnya. Mereka yang tidak mendapatkan besluit tersebut diharuskan menjadi abdi dalem keraton yang ditugaskan oleh Belanda bersama Sultan (yang pada kedudukannya terpaksa mengikuti kemauan Belanda) untuk terjun ke masyarakat dan menangani masalah-masalah kemasyarakatan namun dengan status abdi dalem, para bangsawan yang tidak diakui Belanda dengan besluit tersebut tidak mendapatkan gaji bulanan atau tunjangan seperti layaknya aparatur sipil dan para bangsawan yang mendapatkan pengakuan resmi dari Belanda, di antara para bangsawan yang tidak mendapatkan besluit tersebut di antaranya adalah Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara.

Melihat keadaan dalam keraton yang sudah banyak dipengaruhi oleh penjajah Belanda, pangeran tersebut memilih untuk pergi meninggalkan keraton Kasepuhan untuk menemui seorang ulama Cirebon terkenal yang bernama Syekh Muhyidin atau secara adat Cirebon dikenal dengan nama Ki Buyut Muji. Syekh Muhyidin adalah seorang ulama Cirebon terkenal pada masanya, dia tinggal disekitar blok Rancang, desa Dawuan, kecamatan Tengahtani, kabupaten Cirebon. Syekh Muhyidin dikalangan kesultanan Kasepuhan dikenal dengan nama Buyut Tuji, dia merupakan seorang ulama yang memerangi penjajah dengan cara-cara yang halus.

Cerita lisan yang dituturkan turun-temurun tentang Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara mengatakan bahwa sang pangeran merupakan seorang figur ahli dalam ilmu agama, di antaranya Nahwu, Shorof,Balaghoh, Manthiq,Ma'ani dan Bayan, di mana ilmu-ilmu tersebut menjadi rujukan dalam berijtihad untuk menentukan hukum syariah, oleh karenanya dia juga dikenal sebagai seorang figur ahli natijah (pembuat keputusan).  Ditempat Syekh Muhyidin, Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara kemudian menikah dengan Ratu Ayu Jamaliyah (putri Syekh Muhyidin), dalam tulisannya tentang perjuangan Ki Bagus Rangin, bapak Opan Hasyim mengatakan bahwa dari pernikahan tersebut sang Pangeran Raja (PR) Panengah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Pangeran Idrus Wijayanegara atau yang dibeberapa kalangan masyarakat adat di Cirebon dikenal dengan nama Pangeran Idrus Surya Kusuma Jayanegara atau Pangeran Jayanegara.

Sultan Sepuh V Sjafiudin dan desa Matangaji
Pada masa kepemimpinan Sultan Sepuh V Sjafiudin, gua Sunyaragi mengalami banyak perbaikan dan disamping kegunaannya sebagai taman air, gua Sunyaragi juga dipergunakan sebagai markas besar prajurit, gudang dan tempat pembuatan senjata, sementara menurut Pangeran Sulendraningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cirebon dikatakan bahwa Sultan Sepuh V Sjafiudin masih memiliki markas lainnya yang disebut sebagai markas garis belakang di desa Matangaji, kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon.

Di dalam keraton, penjajah Belanda berusaha membujuk Sultan Sepuh V Sjafiudin untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, namun sultan menolaknya, karena mengalami berbagai tekanan, Sultan Sepuh V Sjafiudin pergi meninggalkan keraton Kasepuhan, dalam sejarah lisan yang diturunkan secara turun temurun di Cirebon, dikatakan dalam perjalanannya Sultan Sepuh V Sjafiudin berjalan ke arah blok Capar lalu meneruskankan lagi ke arah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih aman, di desa tersebut sultan membangun sebuah pesantren ditempat yang sekarang disebut blok pesantren (dusun pesantren) yang kemudian banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu keagamaan, dikarenakan letak desa Sidawangi yang dirasa kurang aman, maka sultan kembali melakukan perjalanan menuju pedalaman Cirebon dan tiba di daerah yang sekarang disebut desa Matangaji, di desa ini akhirnya dibuat sebuah tempat peristirahatan kecil yang oleh masyarakat hingga kini dikenal dengan nama blok Pedaleman (dusun Pedaleman) yang berarti tempatnya para pembesar keraton, di desa tersebut sultan juga kembali membangun sebuah pesantren dan mengajarkan ilmu keislaman dan berpesan jika ingin mengaji harus sampai matang, oleh sebab itu wilayah tersebut dinamakan Matangaji.

Sultan Sepuh V Sjafiudin dan para santri
Dekatnya Sultan Sepuh V Sjafiudin dengan masyarakat dan para santri membuat banyak dari mereka yang turut serta dalam perjuangan Sultan Sepuh V Sjafiudin, dukungan para kyai juga diperolehnya, Ali Mursyid, anggota Lakpesdam NU dan Fahmina Institute yang juga seorang alumnus pesantren Assalafie di Babakan Ciwaringin dalam catatannya yang berjudul Perjuangan Santri Cirebon untuk Kemerdekaan menyatakan bahwa dukungan dari para kyai di antaranya datang dari Kyai Abdullah dari Lontang Jaya, Kyai Jatira dari Babakan Ciwaringin dan Kyai Idris dari Kempek. Kyai Jatira misalnya, dia tidak menyukai sikap para penjajah, terlebih saat penjajah Belanda berencana merubuhkan pesantren Babakan Ciwaringin untuk membangun jalan raya, Kyai Jatira kemudian memindahkan patok penanda pembangunan jalan ke sebelah utara pesantrennya.

Di wilayah antara desa Gintung (sekarang sudah mekar menjadi desa Gintung ranjeng, desa Gintung Tengah, desa Gintung Kidul dan desa Gintung Lor) hingga desa Kedongdong inilah yang menjadi pusat dari pertempuran besar para santri dan masyarakat Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Sepuh V Sjafiudin, banyak dari para santri yang meninggal, di desa Gintung ada sebuah lapangan yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Blambangan (sebagian meyakini nama tersebut berasal dari kata dalam bahasa Cirebon yaitu Plambangan (bahasa Indonesia : Nyanyian) atau mars yang kemungkinan didengungkan para santri dan pejuang dalam melawan penjajah) di lapangan itulah para santri banyak yang terbunuh.

Sultan Sepuh V Sjafiudin sempat berusaha menyelamatkan diri, namun dia akhirnya meninggal di Matangaji pada tahun 1786.

Pangeran Adiwijaya dan Taman Sari Gua Sunyaragi
Setelah pertempuran dengan Sultan Sepuh V Sjafiudin yang telah menghancurkan taman sari, Belanda kemudian memperhatikan aktifitas-aktifitas yang ada pada bangunan tersebut. Pada tahun 1852, Pangeran Adiwijaya yang kelak menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria (putera tertua dari Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman), membangun kembali dan memperkuat taman sari Gua Sunyaragi, dia mempekerjakan seorang aristek beretnis tionghoa, namun kemudian arsitek tersebut ditangkap dan dipaksa mengatakan seluk-beluk taman sari Gua Sunyaragi kepada Belanda untuk kemudian dibunuh.

Terbongkarnya aktifitas di taman sari Gua Sunyaragi membuat Belanda memerintahkan kepada Pangeran Adiwijaya untuk menghancurkan taman sari Gua Sunyaragi, namun perintah tersebut tidak pernah dilaksanakan. Pangeran Adiwijaya kemudian memerintahkan kepada para bawahan dan para prajurit untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, akhirnya keputusan diambil untuk mengungsikan seluruh persenjataan dan para prajurit keluar dari Taman Sari Gua Sunyaragi, sehingga penyerangan Belanda yang terjadi kemudian tidak mendapatkan apa-apa.

Aturan adat mengenai pengangkatan Sultan
Aturan adat atau dalam bahasa Cirebon disebut pepakem mengenai pengganti sultan telah diatur dan dicontohkan semenjak didirikannya kesultanan Cirebon, menurut sejarah kesultanan Cirebon telah mencontohkan pengangkatan pemimpin atau sultan berdasarkan aturan Islam atau syariah yakni :
1.    beragama Islam
2.    Laki-laki
3.    Memiliki kecakapan
4.    Tidak cacat jasmani dan rohani

Contoh pengangkatan dengan yang sesuai dengan hukum syariah ini terlah terjadi pada saat Pangeran Cakrabuana memberikan kepemimpinan kesultanan Cirebon kepada Sunan Gunung Jati (anak dari Nyimas Rarasantang yang merupakan adik perempuan dari Pangeran Cakrabuana) dan bukan kepada anak laki-lakinya, hal tersebut karena Pangeran Cakrabuana melihat adanya kecakapan yang lebih di dalam diri Sunan Gunung Jati untuk menggantikannya sebagai pemimpin kesultanan Cirebon. Sehingga adat yang berlaku dalam sistem pewarisan kepemimpinan di kesultanan Cirebon bukanlah mengutamakan sistem keturunan melainkan mengutamakan sistem syariah Islam yakni, harus laki-laki, memiliki kecakapan dan tidak memiliki cacat jasmani dan rohani.

Aturan pengangkatan Sultan semasa penjajahan Belanda
Pada 28 Nopember 1867 Residen Cirebon ditugaskan menegaskan kepada Pangeran Raja Satria selaku putra sah yang tertua dari Sultan Sepuh terakhir pada waktu itu bahwa pengangkatannya selaku Sultan Sepuh setelah ada berita wafatnya Pangeran Adiwijaya (pangeran Syamsudin IV) yang melakukan perbaikan pada Gua Sunyaragi tahun 1852. selaku volmacht atas beheer Kasepuhan Cirebon.”

Pada masa pemerintahan penjajahan Belanda, pemerintah Belanda memberitahukan surat penetapan dari Raja Belanda mengenai aturan tentang penerus tahta atau kepemimpinan kesultanan harus putera kandung yang tertua selama yang bersangkutan tidak menyalahgunakan gelar tersebut. Penetapan Raja Belanda pada surat rahasia dari Menteri Jajahan Jean Chrétien Baud tanggal 23 Maret 1844 tersebut mengenai gelar Sultan harus diwariskan kepada putera sulung yang sah, diperkuat dengan telegram dari Gubernur Jendral Pieter Mijer pada tahun 1871.

“memberitahukan kepada Residen Cirebon untuk menegaskan kepada ketiga cabang keluarga Sultan - Sultan di Cirebon, yaitu Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan, bahwa penerus gelar sultan harus sesuai asal keturunannya, sesuai bakat, tekad baik dan menunjukan bukti kecakapannya, rajin dan berkelakuan baik (ijver en goedgedrag).”

Ketetapan yang dipergunakan oleh Raja Belanda tersebut mengikuti aturan yang biasa berlaku di eropa yang disebut sebagai sistem salic yakni hanya keturunan laki-laki yang sah yang berhak mewarisi tahta. aturan sejenis sistem salic yang dipergunakan di eropa ada juga yang disebut sebagai sistem semi-salic sistem ini tetap mengutamakan keturunan sebagai acuannya, sistem semi salic mengatakan jika tidak ada keturunan laki-laki yang sah untuk mewarisi tahta maka anak perempuan juga dapat menjadi pewaris tahta.

Penggunaan sistem salic pada kesultanan-kesultanan di Cirebon bertentangan dengan sistem syariah yang telah lama digunakan pada kesultanan Cirebon, di mana sistem syariah mengutamakan kecakapan atau kemampuan seorang calon pemimpin dan bukan mengutamakan garis keturunan seperti yang ditetapkan oleh Raja Belanda.

Silsilah Sultan
Pada masa kesultanan Cirebon
1. Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah) (bertahta dari 1479 - 1568)
2. P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin) (hidup dari 1495 - 1552)
3. P. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning) (hidup 1521 - 1565)
4. Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin) (bertahta dari 1568 - 1649)
5. P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam) (-)
6. Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya) (bertahta dari 1649 - 1666) menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m, 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram.


Setelah pembagian kesultanan Cirebon, Kasepuhan dipimpin oleh anak pertama Pangeran Girilaya yang bernama Pangeran Syamsudin Martawidjaja yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Sepuh I.
1.        Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja (bertahta dari 1679 - 1697)
2.        Sultan Sepuh II Sultan Raja Tajularipin Djamaludin (bertahta dari 1697 - 1723)
3.        Sultan Sepuh III Sultan Raja Djaenudin (bertahta dari 1723 - 1753)
4.     Sultan Sepuh IV Sultan Raja Amir Sena Muhammad Jaenuddin (bertahta dari 1753 - 1773)
5.        Sultan Sepuh V Sultan Sepuh Sjafiudin Matangaji (bertahta dari 1773 - 1786)
6.   Sultan Sepuh VI Sultan Sepuh Hasanuddin (bertahta dari 1786 - 1791) bertahta menggantikan saudaranya Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji
7.        Sultan Sepuh VII Sultan Sepuh Djoharudin (bertahta dari 1791 - 1815)
8.       Sultan Sepuh VIII Sultan Sepuh Radja Udaka (Sultan Sepuh Raja Syamsudin I) (bertahta dari 1815 - 1845) menggantikan saudaranya Sultan Sepuh VII Sultan Djoharuddin
9.       Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman (Sultan Sepuh Raja Syamsudin II) (bertahta dari 1845 - 1853)
10.    Perwalian oleh Pangeran Adiwijaya bergelar (Pangeran Syamsudin IV) (menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria dari 1853 - 1871)
11.  Pangeran Raja Satria (memerintah dari 1872 - 1875) mewarisi tahta ayahnya Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman sebagai putera tertua Sultan Sepuh IX yang sah, setelah meninggalnya walinya yaitu Pangeran Adiwijaya sesuai dengan penegasan Residen Belanda untuk Cirebon tahun 1867
12.  Pangeran Raja Jayawikarta (memerintah dari 1875 - 1880) menggantikan saudaranya Pangeran Raja Satria
13.  Sultan Sepuh X Sultan Radja Atmadja Rajaningrat (bertahta dari 1880 - 1885) diangkat sebagai Sultan untuk menggantikan saudaranya yaitu Pangeran Raja Jayawikarta
14.   Perwalian oleh Raden Ayu (Permaisuri Raja) menjadi wali bagi Pangeran Raja Adipati Jamaludin Aluda Tajularifin dari 1885 - 1899
15.    Sultan Sepuh XI Sultan Sepuh Radja Jamaludin Aluda Tajularifin (bertahta dari 1899 - 1942)
16.    Sultan Sepuh XII Sultan Sepuh Radja Radjaningrat (bertahta dari 1942 - 1969)
17.   Sultan Sepuh XIII Pangeran Raja Adipati DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (bertahta dari 1969 - 2010)
18.  Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat. SE (bertahta dari 2010 - sekarang).

Sumber : Google Wikipedia


5 (Lima) Hal Terlarang di Keraton Kasepuhan Cirebon
KERATON KASEPUHAN menyimpan sejarah menarik berkaitan dengan Cirebon (awalnya disebut Caruban atau Sarumban, alias percampuran).  Memang segala bangunan dan artefak di dalam keraton ini terasa percampuran multikultur-nya, mulai dari Tiongkok hingga Arab, Pajajaran hingga Majapahit. Kota syahbandar ini memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa.  Berasal dari trah agung kerajaan Pajajaran, Kesultanan Cirebon didirikan oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun 1529, yang merupakan perluasan dari Dalem Agung Pakungwati yang didirikan pada 1452.  Nama Pakungwati sendiri diambil dari nama putri kandung beliau yang kemudian menikah dengan Sunan Gunung Jati.

Bangsal Keraton | Pengunjung Dilarang Masuk
“Dilarang masuk, Mas! Semenjak ada pengunjung yang kesurupan,” demikian penuturan pemandu tatkala kami sampai di bangunan utama Keraton Kasepuhan Cirebon. Di balik bangunan ini terdapat Bangsal Prabayaksa dan Bangsal Agung Panembahan (yang terakhir ini memang terlarang didekati karena dianggap sakral). Saya mengintip dari celah jendela, tampak ruangan sunyi dalam temaram. Sejatinya ini adalah ruangan yang gemerlap dan sakral.

Beruntung saya masih menyimpan kenangan kunjungan pertama beberapa tahun lalu ketika pengunjung masih diberi akses masuk. Bangsal megah ini memiliki 4 tiang utama segi empat berwarna hijau dengan hiasan lampu hias mewah yang berpendar. Kursi-kursi tamu berwarna kuning keemasan mengapit di sisi kiri dan kanan. Di dinding tertempel berbagai pola keramik dari budaya Tiongkok dan Belanda. Bangsal dalam Keraton Kasepuhan ini di mata saya sangat fotogenik, seakan kau berada di istana megah dengan persilangan budaya.
Petilasan Cakrabuana | Perempuan Dilarang Masuk
Tak berhasil masuk ke Bangsal Keraton Keraton Kasepuhan (semoga akses pengunjung dibuka kembali kelak), kami pun berpindah menuju Petilasan Pangeran Cakrabuana (kadang disebut juga Petilasan Sunan Gunung Jati) di dekat komplek Dalem Agung Pakungwati. Kawasan ini berbentuk persegi dan dikelilingi oleh tembok bata merah.  Dari balik temboknya terlihat sebuah pohon beringin besar yang sungguh rimbun.

“Kalau di sini dilarang masuk bagi pengunjung perempuan,” ujar pemandu kami. Awalnya saya kira ia berkelakar, namun ternyata serius adanya.

Jadi petilasan ini pada masanya digunakan untuk perundingan tingkat tinggi para wali ataupun mengatur strategi perang dimana banyak informasi penting bertebaran.  Kaum perempuan dilarang memasuki petilasan ini karena mereka punya kecenderungan tak bisa menjaga mulut.  Dan menariknya, larangan itu ternyata masih diberlakukan sampai sekarang. Saya tak bisa menceritakan lebih detail apa saja yang ada di dalam sana, kecuali bahwa di dalam sana terdapat sebuah sumur kejayaan yang airnya konon mengandung banyak berkah.

“Apa yang terjadi kalau perempuan nekat masuk ke petilasan ini?” tanya saya penasaran.  Pemandu kami tak menjawab jelas selain bilang ‘kuwalat’. Anda terjemahkan saja sendiri apa maksudnya.

Museum Kereta Singa Barong | Dilarang Tatap Mata
Pemandu kemudian mengajak kami masuk ke gedung Museum Kereta Singa Barong. Menunjukkan lukisan Prabu Siliwangi. “Kalau yang ini dilarang menatap matanya, kalau tak mau merasa diikuti,” ujarnya.

Sebenarnya tak ada yang gaib di sini selain ilusi optik (lukisan 3 dimensi dimana bola mata dalam lukisan akan tampak seperti menatap siapa pun yang sedang melihatnya dari arah mana pun). Tapi lukisan yang menggambarkan Prabu Siliwangi sedang berdiri dengan mahkota, jubah, tangan kiri memegang keris, dan dikawal seekor macan ini konon dipercaya sebagai penglihatan gaib sang raja. Apalagi masih banyak yang percaya jika lukisan ini bermuatan mistis. Siapapun yang memandangnya dengan pikiran kosong konon bakal kesurupan.

Saat saya melihatnya dari sisi kiri, maka mata, tubuh, dan kaki beliau seperti menghadap kiri. Namun saat saya bergeser ke kanan, maka mata, tubuh, dan kaki Prabu Siliwangi seakan mengikuti.  Lukisan Prabu Siliwangi ini dibuat oleh seorang pelukis dari Desa Sancang, Garut (sekitar tahun 2004), usai melakukan puasa dan tafakur.  Jujur, melihat lukisan ini pada siang hari tak menimbulkan kesan gaib bagi saya, tapi entahlah kalau malam hari.

Tentunya di museum ini terdapat atraksi utama berupa Kereta Singa Barong (1649 M) yang bentuknya mengadopsi burung bouraq (pengaruh Islam) dengan kepala naga (pengaruh Tiongkok) namun berbelalai gajah (pengaruh Hindu India). Bentuk yang tidak lazim itu melambangkan akulturasi tiga kebudayaan. Pengaruh kebudayaan Tiongkok yang kental juga terlihat dari cat yang melapisi kereta yakni merah, kuning, emas dan hijau.

Kendaraan dinas Panembahan Losari (cucu Sunan Gunung Jati) pada masanya ini memiliki suspensi sempurna, yang dapat meredam guncangan saat melalui jalanan bergelombang. Roda kereta didesain untuk kondisi jalan becek, dimana posisi roda dibuat menonjol dari jari-jarinya agar terhindar dari cipratan air. Kemudi kereta menggunakan sistem hidrolik. Bahkan kedua sayap yang dimiliki oleh kereta ini dapat bergerak, seperti kepakan burung saat kereta berjalan.

Di halaman luar, pemandu juga menunjukkan teknologi modern lainnya yang sudah digunakan oleh Pangeran Cakrabuana dan masih digunakan hingga zaman kesultanan Sunan Gunung Jati di abad ke-15, yaitu pedati gede Pekalangan. Walaupun hanya berupa duplikat (pedati aslinya sendiri berada di cagar budaya Pekalangan Selatan, dekat Keraton Kanoman), namun melihat sosok pedati ini tentu bakal menimbulkan decak kagum.  Pedati serba kayu ini mempunyai panjang 8,6 m, tinggi 3,5 m, dan lebar 2,6 m. Ia menggunakan 6 roda besar berdiameter 2 m, dan dua roda kecil berdiameter 1,5 m, dan hanya ditarik oleh kerbau bule yang diyakini memiliki tenaga lebih kuat dari kerbau biasa. Terbayang road trip dengan pedati ini pada masa lalu.
Ronggeng Bugis & Jala Sutra | Dilarang Meremehkan
Walau tak ada bukti fisik yang bisa dilihat sekarang, tapi mendengar legenda/kisah sejarah dari pemandu sungguhlah menarik minat saya. Siapa sangka jika pada masanya Keraton Kasepuhan ternyata sudah mempunyai agen rahasia sendiri.

Mereka adalah pasukan Ronggeng Bugis, terdiri dari para penari (ronggeng) laki-laki yang berpakaian perempuan. Ronggeng Bugis menggambarkan sikap prajurit telik sandi yang selalu waspada. Gerak sembah, longok, injen, jorong klapat dipadu dalam kesatuan tari. Gamelannya sederhana dengan bebunyian memikat. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, pasukan Ronggeng Bugis ini yang diselundupkan untuk memata-matai kerajaan Galuh Pajajaran, dan usaha mereka terbukti gemilang. Pesan moral: jangan anggap remeh penari lemah gemulai.

Ada pula pasukan Jala Sutra alias para pemanah handal, yang semua anggotanya adalah perempuan. Mereka ini termasuk andalan dalam memecah belah pertahanan musuh dari jarak jauh. Rasanya tak ada yang bisa diremehkan dari laskar perempuan Keraton Kasepuhan ini.
Sebenarnya hanya sedikit atraksi di Keraton Kasepuhan Cirebon yang berhasil saya kupas pada kunjungan kali ini, tapi rasanya wawasan semakin bertambah. Unsur mistis tetap melekat meski anehnya bisa sejalan dengan penerapan teknologi yang bisa dibilang modern pada masanya. Kawasan keraton seluas 25 hektar ini adalah perwujudan kecil Bhinneka Tunggal Ika dimana asimilasi budaya berjalan harmonis.  Dan saya senang karena masih punya kesempatan lain untuk menyambanginya dari perspektif berbeda.

Sumber : Google Wikipedia

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...