KISAH
KESULTANAN KESEPUHAN
Orientasi
Kesultanan
Kasepuhan adalah suatu wilayah hasil pembagian kesultanan Cirebon kepada ketiga
orang puteranya setelah meninggalnya Sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya)
atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu pakungwati II pada tahun 1666[1],
namun menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram
pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m, 12 tahun setelah
kepergiannya ke Mataram. Putera pangeran Girilaya masing-masing adalah Pangeran
Raja Martawijaya yang kemudian memerintah Kesultanan Kasepuhan yang berpusat di
keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Kartawijaya yang memerintah kesultanan Kanoman
yang berpusat di keraton Kanoman dan Pangeran Raja Wangsakerta yang menjadi
Panembahan Cirebon yang bertugas dalam hal pendidikan putra-puteri keraton,
Pangeran Raja Wangsakerta bertempat tinggal di keraton Kasepuhan dan membantu
Pangeran Raja Martawijaya memerintah kesultanan Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh
I.
Sejarah Kesultanan Kasepuhan
Kesultanan Kasepuhan resmi berdiri pada tahun yang
sama dengan berdirinya kesultanan Kanoman yaitu pada tahun 1679 dengan pemimpin pertamanya yang
bernama Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja, dikatakan pada masa
tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari
perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat
dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat
keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan
Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di
Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram
yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya
masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang
yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun
memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton Dua tahun setelahnya yaitu pada
tahun 1679, kesultanan-kesultanan di Cirebon melakukan klaim atas
wilayah-wilayah di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura sebagai bagian
dari wilayahnya kepada Belanda.
Masuknya pengaruh Belanda
Pada
tahun 1677, para pengeran (bahasa Cirebon : Elang)
dari kesultanan Cirebon yang ditawan oleh Mataram berhasil
diselamatkan oleh kesultanan Banten dengan bantuan Trunojoyo, setelah sebelumnya pangeran
Nasiruddin yang pada masa itu menjabat sebagai wali sultan Cirebon meminta
bantuan kepada sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten untuk menyelamatkan saudaranya yang ditawan Mataram.
Pada kurun waktu itu Banten yang sedang mengalami peperangan dengan Belanda pun
dibebani tugas untuk menghindari kisruh meluas didalam keluarga besar kesultanan Cirebon yang memang sudah terpecah
sebelumnya dalam menentukan penerus tahta kesultanan Cirebon, akhirnya sultan Ageng Tirtayasa
dari kesultanan Banten memutuskan untuk melantik
Syamsuddin (Martawijaya) sebagai sultan Sepuh, Badruddin (Kartawijaya) sebagai
sultan Anom dan Nasiruddin (Wangsakerta) sebagai Panembahan Cirebon yang menguasai kepustakaan dan pendidikan di
Cirebon utamanya para bangsawan.
Penegasan
ketiganya sebagai penguasa Cirebon kemudian dilakukan di keraton Pakungwati
(kini bagian dari kompleks keraton Kasepuhan) pada tahun 1679, namun ternyata masalah internal
keluarga besar ini tidak selesai begitu saja yang kemudian situasi ini
dimanfaatkan oleh Belanda yang sedang berperang dengan kesultanan Banten untuk mengirimkan pasukannya guna menyerang Cirebon.
Pada tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan
Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua kesultanan yaitu
kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta serta memaksa
mereka untuk menyetujuinya. Perjanjian persahabatan tersebut kemudian
ditandatangani oleh ketiganya sebagai para penguasa Cirebon sementara pada
perjanjian tanggal 7 Januari 1681 tersebut Belanda diwakili oleh komisioner
Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs, perjanjian persahabatan yang
dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya
perdagangan komoditas kayu, beras, gula, lada serta Jati sekaligus menjadikan
kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan
Belanda). Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan
kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan
Sukapura kepada Belanda.
Semenjak
kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan
satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu
saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon : pribawa)
dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian
yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda
mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh
sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan
internal kesultanan-kesultanan di Cirebon. Pada tanggal 3 November 1685 (empat
tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon), Belanda
mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru
yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian
tersebut diantaranya ;
“bahwa dalam
hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya
diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung
Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di
kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing”
Namun
perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara
keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois
de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian
tersebut. Belanda
kemudian kembali mengirimkan utusan untuk menyeleseikan masalah internal di
Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun perjajian yang ditandatangani pada 8
September 1688 dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada
dalam perlindungan Belanda (VOC) tersebut tidak
membuahkan hasil.
Belanda dalam masalah pribawa
Pada
tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia
dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin
Djamaludin dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan derajat paling tinggi (di antara
seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum Sultan
Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan Badrudin
Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan
kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran
Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram
Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk
cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan (pada era ini,
kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk
oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808).
Pada
tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya
yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda.
Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh
keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua
orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II
Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon
Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati putra Sultan
Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad
Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II.
Pada
tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon, guna
menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka
diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa
pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa
batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah
protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas
antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah
selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah
dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap).
Pada
tahun 1706, klaim kesultanan-kesultanan Cirebon atas wilayah-wilayah di selatan
dikabulkan oleh Belanda, Belanda kemudian mengangkat Pangeran Arya Cirebon
(putra kedua sultan Sepuh Syamsuddin) sebagai overseer (pengawas) untuk wilayah-wilayah tersebut Jabatan Overseer
hanya diberikan Belanda kepada para penguasa Cirebon, seperti sultan Kasepuhan
yang menjadi overseer untuk
wilayah Kuningan
dan Cirebon,
serta sultan Kanoman yang menjadi Overseer
untuk wilayah Majalengka. Wilayah-wilayah di selatan
tersebut kemudian dikenal dengan nama wilayah Cirebon-Priyangan (wilayah
Priyangan yang berada dibawah pengaruh kesultanan Cirebon), sebagai tindak lanjut dari
dikabulkannya klaim kesultanan-kesultanan Cirebon pada wilayah
Cirebon-Priyangan maka para penguasa daerah di wilayah Cirebon-Priyangan
termasuk Pangeran Tanumaja (anak Pangeran Panembahan, penguasa Sumedang) pada
saat akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Sumedang secara resmi, beliau
harus melewati uji kesetiaan terlebih dahulu kepada Belanda dan overseer wilayah Cirebon-Priyangan
yaitu Pangeran Arya Cirebon.
Pada
tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan
dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta
wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan
penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara
keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya
telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu
Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II
di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang
telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan
pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu
Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya
sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman begitupun anak dari Pangeran
Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas
ayahnya sebagai pemimpin peguron
(tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.
Bermula
dari masalah pribawa inilah
Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak
menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang
berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus,
peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.
Belanda menguasai politik Cirebon
Akhirnya
pada tahun 1700-an, setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan
alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal
kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu
meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon
tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa
yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm
sebagai pejabat penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman
Sulendraningrat sejak diangkatnya Jacob Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon
dapat dikatakan habis (secara politik).
Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara
Cirebon
Pada
tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar
digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut
sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada
masyarakat setempat. Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan
Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi
ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706,
secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan
Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan
bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya
surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang
waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang
dalam naskah peristiwa itu disebut :
"... Kalpariksa jatining
cirebon, Lebon pepeteng ...
Keadaan di kesultanan Kasepuhan
Sultan
Sepuh IV yaitu Amir Sena Muhammad Jaenudin atau yang dikenal sebagai Sultan
Jaenudin II (menggantikan Sultan Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta
dari tahun 1723 - 1753) dia dikatakan telah mengirimkan puteranya yaitu
Pangeran Raja (PR) Panengah Abdul Khayat Suryanegara untuk belajar di
pesantren, ketika kembali ke keraton Kasepuhan dari pembelajarannya di pesantren, dia merasakan
ketidaknyamanan tinggal di dalam keraton, ternyata perasaan yang sama juga
dirasakan oleh kakaknya yaitu Pangeran Raja Adipati (PRA) Sjafiudin (yang
kemudian menjadi Sultan Sepuh V) bagi mereka berdua, keraton Kasepuhan sekarang suasananya sudah sangat jauh berbeda bila
dibandingkan dengan suasana keraton pada masa kecil mereka, suasana keraton
sekarang sudah banyak dimasuki oleh orang-orang eropa ataupun para pribumi yang
berpihak terhadap penjajah Belanda.
Banyak
para kerabat kesultanan yang tidak senang akan keadaan sekarang di mana pihak
kesultanan dibatasi pergerakannya, seperti kedudukan sultan sebagai penguasa
politik digantikan oleh pejabat residen dan bupati, sultan hanya diberikan
kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat. Pada keadaan seperti
itu, sultan seperti tidak memiliki kewenangan bahkan untuk mengurusi masalah
internal keraton termasuk mengangkat para pangeran yang kesemuanya harus
mendapat persetujuan dari pihak penjajah Belanda (di mana Belanda mengeluarkan Besluit atau Surat Keterangan (SK)
sebagai pengakuan Belanda terhadap status kebangsawanan orang tersebut),
sebagai ganti dirampasnya hak-hak sultan tersebut, Belanda memperlakukan sultan
seperti para aparatur sipilnya yaitu dengan memberikan tunjangan bulanan dan
dana pensiun.
Adanya
persetujuan Belanda yang dilengkapi dengan Besluit (Surat Keterangan) tentang pengakuan kebangsawanan
seseorang oleh Belanda mengakibatkan banyak keturunan bangsawan yang tidak
mendapatkan gelar turun-temurunnya. Mereka yang tidak mendapatkan besluit tersebut diharuskan menjadi abdi dalem keraton yang ditugaskan
oleh Belanda bersama Sultan (yang pada kedudukannya terpaksa mengikuti kemauan
Belanda) untuk terjun ke masyarakat dan menangani masalah-masalah
kemasyarakatan namun dengan status abdi
dalem, para bangsawan yang tidak diakui Belanda dengan besluit tersebut tidak mendapatkan
gaji bulanan atau tunjangan seperti layaknya aparatur sipil dan para bangsawan
yang mendapatkan pengakuan resmi dari Belanda, di antara para bangsawan yang
tidak mendapatkan besluit
tersebut di antaranya adalah Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara.
Melihat
keadaan dalam keraton yang sudah banyak dipengaruhi oleh penjajah Belanda,
pangeran tersebut memilih untuk pergi meninggalkan keraton Kasepuhan untuk menemui seorang ulama Cirebon terkenal yang
bernama Syekh Muhyidin atau secara adat Cirebon dikenal dengan nama Ki Buyut
Muji. Syekh Muhyidin adalah seorang ulama Cirebon terkenal pada masanya, dia
tinggal disekitar blok Rancang, desa Dawuan, kecamatan Tengahtani, kabupaten Cirebon. Syekh Muhyidin dikalangan kesultanan Kasepuhan
dikenal dengan nama Buyut Tuji,
dia merupakan seorang ulama yang memerangi penjajah dengan cara-cara yang
halus.
Cerita
lisan yang dituturkan turun-temurun tentang Pangeran Raja (PR) Panengah
Suryanegara mengatakan bahwa sang pangeran merupakan seorang figur ahli dalam
ilmu agama, di antaranya Nahwu,
Shorof,Balaghoh, Manthiq,Ma'ani dan Bayan, di mana ilmu-ilmu tersebut menjadi rujukan dalam
berijtihad untuk menentukan hukum syariah, oleh karenanya dia juga dikenal
sebagai seorang figur ahli natijah
(pembuat keputusan). Ditempat Syekh
Muhyidin, Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara kemudian menikah dengan Ratu
Ayu Jamaliyah (putri Syekh Muhyidin), dalam tulisannya tentang perjuangan Ki
Bagus Rangin, bapak Opan Hasyim mengatakan bahwa dari pernikahan tersebut sang
Pangeran Raja (PR) Panengah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama
Pangeran Idrus Wijayanegara atau yang dibeberapa kalangan masyarakat adat di
Cirebon dikenal dengan nama Pangeran Idrus Surya Kusuma Jayanegara atau
Pangeran Jayanegara.
Sultan Sepuh V Sjafiudin dan desa
Matangaji
Pada
masa kepemimpinan Sultan Sepuh V Sjafiudin, gua Sunyaragi mengalami banyak
perbaikan dan disamping kegunaannya sebagai taman air, gua Sunyaragi juga
dipergunakan sebagai markas besar prajurit, gudang dan tempat pembuatan senjata,
sementara menurut Pangeran Sulendraningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cirebon dikatakan bahwa
Sultan Sepuh V Sjafiudin masih memiliki markas lainnya yang disebut sebagai
markas garis belakang di desa Matangaji, kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon.
Di
dalam keraton, penjajah Belanda berusaha membujuk Sultan Sepuh V Sjafiudin
untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, namun sultan menolaknya, karena
mengalami berbagai tekanan, Sultan Sepuh V Sjafiudin pergi meninggalkan keraton Kasepuhan, dalam sejarah lisan yang diturunkan secara turun
temurun di Cirebon, dikatakan dalam perjalanannya Sultan Sepuh V Sjafiudin
berjalan ke arah blok Capar lalu meneruskankan lagi ke arah Bukit Pasir Anjing
di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih
aman, di desa tersebut sultan membangun sebuah pesantren ditempat yang sekarang
disebut blok pesantren (dusun
pesantren) yang kemudian banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu
keagamaan, dikarenakan letak desa Sidawangi yang dirasa kurang aman, maka
sultan kembali melakukan perjalanan menuju pedalaman Cirebon dan tiba di daerah
yang sekarang disebut desa Matangaji, di desa ini akhirnya dibuat sebuah
tempat peristirahatan kecil yang oleh masyarakat hingga kini dikenal dengan
nama blok Pedaleman (dusun
Pedaleman) yang berarti tempatnya para pembesar keraton, di desa tersebut
sultan juga kembali membangun sebuah pesantren dan mengajarkan ilmu keislaman
dan berpesan jika ingin mengaji harus sampai matang, oleh sebab itu wilayah
tersebut dinamakan Matangaji.
Sultan Sepuh V Sjafiudin dan para
santri
Dekatnya
Sultan Sepuh V Sjafiudin dengan masyarakat dan para santri membuat banyak dari
mereka yang turut serta dalam perjuangan Sultan Sepuh V Sjafiudin, dukungan
para kyai juga diperolehnya, Ali Mursyid, anggota Lakpesdam NU dan Fahmina
Institute yang juga seorang alumnus pesantren Assalafie di Babakan Ciwaringin
dalam catatannya yang berjudul Perjuangan Santri Cirebon untuk Kemerdekaan
menyatakan bahwa dukungan dari para kyai di antaranya datang dari Kyai Abdullah
dari Lontang Jaya, Kyai Jatira dari Babakan Ciwaringin dan Kyai Idris dari
Kempek. Kyai Jatira misalnya, dia tidak menyukai sikap para penjajah, terlebih
saat penjajah Belanda berencana merubuhkan pesantren Babakan Ciwaringin untuk
membangun jalan raya, Kyai Jatira kemudian memindahkan patok penanda
pembangunan jalan ke sebelah utara pesantrennya.
Di
wilayah antara desa Gintung (sekarang sudah mekar menjadi desa Gintung ranjeng, desa Gintung Tengah, desa Gintung Kidul dan desa Gintung Lor) hingga desa Kedongdong inilah yang menjadi pusat dari
pertempuran besar para santri dan masyarakat Cirebon yang dipimpin oleh Sultan
Sepuh V Sjafiudin, banyak dari para santri yang meninggal, di desa Gintung ada
sebuah lapangan yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Blambangan (sebagian meyakini nama
tersebut berasal dari kata dalam bahasa Cirebon yaitu Plambangan
(bahasa Indonesia : Nyanyian) atau mars yang kemungkinan didengungkan para
santri dan pejuang dalam melawan penjajah) di lapangan itulah para santri
banyak yang terbunuh.
Sultan
Sepuh V Sjafiudin sempat berusaha menyelamatkan diri, namun dia akhirnya
meninggal di Matangaji pada tahun 1786.
Pangeran Adiwijaya dan Taman Sari Gua
Sunyaragi
Setelah
pertempuran dengan Sultan Sepuh V Sjafiudin yang telah menghancurkan taman
sari, Belanda kemudian memperhatikan aktifitas-aktifitas yang ada pada bangunan
tersebut. Pada tahun 1852, Pangeran Adiwijaya yang kelak menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria
(putera tertua dari Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman), membangun kembali
dan memperkuat taman sari Gua
Sunyaragi, dia
mempekerjakan seorang aristek beretnis tionghoa, namun kemudian arsitek
tersebut ditangkap dan dipaksa mengatakan seluk-beluk taman sari Gua
Sunyaragi kepada
Belanda untuk kemudian dibunuh.
Terbongkarnya
aktifitas di taman sari Gua
Sunyaragi membuat
Belanda memerintahkan kepada Pangeran Adiwijaya untuk menghancurkan taman sari Gua
Sunyaragi, namun
perintah tersebut tidak pernah dilaksanakan. Pangeran Adiwijaya kemudian
memerintahkan kepada para bawahan dan para prajurit untuk bersiap menghadapi
segala kemungkinan yang akan terjadi, akhirnya keputusan diambil untuk
mengungsikan seluruh persenjataan dan para prajurit keluar dari Taman Sari Gua
Sunyaragi, sehingga
penyerangan Belanda yang terjadi kemudian tidak mendapatkan apa-apa.
Aturan adat mengenai pengangkatan
Sultan
Aturan
adat atau dalam bahasa Cirebon disebut pepakem mengenai pengganti sultan telah diatur dan dicontohkan semenjak didirikannya kesultanan Cirebon, menurut sejarah kesultanan Cirebon telah mencontohkan pengangkatan
pemimpin atau sultan
berdasarkan aturan Islam atau syariah
yakni :
1.
beragama
Islam
2.
Laki-laki
3.
Memiliki
kecakapan
4.
Tidak
cacat jasmani dan rohani
Contoh
pengangkatan dengan yang sesuai dengan hukum syariah ini terlah terjadi pada
saat Pangeran Cakrabuana
memberikan kepemimpinan kesultanan Cirebon kepada Sunan Gunung Jati (anak
dari Nyimas Rarasantang yang merupakan adik perempuan dari Pangeran Cakrabuana) dan bukan kepada anak laki-lakinya,
hal tersebut karena Pangeran
Cakrabuana melihat adanya kecakapan yang lebih di dalam diri Sunan Gunung Jati untuk menggantikannya sebagai pemimpin kesultanan Cirebon.
Sehingga adat yang berlaku dalam sistem pewarisan kepemimpinan di kesultanan Cirebon bukanlah mengutamakan sistem keturunan melainkan mengutamakan
sistem syariah Islam yakni, harus laki-laki, memiliki kecakapan dan tidak
memiliki cacat jasmani dan rohani.
Aturan pengangkatan Sultan semasa
penjajahan Belanda
“Pada 28 Nopember 1867 Residen Cirebon
ditugaskan menegaskan kepada Pangeran
Raja Satria selaku putra sah yang tertua dari Sultan Sepuh terakhir pada
waktu itu bahwa pengangkatannya selaku Sultan Sepuh setelah ada berita wafatnya
Pangeran Adiwijaya (pangeran Syamsudin
IV) yang melakukan perbaikan pada Gua Sunyaragi tahun 1852.
selaku volmacht atas beheer Kasepuhan Cirebon.”
Pada
masa pemerintahan penjajahan Belanda, pemerintah Belanda memberitahukan surat
penetapan dari Raja Belanda mengenai aturan tentang penerus tahta atau
kepemimpinan kesultanan harus putera
kandung yang tertua selama yang bersangkutan tidak menyalahgunakan gelar
tersebut. Penetapan Raja Belanda pada surat rahasia dari Menteri Jajahan Jean Chrétien Baud tanggal 23 Maret 1844 tersebut
mengenai gelar Sultan harus diwariskan
kepada putera sulung yang sah, diperkuat dengan telegram dari Gubernur Jendral Pieter Mijer pada tahun 1871.
“memberitahukan kepada
Residen Cirebon untuk
menegaskan kepada ketiga cabang keluarga Sultan - Sultan di Cirebon, yaitu
Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan, bahwa penerus gelar sultan harus sesuai
asal keturunannya, sesuai bakat, tekad baik dan menunjukan bukti kecakapannya,
rajin dan berkelakuan baik (ijver en
goedgedrag).”
Ketetapan
yang dipergunakan oleh Raja Belanda tersebut mengikuti aturan yang biasa
berlaku di eropa yang disebut sebagai sistem
salic yakni hanya keturunan laki-laki yang sah yang berhak mewarisi
tahta. aturan sejenis sistem salic
yang dipergunakan di eropa ada juga yang disebut sebagai sistem semi-salic sistem ini tetap
mengutamakan keturunan sebagai acuannya, sistem semi salic mengatakan jika
tidak ada keturunan laki-laki yang sah untuk mewarisi tahta maka anak perempuan
juga dapat menjadi pewaris tahta.
Penggunaan
sistem salic pada
kesultanan-kesultanan di Cirebon bertentangan dengan sistem syariah yang telah
lama digunakan pada kesultanan Cirebon, di mana sistem syariah
mengutamakan kecakapan atau kemampuan
seorang calon pemimpin dan bukan mengutamakan garis keturunan seperti yang ditetapkan oleh Raja Belanda.
Silsilah Sultan
1. Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah) (bertahta dari 1479 - 1568)
2. P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin) (hidup dari 1495 - 1552)
3. P. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning) (hidup 1521 - 1565)
4. Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin) (bertahta dari 1568
- 1649)
5. P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam) (-)
6. Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya) (bertahta dari 1649
- 1666) menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di
Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m, 12 tahun setelah
kepergiannya ke Mataram.
Setelah pembagian kesultanan Cirebon, Kasepuhan dipimpin oleh
anak pertama Pangeran Girilaya yang bernama Pangeran Syamsudin Martawidjaja yang kemudian dinobatkan sebagai
Sultan Sepuh I.
1.
Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja
(bertahta dari 1679 - 1697)
2.
Sultan Sepuh II Sultan Raja Tajularipin Djamaludin
(bertahta dari 1697 - 1723)
3.
Sultan Sepuh III Sultan Raja Djaenudin (bertahta dari
1723 - 1753)
4. Sultan Sepuh IV Sultan Raja Amir Sena Muhammad
Jaenuddin (bertahta dari 1753 - 1773)
5.
Sultan Sepuh V Sultan Sepuh Sjafiudin Matangaji
(bertahta dari 1773 - 1786)
6. Sultan Sepuh VI Sultan Sepuh Hasanuddin (bertahta dari
1786 - 1791) bertahta menggantikan
saudaranya Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji
7.
Sultan Sepuh VII Sultan Sepuh Djoharudin (bertahta
dari 1791 - 1815)
8. Sultan Sepuh VIII Sultan Sepuh Radja Udaka (Sultan Sepuh Raja Syamsudin I)
(bertahta dari 1815 - 1845) menggantikan
saudaranya Sultan Sepuh VII Sultan Djoharuddin
9. Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman (Sultan Sepuh Raja Syamsudin II)
(bertahta dari 1845 - 1853)
10. Perwalian oleh
Pangeran Adiwijaya bergelar (Pangeran
Syamsudin IV) (menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria dari 1853 - 1871)
11. Pangeran Raja
Satria (memerintah dari 1872 - 1875) mewarisi
tahta ayahnya Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman sebagai putera tertua Sultan
Sepuh IX yang sah, setelah
meninggalnya walinya yaitu Pangeran Adiwijaya sesuai dengan penegasan Residen Belanda untuk Cirebon
tahun 1867
12. Pangeran Raja
Jayawikarta (memerintah dari 1875 - 1880) menggantikan saudaranya Pangeran Raja Satria
13. Sultan Sepuh X
Sultan Radja Atmadja Rajaningrat (bertahta dari 1880 - 1885) diangkat sebagai Sultan untuk menggantikan
saudaranya yaitu Pangeran Raja Jayawikarta
14. Perwalian oleh Raden Ayu (Permaisuri Raja) menjadi wali
bagi Pangeran Raja Adipati Jamaludin Aluda Tajularifin dari 1885 - 1899
15. Sultan Sepuh XI
Sultan Sepuh Radja Jamaludin Aluda Tajularifin (bertahta dari 1899 - 1942)
16. Sultan Sepuh
XII Sultan Sepuh Radja Radjaningrat (bertahta dari 1942 - 1969)
17. Sultan Sepuh
XIII Pangeran Raja Adipati DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (bertahta dari 1969 -
2010)
18. Sultan Sepuh
XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat. SE (bertahta dari 2010 - sekarang).
Sumber : Google Wikipedia
5
(Lima) Hal Terlarang di Keraton Kasepuhan Cirebon
KERATON
KASEPUHAN menyimpan sejarah menarik berkaitan dengan Cirebon (awalnya disebut
Caruban atau Sarumban, alias percampuran). Memang segala bangunan dan
artefak di dalam keraton ini terasa percampuran multikultur-nya, mulai dari
Tiongkok hingga Arab, Pajajaran hingga Majapahit. Kota syahbandar ini memegang
peranan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Berasal dari
trah agung kerajaan Pajajaran, Kesultanan Cirebon didirikan oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun 1529,
yang merupakan perluasan dari Dalem Agung Pakungwati yang didirikan pada
1452. Nama Pakungwati sendiri diambil dari nama putri kandung beliau yang
kemudian menikah dengan Sunan Gunung Jati.
Bangsal
Keraton | Pengunjung Dilarang Masuk
“Dilarang
masuk, Mas! Semenjak ada pengunjung yang kesurupan,” demikian penuturan pemandu
tatkala kami sampai di bangunan utama Keraton Kasepuhan Cirebon. Di balik
bangunan ini terdapat Bangsal Prabayaksa dan Bangsal Agung Panembahan (yang
terakhir ini memang terlarang didekati karena dianggap sakral). Saya mengintip
dari celah jendela, tampak ruangan sunyi dalam temaram. Sejatinya ini adalah
ruangan yang gemerlap dan sakral.
Beruntung
saya masih menyimpan kenangan kunjungan pertama beberapa tahun lalu ketika
pengunjung masih diberi akses masuk. Bangsal megah ini memiliki 4 tiang utama
segi empat berwarna hijau dengan hiasan lampu hias mewah yang berpendar.
Kursi-kursi tamu berwarna kuning keemasan mengapit di sisi kiri dan kanan. Di
dinding tertempel berbagai pola keramik dari budaya Tiongkok dan Belanda.
Bangsal dalam Keraton Kasepuhan ini di mata saya sangat fotogenik, seakan kau
berada di istana megah dengan persilangan budaya.
Petilasan
Cakrabuana | Perempuan Dilarang Masuk
Tak
berhasil masuk ke Bangsal Keraton Keraton Kasepuhan (semoga akses pengunjung dibuka kembali kelak),
kami pun berpindah menuju Petilasan Pangeran Cakrabuana (kadang disebut juga
Petilasan Sunan Gunung Jati) di dekat komplek Dalem Agung Pakungwati. Kawasan
ini berbentuk persegi dan dikelilingi oleh tembok bata merah. Dari balik
temboknya terlihat sebuah pohon beringin besar yang sungguh rimbun.
“Kalau di sini
dilarang masuk bagi pengunjung perempuan,” ujar pemandu kami. Awalnya saya kira
ia berkelakar, namun ternyata serius adanya.
Jadi
petilasan ini pada masanya digunakan untuk perundingan tingkat tinggi para wali
ataupun mengatur strategi perang dimana banyak informasi penting
bertebaran. Kaum perempuan dilarang memasuki petilasan ini karena mereka
punya kecenderungan tak bisa menjaga mulut. Dan menariknya, larangan itu
ternyata masih diberlakukan sampai sekarang. Saya tak bisa menceritakan lebih
detail apa saja yang ada di dalam sana, kecuali bahwa di dalam sana terdapat
sebuah sumur kejayaan yang airnya konon mengandung banyak berkah.
“Apa yang terjadi
kalau perempuan nekat masuk ke petilasan ini?” tanya saya penasaran.
Pemandu kami tak menjawab jelas selain bilang ‘kuwalat’. Anda terjemahkan saja
sendiri apa maksudnya.
Museum
Kereta Singa Barong | Dilarang Tatap Mata
Pemandu
kemudian mengajak kami masuk ke gedung Museum Kereta Singa Barong. Menunjukkan
lukisan Prabu Siliwangi. “Kalau yang ini dilarang menatap matanya, kalau tak
mau merasa diikuti,” ujarnya.
Sebenarnya
tak ada yang gaib di sini selain ilusi optik (lukisan 3 dimensi dimana bola
mata dalam lukisan akan tampak seperti menatap siapa pun yang sedang melihatnya
dari arah mana pun). Tapi lukisan yang menggambarkan Prabu Siliwangi sedang
berdiri dengan mahkota, jubah, tangan kiri memegang keris, dan dikawal seekor
macan ini konon dipercaya sebagai penglihatan gaib sang raja. Apalagi masih
banyak yang percaya jika lukisan ini bermuatan mistis. Siapapun yang
memandangnya dengan pikiran kosong konon bakal kesurupan.
Saat
saya melihatnya dari sisi kiri, maka mata, tubuh, dan kaki beliau seperti
menghadap kiri. Namun saat saya bergeser ke kanan, maka mata, tubuh, dan kaki
Prabu Siliwangi seakan mengikuti. Lukisan Prabu Siliwangi ini dibuat oleh
seorang pelukis dari Desa Sancang, Garut (sekitar tahun 2004), usai melakukan
puasa dan tafakur. Jujur, melihat lukisan ini pada siang hari tak
menimbulkan kesan gaib bagi saya, tapi entahlah kalau malam hari.
Tentunya
di museum ini terdapat atraksi utama berupa Kereta Singa Barong (1649 M) yang bentuknya
mengadopsi burung bouraq (pengaruh Islam) dengan kepala naga (pengaruh
Tiongkok) namun berbelalai gajah (pengaruh Hindu India). Bentuk yang tidak
lazim itu melambangkan akulturasi tiga kebudayaan. Pengaruh kebudayaan Tiongkok
yang kental juga terlihat dari cat yang melapisi kereta yakni merah, kuning,
emas dan hijau.
Kendaraan
dinas Panembahan Losari (cucu Sunan Gunung Jati) pada masanya ini memiliki
suspensi sempurna, yang dapat meredam guncangan saat melalui jalanan
bergelombang. Roda kereta didesain untuk kondisi jalan becek, dimana posisi
roda dibuat menonjol dari jari-jarinya agar terhindar dari cipratan air. Kemudi
kereta menggunakan sistem hidrolik. Bahkan kedua sayap yang dimiliki oleh
kereta ini dapat bergerak, seperti kepakan burung saat kereta berjalan.
Di
halaman luar, pemandu juga menunjukkan teknologi modern lainnya yang sudah
digunakan oleh Pangeran Cakrabuana dan masih digunakan hingga zaman kesultanan
Sunan Gunung Jati di abad ke-15, yaitu pedati gede Pekalangan. Walaupun hanya
berupa duplikat (pedati aslinya sendiri berada di cagar budaya Pekalangan
Selatan, dekat Keraton Kanoman), namun melihat sosok pedati ini tentu bakal
menimbulkan decak kagum. Pedati serba kayu ini mempunyai panjang 8,6 m,
tinggi 3,5 m, dan lebar 2,6 m. Ia menggunakan 6 roda besar berdiameter 2 m, dan
dua roda kecil berdiameter 1,5 m, dan hanya ditarik oleh kerbau bule yang diyakini memiliki tenaga
lebih kuat dari kerbau biasa. Terbayang road
trip dengan pedati ini pada masa lalu.
Ronggeng
Bugis & Jala Sutra | Dilarang Meremehkan
Walau
tak ada bukti fisik yang bisa dilihat sekarang, tapi mendengar legenda/kisah
sejarah dari pemandu sungguhlah menarik minat saya. Siapa sangka jika pada
masanya Keraton Kasepuhan ternyata sudah mempunyai agen rahasia sendiri.
Mereka
adalah pasukan Ronggeng Bugis, terdiri dari para penari
(ronggeng) laki-laki yang berpakaian perempuan. Ronggeng Bugis
menggambarkan sikap prajurit telik
sandi yang selalu waspada. Gerak sembah, longok, injen, jorong klapat dipadu
dalam kesatuan tari. Gamelannya sederhana dengan bebunyian memikat. Pada masa
pemerintahan Sunan Gunung Jati, pasukan Ronggeng Bugis ini yang diselundupkan
untuk memata-matai kerajaan Galuh Pajajaran, dan usaha mereka terbukti
gemilang. Pesan moral: jangan anggap remeh penari lemah gemulai.
Ada
pula pasukan Jala Sutra alias para pemanah handal, yang semua anggotanya adalah
perempuan. Mereka ini termasuk andalan dalam memecah belah pertahanan musuh
dari jarak jauh. Rasanya tak ada yang bisa diremehkan dari laskar perempuan Keraton
Kasepuhan ini.
Sebenarnya
hanya sedikit atraksi di Keraton Kasepuhan Cirebon yang berhasil saya kupas
pada kunjungan kali ini, tapi rasanya wawasan semakin bertambah. Unsur mistis
tetap melekat meski anehnya bisa sejalan dengan penerapan teknologi yang bisa
dibilang modern pada masanya. Kawasan keraton seluas 25 hektar ini adalah
perwujudan kecil Bhinneka Tunggal Ika dimana asimilasi budaya berjalan
harmonis. Dan saya senang karena masih punya kesempatan lain untuk
menyambanginya dari perspektif berbeda.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar