KISAH
KESULTANAN KANOMAN
Orientasi
Kesultanan Kanoman adalah suatu wilayah hasil pembagian kesultanan Cirebon kepada ketiga orang
puteranya setelah meninggalnya .Sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya) atau
yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu pakungwati II pada tahun 1666, namun
menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada
tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m, 12 tahun setelah kepergiannya
ke Mataram. Putera pangeran Girilaya masing-masing adalah Pangeran Raja
Martawijaya yang kemudian memerintah Kesultanan Kasepuhan yang berpusat di keraton
Kasepuhan, Pangeran Raja Kartawijaya yang memerintah kesultanan Kanoman yang berpusat di keraton
Kanoman dan Pangeran Raja Wangsakerta yang menjadi Panembahan
Cirebon yang bertugas dalam hal pendidikan putra-puteri keraton, Pangeran Raja
Wangsakerta bertempat tinggal di keraton
Kasepuhan dan membantu Pangeran Raja Martawijaya memerintah kesultanan
Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.
Sejarah
Kesultanan Kanoman
Kesultanan Kanoman resmi berdiri pada tahun yang
sama dengan berdirinya Kesultanan Kasepuhan yaitu pada tahun 1679 dengan
pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Anom I Pangeran Muhammad Badrudin
Kartawijaya.
Masuknya
pengaruh Belanda
Pada tahun 1677, para
pengeran (bahasa Cirebon : Elang) dari kesultanan Cirebon yang ditawan oleh Mataram
berhasil diselamatkan oleh kesultanan
Banten dengan bantuan Trunojoyo, setelah sebelumnya pangeran
Nasiruddin yang pada masa itu menjabat sebagai wali sultan Cirebon meminta
bantuan kepada sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan
Banten untuk menyelamatkan saudaranya yang ditawan Mataram. Pada
kurun waktu itu Banten yang sedang mengalami peperangan dengan Belanda pun
dibebani tugas untuk menghindari kisruh meluas didalam keluarga besar kesultanan Cirebon yang memang sudah terpecah
sebelumnya dalam menentukan penerus tahta kesultanan Cirebon, akhirnya sultan Ageng
Tirtayasa dari kesultanan Banten memutuskan untuk melantik
Syamsuddin (Martawijaya) sebagai sultan Sepuh, Badruddin (Kartawijaya) sebagai
sultan Anom dan Nasiruddin (Wangsakerta) sebagai Panembahan Cirebon yang
menguasai kepustakaan dan pendidikan di Cirebon utamanya para bangsawan.
Penegasan ketiganya sebagai penguasa Cirebon kemudian dilakukan di keraton
Pakungwati (kini bagian dari kompleks keraton
Kasepuhan) pada tahun 1679, namun ternyata masalah internal keluarga
besar ini tidak selesai begitu saja yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh
Belanda yang sedang berperang dengan kesultanan
Banten untuk mengirimkan pasukannya guna menyerang Cirebon.
Pada tahun 1681, Belanda
menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan Cirebon yang pada waktu
itu telah dipecah menjadi dua kesultanan yaitu kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman
dan satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta serta memaksa mereka
untuk menyetujuinya. Perjanjian persahabatan tersebut kemudian ditandatangani
oleh ketiganya sebagai para penguasa Cirebon sementara pada perjanjian tanggal
7 Januari 1681 tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan
kapten Joachim Michiefs, perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk
memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas
kayu, beras, gula, lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan
di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda). Pada tahun
yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya
atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada
Belanda.
Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua
kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung
selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa
Cirebon : pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan
pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda
mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh
sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan
internal kesultanan-kesultanan di Cirebon. Pada tanggal 3 November 1685 (empat
tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon), Belanda
mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru
yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian
tersebut diantaranya;
“bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar,
kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang
pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar
perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui
oleh pihak asing”
Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil
memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan
Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian
perjanjian tersebut. Belanda kemudian kembali mengirimkan utusan untuk menyelesaikan
masalah internal di Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun perjajian yang
ditandatangani pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa
kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda
(VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.
Belanda
dalam masalah pribawa
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh
Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra,
yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Raja Arya
Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan derajat paling tinggi (di
antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum
Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan
Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki
tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya
yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon
Abil Mukaram Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian
membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan (pada era ini,
kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk
oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)
Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya
memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati
Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan
Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang
berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati
Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat
pendidikan agama Islam, setelah ayahandanya wafat, kedua puteranya ini sepakat
untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda.
Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya
wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan
urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati
derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati
oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan
Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan
Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati
putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati
Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan
Pangeran Adipati Kaprabon yang menjadi rama guru bagi peguron Kaprabonan.
Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin
diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu
Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari
permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam
ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya
Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.[11]
Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet
(perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda membentuk sebuah
Karesidenan (wilayah yang berada dibawah kekuasaan gubernur jendral pada waktu
itu atau setingkat provinsi dimasa sekarang dengan pimpinannya yang menjabat
sebagai residen)
Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk
wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon,
guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya
maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada
masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan
bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah
protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas
antara provinsi Jawa
Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di
sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap
Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten
Cilacap).
Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk
menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon,
setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733
berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki
tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu
sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan
Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi
Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya
Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri
yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I
Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang
telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta
Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguron Kaprabonan
begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad
Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat
pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.
Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut
campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai
dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam
keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan
pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus,
peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.
Belanda
menguasai politik Cirebon
Akhirnya pada tahun 1700-an, setelah melakukan
monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut
campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta
dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut
dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada
perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi
ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat
penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat
sejak diangkatnya Jacob Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon dapat dikatakan
habis (secara politik).
Hilangnya
aksara Sunda dan Rikasara Cirebon
Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan
sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis,
ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan
aksara Sunda pada masyarakat setempat. Pada wilayah kesultanan-kesultanan
Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya
surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon
pada 9 Februari 1706, secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon
digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu
di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur
setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon
menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah
Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut :
"...
Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"
Perang
terbuka Pangeran Raja Kanoman (Sultan Kacirebonan pertama) melawan penjajah
Pada sekitar tahun 1770-an, Sultan Muhammad
Chaerudin menjadi pemimpin di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom IV,
dikatakan semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan
kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan
yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif
kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Putera Mahkota
Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV) pada waktu itu melakukan perlawanan
terbuka terhadap belanda, masyarakat yang berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa,
yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang
mendapatkan bantuan tokoh agama, namun perjuangan Mirsa dapat dipatahkan,
perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793 dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil
ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon
pada sekitar tahun 1796.
Perang
besar Cirebon 1788 - 1818
Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera
dari Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah
pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus
Rangin berasal dari demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh
menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang
terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir
sekitar tahun 1761. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari
Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar
didaerah tersebut atau dalam bahasa
Cirebon disebut Ki Gede. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara,
kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta
Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah).
Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin
yang gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh
pengikutnya yang banyak. Secara garis besar kondisi perekonomian di pedesaan
Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan kepada
orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja,
penyerahan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah
oleh residen. Kondisi sosial dijelaskan bahwa bencana kelaparan dan wabah
penyakit sempat melanda Cirebon akhir abad 18, mengakibatkan banyak penduduk
Cirebon meninggal dunia.. Pada ditengah masa pemberontakan ini, Belanda
mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur
Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang
Jakarta) pada tahun 1808 yang memimpin
dengan cara kediktaktoran.
Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan
Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya
yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap
sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan
mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya
(Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para
pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan
yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin
dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial
Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan
nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.
Kembalinya
Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya Kacirebonan
Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin
meluas hingga keluar wilayah karesidenan Cirebon, namun ditengah perjuangan
besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan
Pangeran Raja Kanoman / Putera Mahkota Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV)
dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di antaranya Bagus Rangin yang
telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, dikarenakan perjuangan
masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tahun 1806
Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan
perjuangan yang terjadi. dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie, V
Frederik Willem Stapel mengatakan,
“sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak
yang bersenjata telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin
oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih perang”
namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta
Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja Kanoman,
maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman pada tahun
1808 mendirikan kesultanannya sendiri dengan nama Kacirebonan yang sekarang
pusatnya berada di keraton Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan
Pangeran Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, namun kembalinya
Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan Kacirebonan untuk Pangeran Raja
Kanoman sebagai hasil kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan
di kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh
Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan yang sedang berlangsung.
Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels
atau setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda, segera menetapkan
berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian wilayahnya yang ada di
Jawa bagian barat, dua wilayah karesidenan (wilayah pembantu Gubernur Jendral)
kemudian ditetapkan,
Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger
Regentschappen (Karesidenan Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi
Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)
Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger
Regentschappen (Karesidenan kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon), yang
meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian
dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian
dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang
kabupaten Ciamis dan kota Banjar).
Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels
memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih
besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun
1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi
memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai pemerintah Hindia
Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para
bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya
diawasi oleh residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.
Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di
Cirebon pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Sepuh VII
Sultan Djoharudin di Kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V Pangeran Raja Abu
Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan
Carbon Amirul Mukminin di kesultanan Kacirebonan yang baru saja
dibentuk dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.
Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap
Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels,
Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini
kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto
Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal
tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto.
Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka
pada sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa inggris
disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia
Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu melakukan peperangan
dengan pihak Hindia Belanda, pasukan-pasukan Britania bahasa inggris
(british : orang-orang britain) kemudian mulai mendarat di
pelabuhan-pelabuhan Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811, pada bulan yang sama
tepatnya tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak
Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut
membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens yang
menggantikan Herman Willem Daendels pada bulan Mei 1811
menyerah kepada Britania di Salatiga dan menandatangani kapitulasi Tuntang. Kemenangan ini kemudian
menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai
Letnan Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.
Namun adanya perang besar antara Hindia Belanda dan
Britania atau yang dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak
begitu menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan
setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania
pada tanggal 27 Juni 1812
di desa Panongan dan dihukum mati di desa
Karangsembung (dahulu merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan
sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.
Akhir
perang besar Cirebon
Namun demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon
ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles
memerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik
dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama
saja, gerakan perjuangan tersebut ialan gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah
pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan
Nairem. Kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.
Pada tanggal 19 Agustus
1816, Jawa
dikembalikan kepada Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon
dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles
meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris.
Pangeran
Raja Muhammad Komarudin II dan Nona Delamoor
Pada tahun 1800-an
atau pada masa pemerintah Sultan Anom VI Muhammad Komarudin I Belanda
mengangkat residen Cirebon yang baru bernama Jean Guillaume Landre yang oleh
masyarakat Cirebon dikenal dengan nama Tuan Delamoor, Jean Guillaume Landre
yang dipercaya sebagai warga Belanda keturunan Perancis sewaktu menjabat
residen di Cirebon membawa juga anak perempuannya yang masih muda yang oleh
masyarakat cirebon dikenal dengan nama Nona Delamoor. pada saat melakukan
pertemuan kenegaraan dan pertemuan resmi yang dilakukan di kediaman residen
cirebon, Sultan Anom VI Muhammad Komarudin I juga membawa putera tertuanya
sekaligus putera mahkotanya yang pada masa itu disebut Pangeran Raja, kemudian
karena sering bertemu pada acara-acara kenegaraan dan pertemuan resmi, maka
antara Pangeran Raja dan nona Delamoor saling jatuh cinta, hingga akhirnya nona
Delamoor dikabarkan hamil di luar nikah dan mengandung anak dari Pangeran Raja,
karena takut akan ketahuan oleh ayahnya, nona Delamoor kemudian menutup-nutupi
kehamilannya, kemungkinan karena kelahiran sang bayi yang tidak sempurna maka
bayi ini meninggal, bayi kemudian dibungkus dengan pakaian yang serba indah dan
berharga, dimasukan ke sebuah kandaga untuk kemudian dilarung ke laut.
Kandaga berisi bayi yang telah meninggal tersebut
kemudian ditemukan oleh nelayan, melihat bungkus pakaiannya yang serba indah
dan berharga para nelayan menganggap bahwa bayi yang telah meninggal tersebut
adalah milik orang yang dikeramatkan atau orang penting, kemudian bayi tersebut
dikuburkan secara khidmat di dekat mercusuar cirebon, kurang lebih jaraknya 25
meter ke arah selatan.
Perubahan fisik nona Delamoor yang terlihat pucat
dan sikapnya yang selalu berdiam diri membuat ayahnya Jean Guillaume Landre
(tuan Delamoor) menanyakan keadaannya, kemudian nona Delamoor menceritakan
peristiwa yang dialaminya kepada ayahnya, mendengar peristiwa-peristiwa yang
menimpa puterinya, Jean Guillaume Landre segera memerintahkan polisi dan
militer Belanda untuk menangkap dan memenjarakan Pangeran Raja, namun hal
tersebut ditangguhkan karena takut bahwa Cirebon akan melakukan pemberontakan,
namun jika Pangeran Raja ditahan maka masyarakat luas akan mengetahui peristiwa
tersebut. kemudian Jean Guillaume Landre mencari akal untuk menyeleseikan
masalah ini dan Pernikahan antara Pangeran Raja yang kemudian naik tahta
sebagai Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II dengan nona Delamoor pun
dilakukan sebagai bentuk penyeleseian, setelah pernikahan nona Delamoor
mendapatkan gelar Ratu Sengkaratna.
Tak lama setelah pernikahan nona Delamoor
memberikan Pangeran Raja (yang sudah naik tahta menjadi Sultan Anom VII
Muhammad Komarudin II seorang putera yang diberi nama Pangeran Anta dan
bergelar Pangeran Raja Carbon, Pangeran Anta dikatakan memiliki tekstur wajah
yang mirip dengan ibunya yang berketurunan Perancis serta kulitnya pun putih.
Ratu Sengkaratna dikenal sebagai istri raja yang memperkenalkan dansa dan hal
yang berbau asing kedalam keraton Kanoman, beberapa pihak tidak menyukai hal
ini.
Selang beberapa bulan dari kelahiran Pangeran Anta
yang keturunan Perancis tersebut, Permaisuri Raja (perempuan berdarah bangsawan
yang dinikahi raja) yaitu Ratu Raja Apsari juga melahirkan seorang putera yang
kemudian diberi nama Pangeran Raja Dzulkarnaen, oleh para kerabat Kanoman,
Pangeran Raja Dzulkarnaen dididik pelajaran keperwiraan untuk dipersiapkan
sebagai pengganti ayahnya, dikarenakan menurut para kerabat yang mendukungnya,
dia lebih pantas karena merupakan seorang putera yang dilahirkan dari
Permaisuri Raja (perempuan berdarah bangsawan yang dinikahi raja) sementara
Pangeran Anta dilahirkan dari nona Delamoor atau Ratu Sengkaratna yang bukan
berdarah bangsawan, kemudian para pendukung Pangeran dzulkarnaen menghimpun
kekuatan dari masyarakat untuk mendukung Pangeran Dzulkarnaen sebagai pewaris
tahta ayahnya yang sah. Semakin dewasa, di antara Pangeran Anta dan Pangeran
Dzulkarnaen terdapat sebuah pertentangan dan ketegangan yang serius diakibatkan
oleh pendidikan yang diterima keduanya dari para pendukungnya yang menyatakan
bahwa yang satu lebih berhak atas tahta ayahnya dibanding yang lain.
Setelah Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II
meninggal dunia pada 1873, dikarenakan para putra Sultan masih muda maka
kekuasaan diwalikan sementara kepada kerabat kesultanan Kanoman yang disebut
Kanjeng Gusti Volmaak. Kanjeng Gusti Volmaak yang merupakan kerabat kesultanan
memihak Pangeran Raja (PR) Dzulkarnaen untuk naik tahta, maka terjadilah
perebutan tahta antara keduanya, melihat perebutan tahta ini melibatkan
masyarakat luas, residen Belanda di Cirebon pun meminta bantuan Gubernur
Jendral, namun Gubernur Jendral menolak ikut campur dan menyarankan agar
masalah pewaris tahta diserahkan kepada adat yang berlaku dimasyarakat dan
digelar perundingan untuk menyeleseikannya.
Hasil dari perundingan yang dilakukan adalah
Pangeran Anta yang bergelar Pangeran Raja Carbon yang merupakan anak dari
pasangan Sultan Anom VII Muhammad Komarudin II dengan nona Delamoor yang
bergelar Ratu Sengkaratna mendapatkan hanya warisan kekayaan ayahnya saja,
sementara Pangeran Raja Dzulkarnaen yang merupakan putera dari Permaisuri Raja
mendapatkan tahta ayahnya dan bergelar Sultan Anom VIII Pangeran Raja
Dzulkarnaen. Dari kekayaan ayahnya, Pangeran Anta membangun sebuah tempat
kediaman disebelah barat siti inggil keraton
Kanoman dan tinggal disana hingga dia wafat, dan sekarang tempat
tersebut dibangun menjadi kompleks Perguruan Taman Siswa.
Pada tahun 1921, Cirebon diubah
statusnya menjadi Gamentee Cheribon dikarenakan banyaknya peziarah yang datang
ke makam bayi yang ada di dekat mercusuar dan telah menggangu ketertiban pelabuhan
Cirebon, maka oleh pemerintah Gamenteen Cheribon makam tersebut
dipindahkan ke jalan Kesambi, Cirebon.
Surat
wasiat Sultan Anom XI Pangeran Raja Adipati Muhammad Djalaludin
Sultan Muhammad Djalaludin merupakan Sultan Anom
XI, diketahui oleh masyarakat luas bahwa Sultan Anom XI Pangeran Raja Adipati
Muhammad Djalaludin (alm) punya seorang anak perempuan dari istri pertamanya
yang merupakan seorang Permaisuri Raja dan diberinama Ratu Raja Latifah, dari
istri keduanya yang juga seorang Permaisuri dia tidak mendapatkan keturunan,
dari Ny Suherni (ibu dari Pangeran Elang Mochamad Saladin) enam anak, dan dari
Ratu Raja Sri Mulya (ibu dari Pangeran Raja Muhammad Emirudin) enam anak.
Sebelum meninggal pada tanggal 19 November 2002,
Sultan Muhammad Djalaludin membuat sebuah surat wasiat agar putera tertuanya
yaitu Pangeran
Elang Mochamad Saladin yang merupakan anak dari pasangan Sultan
Djalaludin dengan istri ketiganya Hj. Suherni yang berasal dari kalangan rakyat
biasa dinobatkan menjadi Sultan Anom XII keraton Kanoman untuk menggantikan
dirinya.[23]
Hal tersebut dikarenakan hubungannya dengan istri pertamanya yang merupakan
seorang permaisuri hanya melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama
Ratu Raja Latifah .
Munculnya surat wasiat dari Sultan Djalaludin yang
menunjuk Saladin sebagai penerus tahtanya, kemudian ditentang oleh beberapa
kelompok yang menghendaki Pangeran Raja Emiruddin yang merupakan putera kedua
Sultan Djalaludin dari istri keempatnya yang merupakan seorang permaisuri yang
bernama Ratu Raja Sri Mulya untuk menjadi Sultan. menanggapi hal tersebut,
Pangeran Elang Mochamad Saladin berkata,
“Emirudin itu saudara saya, umurnya delapan bulan lebih
muda dari saya”
Pelantikan
Pangeran Elang Mochamad Saladin sebagai Sultan Anom XII
Pangeran Elang Mochamad Saladin kemudian dilantik
di ruang jinem Keraton Kanoman, Cirebon, Rabu malam tanggal 5 Maret 2003 sekitar pukul 20:30
WIB. Pelantikan itu mendahului rencana kubu Pangeran Raja Muhammad Emirudin
yang sudah menyebar undangan, untuk Jumenengan Pangeran Raja Emirudin menjadi
Sultan ke XII menggantikan Sultan Anom XI Hj Muhammad Djalaludin, yang
rencanannya dilakukan Kamis siang tanggal 6 Maret 2013. Undangan Jumenengan
Emirudin sudah disebar ke beberapa instansi dan media massa.
Proses penobatan Elang Muhammad Saladin, dilakukan
oleh Pangeran Komisi, yakni Pangeran Amaludin (adik Elang Muhamad Saladin).
Hadir dalam acara pelantikan Pangeran Hidayat Purbaningrat, Ketua DPRD Kota
Cirebon H Suryana, Wakil Ketua DPRD Ir H Haries Sutamin, Ibunda serta adik-adik
Saladin, upacara pelantikan berlangsung selama sekitar 10 menit, berjalan
khidmat dan diakhiri dengan pembacaan doa demi keselamatan keluarga besar
Keraton Kanoman.
Sementara itu, suasana di luar ruang jinem tampak
hening, hanya beberapa orang saja yang terlihat secara samar di tengah temaram
sorot lampu yang tidak terlalu terang di sekitar keraton. Padahal, di luar
keraton, beberapa orang terlihat memasang umbul-umbul sebagai persiapan untuk
dilakukannya penobatan terhadap Pangeran Raja Emirudin yang sedianya dilakukan
hari Kamis 6 Maret 2013 pukul 14.00 WIB.
Usai pelantikan, Ratu Mawar Kartina, SH yang selama
ini bertindak sebagai juru bicara keraton didampingi Pangeran Hidayat
Purbaningrat mengatakan,
“pelantikan tersebut dilaksanakan untuk menjalankan
wasiat almarhum Sultan Kanoman XI. "Apa pun hambatan yang akan
dihadapi,"
Menurut Ratu Mawar, penobatan Pangeran Elang
Mochamad Saladin sebagai Sultan Anom XII pada awalnya akan dilakukan pada akhir
bulan Maret
2013, namun hal
itu harus dipercepat, hal tersebut terpaksa dilakukan, karena ada indikasi
upaya untuk menggagalkan wasiat yang sudah diputuskan ayahandanya.
Indikasinya menurut Ratu Mawar, sudah terlihat
sejak surat wasiat itu dibuka, tepatnya 40 hari setelah wafatnya Sultan XI HM
Djalaludin. Di ruang Jinem, Ketua DPRD Kota Cirebon H. Suryana yang didaulat
membacakan sambutan mengatakan,
“wasiat almarhum Sultan Kanoman XI HM Djalaludin mesti
ditaati, sebab wasiat tersebut adalah titah sultan yang tidak boleh ditentang
isinya, dan siapa pun yang ditunjuk menjadi sultan, tanpa melihat keturunan
dari istri yang mana.”
H. Suryana berharap, keluarga besar Keraton Kanoman
bisa bersama-sama menjaga keutuhan keraton dengan cara saling memahami satu
sama lain.
Pelantikan
Pangeran Raja Muhammad Emirudin sebagai Sultan Anom XII
Pelantikan Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada
hari Kamis 6 Maret 2003 diwarnai kericuhan, kericuhan diawali dengan datangnya
Ratu Mawar (adik Sultan Saladin). Dia membacakan maklumat bahwa penobatan
Emirudin tidak sah dan menentang wasiat serta titah dari mendiang Sultan
Kanoman XI. Setelah itu Ratu Mawar merebut tombak dari salah satu punggawa dan
melemparkannya ke aparat keamanan.
Usai acara penobatan, sekelompok orang dari kubu
Emirudin menghadang mobil yang ditumpangi Ratu Mawar dan pacarnya pada waktu
itu Teddy Michael. Dengan emosi mereka memukul-mukul mobil tersebut sehingga
kaca belakang rusak. Mereka mengecam aksi Ratu Mawar dan campur tangan Teddy
yang tidak termasuk famili Kanoman.
Pihak Sultan Emirudin sendiri mengklaim bahwa
penobatannya didukung oleh 247 kerabat keraton lainnya. Dalam maklumat yang
ditandatangani tiga sesepuh, Pangeran Redman Hakim, Pangeran Agus Djoni, dan
Elang Machmudin tercantum bahwa demi menjunjung tinggi adat dan tradisi Keraton
Kanoman maka ke-247 kerabat Keraton memilih Pangeran Emirudin sebagai Sultan
Kanoman XII pengganti Sultan Kanoman XI.
Alasan utama maklumat tersebut adalah hukum adat
istiadat dan tradisi yang menyebutkan Sultan Kanoman adalah putra pertama dari
garwa ratu atau darah biru. Pangeran Redman Hakim, Pangeran Pangeran Agus
Djoni, dan Elang Machmudin mengatakan'
“Oleh karena itu, penunjukan Saladin sebagai pengganti
almarhum Djalaludin dalam surat wasiat yang ditinggalkan almarhum sangat
bertentangan dengan adat dan tradisi, karena yang bersangkutan dari garwa
ampean atau selir. Untuk itu secara otomatis segala hal yang menyimpang
dianggap tidak ada da tidak berlaku,”
Silsilah
1.
Sultan Anom I Muhammad Badrudin Kartawijaya
2.
Sultan Anom II Pangeran Raja Mandurareja Muhammad
Qadirudin
3.
Sultan Anom III Pangeran Raja Adipati Muhammad
Alimudin
4.
Sultan Anom IV Pangeran Raja Adipati Sultan
Muhammad Chaeruddin
5.
Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad
Imammudin)
6.
Sultan Anom VI Muhammad Kamaroedin I
7.
Sultan Anom VII Muhamamad Kamaroedin II
8.
Sultan Anom VIII Pangeran Raja Muhamamad
Dzulkarnaen
9.
Sultan Anom IX Pangeran Raja Adipati Muhamamad
Nurbuat
10. Sultan
Anom X Pangeran Raja Adipati Muhamamad Nurus
11. Sultan
Anom XI Pangeran Raja Adipati Muhamamad Jalalludin
12. Sultan
Anom XII Pangeran Raja Muhamamad Emiruddin
13. Sultan
Anom XII Pangeran Elang Mochamad Saladin
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar