KOTA YOGYAKARTA
PROVINSI YOGYAKARTA
Orientasi
Kota Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ, translit. Ngayogyakarta, pengucapan bahasa Jawa: [kuʈɔ ŋajogjɔˈkart̪ɔ]) atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan
nama Kota Jogja atau Kota Yogya adalah ibu kota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
Kota ini adalah kota besar yang mempertahankan konsep tradisional dan budaya Jawa. Kota Yogyakarta adalah kediaman bagi Sultan Hamengkubuwana dan Adipati Paku Alam. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dan kota terbesar keempat di wilayah Pulau Jawa bagian selatan menurut jumlah penduduk.
Salah satu kecamatan di Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara kurun tahun 1575–1640. Keraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya adalah Keraton Ngayogyakarta dan Puro Paku Alaman, yang merupakan pecahan dari Kesultanan Mataram. Pada masa revolusi, Yogyakarta juga pernah menjadi ibu kota Indonesia antara tahun 1946 hingga 1950.
Etimologi
Nama Yogyakarta terambil dari dua kata, yaitu Ayogya atau Ayodhya yang berarti "kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti "perang"), dan Karta yang berarti "baik". Ayodhya merupakan kota yang bersejarah di India di mana wiracarita Ramayana terjadi. Tapak keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang bernama Dalem Gerjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya.
Pusaka dan Identitas Daerah
Tombak Kyai Wijoyo Mukti
Tombak Kyai Wijoyo Mukti merupakan pusaka pemberian Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tombak ini dibuat tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Senjata yang sering dipergunakan para prajurit ini mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikun, yakni jenis kayu yang sudah lazim digunakan untuk gagang tombak dan sudah teruji kekerasan dan keliatannya.
Sebelumnya tombak ini disimpan di bangsal Pracimosono dan sebelum diserahkan terlebih dahulu dijamasi oleh KRT. Hastono Negoro, di dalem Yudonegaran. Pemberian nama Wijoyo Mukti baru dilakukan bebarapa hari menjelang upacara penyerahan ke Pemkot Yogyakarta, pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah kota Yogyakarta tanggal 7 Juni 2000. Upacara penyerahan dilakukan di halaman Balaikota dan pusaka ini dikawal khusus oleh prajurit Kraton ”Bregodo Prajurit Mantrijero”.
Tombak Kyai Wijoyo Mukti melambangkan kondisi Wijoyo Wijayanti. Artinya, kemenangan sejati pada masa depan, di mana seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kesenangan lahir bathin karena tercapainya tingkat kesejahteraan yang benar-benar merata.
Sejarah
Masa awal
Sejarah Yogyakarta dan Kesultanan Yogyakarta § Awal riwayat
Berdirinya kota Yogyakarta tidak lepas dari Perjanjian Giyanti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Perjanjian tersebut berisi tentang pembagian wilayah Kesultanan Mataram, yang dimana setengah dari wilayah Mataram masih menjadi milik Kerajaan Surakarta yang kala itu dipimpin oleh Pakubuwono III, dan setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi pun diakui menjadi Raja pada wilayah tersebut dengan Gelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta), sebulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Pangeran Mangkubumi memilih wilayah Hutan Beringin, dimana di wilayah tersebut terdapat sebuah desa bernama Pachetokan dan Pesanggrahan Gerjiwati yang dibuat oleh Pakubuwono II. Pangeran Mangkubumi pun mengubah nama wilayah tersebut menjadi Ayodya. Setelah perubahan nama tersebut, Pangeran Mangkubumi segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton. Kraton tersebut didirikan di suatu kawasan di antara Sungai Winongo dan Sungai Code. Lokasi tersebut dinilai strategis dari sisi pertanahan dan keamanan. Pemerintahan sementara dipusatkan di daerah Gamping Sebelum pembangunan kraton tersebut selesai.
Pada tanggal 7 Oktober 1756, bangunan kraton selesai dibangun, sekaligus menjadi tanggal pemindahan pusat pemerintahan dari Gamping ke kraton baru, yang kelak bernama Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Peristiwa pemindahan pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta tersebut diperingati sebagai hari ulang tahun kota Yogyakarta, sampai saat ini.
Masa Hindia Belanda dan Inggris
Tahun 1811, Inggris menaklukkan Hindia Belanda. Pemerintahan dibawah Sir Thomas Stamford Raffles membentuk beberapa keresidenan, salah satunya Keresidenan Yogyakarta. Di zaman Inggris pula terjadi peristiwa Geger Sepoy, dimana pasukan Inggris dibantu dengan beberapa pasukan dari Mangkunegaran menyerang Keraton. Hasilnya, Pada tahun 1813, wilayah Yogyakarta kembali terpecah. Kali ini, berdiri sebuah kadipaten bernama Kadipaten Pakualaman yang didirikan oleh Pangeran Notokusumo yang diangkat oleh Inggris.
Notokusumo sendiri adalah adik dari Hamengkubuwono II, dan kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Ia mendapatkan tanah dari Kesultanan meliputi sebuah kemantren di dalam kota Yogyakarta, berada di antara Kali Code dan Kali Manunggal. Di tanah tersebut kemudian didirikan istana Pura Pakualaman (sekarang menjadi wilayah kemantren Pakualaman). Inggris juga mengangkat Tan Jin Sing, kapitan Tionghoa yang berasal dari Kedu, sebagai Bupati Nayaka dalam Kabupaten Kota Yogyakarta dengan gelar KRT. Secodiningrat.
Sepeninggal Inggris, Kota Yogyakarta semakin berkembang, dibuat kesepakatan birokrasi antara Belanda dengan Keraton. Sistem Keresidenan tetap dipertahankan, dan kesepakatan tersebut juga menghasilkan Residen dan Patih untuk menjembatani birokrasi antara pihak Belanda dengan pihak Keraton. Fungsinya adalah sebagaimana kedutaan besar sekarang. Diantara keduanya, perlu menguasai bahasa Jawa dan Belanda. Danureja I dipilih sebagai Patih pertama untuk tugas di Pemerintahan Hindia-Belanda dan J.M. van Rhijn sebagai Residen pertama untuk Yogyakarta.
Posisi Residen disini setara dengan Patih, dimana ia harus mengabdi kepada raja. Residen memiliki loyalitas ganda kepada kompeni dan kepada rajanya, sebagaimana fungsi kerja Patih di Jawa. Residen Yogyakarta bertempat tinggal di Gedung Residen yang terletak di sisi barat Benteng Vredeburg, dimana kini dikenal sebagai Gedung Agung. Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri.
Masa Pendudukan Jepang
Pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan.
Pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang ditempatkan di Kotabaru dan di Benteng Vredeburg.
Masa Kemerdekaan
Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia pada tahun 1946 hingga 1948, dilatarbelakangi oleh situasi keamanan ibu kota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) yang memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Alhasil, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara.
Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota. Yogyakarta juga menjadi tempat terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, serangan mempertahankan kemerdekaan yang dipimpin langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat itu.
Pada tahun 1947, terbit Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947 pasal I yang menyatakan status Kota Praja Yogyakarta. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut, pemerintah mengangkat M. Enoch sebagai walikota pertama. Pada awalnya, walikota mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Masa setelah Kemerdekaan
Di era walikota Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Yogyakarta memiliki Badan Pemerintah Harian dan Badan Legislatif yang bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang, dimana badan tersebut dipimpin pula oleh walikota. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang tersebut mengatur pemisajan tugas Kepala Daerah dan DPRD, serta pembentukan Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian. sebutan Kota Praja Yogyakarta diganti dengan Kotamadya Yogyakarta.
Masa kini
pada tahun 1999, terbitlah Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, sebutan untuk Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta, sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.
Geografi
Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung – Semarang – Surabaya – Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl.
Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta.
Batas Wilayah
Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Adapun batas-batas administratif Yogyakarta adalah:
Iklim & Cuaca
Kota Yogyakarta memiliki iklim yang sama dengan wilayah lain di Indonesia yaitu beriklim tropis, dengan tipe iklim muson tropis (Am). Angin muson timur–tenggara yang bersifat kering dan dingin menyebabkan musim kemarau di wilayah kota Yogyakarta dan angin muson ini berlangsung pada periode Mei hingga Oktober. Sementara itu, angin muson barat–barat daya yang bersifat lembab dan membawa banyak uap air menyebabkan musim penghujan di wilayah kota Yogyakarta dan angin muson ini bertiup pada periode November hingga April. Rata-rata curah hujan di wilayah kota Yogyakarta adalah ±2012 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan berkisar antara 100–150 hari hujan per tahunnya. Tingkat kelembapan rata-rata per tahun di wilayah ini adalah ±77%.
Pemerintahan
Wali Kota Yogyakarta (bahasa Jawa: ꦮꦭꦶꦏꦸꦛꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ, translit. Walikutha Ngayogyakarta) adalah pemimpin tertinggi di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Wali kota Yogyakarta bertanggungjawab kepada Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini, wali kota atau kepala daerah yang menjabat di Kota Yogyakarta adalah Sumadi, yang ditunjuk menjadi pelaksana tugas wali kota Yogyakarta sejak 22 Mei 2022, menggantikan wali kota sebelumnya, Haryadi Suyuti yang telah menjabat selama dua periode jabatan. Sedangkan jabatan wakil wali kota dikosongkan hingga Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.
Ekonomi
Kota Yogyakarta mengandalkan sektor industri, perdagangan, dan jasa, khususnya dalam bidang pariwisata. Seiring dengan pesatnya perkembangan Kota Yogyakarta, perubahan struktur perekonomian menjadi hal yang alami. Beberapa sektor ekonomi terus meningkat kontribusinya terhadap perekonomian daerah dan sektor-sektor lain terlihat mengalami penurunan kontribusi terhadap perekonomian daerah.
Yogyakarta memiliki beberapa sentra industri menengah, kebanyakan dari mereka memproduksi barang yang masih ada kaitannya dengan kebudayaan Yogyakarta. Seperti industri pembuatan blangkon gaya Yogyakarta di Mantrijeron, industri perak di Kotagede, dan industri batik gaya Yogyakarta di Ngasem. Meski begitu, Yogyakarta juga memiliki sentra industri modern, seperti CV Karya Hidup Sentosa produsen alat-alat pertanian, yang memiliki pabrik di Jalan Magelang, Kelurahan Karangwaru, Kemantren Tegalrejo.
Di sektor perdagangan, Yogyakarta memiliki beberapa pasar tradisional yang tersebar di beberapa kemantren, dengan Pasar Beringharjo sebagai pasar terbesar. Selain itu terdapat pula kawasan-kawasan perdagangan di sekitar Malioboro dan Jalan Urip Sumoharjo. Sedangkan pasar modern yang berdiri di kota Yogyakarta antara lain Mal Malioboro, Galeria Mall, Lippo Plaza Jogja, Ramai Mall, Ramayana Gardena, dan Mirota Kampus.
Demografi
Kependudukan
Jumlah penduduk kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010., berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara. Sementara tahun 2021 jumlah penduduk kota ini bertambah menjadi 415.509 jiwa dengan kepadatan 12.784 jiwa/km².
Kepadatan penduduk tertinggi di kota Yogyakarta terdapat di Kemantren Ngampilan dengan kepadatan 18.729 jiwa/km², sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Kemantren Umbulharjo dengan kepadatan 8.395 jiwa/km².
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta yang secara administratif berada di wilayah Sleman dan Bantul. Menariknya, seluruh perguruan tinggi negeri tersebut tetap menggunakan nama "Yogyakarta" dalam hal surat-menyurat dan tugas akhir, meskipun terletak di luar wilayah kota Yogyakarta.
Kota satelit
Yogyakarta memiliki wilayah penyangga urban bernama Kartamantul, yang merupakan akronim dari Yogyakarta, Sleman, dan Bantul dengan wilayah utama berada di Kapanewon Depok, Mlati, Gamping dan Ngaglik di Kabupaten Sleman dan Kapanewon Sewon, Banguntapan dan Kasihan di Kabupaten Bantul. Dengan luas wilayah 1.114,15 km², wilayah metropolitan Yogyakarta memiliki total jumlah penduduk lebih dari 2.4 juta jiwa.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Surat Keputusan Gubernur No.163/KEP/2017 menyatakan pembentukan sekretariat bersama Kartamantul, dengan tujuan untuk mempermudah sinergi kerjasama antar ketiga wilayah dalam hal sampah, pengolahan limbah, drainase, jalan, transportasi, dan air bersih.
Agama
Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat kota Yogyakarta 83,40%, dengan jumlah penganut Kristen yang relatif signifikan (Katolik 9,89% dan Protestan 6,30%). Sebagian kecil lagi adalah pemeluk agama Buddha yakni 0,28%, Hindu 0,12% dan Konghucu 0,01%.[2] Seperti kebanyakan dari Islam kebanyakan di kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat.
Sejak awal berdirinya, Yogyakarta sudah menjadi kota majemuk yang dihuni oleh beberapa etnis dan agama. Tercatat beberapa tempat ibadah yang sudah berdiri sejak dahulu, seperti Masjid Gede Kauman, Masjid Syuhada, Masjid Mataram Kotagede, Gereja HKBP, Gereja Kotabaru, Kelenteng Tjen Ling Kiong, dan Kelenteng Fuk Ling Miau.
Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.
Agama di Yogyakarta :
1. Islam (83.40%)
2. Katolik (9.89%)
3. Protestan (6.30%)
4. Hindu (0.12%)
5. Buddha (0.28%)
6. Konghucu (0.01%)
Bahasa
Menurut Badan Bahasa, bahasa Jawa dialek Jogja-Surakarta merupakan bahasa daerah yang dituturkan mayoritas penduduk Kota Yogyakarta. Menurut Statistik Kebahasaan 2019, bahasa ini menjadi satu-satunya bahasa daerah asli Kota Yogyakarta. Bahasa resmi instansi pemerintahan di Kota Yogyakarta adalah bahasa Indonesia.
Budaya
Kota Yogyakarta menjadi salah satu pusat pelestarian Budaya Jawa, khususnya gaya Yogyakarta. Budaya Jawa gaya Yogyakarta memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan gaya kebudayaan Jawa di daerah lainnya. Hal ini dikarenakan keberadaan Kesultanan Yogyakarta yang memilih untuk mempertahankan budaya murni yang telah ada sejak masa Kesultanan Mataram pada Perjanjian Jatisari.
Tarian
Tarian khas Yogyakarta berkembang dari dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman, dimana kedua keraton memiliki beberapa tarian Srimpi dan Bedaya sesuai dengan pakem masing-masing. Salah satu tarian yang dikenal oleh masyarakat adalah tari Beksan Lawung Ageng. Beksan Lawung Ageng adalah salah satu tarian pusaka Keraton Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, dan biasanya dipentaskan pada ritual kenegaraan. Tarian ini menggambarkan adu ketangkasan prajurit bertombak.
Batik
Batik gaya Yogyakarta memiliki ciri khas pada warna dasaran atau latar belakang putih atau hitam. Batik Yogyakarta juga dapat dilihat dari seret atau bagian putih di pinggir kain batik. Adapun motif batik yang berkembang di Yogyakarta, seperti motif Parang dan Kawung.
Pakaian adat
Surjan merupakan salah satu pakaian adat Yogyakarta yang dikenakan untuk kegiatan sehari-hari. Masyarakat Yogyakarta biasanya melengkapi pakaian Surjan dengan mengenakan penutup kepala yang disebut Blangkon.
Blangkon gaya Yogyakarta memiliki ciri khas berupa mondolan (tonjolan di belakang) yang membulat. Mondolan tersebut pada awalnya adalah rambut masyarakat yang digulung ke dalam, mengingat pada saat itu masyarakat sekitar Keraton Yogyakarta masih memanjangkan rambutnya.
Garis imajiner kota
Yogyakarta memiliki garis imajiner khusus yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan, dimana hubungan antar ketiga tempat tersebut ditandai dengan Tugu Yogyakarta di bagian utara dan Panggung Krapyak di bagian selatan. Garis imajiner ini menjadi ciri khas kota Yogyakarta dibandingkan wilayah lain, sekaligus menjadi titik awal perkembangan perkotaan Yogyakarta, dimana Keraton membangun beberapa fasilitas fisik di ruas ini seperti Pasar Beringharjo, Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, dan Masjid Gedhe Kauman.
Garis imajiner tersebut dirancang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I ketika membangun Keraton di antara Sungai Code dan Sungai Winongo. Garis imajiner memiliki filosofi tentang hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.
Budaya populer
Kota Yogyakarta menjadi inspirasi bagi Ismail Marzuki untuk menciptakan lagu Sepasang Mata Bola pada tahun 1946. Lagu tersebut mencitrakan suasana senja di Stasiun Yogyakarta. Ada pula lagu Yogyakarta, lagu yang diciptakan oleh Katon Bagaskara pada tahun 1990 dalam album Kedua. Lagu tersebut mencitrakan suasana Yogyakarta yang hangat dan ramah. Beberapa film yang mengangkat tema Yogyakarta antara lain Jagad X Code (2009), Sang Pencerah (2010).
Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu sektor penting di kota Yogyakarta. Sejak dahulu, kota Yogyakarta menjadi salah satu tujuan wisata utama di Indonesia dan menjadi andalan pariwisata Indonesia, bersama dengan Bali. Pada Januari 2022, tercatat 780.000 wisatawan berkunjung ke kota Yogyakarta.
Wisata sejarah, edukasi dan budaya
Posisi kota Yogyakarta sebagai ibukota Kesultanan Yogyakarta menjadikan kota ini memiliki banyak tempat bersejarah yang menjadi objek wisata seperti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Taman Sari, Malioboro, Alun-alun Selatan, Situs Warungboto, Pura Pakualaman, Benteng Vredeburg, Keraton Kotagede dan lain sebagainya. Yogyakarta juga memiliki beberapa objek wisata edukasi, seperti Taman Pintar, Museum Sonobudoyo, Museum Biologi UGM, Museum Sasmitaloka Jenderal Sudirman, dan lain sebagainya.
Yogyakarta juga memiliki kebun binatang bernama Kebun Binatang Gembira Loka, yang menjadi sentra wisata edukasi keanekaragaman hayati. Kebun binatang ini memiliki beberapa jenis hewan dan tumbuhan dari berbagai belahan dunia.
Kampung wisata
Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pariwisata juga memberdayakan beberapa kampung wisata di setiap kemantren di wilayah kota Yogyakarta. Bahkan, tiap kampung wisata memiliki identitas yang berbeda-beda, seperti kampung wisata di Kelurahan Tahunan yang berfokus kepada wisata industri kreatif, kampung wisata Dipowinatan yang berfokus kepada wisata kebudayaan, dan kampung wisata Kauman yang berfokus pada wisata religi dan sejarah.
Festival
Sebagai kota pariwisata dan kebudayaan, Yogyakarta memiliki banyak pergelaran festival guna menarik wisatawan, sekaligus menjadi agenda rutin setiap tahunnya. Pergelaran yang rutin digelar di kota Yogyakarta, seperti :
Pasar Kangen
Pasar Kangen Yogyakarta merupakan agenda rutin tahunan yang digelar oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini diselenggarakan sejak tahun 2007 yang dikemas dengan nuansa klasik tempo dulu.
Jogja Night Carnival
Jogja Night Carnival merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Kota Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober. Biasanya pergelaran ini menyajikan aksi karnaval jalanan ayang menampilkan tokoh-tokoh wayang dikombinasikan dengan lakon pewayangan dibalut dalam seni koreografi, busana serta musik kontemporer.
Sekaten
Sekaten adalah pergelaran rangkaian kegiatan tahunan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta. Rangkaian perayaan secara resmi berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah). Biasanya pergelaran ini dimeriahkan dengan pasar malam, dan dimainkannya gamelan pusaka (miyos gongso) di halaman Masjid Agung.
Selasa Wagen
Pergelaran selasa wagen rutin diselenggarakan setiap hari selasa wage dalam penanggalan Jawa di kawasan Malioboro, dimana kawasan Malioboro dijadikan sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor mulai dari jam 06.00 pagi hingga jam 21.00 malam. Selama waktu tersebut, diselenggarakan beberapa pementasan kebudayaan Yogyakarta. Dalam mitos Jawa, Selasa Wage adalah hari dimana manusia beristirahat dari aktivitas sehari-hari
Wisata ramah pejalan kaki
Yogyakarta juga memiliki beberapa kawasan khusus untuk wisata pejalan kaki (pedestrian zone). Penataan kawasan wisata khusus pejalan kaki dimulai di jalan Malioboro pada tahun 2016 hingga 2018, kemudian ddilanjutkan dengan penataan kawasan khusus pejalan kaki di sekitar Kotabaru dan Jalan Jendral Sudirman pada 2019 hingga 2021.
Kuliner khas
Kota Yogyakarta juga dikenal akan kekayaan kulinernya. Salah satu kuliner yang sudah akrab di masyarakat umum adalah Gudeg, sajian dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Gudeg biasanya dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tempe, tahu dan sambal goreng krecek. Di kota Yogyakarta, gudeg dapat dijumpai di setiap sudut kota. Salah satu sentra kuliner gudeg di Yogyakarta adalah Jalan Wijilan, yang masih berada di dalam komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada pula Bakpia, kue yang dibuat dari gulungan tepung panggang dengan berbagai isi. Di kota Yogyakarta, sentra kuliner bakpia terletak di wilayah pasar Pathuk dan Jalan KS Tubun, Kemantren Ngampilan.
Makanan khas kota Yogyakarta yang lainnya, seperti Nasi kucing (nasi porsi kecil dengan sambal, ikan, dan tempe, lalu dibungkus daun pisang), Sate Kere (sate yang dibuat dari gajih sapi), dan lain sebagainya.
Sementara minuman yang berasal dari Yogyakarta antara lain Kopi Joss (kopi hitam yang dicampur dengan arang), Wedang Ronde (minuman yang disajikan dengan bola-bola dari tepung ketan), dan lain sebagainya.
Angkringan
Angkringan adalah sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman dengan harga yang sangat terjangkau.
Di kota Yogyakarta, angkringan dapat ditemui dengan mudah. Biasanya pedagang angkringan akan membuka dagangannya pada sore hari, dan tutup menjelang dini hari.
Transportasi
Kota Yogyakarta sangat strategis, karena terletak di jalur-jalur utama, yaitu Jalan Lintas Selatan yang menghubungkan Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, dan kota-kota di selatan Jawa, serta jalur Yogyakarta – Semarang, yang menghubungkan Yogyakarta, Magelang, Semarang, dan kota-kota di lintas tengah Pulau Jawa. Karena itu, angkutan di Yogyakarta cukup memadai untuk memudahkan mobilitas antara kota-kota tersebut. Kota ini mudah dicapai oleh transportasi darat dan udara, sedangkan karena lokasinya yang cukup jauh dari laut (27 – 30 KM) menyebabkan tiadanya transportasi air di kota ini.
Transportasi darat
Bus kota
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang tidak mengenal istilah angkutan kota (angkot dengan armada minibus). Transportasi darat di dalam Yogyakarta dilayani oleh sejumlah bus kota. Kota Yogyakarta dahulu memiliki sejumlah jalur bus yang dioperasikan oleh koperasi masing-masing (antara lain Aspada, Kobutri, Kopata, Koperasi Pemuda Sleman, dan Puskopkar) yang melayani rute-rute tertentu:
Trans Yogya
Sejak Maret 2008, sistem transportasi bus yang baru, bernama Trans Jogja hadir melayani sebagai transportasi massal yang cepat, aman dan nyaman. Trans Jogja merupakan bus 3/4 yang melayani berbagai kawasan di Kota, Sleman dan sebagian Bantul. Hingga saat ini (Tahun 2017), telah ada 17 (tujuh belas) trayek yang melayani berbagai sarana vital di Yogyakarta, yaitu:
1. Trayek 1A dan Trayek 1B, melayani ruas protokol dan kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan, seperti Stasiun Yogyakarta, Malioboro, Istana Kepresidenan Yogyakarta.
2. Trayek 2A dan Trayek 2B, melayani kawasan perkantoran Kotabaru dan Sukonandi.
3. Trayek 3A dan Trayek 3B, melayani kawasan selatan, termasuk juga kawasan sejarah Kotagede.
4. Trayek 4A dan Trayek 4B, melayani kawasan pendidikan, seperti UII, APMD, UIN Sunan Kalijaga, dan Stasiun Lempuyangan.
5. Trayek 5A dan Trayek 5B, melayani kawasan Jalan Magelang dan kawasan Seturan
6. Trayek 6A dan Trayek 6B, melayani kawasan barat daya, seperti kampus UMY dan Jalan Parangtritis.
7. Trayek 7, melayani kawasan timur seperti Jalan Wonosari dan Babarsari
8. Trayek 8, melayani kawasan barat seperti Gamping dan Ringroad Barat
9. Trayek 9, melayani kawasan sejarah bagian barat seperti Ngabean dan Pojok Beteng
10. Trayek 10, melayani kawasan Gamping dan Stasiun Lempuyangan
11. Trayek 11, melayani kawasan Condongcatur
Ada pula tiga jaringan trayek yang dikelola oleh kolaborasi PT Anindya Mitra Internasional dan PT Jogja Tugu Trans bersama dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia melalui jaringan Teman Bus, yaitu:
1. Koridor 1 (K1J), melayani kawasan pendidikan seperti UNY dan UGM, menuju ke Terminal Pakem di Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman.
2. Koridor 2 (K2J), melayani kawasan wisata dan sejarah seperti Jalan P Mangkubumi, Malioboro, Stasiun Yogyakarta dan Terminal Ngabean, menuju ke Pusat Kuliner Belut di Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman.
3. Koridor 3 (K3J), melayani kawasan timur seperti Bandar Udara Adisutjipto, Kalurahan Maguwoharjo, menuju ke Terminal Pakem di Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman.
4. Trans Jogja sangat diminati selain karena aman dan nyaman, tarif yang saat ini diterapkan juga terjangkau, yaitu Rp 3.500,- untuk sekali jalan, dengan dua sistem tiket: sekali jalan dan berlangganan. Bagi tiket berlangganan, dikenakan potongan sebesar 50% untuk pelajar dan 15% untuk umum.
Taksi
Taksi mudah dijumpai di berbagai ruas jalan di Yogyakarta, terutama di ruas protokol dan kawasan pusat ekonomi dan wisata. Ada berbagai perusahaan taksi yang melayani angkutan ini, dari yang berupa sedan hingga minibus.
Masa kini, taksi di Yogyakarta terbagi menjadi taksi konvensional dan taksi online.
Becak
Meski populasinya kian menyusut, becak masih dijadikan alat transportasi andalan di Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka dapat ditemui di pusat kota dan kawasan-kawasan wisata.
Kereta api
Kota Yogyakarta merupakan pusat dari Daerah Operasi VI Yogyakarta, wilayah kerja PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang menaungi perkeretaapian di Daerah Istimewa Yogyakarta, Solo Raya, dan sebagian Purworejo. Kereta api di kota Yogyakarta melayani berbagai tujuan seperti Jakarta, Bandung, Purwokerto, Kebumen, Semarang, Surakarta, Blitar, Surabaya, Malang, Jember, dan Banyuwangi. Terdapat sebanyak kurang lebih 33 kereta api yang melintasi Kota Yogyakarta (dengan total sebanyak 121-139 total jadwal perjalanan perharinya).
Terdapat 2 stasiun besar di Kota Yogyakarta, yaitu Stasiun Yogyakarta (dikenal sebagai Stasiun Tugu) dan Stasiun Lempuyangan. Tersedia kereta api komuter yang menghubungkan Kutoarjo dengan Yogyakarta, kereta tersebut bernama Prameks, dan untuk penghubung Kota Surakarta dengan Yogyakarta, kereta tersebut bernama KRL Lin Yogyakarta yang merupakan pengganti KA Prameks Jogja-Surakarta dan dikelola oleh KAI Commuter. Selain itu, tersedia pula KA Bandara YIA, layanan kereta api bagi masyarakat yang ingin bepergian menuju ke Bandar Udara Internasional Yogyakarta, dengan tujuan akhir Stasiun Yogyakarta International Airport.
Yogyakarta juga memiliki beberapa jalur kereta api menuju Stasiun Palbapang, Stasiun Pundong dan Stasiun Magelang Kota bersambung ke Stasiun Ambarawa yang sudah dinonaktifan sejak dekade 1970-an. Salah satu peninggalan jalur kereta api nonaktif di kota Yogyakarta yang masih bisa disaksikan hingga saat ini adalah Stasiun Ngabean yang terletak di komplek Taman Parkir Wisata Ngabean.
Bus Antarkota
Bus antarkota tersedia dari dan ke semua kota di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, datang dan berangkat dari Terminal Bus Tipe A Giwangan, yang berada di Jalan Imogiri Timur, Giwangan, berada di tepi Jalan Lingkar Luar Selatan Yogyakarta, di batas wilayah antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul.
Transportasi udara
Transportasi udara dari dan ke seluruh wilayah DI Yogyakarta sekarang dilayani oleh bandara Internasional Yogyakarta terletak di kapanéwon Temon, kabupaten Kulon Progo. Bandara ini melayani penerbang domestik ke kota-kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Surabaya), Sumatra (Batam), Bali, Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan), dan Sulawesi (Makassar). Selain itu, bandara ini juga melayani penerbangan harian ke Singapura dan Kuala Lumpur dengan AirAsia dan Scoot.
Perguruan Tinggi
1. Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (Kampus Ngampilan)
3. Universitas Teknologi Yogyakarta (Kampus Glagahsari dan Soepomo SH)
4. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
6. Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
7. Universitas Islam Indonesia (Kampus Cik Di Tiro dan Taman Siswa)
8. Universitas Kristen Duta Wacana
9. Institut Sains & Teknologi AKPRIND
10. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD
11. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha
12. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi "AAN"
14. Akademi Keperawatan Notokusumo
15. Akademi Keperawatan Bethesda Yogyakarta
Pondok Pesantren
1. Pesantren Al Munawir , Krapyak
2. Madrasah Muallimin Muhammadiyah
3. Madrasah 'Aisyiyah Yogyakarta Suronatan
4. Pondok Pesantren Al Barokah Karangwaru
5. Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede
Olahraga
Yogyakarta memiliki beberapa fasilitas penunjang dalam bidang keolahragaan. Stadion Kridosono merupakan stadion tertua di kota Yogyakarta yang dibangun pada masa kolonial, bersama dengan Kotabaru. Selain stadion Kridosono, terdapat pula Stadion Mandala Krida yang kini menjadi stadion utama. Stadion ini digunakan untuk menggelar pertandingan sepak bola pada umumnya, serta beberapa acara seperti drag race dan Sholat Ied. Stadion Mandala Krida memiliki fasilitas yang cukup lengkap setelah renovasi besar-besaran pada 2013 hingga 2019, dimana terdapat penambahan sejumlah fasilitas di komplek stadion, antara lain untuk olahraga panjat tebing, bola voli pasir, sepatu roda, tenis lapangan, balap motor, dan panahan.
Tak jauh dari stadion Mandala Krida, tepat di bagian tenggara stadion terdapat GOR Among Rogo, gedung olahraga serbaguna yang sering pula digunakan untuk beberapa kejuaraan olahraga basket dan bulu tangkis.
PSIM Yogyakarta
1. PSIM Yogyakarta didirikan pada 5 September 1929. Nama "Mataram" digunakan karena Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan kesultanan Mataram (keraton Ngayogyakarta Hadiningrat).
2. PSIM menjadikan Stadion Mandala Krida sebagai kandang utama. Saat ini, PSIM bertanding di Liga 2 Indonesia bagian tengah.
Tokoh penting
Beberapa tokoh penting yang berasal dari kota Yogyakarta, antara lain:
1. Pangeran Diponegoro, Pahlawan Nasional Indonesia yang berjuang dalam Perang Jawa.
2. Hamengkubuwono I, raja Kasultanan Yogyakarta ke-1.
3. Hamengkubuwono IX, raja Kasultanan Yogyakarta ke-9, Wakil Presiden ke-2 Republik Indonesia.
4. KH Ahmad Dahlan, Pahlawan Nasional Indonesia, pendiri organisasi Muhammadiyah.
5. Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan Nasional Indonesia, mantan menteri Pendidikan Nasional ke-1 di Indonesia, Pendiri Perguruan Taman Siswa.
6. Soerjopranoto, Pahlawan Nasional Indonesia.
7. Radius Prawiro, ekonom Nasional, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Pembangunan V.
8. Megawati Soekarnoputri, presiden Republik Indonesia ke-5.
9. Abdul Malik Fadjar, mantan menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong dan mantan menteri Agama pada Kabinet Reformasi Pembangunan.
10. M. Busyro Muqoddas, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.
11. Hanung Bramantyo, sutradara Nasional.
12. Bagong Kussudiardja, seniman Nasional.
13. Butet Kartaredjasa, seniman Nasional.
14. Djaduk Ferianto, seniman Nasional.
15. Seno Nugroho, seniman dan dalang Nasional.
16. Roro Fitria, aktris Nasional.
-oooooooooo oOo oooooooooo-
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar