KABUPATEN NGADA
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Orientasi
Kabupaten Ngada adalah sebuah kabupaten di pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten adalah Bajawa. Luas wilayah 1.621 km² dengan jumlah penduduk 162.299 jiwa. Kabupaten Ngada memiliki tiga suku besar, yaitu Suku Nagekeo, Suku Bajawa dan Suku Riung.
Geografi
Kabupaten Ngada membentang antara 8°20'24.28"–8°57'28.39" Lintang Selatan dan 120°48"–121°11' Bujur Timur. Kabupaten Ngada memiliki Luas daratan 1.776,72 km², luas perairan 708,64 km² dan panjang pantai 102,318 km dengan rincian sebagai berikut: luas perairan pantai Utara 381,58 km2 dengan panjang pantai 58,168 km, luas perairan pantai Selatan 327,06 km² dengan panjang pantai 44,15 km.
Batas Wilayah
Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Topografi
Kondisi topografi Kabupaten Ngada pada umumnya berbukit dan tingkat kemiringan lahan yang relatif tinggi, dengan komposisi kemiringan 0 – 15 derajat seluas 45,02% dari luas wilayah Kabupaten Ngada; kemiringan 16 – 20 derajat seluas 40,64% dari total luas wilayah kabupaten ini; dan kemiringan di atas 20 derajat seluas 14,34% dari total luas wilayah Kabupaten Ngada.
Hidrologi
Keadaan hidrologis di Kabupaten Ngada terdiri atas sumber-sumber air yang berasal dari air tanah, air permukaan dan curah hujan. Sebagai daerah yang mempunyai permukaan bergunung-gunung, air tanah pada umummya didapatkan dari mata air yang berasal dari kawasan pegunungan yang masih mempunyai kondisi jenis flora dari tumbuhan pepohonan yang cukup rapat. Kondisi hidrologi di Kabupaten Ngada merupakan air sungai dengan sungai-sungai yang bermuara baik di pantai utara maupun pantai selatan. Kabupaten Ngada juga merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Aesesa yang meliputi sub DAS Wulabhara dan sub DAS Wae Woki.
Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim, wilayah Kabupaten Ngada sebagian besar beriklim sabana tropis (Aw) dan sebagian kecil lainnya beriklim muson tropis (Am). Suhu udara di wilayah Ngada sangat erat kaitannya dengan kontur topografinya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu, suhu udara di sebagian besar wilayah Ngada cenderung lebih sejuk dibandingkan wilayah lain di Nusa tenggara Timur, yaitu berkisar antara 15°–30 °C dengan tingkat kelembapan bervariasi antara 66%–83%.
Oleh karena beriklim sabana tropis, wilayah Kabupaten Ngada memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim kemarau di wilayah Kabupaten Ngada berlangsung pada bulan-bulan Mei hingga Oktober dengan bulan terkering adalah bulan Agustus. Sementara itu, musim penghujan di wilayah ini berlangsung pada periode bulan-bulan basah, yaitu November hingga April dengan puncak musim hujan terjadi pada pertengahan bulan Januari hingga bulan Februari dengan rata-rata curah hujan bulanan lebih dari 250 mm per bulan. Curah hujan tahunan di wilayah Ngada berkisar antara 1.300–1.900 mm per tahun dengan jumlah hari hujan bervariasi antara 80–140 hari hujan per tahun.
Pemerintahan
Bupati Ngada
Daftar Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Ngada
No. |
Nama Bupati |
Awal Jabatan |
Akhir jabatan |
Wakil Bupati |
Ket. |
1 |
Don J.D Da Silva |
1961 |
1966 |
|
|
2 |
Yan Yos Botha |
1967 |
1978 |
|
|
3 |
Drs. Matheus Djhon Bey |
1978 |
1986 |
|
|
|
Drs. Kornelis Tapatap |
1986 |
1989 |
|
Pj. Bupati |
4 |
Drs. Yoachim Reo |
1989 |
1994 |
|
|
5 |
1994 |
1999 |
|
|
|
6 |
Ir. Albertus Botha |
1999 |
2004 |
|
|
|
Drs. Simon David Bola |
2004 |
2005 |
|
Pj. Bupati |
7 |
Drs. Piet Jos Nuwa Wea |
2006 |
2010 |
Nikolaus Dopo Ngoe, ST, MM |
|
8 |
Marianus Sae. S.Ap |
2010 |
2015 |
Drs. Paulus Soliwoa |
|
|
Ir. Yohanes Tay, MM |
2015 |
2016 |
|
Pj. Bupati |
9 |
Marianus Sae. S.Ap |
2016 |
2018 |
Drs. Paulus Soliwoa |
|
10 |
Drs. Paulus Soliwoa |
12 Februari 2018 |
6 April 2019 |
|
Plt. Bupati |
|
|
7 April 2019 |
17 Februari 2021 |
|
|
|
Theodisius Yosefus Nono |
17 Februari 2021 |
26 Februari 2021 |
|
Plh. Bupati |
11 |
26 Februari 2021 |
masih menjabat |
Raymundus Bena |
|
Demografi
Suku dan Bahasa
Kabupaten Ngada memiliki tiga suku besar, yaitu Suku Nagekeo, Suku Bajawa dan Suku Riung. Masing-masing suku ini mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang masih dipertahankan sampai saat ini, seperti rumah adat, bahasa yang berbeda satu sama lainnya, tarian, pakaian adat dan lain-lain. Dalam kebudayaan Ngada, rumah adat main peranan penting dalam pola kemasyarakatan. Seorang Ngada adalah bagian dari suatu rumah adat, berarti dari satu marga. Lambang marga berupa ukiran. Daerah Ngada dimasukkan ke dalam World Heritage Tentative List UNESCO tanggal 19 Oktober 1995 dalam kategori "Kebudayaan. Bahasa utama di daerah Ngada adalah bahasa Ngada.
Agama
Agama di Kabupaten Ngada (2016) |
||||
Agama |
persen |
|||
|
90.75% |
|||
|
6.87% |
|||
|
2.23% |
|||
|
0.15% |
Sebagian besar penduduk Kabupaten Ngada adalah beragama Kristen sebesar 92.98% dimana mayoritas adalah Katolik 90.75% dan Kristen Protestan 2.23%. Selebihnya adalah menganut agama Islam 6.87%, dan Hindu 0,15%.
Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Ngada pada tahun 2014 sebanyak 162.299 Jiwa terdiri dari 80.090 Laki-laki dan 82.209 Perempuan. Jumlah penduduk terbanyak dan terpadat berada di Kecamatan Bajawa dan jumlah penduduk paling sedikit berada di Kecamatan Wolomeze. Sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk terjarang berada di Kecamatan Riung Barat.
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Ngada Tahun 2014 |
||||
Nama Kecamatan |
Luas Wilayah (km²) |
Laki-laki (jiwa) |
Perempuan (jiwa) |
Jumlah |
Kecamatan Aimere |
92,50 |
5.037 |
5.077 |
10.114 Jiwa |
Kecamatan Bejawa |
133,30 |
19.646 |
20.062 |
39.708 Jiwa |
Kecamatan Bejawa Utara |
167,38 |
4.656 |
4.874 |
9.530 Jiwa |
Kecamatan Golewa |
78,13 |
9.319 |
9.513 |
18.832 Jiwa |
Kecamatan Golewa Barat |
74,59 |
5.545 |
5.664 |
11.209 Jiwa |
Kecamatan Golewa Selatan |
98,00 |
5.791 |
6.106 |
11.897 Jiwa |
Kecamatan Inerie |
77,36 |
4.024 |
4.309 |
8.333 Jiwa |
Kecamatan Jerebuu |
64,90 |
3.527 |
3.889 |
7.416 Jiwa |
Kecamatan Riung |
327,94 |
8.116 |
8.259 |
16.375 Jiwa |
Kecamatan Riung Barat |
312,49 |
4.712 |
4.502 |
9.214 Jiwa |
Kecamatan Soe |
91,14 |
6.567 |
6.800 |
13.367 Jiwa |
Kecamatan Wolomeze |
103,19 |
3.150 |
3.154 |
6.304 Jiwa |
Pariwisata
Wisata budaya
Kabupaten Ngada sangat terkenal di kalangan wisatawan asing yang tertarik dengan kebudayaan. Beberapa kampung adat yang paling banyak dikunjungi di Kabupaten Ngada adalah:
1. Kampung Bena di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebuu
2. Kampung Wogo di Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, di mana terdapat rumah adat dan peninggalan megalithik
3. Kampung Bela di Desa Beja, Kecamatan Bajawa
4. Kampung Gurusina di Desa Watumanu, Kecamatan Jerebuu
5. Kampung Belaraghi di Desa Keligejo, Kecamatan Aimere
Wisata alam
Kabupaten Ngada memiliki banyak objek wisata dan potensi wisata alam yang lengkap mulai dari pantai, danau, air terjun, bukit, gunung hingga pemandian air panas. Berikut sejumlah objek wisata dan potensi wisata alam di Kabupaten Ngada:
Taman Laut Nasional 17 Pulau Riung: Di tempat ini terdapat antara lain mawar laut, aneka jenis terumbu karang, Pulau Pasir Putih, kelelawar bakau di pulau Ontoloe, Mbou (Varanus riungnensis) yaitu Kadal Raksasa yang merupakan Binatang Purbakala, masih hidup secara alamiah di habitatnya hingga saat ini.
2. Air terjun Wae Roa
3. Air terjun Wae Pua
4. Air terjun Wae Waru
5. Air terjun Wae Niba
6. Air terjun Wae Laja
7. Air terjun Soso
8. Pantai Waewaru
9. Pantai Enabhara
10. Pantai Sewowoto
11. Gunung Inerie
12. Bukit Wolobobo
13. Permandian Air Panas Mengeruda
14. Danau Wawomudha
15. Ekowisata Lekolodo
Ekonomi
Perikanan
Kabupaten Ngada memiliki wilayah perairan/ laut yang sangat potensial baik di pantai utara yaitu Laut Flores (Kecamatan Riung), maupun pantai laut selatan yaitu Laut Sawu masing-masing Kecamatan Golewa Selatan dan Kecamatan Aimere. Kekayaan laut yang utama yaitu ikan, Lobster, rumput laut dan mutiara. Sumber daya perikanan dan kelautan di Kabupaten gada memiliki garis pantai sepanjang 219 km dengan rincian: Pantai utara 105 Km, pantai selatan 114 Km. Sesuai PP nomor 25 tahun 1999, luas laut yang menjadi kewenangan Kabupaten hanya mencapai 4 mil laut.
Luas wilayah perairan Laut sebesar 344.363 Ha dengan potensi lestari sebanyak 10.334,82 Ton/tahun yang terdiri dan potensi ikan Pelagis sebanyak 6.717,63 Ton dan ikan Demersal sebanyak 3.617,18 ton. Sampai dengan Tahun 2000 tingkat pemanfaatannya baru mencapai 55,51 ton dan sisanya dan perairan umum serta budidaya, dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) sebanyak 1.101 Rumah Tangga yang terdiri dan 989 Rumah Tangga Perikanan Nelayan dan 131 Rumah Tangga Perikanan Budidaya. Dan jumlah tersebut yang berstatus sebagai Nelayan Penuh sebanyak 265 orang dan176 orang sebagai Nelayan Sambilan.
Pertambangan
Jenis potensi pertambangan, lokasi dan jumlah kandungannya masing-masing, terinci sebagai berikut:
Besi/ Mangan lokasi: Mbong Milong- Riung 1.359 Ha, Emas Lokasi: Rawangkalo, Wangka, Lindi 1.177.100 Ha (5.789 ton),Perak, Belerang Lokasi:Mataloko 30 Ha, Tembaga 33.088 %, Pasir Besi 65 Ha, Pasir dan Batu Lokasi:Naru, Aimere 908.209.977 M3, Tanah Liat Lokasi:Bomari-Langa 30.512.619 M3, Marmer Lokasi:Sambinasi, Rawangkalo, Wangka 15.452.336 M3, Granodiort 339.000.000 M3, Zeolit 266.721.653 M3, Batu Permata / 1/2, Permata 1.00.000 M3.
Perkebunan
Kabupaten Ngada memiliki potensi perkebunan yang cukup potensial untuk dikembangkan. Beberapa jenis komoditas andalan yang dikembangkan di Kabupaten Ngada adalah: Kopi, Kakao, Jambu Mete, Kemiri, Kelapa, Cengkih, Vanili dan Merica. Luas lahan kering potensial: 98.100 ha, fungsional seluas 47.943 ha sedangkan sisanya adalah sebesar 50.157 ha belum dimanfaatkan
Sejarah
Bajawa, Ngada
Bajawa adalah kecamatan yang juga menjadi ibukota dari Kabupaten Ngada, provinsi Nusa Tenggara Timur. Kecamatan Bajawa ini terletak di pulau Flores. Luas wilayah kecamatan ini sekitar 137,36 km2 dan memiliki penduduk tahun 2020 berjumlah 37.697 jiwa.
Nama Bajawa
Bapak alm H. Nainawa, seorang tokoh dan pemuka adat (meninggal di usia 96 tahun pada tahun 2015) menuturkan bahwa nama Bajawa sebenarnya berasal dari “ Bhajawa ” yaitu nama satu dari antara tujuh kampung di sisi barat Kota Bajawa. Tujuh kampung yang disebut “ Nua Limazua ” tersebut adalah Bhajawa, Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo dan Wakomenge. Nua Limazua tersebut merupakan suatu persekutuan “ ulu eko ” yang dikenal dengan “ Ulu Atagae, Eko Tiwunitu ”.
Nua Bhajawa adalah kampung terbesar dari antara tujuh kampung tersebut dan merupakan tempat tinggal Djawatay sebagai Zelfbertuurder atau raja pertama dan Peamole sebagai raja yang kedua. Mungkin karena itulah nama Bhajawa lebih dikenal dari yang lainnya dan digunakan oleh Belanda sebagai nama pusat pemerintahan Onder Afdelling Ngada. Bhajawa kemudian berubah menjadi Bajawa karena penyesuaian pengucapan terutama bagi orang Belanda ketika itu yang tidak bisa berbahasa daerah dengan benar.
Dari aspek etimologi, kata “ Bhajawa ” terdiri dari “ bha ” yang berarti piring dan “ jawa ” yang berarti perdamaian. Jawa bisa berarti tanah Jawa. Sehingga “ Bhajawa ” bisa berarti piring perdamaian, bisa juga berarti piring dari Jawa, sama seperti “ Pigasina ” yang berarti pinggan dari Cina. Dataran di sebelah timur dari tujuh kampung tersebut, yang kemudian menjadi pusat kota Bajawa, pada mulanya masih merupakan kebun ladang dengan banyak nama seperti “ Mala ”, “ Ngoraruma ”, “ Surizia ”, “ Umamoni ”, “ Padhawoli ”, “ Ngedukelu ”, dan lain-lain. Kawasan gereja dan pastoran Paroki MBC bernama Surizia, kawasan rumah jabatan Bupati, Mapolres dan Kantor Daerah lama bernama Ngoraruma, kawasan tangsi Polisi dengan nama lain lagi, dan seterusnya.
Berdirinya Bajawa Sampai Kemerdekaan Indonesia (1908-1945)
Bajawa dirintis oleh penjajah Belanda, pada tahun 1907 di bawah pimpinan Kapiten Christoffel, setelah menguasai Larantuka dan Sikka, Belanda mengadakan aksi militer untuk menguasai wilayah Ende, Ngada dan Manggarai. Pada 10 Agustus 1907, pasukan Christoffel tiba di Ende dan hanya dalam waktu sekitar 2 minggu berhasil mengalahkan Rapo Oja dari Woloare dan Marilonga dari Watunggere serta menguasai wilayah Ende. Pada 27 Agustus 1907, pasukan Christoffel mulai melakukan agresi militer ke wilayah Ngada.
Sesudah pertempuran di Rowa, Sara, Mangulewa dan Rakalaba, pada 12 September 1907 Bajawa menyerah. Di Bajawa pasukan Belanda menempati lokasi di pinggir kali Waewoki (sekitar rumah potong hewan sekarang) karena dekat mata air Waemude sebagai sumber air minum. Dalam waktu 3 bulan pasukan Christoffel berhasil menguasai seluruh wilayah Ngada dan selanjutnya pada 10 Desember 1907 seluruh wilayah Manggarai dikuasainya. Setelah pemberontakan Marilonga dapat dipadamkan pada tahun 1909 maka pada tahun 1910 seluruh wilayah Flores takluk kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Belanda mulai mengatur pemerintahan yang pada mulanya bersifat militer di bawah pejabat militer yang disebut “ Gezaghebber ”, kemudian bersifat sipil di bawah pejabat sipil yang disebut “ Controleur ”. Kapiten Spruijt yang menggantikan Christoffel diangkat sebagai Gezaghebber Ende, van Suchtelen menjadi Gezaghebber Lio, dan Couvreur menjadi Gezaghebber mulai dari wilayah Nangapanda, Ngada, sampai Manggarai.
Agar kegiatan pemerintahan penjajah lebih tertib, keamanan lebih terkontrol dan pemungutan pajak serta kerja rodi yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat Ngada, dapat terlaksana dengan baik, Belanda membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sistem tradisional. Sebelumnya, masyarakat Ngada hidup berkelompok dalam “ ulu eko ”, “ nua ” dan “ woe ” yang bersifat otonom dan tidak ada struktur yang lebih tinggi di atasnya. Demi efektivitas penjajahan, dibentuklah struktur baru di atasnya yaitu “ Zelfbesturende Landschap ” atau “Landschap Bestuur” yang dipimpin oleh seorang “ Zelfbestuurder ” atau raja yang diangkat oleh Belanda dari antara pemuka masyarakat setempat yang paling berpengaruh.
Pada tahun 1912, di seluruh Flores terdapat 27 Landschap Bestuur dan di wilayah Ngada terdapat 6 Landschap Bestuur yaitu Landschap Bestuur Ngada di bawah Djawatay, Nage di bawah Roga Ngole, Keo di bawah Moewa Tunga, Riung di bawah Petor Sila alias Poewa Mimak, Tadho di bawah Nagoti, dan Toring di bawah Djogo. Kemudian, pada 1 April 1915, menurut Indisch Staatsblad Nomor 743, Afdeling Flores dibentuk dipimpin seorang Asistant Residen berkedudukan di Ende, membawahi 7 Onder Afdeling, termasuk Onder Afdeling Ngada.
Onder Afdeling Ngada dengan ibu kotanya Bajawa terdiri dari 4 Landschap Bestuur yaitu Ngada dipimpin Djawatay, Nage dipimpin Roga Ngole, Keo dipimpin Moewa Tunga dan Riung dipimpin Petor Sila. Sedangkan Tadho dan Toring yang sebelumnya berdiri sendiri, bergabung dengan Riung. Karena pada tahun 1916-1917 terjadi perang Watuapi dipimpin Nipado, maka pengangkatan menjadi Bestuurder (raja) melalui penandatanganan Korte Verklaring ( perjanjian pendek ) sebagai pernyataan takluk kepada kerajaan Belanda baru dapat dilakukan pada 28 November 1917. Sebelum penandatanganan Korte Verklaring tersebut, Bestuurder (raja) diangkat dengan Keputusan Pemerintah (Government Besluit).
Pada tahun 1931/1932 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di wilayah Ngada adalah Onder Afdeling Ngada berpusat di Bajawa dipimpin oleh Controleur (seorang Belanda), mencakupi 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada dengan ibu kota Bajawa, Nagekeo di Boawae dan Riung di Riung. Landschap Bestuur Keo dan sebagian komunitas masyarakat adat Toto bergabung dengan Nage, menjadi Landschap Bestuur Nagekeo berpusat di Boawae.
Pada tahun 1938 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di Flores dan di wilayah Ngada mengalami penyempurnaan disesuaikan dengan Inlandsche Gemmente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ) yang dimuat dalam Ind. Stb. 1938 Nomor 490 jo Ind. Stb. 1938 Nomor 681. Struktur baru tersebut adalah Onder Afdeling Ngada dipimpin oleh Controleur ( orang Belanda ) mencakup 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung masing-masing dipimpin raja. Di bawah Landschap Bestuur adalah Gemmente / Haminte dipimpin oleh Kepala Haminte / Kepala Mere atau Gemmente Hoofd yang membawahi kampung-kampung yang dipimpin oleh kepala kampung.
Sebenarnya pada mulanya Belanda memilih Aimere sebagai ibu kota Onder Afdelling Ngada karena mudah dijangkau melalui laut, sedangkan Bajawa dengan udaranya yang sejuk dan ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut disiapkan dan memang sangat cocok untuk tempat peristirahatan. Di Bajawa dibangun 3 buah pesanggrahan ( penginapan ) yaitu pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa, Mapolres Ngada dan Kantor Banwas Ngada sekarang. Tanah tempat bangunan pesanggrahan tersebut ditunjuk oleh Djawatay yang ketika itu diangkat menjadi Bestuurder Landschap Ngada.
Bajawa kemudian ditetapkan sebagai ibu kota Onder Afdeling Ngada mungkin dengan pertimbangan bahwa Bajawa lebih di tengah untuk bisa menjangkau wilayah Riung dan Nagekeo, sedangkan Aimere terlalu di pinggir barat. Ketika terbentuk Onder Afdeling Ngada pada 1 April 1915 dan Bajawa ditetapkan sebagai ibu kotanya, maka pesanggrahan pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa dijadikan kantor, pada Mapolres Ngada sekarang menjadi tempat tinggal Gezaaghebber / Controleur dan pada Kantor Banwas sekarang tetap menjadi pesanggrahan. Kantor Controleur kemudian dibangun dari kayu pada sisi timur pesanggrahan ( pada lokasi Kantor Dinas Pendapatan sekarang ). Sangat disesalkan bangunan bersejarah tersebut, yang kemudian juga digunakan sebagai gedung DPRD Kabupaten Ngada telah diruntuhkan dan kini berganti dengan bangunan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ngada. Sedangkan Kantor Bestuurder ( raja ) dibangun di Kampung Bajawa.
Ketika Belanda mulai menjajah wilayah Ngada secara fisik, mereka menemukan kehidupan masyarakat masih sangat sederhana bahkan primitif serta sering bergolak karena terjadinya pertikaian antara suku. Untuk itu, Belanda berupaya mendirikan sekolah rakyat, selain untuk menjalankan “ politik etis “ pemerintah Belanda, juga agar masyarakat dapat baca-tulis, tidak primitif, dan juga memperhalus budi dan perilaku sehingga mengurangi pertikaian antar suku serta mengurangi pola pikir yang tidak rasional ( takhiul atau percaya sia-sia ).
Pada tahun 1908 Gezaaghebber Couvreur menyurati Misionaris Jesuit di Larantuka untuk mengirimkan guru ke Flores bagian barat, termasuk ke Bajawa, namun belum dikabulkan. Pada tahun 1911 Gezaaghebber Koremans dan Controleur Hens menyurati lagi Misionaris Jesuit di Larantuka dengan maksud yang sama. Pada tahun 1912 Misionaris Jesuit di Larantuka melalui Panitia Persekolahan Flores ( School Vereniging Flores ) yang baru dibentuk, mengirimkan seorang guru bernama Johanes Patipeilohy dan pada tahun yang sama membuka sekolah rakyat yang pertama untuk Onder Afdeling Ngada dengan nama Sekolah Rakyat Katolik Bajawa. Sekolah pertama ini menggunakan gedung yang sekarang ini menjadi Kantor PWRI di Jalan Gajah Mada. Pada tahun 1915 datang lagi dari Larantuka seorang guru bernama Markus Fernandez.
Kedua guru tersebut sekaligus menjadi Misionaris Awam Katolik pertama untuk Bajawa. Tercatat pada 19 Oktober 1915, Mgr. Petrus Noyen, SVD, dalam kunjungan pertamanya ke Bajawa, mempermandikan 28 orang anak sekolah menjadi orang Katolik pertama di Bajawa hasil didikan kedua guru tersebut. Mgr. Petrus Noyen, SVD menginap di pesanggrahan / tempat kediaman Controleur. Pada 28 April 1920, Mgr. Petrus Noyen, SVD bersama Pater J. de Lange, SVD dan Pater J. Ettel, SVD kembali mengunjungi Bajawa melalui Aimere dengan kapal KPM.
Pada hari Minggu 9 Mei 1920 sebelum Pentekosta ada perayaan Komuni Pertama dan Krisma yang didahului dengan permandian 30 anak. Pater Ettel mencatat peristiwa itu sebagai berikut: “ Dari dekat dan jauh semua anak sekolah berdatangan bersama guru-guru mereka. Bajawa penuh dengan kuda. Upacara berlangsung dengan gemilang, belum pernah orang menyaksikan peristiwa semacam itu. Putera sulung Hamilton ( Gezaaghebber Onder Afdeling Ngada ) termasuk anak-anak yang menerima Komuni Pertama, ayah dan puteranya sama-sama menerima Sakramen Penguatan (Krisma), suatu hal yang memberi kesan yang sangat mendalam. Di halaman Gezaaghebber diselenggarakan suatu perjamuan pesta. Juga semua kepala desa / kampung diundang.”
Karena perkembangan umat Katolik sangat pesat, maka pada 11 Oktober 1921 berdirilah Paroki Mater Boni Consilii Bajawa, dengan Pastor Paroki pertama Pater Gerardus Schorlemer, SVD. Paroki yang baru ini belum memiliki gedung gereja, sehingga peribadatan dilakukan di gedung SRK Bajawa. Pada tahun 1922 sebuah gereja kecil di bangun pada lokasi gedung Patronat MBC yang lama.
Pada 19 Juni 1928
Paroki MBC Bajawa menerima surat resmi dari kantor Van Inland Zelfbestuur yang
ditandatangani oleh Raja Peamole yang menyerahkan sebidang tanah untuk
membangun gedung gereja, pastoran dan kebutuhan lain bagi umat Katolik Paroki
MBC Bajawa. Selanjutnya pada Oktober 1928, dimulailah pembangunan gedung gereja
oleh seluruh umat dipimpin oleh Bruder Fransiskus, SVD. Bangunan gereja bergaya
Gotik tersebut rampung dan diresmikan dalam upacara pemberkatan meriah oleh
Mgr. Arnold Vestraelen, SVD pada 30 Mei 1930. Sedangkan pastoran MBC baru mulai
dibangun pada 14 April 1937 dipimpin oleh Bruder Coleman, SVD.
Ketika itu masih sering terjadi pembunuhan akibat pertikaian antar suku. Karenanya, untuk menampung para hukuman, pemerintah membangun rumah tahanan atau penjara atau karpus yang dalam bahasa setempat menyebutnya “bui” atau “baru dheke”. Pada mulanya rumah tahanan dibangun darurat berdinding seng pada lokasi yang kemudian dibangun pasar (sekarang menjadi kantor Dinas Nakertrans). Sekitar tahun 1918, rumah tahanan berpindah lokasi ke depan tangsi Polisi dan dibangun permanen. Gedung tersebut sampai sekarang masih terjaga.
Untuk menjaga keamanan wilayah, di Bajawa ditempatkan sejumlah tentara. Untuk itu, dibangun tangsi tentara Belanda yang selanjutnya sekitar tahun 1939 beralih menjadi tangsi Polisi sampai sekarang. Sedangkan Mapolres yang ada sekarang adalah bekas pesanggrahan yang kemudian menjadi tempat kediaman Gezaaghebber. Sebuah rumah sakit dibangun dalam bentuk bangunan kayu. Bangunan ini kemudian pernah menjadi Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Ngada dan sekarang telah diruntuhkan dan dibangun rumah dinas. Lokasi rumah sakit kemudian berpindah ke arah timur pada tempat Kantor Bappeda Ngada di Jalan Gajah Mada sekarang.
Kawasan perdagangan terletak pada sisi barat kota. Pada bekas bangunan darurat rumah tahanan dibangun pasar Bajawa, yang ketika pasar berpindah ke lokasi yang baru sekarang, bangunan pasar lama tersebut setelah direnovasi, digunakan berturut-turut sebagai kantor Dinas P dan K, Dinas PU, Kantor Departemen P dan K dan terakhir ditempati oleh Dinas Nakertrans. Kompleks pertokoan berada pada sepanjang Jalan Peamole sekarang.
Untuk kebutuhan pegawai, pemerintah Belanda membangun sejumlah rumah pegawai yang sekarang berada di Jalan Imam Bonjol, Jalan Gajah Mada, dan jalan di belakang Kantor Dinas Perkebunan menuju ke arah pasar Bajawa sekarang. Sedangkan rumah tinggal Controleur yang dibangun sekitar tahun 1928-1930, hampir bersamaan waktunya dengan pembangunan gedung Gereja Paroki MBC Bajawa, kini menjadi rumah jabatan Bupati Ngada.
Perkembangan kota Bajawa yang bergerak ke arah Utara dan Timur, mengakibatkan “ Nua Limazua ” yang sebelumnya menjadi pusat pemukiman berada di pinggir kota. Di samping itu, sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan hampir semua rumah adat, terutama di kampung Bhajawa, Bokua dan Boseka, menyebabkan mereka mulai berpindah ke lokasi yang baru mengikuti arah perkembangan kota Bajawa. Sekitar tahun 30-an kampung Bokua dan Boseka berpindah ke arah timur pada lokasi sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan sesudahnya berpindah lagi ke arah selatan kaki bukit Pipipodo, pada lokasi kampung Bokua dan Boseka sekarang.
Kampung Bongiso berpindah ke arah utara bergabung dengan Wakomenge yang turun dari puncak bukit Wolowakomenge ke tempatnya sekarang. Kampung Pigasina berpindah ke arah timur berdampingan dengan kampung Boripo sekarang. Sedangkan sebagian dari warga kampung Bajawa berpindah ke arah Timur membentuk kampung Bajawa B, berlokasi di sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan kampung Bajawa C, berlokasi di kawasan Rumah Tahanan Bajawa sekarang.
Dalam struktur pemerintahan ketika itu, kawasan kota Bajawa termasuk dalam wilayah Haminte Ngadabawa dengan kepala haminte atau kepala mere yang pertama Waghe Mawo yang kemudian diganti oleh Nono Ene. Wilayah Haminte Ngadabawa meliputi kawasan kota Bajawa dan kampung sekitarnya yaitu Bhajawa, Bokua, Boseka, Bongiso, Boripo, Pigasina, Wakomenge, Wolowio, Beiposo, Likowali, Warusoba, Watujaji, Bowejo, Bosiko, Bejo, Bobou, Fui, Seso dan Boba. Setelah kemerdekaan, Nono Ene digantikan oleh Thomas Siu sebagai Kepala Mere Ngadabawa melalui pemilihan langsung. Menjelang pembentukan Daerah Tingkat II Ngada, Thomas Siu diganti oleh Paulus Maku Djawa.
Dari Kemerdekaan Indonesia Sampai Terbentuknya Kabupaten Ngada (1945-1958)
Sampai kemerdekaan tahun 1945, kawasan kota Bajawa hanya terdiri dari kompleks gereja dan pastoran Paroki MBC, lapangan, rumah jabatan Controleur, pesanggrahan, kantor Controleur, Sekolah Rakyat Bajawa, rumah sakit lama, pasar lama, kompleks pertokoan lama, rumah penjara, tangsi Polisi dan sejumlah rumah dinas pegawai. Pemukiman penduduk berada di luar kawasan kota pada kampung-kampung. Perkembangan kawasan kota Bajawa terjadi setelah kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1950 berjalan sangat lambat. Keadaan Negara Indonesia yang berada dalam masa perang kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kota Bajawa. Hampir tidak ada perkembangan. Setelah pada tahun 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan suasana perang berakhir, kota Bajawa mulai sedikit bertumbuh.
Pada 5 Desember 1953, para Suster Karmel Tak Berkasut membuka biara di Bajawa. Mereka langsung menempati pintu masuk kota Bajawa. Kehadiran para Suster Karmel Tak Berkasut dengan Klausura Agung di Bajawa, dengan doa dan keteladanan mereka, membawa nuansa yang khas bagi kota Bajawa dan perkembangan Gereja Katolik di Bajawa dan sekitarnya. Dan pada tahun 1954, SRK Bajawa II ( sekarang SDK Kisanata ) didirikan. Bersamaan dengan itu, SRK Bajawa I ( sekarang SDK Tanalodu ) yang dibangun pada tahun 1912 berpindah lokasi ke tempat sekarang. Kedua sekolah tersebut akhirnya berdiri berdampingan, SRK Bajawa I untuk anak laki-laki dan SRK Bajawa II untuk anak perempuan.
Pada bulan Januari 1955, Yayasan Vedapura yang berdiri di Ende membuka Kantor Cabang Vedapura di Bajawa. Yayasan ini menangani persekolahan Katolik untuk seluruh wilayah Ngada, Nagekeo dan Riung, dan menempati kantornya sampai sekarang di Jalan Sugiopranoto Bajawa. Selain Yayasan Vedapura, berdiri pula Yayasan Sanjaya yang mendirikan SMPK Sanjaya Bajawa pada 1 Agustus 1955, sebagai SMP yang pertama untuk kota Bajawa dan menempati lokasi pada SMPN I Bajawa sekarang.
Pada 4 Maret 1957, para Suster FMM memulai karya mereka di bidang pendidikan, kesehatan dan karya sosial lainnya di Bajawa. Mereka membangun biara di luar kawasan kota bagian utara, pada lokasi yang mereka tempati sekarang di Jalan Yos Sudarso. Luas kawasan pusat kota Bajawa mengalami sedikit perkembangan dengan kehadiran biara Karmel, SMPK Sanjaya, Susteran FMM dan SRK Bajawa II. Pada saat ditetapkan menjadi ibu kota Daerah Tingkat II Ngada, kawasan pusat kota Bajawa adalah utara dengan biara FMM, selatan dengan biara Karmel, timur dengan SMP Sanjaya dan pekuburan Katolik, barat dengan kali Waewoki, yang kini kita kenal sebagai “ down town ” atau kota lama.
Mengenai terpilihnya kota Bajawa menjadi ibu kota Daerah Tingkat II Ngada, H. Nainawa menuturkan bahwa pada mulanya Bajawa bersaing ketat dengan Boawae sebagai calon ibu kota Daerah Tingkat II Ngada yang akan dibentuk. Dalam suatu pertemuan pada awal tahun 1958 di rumah jabatan Bupati sekarang yang dipimpin oleh Don J. D. da Silva yang ketika itu sebagai pejabat dari Provinsi Sunda Kecil, Frans Dapangole dan Emanuel Lena sebagai utusan dari Swapraja Nagekeo mengusulkan Boawae sebagai ibu kota karena lebih berada di tengah. Sedangkan utusan dari Swapraja Ngada, A. J. Siwemole dan H. Nainawa serta Jan Jos Botha sebagai Ketua Partai Katolik Ngada mengusulkan Bajawa sebagai ibu kota dengan pertimbangan sejarah yaitu bahwa Bajawa pernah menjadi ibu kota Onder Afdeling Ngada dan sudah tersedia rumah jabatan serta kantor-kantor peninggalan Onder Afdeling Ngada.
Bajawa kemudian ditetapkan menjadi ibu kota Kabupaten Ngada dengan Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanggal 12 Juli 1958, dan peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 1958.
Demografi
Pada tahun 2020, kecamatan Bajawa terdiri dari 9 kelurahan dan 13 desa, yang terbagi ke dalam 69 dusun atau lingkungan, dan 260 Rukun Tetangga (RT). Suku Ngada berdomisili di sebagian besar Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, termasuk di Bajawa. Mata pencaharian masyarakat Ngada pada umumnya adalah petani, berladang, atau beternak babi, sapi, kerbau, dan kuda. Dalam kesehariannya, masyarakat menggunakan Bahasa Ngada untuk berkomunikasi.
Suku Ngada memiliki rumah adat yang dinamakan dengan Sa’o. Setiap Sa’o menghadap ke ngadhu atau bhaga sebagai poros. Bhaga berbentuk seperti rumah yang ukurannya kecil, dan merupakan lambang leluhur perempuan. Sementara ngadhu melambangkan leluhur laki – laki, berbentuk seperti payung dengan atap alang – alang atau ijuk hitam. Yang mana, ngadhu dan bhaga ini selalu berpasangan dan menjadi lambang banyaknya klan dalam satu permukiman. Dan Sa’o ditata dengan pola pemukiman persegi panjang atau bulat telur. Dimana, posisinya mengelilingi lapangan yang digunakan untuk berkumpul atau mengadakan upacara. Di tengah lapangan ini sebuah ture, yaitu panggung batu untuk melengkapi upacara. Dimana di atas ture ini terdapat altar yang disebut dengan Watu Lewa.
Dalam bidang keagamaan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik kabupaten Ngada tahun 2020 mencatat kondisi penduduk Bajawa berdasarkan agama yang dianut penduduk setempat. Mayoritas penduduk Bajawa memeluk agama Kekristenan yakni 94,46%, dimana yang memeluk agama Katolik sebanyak 89,95% dan Protestan 4,51%. Sebahagian lagi memeluk agama Islam 5,25% dan selebihnya memeluk Hindu atau Budha 0,29%, dimana kebanyakan berada di wilayah-wilayah kelurahan yang ada di kecamatan Bajawa.
----- ooooo oOo ooooo -----
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar