Kamis, 06 Juni 2024

KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

 

KABUPATEN MANDAILING NATAL

PROVINSI SUMATERA UTARA

Orientasi

Mandailing Natal (disingkat Madina, surat Batak Mandailing: ᯔᯊ᯲ᯑᯄᯪᯞᯪᯰ ᯊᯖᯞ᯲) adalah sebuah kabupaten yang berada di provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Kabupaten Mandailing Natal berbatasan langsung dengan provinsi Sumatra Barat. Pada tahun 2021, penduduk kabupaten ini berjumlah 489.569 jiwa, dengan kepadatan 80 jiwa/km2. Kabupaten Mandailing Natal merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1998.

Sejarah, Asal Nama, dan Budaya Mandailing Natal

Penulis Puspasari Setyaningrum | Editor Puspasari Setyaningrum KOMPAS.com - Kabupaten Mandailing Natal adalah nama sebuah wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang diresmikan pada 9 Maret 1999 oleh Menteri Dalam Negeri. Jauh sebelum itu, sejarah Mandailing Natal sudah sering dibahas baik tentang kisah sebelum maupun setelah masa kolonialisme di Indonesia.

Melansir dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, berikut adalah ulasan terkait sejarah, asal nama dan juga budayanya.

Sejarah Mandailing Natal Dirangkum dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, sejarah wilayah ini dibagi menjadi tiga yaitu periode klasik, kerajaan, dan kolonialisme.

1.     Periode Klasik Dalam sejarah Mandailing Natal, periode ini dijelaskan bahwa Mandailing berasal dari nama sebuah kerajaan yang sudah ada jauh sebelum abad ke-12. Kerajaan ini terbentang dari daerah Padang Lawas hingga bagian selatan Provinsi Sumatera Barat yang kini masuk dalam wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Nama Mandailing berasal dari kata Mandala-Holing,yang dikaitkan dengan sebuah ungkapan dalam adat setempat.

Ungkapan itu berbunyi “Surat tumbaga holing naso ra sasa” yang memiliki arti “aturan adat yang tidak bisa dihapus”. Sementara nama Holing sendiri tercantum dalam catatan Dinasti Tang yang memerintah di Cina antara tahun 618 – 906 Masehi. Catatan itu menyebutkan bahwa Mandailing berpusat di Pulau Jawa, tepatnya di kerajaan Kalingga yang berlokasi di pesisir utara Jawa. Adapun nama Mandailing muncul pada kitab “Negarakertagama” yang ditulis Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Majapahit yang melakukan ekspedisi ke wilayah Sumatera di abad ke-14 atau sekitar tahun 1365 Masehi.

2.      Periode Kerajaan Di tahun selanjutnya yaitu pada 1336 Masehi ada sebuah catatan penting tentang sejarah Mandailing Natal pada naskah Pararaton yang dituliskan dalam teks Jawa pertengahan. Dalam naskah tersebut tertulis bahwa ada lima kerajaan penting yang menguasai Sumatera. Salah satunya adalah kerajaan Aru yang didirikan pada tahun 1295 Masehi. Pada rentang waktu antara abad 13 hingga 15 masehi, Mandailing berada di bawah kekuasaan kerajaan Aru.

Baru beberapa adat kemudian muncul kekuasaan otonom yang pertama kali ditandai dengan munculnya kekuasaan Pulungan. Kemudian muncul klan marga Nasution yang menguasai daerah Mandailing Gondang, disusul dengan klan marga Lubis yang menduduki daerah Mandailing Julu yang memerintah secara otonom.

3.      Periode Kolonialisme Perang Padri yang berpusat di Minangkabau turut membawa dampak ke Mandailing yang membuat Belanda mendirikan asisten Residen Angkola Mandailing di Panyabungan dibawah kekuasaan Gubernemen Sumatra’s Westkust pada tahun 1840. Kemunculan pemerintahan ini mempengaruhi kekuasaan raja-raja Mandailing yang sebelumnya memerintah secara otonom. Disusul pada tahun 1857 dibuatlah karesidenan Air Bangis yang mencakup kawasan Mandailing, Angkola, dan Sipirok.

Hal ini berlanjut dengan berdirinya karesidenan Mandailing Natal pada 1885 yang beribukota di Padangsidimpuan Seiring berubahnya peta kekuasaan, di tahun 1906 Pemerintahan Residen Mandailing Natal memindahkan pusat pemerintahan dari Padangsidimpuan ke Sibolga dan mengubah namanya menjadi karesidenan Tapanuli. Wilayah kekuasaannya meliputi afdeeling Sibolga dan Bataklanden. Sementara daerah Natal disiapkan menjadi kota pelabuhan dagang. Dalam masa ini sosok Multatuli atau Edouard Douwes Dekker di tahun 1840 menjabat sebagai Natal sebagai Controlir Natal. Selain menjadi tempat bertemunya pedagang dari bangsa Cina, Arab, Portugis, India dan Inggris, adanya sungai besar di daerah Natal juga merupakan lalu lintas penting sebelum dibangunnya Jalan Pos Mandailing – Air Bangis tahun 1901.

4.      Pembentukkan Kabupaten

Sejarah berdirinya Kabupaten Mandailing Natal baru dimulai saat diresmikan pada 9 Maret 1999. Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal secara resmi didirikan berdasarkan UU nomor 12 tahun 1998 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal yang keluar pada tanggal 23 November tahun 1998. Di awal terbentuknya, Kabupaten Mandailing Natal hanya terdiri dari delapan kecamatan yang terbagi menjadi 273 desa. Selanjutnya pada tahun 2002 keluar Perda yang membentuk 17 kecamatan yang terbagi dalam dari 322 desa serta tujuh kelurahan.

Di tahun 2007 Kabupaten Mandailing Natal kembali membentuk kecamatan baru sehingga wilayahnya memiliki 23 kecamatan dengan 353 desa dan 32 kelurahan, serta 10 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Asal Nama Mandailing Natal Jika nama Mandailing sudah tercatat dalam naskah-naskah sejarah, maka ada beberapa sumber yang menjelaskan asal penambahan nama Natal. Dikutip dari dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, ada yang mengaitkan nama Natal dengan kedatangan bangsa Portugis. Nama Natal berasal dari kemiripan alam pelabuhan ini yang serupa dengan pelabuhan Natal di Benua Afrika. Ada juga yang mengaitkan dengan waktu kedatangan mereka yang bertepatan dengan hari Natal.

Namun adik kandung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana, Puti Balkis A. Alisjahbana, menjelaskan bahwa kata Natal berasal dari bahasa Mandailing dan Minangkabau. Natal diambil dari ungkapan dalam bahasa Mandailing “natarida” berarti “yang tampak” atau daerah yang nampak dari kaki gunung-gunung Sorik Marapi di Mandailing). Kebudayaan Mandailing Natal Setiap daerah di Indonesia termasuk Mandailing Natal memiliki kebudayaan masing-masing. Masyarakat Mandailing Natal pun dikenal memegang teguh adat istiadat dan kebudayaan peninggalan para leluhurnya hingga saat ini. Berikut adalah beberapa adat istiadat Mandailing Natal yang bisa kita pelajari.

1.  Gordang Sambilan yang berarti gendang yang jumlahnya sembilan merupakan bentuk kebudayaan khas Mandailing Natal yang cukup populer. Mulanya Gordang Sambilan hanya dibunyikan di istana untuk menyambut tamu besar atau acara pernikahan. Untuk tujuan tertentu, memainkan Gordang Sambilan pun harus seizin raja atau pemangku adat. Namun saat ini Gordang Sambilan sudah lebih sering digunakan oleh masyarakat setempat dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, penyambutan, dan hari besar di Mandailing Natal.

2.      Bagas Godang dan Sopo Godang Dua bangunan penting yang selalu berdampingan ini adalah rumah raja yang disebut Bagas Godang dan balai adat atau Sopo Godang. Sopo Godang merupakan bangunan tanpa dinding yang melambangkan demokrasi yang membuat semua orang bisa menyaksikan diskusi dan pengambilan keputusan yang dibuat di tempat tersebut. Sementara di halaman Bagas Godang terdapat halaman luas yang disebut Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang) yang mana rakyat yang memasuki halaman ini bisa mendapat perlindungan sang Raja dari marabahaya dan ancaman. Karena pentingnya kedua bangunan ini bagi rakyat, maka Bagas Godang dan Sopo Godang dibuat tidak berpagar tanpa mengurangi kemuliaan penghuninya.

3.      Lubuk Larangan

      Salah satu kebudayaan yang memiliki makna untuk menjaga kelestarian alam adalah Lubuk Larangan. Di Sungai Batang Gadis , terdapat Lubuk larangan tempat dilakukannya sebuah tradisi tangkap ikan. Masyarakat hanya diperbolehkan menangkap ikan di Lubuk Larangan pada waktu yang telah ditentukan dan membayarkan sejumlah uang. Selain untuk pendapatan setempat, kegiatan di Lubuk Larangan juga bertujuan menjaga kelestarian habitat dan keberadaan ikan-ikan langka di tempat tersebut.

Sumber: https://berita.madina.go.id/sejarah-dan-budaya/ https://berita.madina.go.id/sejarah-dan-budaya-mandailing-natal/

Seiring berubahnya peta kekuasaan, di tahun 1906 Pemerintahan Residen Mandailing Natal memindahkan pusat pemerintahan dari Padangsidimpuan ke Sibolga dan mengubah namanya menjadi karesidenan Tapanuli. Wilayah kekuasaannya meliputi afdeeling Sibolga dan Bataklanden. Sementara daerah Natal disiapkan menjadi kota pelabuhan dagang. Dalam masa ini sosok Multatuli atau Edouard Douwes Dekker di tahun 1840 menjabat sebagai Natal sebagai Controlir Natal. Selain menjadi tempat bertemunya pedagang dari bangsa Cina, Arab, Portugis, India dan Inggris, adanya sungai besar di daerah Natal juga merupakan lalu lintas penting sebelum dibangunnya Jalan Pos Mandailing – Air Bangis tahun 1901. 4. Pembentukkan Kabupaten Sejarah berdirinya Kabupaten Mandailing Natal baru dimulai saat diresmikan pada 9 Maret 1999. Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal secara resmi didirikan berdasarkan UU nomor 12 tahun 1998 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal yang keluar pada tanggal 23 November tahun 1998. Di awal terbentuknya, Kabupaten Mandailing Natal hanya terdiri dari delapan kecamatan yang terbagi menjadi 273 desa. Selanjutnya pada tahun 2002 keluar Perda yang membentuk 17 kecamatan yang terbagi dalam dari 322 desa serta tujuh kelurahan.

Di tahun 2007 Kabupaten Mandailing Natal kembali membentuk kecamatan baru sehingga wilayahnya memiliki 23 kecamatan dengan 353 desa dan 32 kelurahan, serta 10 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Asal Nama Mandailing Natal Jika nama Mandailing sudah tercatat dalam naskah-naskah sejarah, maka ada beberapa sumber yang menjelaskan asal penambahan nama Natal. Dikutip dari dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, ada yang mengaitkan nama Natal dengan kedatangan bangsa Portugis. Nama Natal berasal dari kemiripan alam pelabuhan ini yang serupa dengan pelabuhan Natal di Benua Afrika. Ada juga yang mengaitkan dengan waktu kedatangan mereka yang bertepatan dengan hari Natal.

Namun adik kandung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana, Puti Balkis A. Alisjahbana, menjelaskan bahwa kata Natal berasal dari bahasa Mandailing dan Minangkabau. Natal diambil dari ungkapan dalam bahasa Mandailing “natarida” berarti “yang tampak” atau daerah yang nampak dari kaki gunung-gunung Sorik Marapi di Mandailing). Kebudayaan Mandailing Natal Setiap daerah di Indonesia termasuk Mandailing Natal memiliki kebudayaan masing-masing. Masyarakat Mandailing Natal pun dikenal memegang teguh adat istiadat dan kebudayaan peninggalan para leluhurnya hingga saat ini. Berikut adalah beberapa adat istiadat Mandailing Natal yang bisa kita pelajari. 1. Gordang Sambilan Gordang Sambilan yang berarti gendang yang jumlahnya sembilan merupakan bentuk kebudayaan khas Mandailing Natal yang cukup populer. Mulanya Gordang Sambilan hanya dibunyikan di istana untuk menyambut tamu besar atau acara pernikahan.

Untuk tujuan tertentu, memainkan Gordang Sambilan pun harus seizin raja atau pemangku adat. Namun saat ini Gordang Sambilan sudah lebih sering digunakan oleh masyarakat setempat dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, penyambutan, dan hari besar di Mandailing Natal. 2.Bagas Godang dan Sopo Godang Dua bangunan penting yang selalu berdampingan ini adalah rumah raja yang disebut Bagas Godang dan balai adat atau Sopo Godang. Sopo Godang merupakan bangunan tanpa dinding yang melambangkan demokrasi yang membuat semua orang bisa menyaksikan diskusi dan pengambilan keputusan yang dibuat di tempat tersebut.

Sementara di halaman Bagas Godang terdapat halaman luas yang disebut Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang) yang mana rakyat yang memasuki halaman ini bisa mendapat perlindungan sang Raja dari marabahaya dan ancaman. Karena pentingnya kedua bangunan ini bagi rakyat, maka Bagas Godang dan Sopo Godang dibuat tidak berpagar tanpa mengurangi kemuliaan penghuninya. 3.Lubuk Larangan Salah satu kebudayaan yang memiliki makna untuk menjaga kelestarian alam adalah Lubuk Larangan. Di Sungai Batang Gadis , terdapat Lubuk larangan tempat dilakukannya sebuah tradisi tangkap ikan. Masyarakat hanya diperbolehkan menangkap ikan di Lubuk Larangan pada waktu yang telah ditentukan dan membayarkan sejumlah uang. Selain untuk pendapatan setempat, kegiatan di Lubuk Larangan juga bertujuan menjaga kelestarian habitat dan keberadaan ikan-ikan langka di tempat tersebut. Sumber: https://berita.madina.go.id/sejarah-dan-budaya.

Sejarah

Batak Mandailing atau Mandahiling berdasarkan Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga) berasal dari kata Mandala (pusat federasi) dan Hiling atau Holing (Kalinga). Wilayah ini kemudian masuk ke dalam kedatuan Sriwijaya setelah Kerajaan Hindu Kalinga berhasil ditumbangkan. Setelah itu, Mandailing berpindah-pindah kekuasaan dari satu dinasti ke dinasti lainnya.

Masa Kalingga

Masa ini disebut juga masa kejayaan orang-orang Mandailing atau Mandahiling di nusantara. Ratu terakhirnya adalah Ratu Shima dan Raja Sanna/Senna/Sinna yang mempunyai dua anak, yaitu Paduka Sri Maharaja Indrawarman dan Raja Sanjaya. Kerajaan ini bubar pada abad ke-7 setelah Sri Maharaja Indrawarman terbunuh oleh Syailendra di istananya Kerajaan Dharmasraya, sedangkan Raja Sanjaya yang awalnya beribu kota di pesisir utara Jawa Tengah dekat Semarang yang menamakan ibu kotanya sebagai Kalingga tersingkir oleh Raja Syailendra hingga ke pedalaman, yaitu Mataram, hingga membentuk kerajaan yang dikenal sebagai Mataram Hindu. Sri Maharaja Indrawarman dan Raja Sanjaya ditumbangkan Syailendra, karena dianggap melanggar adat karena masuk agama Islam, yang dibawa oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan. Kerajaan Kalingga digantikan Kerajaan Sri Wijaya yang didirikan Syailendra yang beribu kota di Palembang.

Masa Sriwijaya

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di Sumatra dan banyak memberi pengaruh terhadap kebudayaan Nusantara. Wilayah kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Mandailing di Sumatra Utara, merupakan salah satu daerah bawahan (vassal) Imperium Sriwijaya.

Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan. Diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa pada tahun 990, dan serangan Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola pada tahun 1025. Selanjutnya pada tahun 1183, kekuasaan Sriwijaya berada dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.

Masa Kerajaan Chola

Pada abad ke-10, Rajendra dari Kerajaan Chola di Koromandel, selatan anak benua India, memindahkan pusat pemerintahannya di Mandailing ke daerah Hang Chola (Angkola) atau Gangaikonda Cholapuram. Rajendra Chola I (bahasa Tamil: முதலாம் இராஜேந்திர சோழன்) adalah putra Rajaraja Chola I. Ia menjadi raja Chola pada tahun 1014. Selama kekuasaannya, ia memperluas wilayah kerajaan hingga ke tepi Sungai Gangga di utara, Burma, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Lakshadweep, Maladewa, menaklukan Sriwijaya (Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara), dan Kepulauan Pegu. Ia menaklukan Mahipala, raja Pala dari Benggala dan Bihar, dan untuk mengenang kemenangannya ia membangun ibu kota barunya yang disebut Gangaikonda Cholapuram. Rajendra adalah raja India pertama yang membawa angkatan bersenjatanya ke luar negeri. Ia juga membangun kuil untuk Siwa di Gangaikonda Cholapuram.

Masa Kesultanan Aru

Terdapat perdebatan tentang lokasi pusat Kerajaan Aru. Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Aru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas), dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Langkat). Selain itu ada juga yang berpendapat terdapat perbedaan antara Kerajaan Aru di Deli dan Kesultanan Aru di Muara Barumun.

Hal ini dikarenakan Kesultanan Aru di Barumun didirikan oleh Sultan Malik al-Mansur, putra sultan Samudera Pasai pertama, Malik al-Saleh. Kesultanan ini berdiri dari tahun 1299–1512. Sedangkan, Kesultanan Aru di Deli Tua didirikan Menang Suka gelar Sultan Makmum Al-Rasyid, yang beristri Putri Hijau saudara dari Sultan Aceh yang pertama, Ali Mughayat Syah. Kesultanan ini pada tahun 1512–1523, diperalat Portugis untuk menyerang Aceh. Aceh berhasil berkuasa di Kesultanan Aru dari 1523–1802, karena raja terakhir Kesultanan Aru ditawan dan dipancung Laksamana Tuanku Ibrahim Syah. Tahun 1802–1816, Kesultanan Aru dikuasai Kerajaan Pagaruyung dan menempatkan Baginda Sripaduha (Soripada), sebagai wali negeri Padang Lawas, dengan cap kepala sembilan dari Yang Dipertuan Raja Naro.

Dalam Kedaulatan Majapahit

Mpu Prapanca, seorang pujangga Kerajaan Majapahit menulis satu kitab yang berjudul Negarakertagama sekitar tahun 1365. Kitab tersebut ditulisnya dalam bentuk syair yang berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Mulyana (1979:9), Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, keberadaan kitab ini tidak diketahui. Setelah tahun 1894, satu Kitab Negarakertagama ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok. Kemudian pada Juli 1979 ditemukan lagi satu Kitab Negarakertagama di Amlapura, Lombok. Dalam Pupuh XIII Kitab Negarakertagama, nama Mandailing bersama nama banyak negeri di Sumatra dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit.

Dalam Kedaulatan Pagaruyung

Mandailing sebagaimana wilayah lain di Sumatra, kemudian diserahkan pihak Majapahit kepada Kerajaan Pagaruyung, di bawah pemerintahan Adityawarman dan keturunannya. Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa, disebutkan pada tahun 1347, Adityawarman memproklamirkan dirinya menjadi raja di Malayapura. Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman dan Dara Jingga, seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada, telah berperang menaklukkan Bali dan Palembang.

Inggris Mengklaim Utara Sumatra

Sultan Bagindo Martio Lelo bersama Jhon Abraham Moschel (Residen Nias) selaku pemegang kuasa dan bertindak atas nama Serikat Dagang Hindia Timur, melakukan perjanjian. Kalimat perjanjian tertanggal 7 Maret 1760 itu menyebutkan, Sutan Martia Lelo bersumpah berdasarkan Al Qur'an menyerahkan benteng Natal kepada Moschel.

Tahun 1785–1824, Inggris mendirikan pusat perdagangan di Tapian Nauli (Sibolga). Tahun 1821–1833, panglima Paderi Tuanku Lelo dijadikan calon sultan di Angkola oleh Inggris. Tahun 1823, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles membuat kebijakan untuk membentuk suku Kristen, yang berada di antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, yaitu di pedalaman Barus yang kala itu menjadi bawahan Kesultanan Aceh. Dalam Bahasa Belanda, kebijakan itu berbunyi, "Een wig te drijen tusschen het mohamedaansche Atjeh en het eveneens mohammadansche Sumatra's West Kust. Een wig in de vorm van de Bataklanden (Aceh yang Islam serta Minangkabau (Pantai Barat Sumatra) yang Islam, dipisah dengan blok Batak (Barus Tanah Kristen)."

Perintah ini meniru perintah Gubernur Jenderal Inggris di Calcutta, yang membentuk blok Karen yang Kristen, di antara Burma dan Siam yang beragama Buddha. Pelaksanaannya, tiga orang pendeta British Baptist Mission, yaitu Burton, Ward, dan Evans datang ke Kota Tapian Nauli, tempat Raffless beribu kota saat itu.

Tahun 1824, Inggris mengklaim Sumatra bagian utara merupakan wilayah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1834 melalui Traktat London, Sumatra bagian utara ditukar oleh Belanda dengan Kalimantan Utara (Sarawak dan Sabah). Kebijakan Raffles tentang suku Kristen (Batak) kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Cornelis Elout.

Masa Darul Islam Minangkabau

Pada awal abad ke-19, Mandailing masuk ke dalam Darul Islam Minangkabau. Negara Islam ini berdiri sejak masuknya ajaran Salafi yang dibawa oleh ulama Minangkabau dari Arab Saudi, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Dengan bantuan Tuanku Nan Renceh, ketiga haji itu mendirikan Darul Islam Minangkabau, dimana Tuanku Nan Renceh diangkat sebagai kepala negara. Setelah ia ditangkap belanda, pimpinan negara beralih ke Tuanku Imam Bonjol.

Di Mandailing, kehadiran Salafi mengganggu aliran Islam yang berkembang saat itu, yakni aliran Syiah dan Sunni mazhab Hanafi. Kejadian ini dimanfaatkan Belanda untuk mengadu domba sesama penganut Islam, hingga terjadilah perang saudara. Lebih lima tahun, perang berkecamuk di Mandailing hingga berakhir pada tahun 1838.

Pada tahun 1818–1820, Darul Islam Minangkabau berhasil menguasai Mandailing. Dan kepala federasi Mandailing Natal, Raja Gadumbang (Nasution), masuk Gerakan Paderi dan digelari Tuanku Mandailing. Kemudian pasukan Paderi terus melakukan penyerangan terhadap Belanda hingga menguasai Bakkara di Tapanuli Utara yang berada di bawah Kesultanan Aceh. Tahun 1820, terjadi perundingan antara Kesultanan Aceh dan Darul Islam Minangkabau, yang diwakili oleh Laksamana Tuanku Djudjang dan Tuanku Pemasiangan, untuk bekerja sama menyerang Belanda.

Masa Kolonial

Orang Eropa tiba di terminal Panyabungan tahun 1926, Koleksi Tropenmuseum.

Pemerintah Hindia Belanda mulai memasuki wilayah Mandailing Natal tahun 1824 dan membentuk pemerintahan dibawah Karesidenan Air Bangis bagian dari Gouvernment Sumatra's Westkust. Tahun 1834 ibu kota pemerintahan Mandailing pindah dan berada di bawah Karesidenan Tapanuli. Tahun 1852, Wilayah Mandailing Natal dibagi menjadi 2 Afdeling yaitu:

1.  Afdeling Mandailing terdiri dari Groot Mandailing, Klein Mandailing, Ulu dan Pakantan dan Batang Natal.

2.    Afdeling Natal terdiri dari Distrik Natal, Sinunukan, Partiloban, Kara-kara, Teloh Baleh, Tabuyung, Singkuang, Batu Mondan dan Batahan.

Masa Hindia Belanda

Kehancuran Darul Islam Minangkabau dimulai sejak tahun 1832, yakni dengan keberhasilan Belanda menawan kepala negara Darul Islam Minangkabau Tuanku Pemasiangan yang mati digantung di Fort Guguk Gantang. Tahun 1832, benteng Bonjol berhasil dihancurkan Belanda. Kolonel Elout menyebarkan isu, telah membeli seluruh alam Minangkabau untuk pemerintah Belanda dari Raja Alam Pagaruyung yang dikabarkan berada di Padang.

Tahun 1833, Belanda dan pemuka-pemuka adat Minangkabau mengadakan perjanjian Plakat Panjang, yang menyatakan Belanda tak mencampuri urusan adat di Minangkabau. Dalam peristiwa ini, Raja Gadombang (Lubis) juga membuat perjanjian dengan Belanda, untuk mengusir Gerakan Paderi dari wilayah Mandailing Natal. Ia kemudian dinobatkan sebagai Regen Mandailing Vour Her Leven (pemangku adat Mandailing seumur hidup). Pada tahun ini, Belanda hanya mengakui beberapa Raja Mandailing, yaitu Langgar Laut di Angkola, Baginda Raja di Maga, Sutan Parukunan di Singengu, Sutan Naparas di Tamiang, Sutan Mangkutur di Hutagodang, Sutan Naparas dan Sutan Guru di Pakantan, Patuan Gorga Tonga Hari Ulu (Yang Patuan di Lubuk Sikaping). Tetapi perjanjian ini dikhianati Belanda sendiri. Akibatnya Sutan Mangkutur, saudara dari Raja Gadombang dan Sutan Naparas dari Tamiang memberontak kepada pemerintah Belanda.

1.  Tahun 1834, dua perwira Paderi, yakni Ja Mandatar Lubis dan Kali Rancak Lubis, dibaptis oleh pendeta Verhouven menjadi Kristen Calvinis. American Baptist Mission mengirim tiga orang pendeta, yaitu Lyman, Munson, dan Ellys untuk ditempatkan di Pakantan, guna membantu pendeta Verhouven. Tahun 1834, Kolonel Elout berhasil menguasai Angkola tanpa perlawanan dari Inggris. Tahun 1838, Belanda membentuk Residen Air Bangis dalam Gouvernemen Sumatra’s Westkust.

2. Pada Tahun 1840, Panyabungan menjadi ibu kota Asisten Residen Mandailing Natal dalam Gubernemen Sumatra's Westkust. Tahun 1857, kawasan Mandailing, Angkola, dan Rao disatukan dalam Karesidenan Air Bangis.

3.  Tahun 1861, pendeta-pendeta Jerman menggantikan pendeta-pendeta Belanda di Sipirok, yaitu pendeta Van Asselt dan Klammer. Pada tahun 1863, Ludwig Ingwer Nommensen ditemani Ja Mandatar Lubis dan Kali Rancak Lubis, pindah dari Sipirok ke Silindung.

4. Tahun 1869, American Baptist Mission dan British Baptist Mission tidak mau mengongkosi pendeta di Pakantan, karena susah dikembangkan. Kemudian Tahun 1869–1918, pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina datang ke Pakantan. Mereka berhenti melakukan misi setelah Dinasti Romanov tumbang.

5.  Tahun 1873, Silindung dimasukkan ke dalam Residensi Air Bangis, setelah berhasil ditaklukkan Belanda. Kaum muslimin di Silindung diusir dan masjid di Tarutung dibongkar. Tahun 1881, daerah Batak Toba berhasil ditaklukkan Belanda, dan dilanjutkan dengan pengkristenan masyarakatnya. Hal ini membuat wali negeri Bakkara, Sisingamangaraja XII yang berada di bawah Kesultanan Aceh, melakukan perlawanan sengit dari tahun 1882–1884.

6. Tahun 1885, Karesidenan Mandailing Natal terbentuk dan beribu kota di Padangsidempuan. Tahun 1906, pusat pemerintahan Residen Mandailing Natal dipindahkan dari Padangsidempuan ke Sibolga, dan berubah menjadi Karesidenan Tapanuli, yang termasuk di dalamnya afdeeling Sibolga dan Bataklanden.

Masa Kemerdekaan

Pada tahun 1945, daerah Angkola-Sipirok dibentuk menjadi suatu kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati yang berkedudukan di Padangsidempuan. Daerah Padang Lawas dijadikan suatu kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati yang berkedudukan di Gunung Tua. Bupati pertamanya adalah Parlindungan Lubis dan kemudian Sutan Katimbung. Daerah Mandailing Natal dijadikan suatu kabupaten yang berkedudukan di Panyabungan. Bupati pertamanya adalah Junjungan Lubis dan kemudian Fachruddin Nasution.

Sesudah tentara Belanda memasuki Padangsidimpuan dan Gunung Tua, daerah administrasi pemerintahan masih tetap seperti biasa, hanya kantor bupati dipindahkan secara gerilya ke daerah yang aman yang belum dimasuki oleh Belanda.

Setelah RI menerima kedaulatan pada akhir tahun 1949, maka pembagian daerah administrasi pemerintahan mengalami perubahan kembali. Sejak awal tahun 1950, terbentuklah Kabupaten Tapanuli Selatan, dan seluruh pegawai yang ada pada kantor bupati Angkola-Sipirok, Padang Lawas, dan Mandailing Natal, diangkat menjadi pegawai kantor bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang berkedudukan di Padangsidempuan.

Pada tanggal 23 Nopember 1998, Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal (ibu kota Panyabungan) dan Kabupaten Tapanuli Selatan (ibu kota Padangsidempuan). Kini, wilayah etnis Mandailing telah dimekarkan menjadi satu kota (Padangsidempuan) dan tiga Kabupaten (Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas).

Pasca Kemerdekaan Indonesia

Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 23 November 1998.

Geografi

Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10'-1°50' Lintang Utara dan 98°10'-100°10' Bujur Timur dengan rentang ketinggian 0-2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal ±6.134,00 km2 atau 8,40 persen dari wilayah Sumatra Utara.[3]

Batas Wilayah

Hutan Lindung dan Taman Nasional Batang Gadis

Batas wilayah sebagai berikut:

Utara

Tapanuli Selatan

Timur

Padang Lawas

Selatan

Pasaman dan Pasaman Barat

Barat

Samudera Indonesia

Iklim

Suhu udara berkisar antara 23 °C–32 °C dengan kelembaban antara 80–85%.

Pemerintahan

Bupati dan Wakil

Daftar Bupati Mandailing Natal

Bupati Mandailing Natal adalah pemimpin tertinggi di lingkungan pemerintah Kabupaten Mandailing Natal. Bupati Mandailing Natal bertanggungjawab kepada gubernur provinsi Sumatra Utara. Saat ini, bupati atau kepala daerah yang menjabat di Kabupaten Mandailing Natal ialah Jafar Sukhairi Nasution, dengan wakil bupati Atika Azmi Utammi Nasution. Mereka menang pada Pemilihan umum Bupati Mandailing Natal 2020. Sukhairi merupakan bupati Mandailing Natal ke-4 setelah kabupaten ini didirikan tahun 1998. Sukhairi dan Atika dilantik oleh gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi, pada 22 Juli 2021 di Kota Medan, untuk masa jabatan 2021-2024.

Kecamatan

Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari 23 kecamatan, 27 kelurahan, dan 377 desa dengan luas wilayah mencapai 6.134,00 km² dan jumlah penduduk sekitar 480.911 jiwa (2017) dengan kepadatan penduduk 78 jiwa/km², antara lain;

1.        Batahan

2.        Batang Natal

3.        Bukit Malintang

4.        Huta Bargot

5.        Kotanopan

6.        Lembah Sorik Marapi

7.        Lingga Bayu

8.        Muara Batang Gadis

9.        Muara Sipongi

10.    Naga Juang

11.    Natal

12.    Pakantan

13.    Panyabungan Barat

14.    Panyabungan Kota

15.    Panyabungan Selatan

16.    Panyabungan Timur

17.    Panyabungan Utara

18.    Puncak Sorik Marapi

19.    Ranto Baek

20.    Siabu

21.    Sinunukan

22.    Tambangan

23.    Ulu Pungkut

Demografi

Suku

Penduduk wilayah Kabupaten Mandailing Natal didominasi oleh suku Mandailing yang secara bahasa, adat-istiadat, dan budaya merupakan bagian dari subsuku/puak/cabang etnis dari suku Batak. Suku Mandailing sering disebut sama dengan Angkola, meski sebenarnya keduanya masih berbeda, tetapi kebanyakan adalah sama, mulai dari bahasa yang sangat mirip, baju adat pernikahan, dan rumah adat. Demikian juga halnya dengan marga, orang Angkola dan Mandailing sering disebutkan sebagai marga yang sama. Masyarakat etnis Batak Mandailing di kabupaten ini kebanyakan bermarga Nasution, Lubis, Pulungan, Harahap, Siregar, Rangkuti, dan Daulay.

Kemudian diikuti oleh suku Minangkabau yang banyak bermukim di daerah-daerah pesisir sejak masa lalu yang keturunannya sekarang lebih dikenal sebagai suku Pesisir dan Suku Ulu, ada pula suku lain seperti Melayu, dan juga Nias. Masyarakat Minangkabau banyak dijumpai di sekitar wilayah pesisir seperti Natal, Kotanopan, Panyabungan, serta wilayah yang berbatasan dengan Sumatra Barat. Orang Minang di Madina terlihat dari tidak adanya nama marga seperti orang Mandailing dan Nias. Meski begitu, sebagian masih mengetahui nama suku Minang mereka yang mirip dengan di Sumatra Barat. Selain berdagang, masyarakat Minang juga banyak yang memiliki perkebunan dan pertambangan. Di Mandailing Julu banyak ditemukan bekas penambangan emas yang ditinggalkan oleh masyarakat Minang Agam, seperti di Huta Godang ada suatu tempat yang dinamakan garabak ni Agom.

Dari daerah Mandailing Natal ini banyak tampil tokoh-tokoh yang menghiasi sejarah Indonesia modern seperti Abdul Haris Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, Darmin Nasution, dsb. Selain itu juga ada etnis lainnya seperti Jawa, Sunda, dsb yang masuk belakangan.

Agama

Mayoritas penduduk kabupaten Mandailing Natal memeluk agama Islam, dan sebagian kecil beragama Kristen. Suku asli di kabupaten Mandailing Natal yakni suku Mandailing, umumnya memeluk agama Islam dan sebagian memeluk Protestan dan Katolik. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2021 mencatat bahwa pemeluk agama Islam sebanyak 95,93%, dan hampir merata di semua kecamatan. Sementara pemeluk agama Kekristenan sebanyak 4,07% dengan rincian Protestan 3,73% dan Katolik 0,34%.[3] Pemeluk agama Kristen kebanyakan berada di kecamatan Panyabungan Utara, Natal, Siabu, Naga Juang, Muara Batang Gadis dan Sinunukan

Sementara untuk jumlah rumah ibadah menurut jenis rumah ibadah pada tahun 2021 di Kabupaten Mandailing Natal adalah sebagai berikut:

1.    Masjid sebanyak 545 bangunan dan 662 musholah.

2.    Gereja Protestan sebanyak 62 bangunan

3.    Gereja Katolik sebanyak 4 bangunan

Infrastruktur

Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal, ditopang sarana prasarana ekonomi berupa:

1.  Tersedia tenaga listrik dengan kapasitas terpasang sebesar 60 MVA dan daya produksi 49.507.816 MWH

2.    Tersedianya sarana telekomunikasi berupa telepon kabel dengan kapasitas terpasang 4.872 SST, dan telepon seluler dari berbagai operator seperti Telkomsel, Indosat, XL, AXIS dan Flexi

3.   Sarana jalan sepanjang 2.110 km terdiri dari jalan negara 297,70 km, jalan provinsi 161,65 km dan jalan kabupaten 1.423,18 km

4.  Tersedia pelabuhan laut 1 (satu) buah yakni pelabuhan Sikara-Kara yang dapat dilabuhi kapal dalam negeri

5.   Tersedianya 9 buah bank, terdiri dari 4 buah bank Pemerintah dan 5 buah bank swasta, serta 1 buah kantor Pegadaian

6.  Tersedianya 30 pasar, terdiri dari 1 unit pasar kelas I di Panyabungan 1 unit pasar kelas II di Kotanopan dan 28 unit pasar kelas III tersebar pada 22 kecamatan. Dan sedang dibangun 1 unit pasar modern (Madina Square) di kota Panyabungan

Pendidikan

1.    Perguruan Tinggi Negeri

2.    Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN Mandailing Natal).

Ekonomi

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2007 sebesar Rp. 2.260.838.780.000 dengan pendapatan perkapita Rp. 5.464.263 dan tingkat pertumbuhan ekonomi 6,12 % per tahun.

Struktur perekonomian Kabupaten Mandailing Natal adalah (PDRB Harga Konstan 2000) tahun 2007:

1.    Pertanian: 45,42 %

2.    Pertambangan dan penggalian: 1,54 %

3.    Industri pengolahan: 3,53 %

4.    Listrik, gas dan air bersih: 0,32 %

5.    Bangunan: 10,05 %

6.    Perdagangan hotel dan restoran: 17,79%

7.    Pengangkutan dan komunikasi: 4,63 %

8.    Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan: 2,01 %

9.    Jasa-jasa: 14,67 %

Pariwisata

Tempat Wisata

Adapun tempat-tempat wisata di Mandailing Natal adalah:

1.        Pemandian Air Panas Balerang, Sibanggor Tonga, Puncak Sorik Marapi

2.        Pemandian Air Panas Purba Julu, Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal

3.        Pemandian Air Panas Hutaraja, Panyabungan Selatan

4.        Pemandian Air Panas Siabu

5.        Panorama Alam Sopotinjak, Batang Natal

6.        Pantai Batu Rusa, Maura Batang Gadis

7.        Pantai Sikara-kara

8.        Pantai Galon, Natal

9.        Air Terjun Hutanagodang, Kotanopan

10.    Air Terjun Tanobato, Panyabungan Selatan

11.    Pemandian Sungai Aek Pohon, Tebingtinggi, Panyabungan Timur

12.    Bagas Godang Ulu Pungkut

13.    Bagas Godang Panyabungan Tonga, Panyabungan Kota

14.    Bagas Godang Pidoli Dolok, Panyabungan Kota

15.    Bagas Godang Singengu, Kotanopan

16.    Danau Marambe, Sirambas, Panyabungan Barat

17.    Sampuraga, Sirambas, Panyabungan Barat

18.    Danau Siombun, Dalan Lidang Panyabungan Kota

19.    Bendungan Sungai Batang Gadis Aek Godang, Dalan Lidang, Panyabungan Kota

20.    Jembatan Haji Abdul Hakim Ritonga, jembatan terpanjang di Mandailing Natal

21.    Gunung Sorik Marapi

----- ooooo oOo ooooo -----

Sumber : Google Wikipedia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...