KABUPATEN SIMALUNGUN
PROVINSI SUMATERA UTARA
Orientasi
Simalungun (Surat Batak: ᯙᯫᯕᯟᯮᯝᯉᯮ᯳) adalah sebuah kabupaten di provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Kabupaten ini merupakan rumah bagi masyarakat Batak Simalungun. Pusat pemerintahan atau ibu kota dari kabupaten ini telah resmi berpindah ke kecamatan Raya pada tanggal 23 Juni 2008 dari Kota Pematangsiantar yang telah menjadi daerah otonom, setelah tertunda selama beberapa waktu. Pada tahun 2021, penduduk kabupaten Simalungun berdasarkan Kementerian Dalam Negeri 2021 berjumlah 1.038.120 jiwa, dengan kepadatan 237 jiwa/km².
Sejarah Simalungun
Published on: 24 Agustus 2016 | Author: Neo Simalungun Jaya
“Sejak Awal Abad ke-20, Nama ‘Simalungun’ Digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda”
oleh: Bapa Mansen Purba, SH
Sumber: Blog Budaya dan Sejarah Simalungun
(Makalah yang disampaikan pada Seminar Sejarah dan Eksistensi Simalungun yang diselenggarakan oleh HIMAPSI UNIMED tanggal 31 Mei 2008).
JUDUL makalah yang diminta dari saya adalah Sejarah Simalungun dan Pesannya Bagi Generasi Muda.
Judul tersebut menimbulkan dugaan, generasi muda Simalungun ingin mendiskusikan sejarah Simalungun. Mungkin didorong oleh keingin-tahuan yang sedang ditumbuh-kembangkan di kalangan mahasiswa. Mungkin juga karena ingin mendengar aneka versi sejarah Simalungun yang tampaknya memang masih ada beberapa versi. Atau mungkin juga hanya karena latah mau ikut-ikutan martarombo, yakni menelusuri silsilah marga dari penuturan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan di abad ke-20 baru-baru ini dituliskan dan dianggap sebagai sejarah walaupun tanpa menggunakan metode penelitian sejarah.
Sementara itu, judul tadipun masih perlu penjelasan apa yang dimaksud dengan ‘Simalungun’. Pada hakekatnya, ‘Simalungun’ adalah sebuah nama. Sejak awal abad ke-20, nama ‘Simalungun’ digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah pemerintahan bawahan dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur, yakni yang disebut Simeloengoen en Karolanden. Yang dimaksud dengan Simeloengoen (=Simalungun) adalah Kerajaan Siantar, Kerajaan Tanoh Jawa, Kerajaan Panei, Kerajaan Dolog Silou, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba dan Kerajaan Silimakuta, yang masing-masing menandatangani semacam perjanjian (dikenal sebagai Korte Verklaring, ‘Perjanjian Pendek’) dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1904 (dan diperbaharui tahun 1907).
Hampir bersamaan dengan pembentukan wilayah pemerintahanSimeloengoen en Karolanden tadi, nama ‘Simalungun’ digunakan sebagai nama suku bagi penduduk yang menghuni 7 Kerajaan-Kerajaan di Simeloengoenlanden tadi. Sebagai nama suku, sebutan ‘Simalungun’ digunakan untuk keseluruhan penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, walaupun sebutan ‘Simalungun’ jarang digunakan penduduk (dan pemerintahan) masing-masing Kerajaan, karena mereka tetap membedakan penduduknya dengan sebutan dalam bahasa Simalungun, yakni dengan menggunakan kata sin atau par, misalnya sin Raya, sini Panel, sini Purba, par Siantar.
Sejak masa itu pulalah nama Simalungun sering digunakan sebagai nama suku. 2) Tetapi tidak hanya untuk penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, tetapi semua penduduk Sumatera Utara yang mempunyai budaya yang sama dengan budaya penduduk yang ada di 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, yang tersebar di Deli Serdang (dan Bedagai), di Asahan, di Dairi, di Karo.
Bersamaan dengan digunakannya sebutan ‘Simalungun’ sebagai nama suku, sebutan yang digunakan sebelumnya, yakni ‘Batak Timur’, atau‘Timoerlanden’, semakin jarang digunakan.
Satu suku bangsa dibedakan dari suku bangsa lainnya karena adanya perbedaan budaya. Saya sering mengatakan kepada sesama Simalungun, budaya do palegankon Simalungun humbani suku bangsa na legan. Simalungun akan tetap ada dan eksis (walaupun populasinya tidak banyak) jika halak Simalungun mempertahankan budaya yang membedakannya dari suku bangsa lain. Sebaliknya, jika tidak mau lagi mempertahankan budaya yang membedakannya dengan suku lain, dan lebih suka ‘menyesuaikan’ diri dengan budaya suku lain, halak Simalungun akan menghilang dari muka bumi ini.
Dulu, penduduk halak Simalungun yang menundukkan diri ke budaya suku Melayu, diberi julukan domma salih gabe malayu. Baik karena memeluk agama Islam, atau karena pindah ke wilayah yang penduduknya halak Melayu, atau karena manundalhon arihan (yakni yang bermakna membelot dari Kerajaan yang ada di sukunya, untuk kemudian menundukkan diri kepada penguasa wilayah di luar Simalungun). Ada juga yang salih jadi Karo, biasanya karena tinggal di wilayah yang berpenduduk Karo.
Sebaliknya, halak Toba (dan
atau par Samosir) banyak yang salih jadi Simalungun. Konon,
menurut TBA Purba Tambak (almarhum), sejak awal berdirinya Harajaon Dolog
Silou, 3) sudah ada marga Simarmata dan marga Sipayung di Dolog Silou, dan
tidak ada marga Sinaga. Mereka itu sudah salih menjadi Simalungun.
Proses salih terjadi karena seseorang meninggalkan budaya asalnya dan
menjadikan budaya setempat menjadi budayanya.
Jadi, dalam pengertian budaya do
palegankon suku bangsa, Simalungun akan tetap eksis sebagai
salah satu suku bangsa di Indonesia (dan dunia) sepanjang masih ada yang
memelihara budayanya, yakni yang disebut budaya Simalungun, sepanjang masih ada
yang mau menjadi halak Simalungun (dalam arti berbudaya Simalungun).
Dengan demikian mudah-mudahan semakin jelas apa yang kita maksud dengan ‘Simalungun’ dalam konteks ‘Sejarah Simalungun’. Ternyata yang kita mau diskusikan bukan ‘Sejarah Kabupaten Simalungun’, bukan asal usul (tarombo) halak Simalungun, tetapi sejarah suku bangsa yang kini masih eksis sebagai salah satu suku bangsa yang mempunyai budaya yang berbeda dengan suku bangsa lainnya (walaupun ada persamaan), yang sejak awal abad ke-20 dinamakan suku Simalungun, dan budayanya disebut budaya Simalungun.
Seperti sudah dikemukan tadi, sejak awal abad ke-20 sebutan Simalungun semakin sering digunakan kepada satu suku bangsa yang tinggal di 7 Kerajaan di wilayah Simeloengoenlanden dan wilayah-wilayah sekitarnya (yang kemudian dimasukkan menjadi wilayah pemerintahan yang bertetangga dengan 7 Kerjaan tadi (yang kini menjadi Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tingi, Kabupaten Asahan, Kabupaten Tobasa, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo). Sebelumnya, lebih sering digunakan nama kewarga-negaraan penduduk, seperti sini Panei (untuk rakyat Kerajaan Panei), parSordang (sebutan untuk rakyat Kesultanan Serdang). Sementara ‘orang luar’ yang datang berkunjung atau meleliti ke wilayah yang dihuni halak Simalungun, lebih suka menggunakan sebutan Batak Timur, mungkin karena berdiam di wilayah sebelah Timur rumpun-suku Batak lainnya.
Di kalangan penulis halak Simalungun, masih banyak yang berpendapat bahwa sebelum Belanda melebarkan sayap penjajahannya ke wilayah berpenduduk Simalungun (dan menemukan fakta adanya 7 Kerajaan), terdapat 4 Kerajaan di Simalungun, yang disebut Raja Maroppat, yakni Silou, Panei, Siantar dan Tanoh Jawa. Bahkan ada yang yakin bahwa sebutan Raja Maroppat adalah konsep Simalungun. Sudah pernah saya kemukakan bahwa sebutan Raja Maroppat berasal dari konsep tuha peuet-nya Kesultanan Aceh saat meluaskan pengaruhnya ke kawasan Sumatera Timur. Namun pendapat tadi tidak berubah.
Ada pula yang berpendapat, sebelum ada Raja Maroppat, hanya ada satu Kerajaan, yakni Kerajaan Silou.
Tetapi dalam satu hal. sepertinya semuanya sepakat, yakni tadinya hanya satu Kerajaan, yakni Kerajaan Nagur. Jika kelak dapat diterima sebagai kebenaran sejarah bahwa rakyat Nagurlah yang mewariskan kebudayaan yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan kebudayaan Simalungun, maka hal itu berarti kebudayaan Simalungun sudah teruji di wilayah ini selama lebih kurang 14 abad, karena konon Nagur sudah tercantum dalam naskah Cina dari abad ke-6, masih eksis dan dicatat oleh Marco Polo (abad ke-13) dengan nama ‘Nagore’ atau ‘Nakur’, masih eksis pada saat Pinto mencatat (abad ke-16) bahwa Nagur meminta bantuan Portugis yang berkedudukan di Malaka karena mendapat serangan dari Aceh, dan bahwa Encyclopedi Ned. Indie mencatat Nagur dapat bertahan dari invasi Johor dan Siak. Ketika pada penghujung abad ke-19 Belanda menginjakkan kakinya ke wilayah yang dihuni penduduk pewaris kebudayaan rakyat Nagur tadi, masih ditemuinya kebudayaan yang sama di 7 Kerajaan yang di kemudian hari disebutnya sebagai kawasan Simeloengoen, bahkan sama dengan kebudayaan sebagian rakyat yang tersebar di sekeliling Simeloengoen.
Menjadi jelas kiranya, dengan memberikan judul ‘Sejarah Simalungun’ sebagai awal diskusi kita di seminar kali ini, penyelenggara seminar mencoba manarik minat kita untuk senantiasa bertanya mau dikemanakan Simalungun ini.
Mungkin pertanyaan itulah yang mengilhami penyelenggara seminar untuk menambahkan kata-kata ‘dan Pesannya Bagi Generasi Muda’, sehingga judul yang dimintakan kepada saya adalah Sejarah Simalungun dan Pesannya Bagi Generasi Muda. Sengaja saya menghindar dari memberikan pesan, karena pesan yang diselipkan pada penulisan sejarah akan bias dengan objektipitas yang dibutuhkan oleh sejarah.***
1) Banyak yang berpendapat bahwa Simalungun adalah sub suku atau sub etnik, yakni sub dari suku Batak. Namun saya makin meragukannya, karena tampaknya yang ada adalah suku Toba, suku Anggkola dan Mandailing, suku Karo, suku Simalungun, dan suku Pakpak (mudah-mudahan urutannya sesuai dengan populasi masing-masing suku). Berdasarkan adanya beberapa persamaan budayanya, peneliti mengelompokkan suku-suku tadi (termasuk Gayo?) menjadi rumpun suku yang disebut ‘Batak’. Yang berarti tidak ada suku Batak. Dengan demikian, Simalungun adalah salah satu suku dalam rumpun Batak.
2) Kerajaan Dolog Silou muncul menggantikan Kerajaan Silou yang terpecah dua. Menurut perhitungan beliau, terjadi pada pertengahan abad ke-17.
3) Prof. Dr. W.B. Sijabat mengakui “dari data-data yang telah terkumpul dapat kita ketahui bahwa system raja berempat ini ialah hasil pengaruh system pemerintahan di Aceh yang diterapkan di Sumatera Utara”. Lihat Rondahaim, sebuah kisah kepahlawanan menentang penjajahan di Simalungun, Bina Budaya Simalungun; Medan – 1993; hal. 48
Geografi
Kabupaten ini memiliki 32 kecamatan dengan luas 438.660 ha atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatra Utara. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Hatonduhan dengan luas 33.626 ha, sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi dengan luas 3.897 ha. Keseluruhan kecamatan terdiri dari 386 desa/nagori dan 27 kelurahan (2021).
Kota Pematangsiantar merupakan enklave dari kabupaten ini.
Batas wilayah
Utara |
|
Timur |
|
Selatan |
|
Barat |
Pemerintahan
Bupati dan Wakil Bupati
Bupati Simalungun adalah pemimpin tertinggi di lingkungan pemerintah Kabupaten Simalungun. Bupati Simalungun bertanggungjawab kepada gubernur provinsi Sumatra Utara. Saat ini, bupati atau kepala daerah yang menjabat di Kabupaten Simalungun ialah Radiapoh Hasiholan Sinaga, dengan wakil bupati Zonny Waldi. Mereka menang pada Pemilihan umum Bupati Simalungun 2020, untuk periode tahun 2021-2024. Mereka dilantik oleh gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, pada 26 April 2021 di Kota Medan.
Kabupaten Simalungun terdiri dari 32 kecamatan, 27 kelurahan, dan 386 desa dengan luas wilayah mencapai 4.369,00 km² dan jumlah penduduk sekitar 1.025.527 jiwa (2017) dengan kepadatan penduduk 235 jiwa/km².
Kabupaten Simalungun terdiri dari 32 kecamatan yaitu:
1. Bandar
9. Dolok Silau
11. Gunung Malela
12. Gunung Maligas
14. Hatonduhan
15. Huta Bayu Raja
17. Jorlang Hataran
18. Panei
19. Panombeian Panei
20. Pematang Bandar
23. Purba
24. Raya
25. Raya Kahean
26. Siantar
27. Sidamanik
28. Silau Kahean
29. Silimakuta
30. Tanah Jawa
31. Tapian Dolok
32. Ujung Padang
Arti Lambang Kabupaten Simalungun
1. Lambang berbentuk perisai terbagi lima petak dengan dasar lambang hijau lahan.
2. Bagian atas lambang digambarkan hiou Suri-suri dengan warna hitam yang bersuat (bersifat) putih dan pada hiou Suri-suri tertulis nama "Simalungun" dengan warna putih.
3. Pada petak tengah dengan latar belakang warna kuning emas terdapat gambar rumah balai adat dengan susunan galang 10, 7 anak tangga, jerjak 8 sebelah, tiang 4, sudut atap lima, dan pada rabung atas terdapat gambar kepala kerbau dengan warna atap hitam dan galang warna putih.
4. Pada petak kiri atas dengan latar belakang warna merah darah terdapat gambar daun teh sebanyak 8 helai berwarna hijau.
5. Pada petak kanan atas dengan latar belakang warna putih terdapat gambar Bukit Barisan berpuncak dan dua buah puncak di tengah lebih tinggi daripada di sampingnya berwarna biru dan sebelah bawah gelombang danau empat baris berwarna biru muda.
6. Pada petak kiri bawah dengan latar belakang warna putih terdapat gambar setangkai padi dengan jumlah padi 17 butir berwarna kuning emas.
7. Pada petak kanan bawah dengan latar belakang warna merah darah terdapat gambar bunga kapas 5 kuntum berwarna putih dan kelopak bunga berwarna hijau.
8. Garis batas-batas petak dengan warna hitam dan sebelah luar perisai tepi hiou Suri-suri ditambah dengan garis putih.
9. Pita sebelah bawah perisai berwarna putih dengan tepi berwarna hitam. Di pita tersebut tertulis semboyan lambang, yaitu "HABONARON DO BONA", kata dalam bahasa Simalungun yang berarti kebenaran itu adalah pokok.
Makna gambar-gambar pada lambang:
1. Lambang berbentuk perisai menggambarkan kekuatan dan pertahanan membela kepentingan daerah dan negara.
2. Bilangan-bilangan pada bagian-bagian lambang adalah simbol yang menggambarkan kesetiaan kepada Negara Republik Indonesia.
3. Padi dan Kapas adalah kebutuhan pokok untuk mencapai kemakmuran dan keadilan.
4. Daun teh adalah hasil utama dari Daerah Simalungun.
5. Gunung dan danau menggambarkan keindahan alamnya.
6. Gelombang danau menggambarkan dinamika masyarakat.
7. Rumah Balai adalah spesifik daerah yang menggambarkan adat, kebudayaan, dan kesenian daerah.
Penduduk
Suku
Tidak ada data resmi mengenai besaran jumlah etnis atau suku yang ada di kabupaten Simalungun. Namun kabupaten ini merupakan kawasan yang mayoritas dihuni oleh masyarakat suku asli Batak Simalungun. Selain suku Simalungun, wilayah ini juga dihuni oleh beberapa suku lainnya yang tergolong sebagai rumpun suku Batak yaitu: Toba, Karo, Mandailing, Angkola, dan Pakpak. Selain dihuni oleh masyarakat rumpun suku Batak, wilayah ini juga dihuni oleh masyarakat suku pendatang seperti suku Jawa yang merupakan suku pendatang terbanyak di kabupaten Simalungun dengan jumlah populasi serta persentase yang cukup signifikan dan tidak berbeda jauh dengan jumlah populasi/persentase suku Batak. Ada pula suku pendatang lainnya, suku-suku tersebut ialah: Minangkabau, Aceh, Tionghoa, Melayu, Nias, Sunda, dan lainnya.
Agama
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri 2022 menunjukkan bahwa agama mayoritas penduduk kabupaten Simalungun adalah Islam Sunni yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk yang mencakup 56,77% dari total jumlah penduduk. Banyak diantaranya tinggal jauh dari Danau Toba dan mayoritas berada di bagian timur Kabupaten Simalungun. Umumnya dianut oleh suku Jawa, Mandailing, Angkola, Minangkabau, Aceh, Melayu, dan Sunda, serta sebagian suku Simalungun, Toba, dan Karo.
Kekristenan (Protestanisme & Katolik Roma) dengan persentase 42,93%. Rinciannya adalah Protestan 37,29% dan Katolik 5,64%. Baik Kristen Protestan dan Katolik umumnya dianut oleh masyarakat Batak Simalungun, Toba, Karo, dan juga oleh Suku Nias. Mereka umumnya merupakan penduduk yang tinggal dekat kawasan Danau Toba. Buddhisme 0,22% & Konfusianisme 0,02% umumnya dianut oleh masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di kabupaten Simalungun.
Hinduisme 0,05% umumnya dianut oleh masyarakat keturunan Tamil-India.
Selain agama-agama diatas ada pula yang menganut agama lainnya. Agama tersebut ialah agama kepercayaan nenek moyang/leluhur (agama tradisional) yang didalamnya terdapat unsur-unsur mistis/mistik serta unsur animisme dan dinamisme. Ajaran agama ini tersisa hanya 0,01% dari keseluruhan penduduk umumnya dianut oleh kalangan dari suku Batak (terutama Toba). Agama ini biasa disebut oleh penganutnya sebagai Agama Malim/Ugamo Malim/Ajaran Malim atau dengan istilah umum sebagai Parmalim.
Ekonomi
Potensi ekonomi Kabupaten Simalungun sebagian besar terletak pada produksi pertaniannya. Produksi lainnya adalah hasil industri pengolahan dan jasa.
Pertanian dan Perkebunan
Selama tahun 2020, Kabupaten Simalungun menghasilkan antara lain 336.332 ton padi, 234.977 ton jagung, dan 213.319 ton ubi kayu yang menjadikan Kabupaten Simalungun sebagai penghasil padi, jagung, dan ubi kayu terbesar di Sumatra Utara. Produksi tanaman pangan lainnya yang cukup besar dari kabupaten ini adalah kedelai, kacang tanah, dan ubi jalar. Tanaman perkebunan rakyat yang memberikan kontribusi sebesar 25,41% terhadap PDRB Simalungun antara lain karet, kelapa sawit, kopi, teh, aren, vanili, kelapa, cokelat, cengkih, kulit manis, kemiri, lada, dan pinang.
Industri
Simalungun adalah salah satu lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia yang dikenal dengan nama Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei. KEK ini difokuskan untuk industri kelapa sawit dan disambungkan ke Pelabuhan Internasional Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara. Beberapa perusahaan yang ada di KEK ini antara lain PT Unilever Oleochemical, PT Industri Nabati Lestari, dan PT Aice Sumatra Industri.
Transportasi
Darat
Kabupaten Simalungun menjadi kawasan Transit dan terletak di Jalan Raya Medan-Pematangsiantar yang merupakan bagian dari Jalan Lintas Tengah Sumatra. Ibukota Kabupaten di Raya juga merupakan titik temu antara lingkar Danau toba dan Kota Pematangsiantar menuju Berastagi maupun sebaliknya. Jalan Tol Tebingtinggi-Danau Toba juga menjadi prioritas pemerintah dalam promosi pariwisata Danau Toba.
Pariwisata
Kabupaten Simalungun memiliki 57 titik lokasi objek wisata, terdiri atas 30 lokasi wisata alam, 14 lokasi wisata agro, 4 lokasi wisata budaya, dan selebihnya adalah lokasi wisata rekreasi lainnya. Kecamatan Girsang Sipangan Bolon merupakan kecamatan yang memiliki objek wisata terbanyak. Dan di kecamatan itu pula terdapat objek wisata yang paling diandalkan, yaitu Danau Toba yang bisa dinikmati dari Parapat, berjarak tempuh 172 km dari Medan atau 74 km dari Raya.
Pada tahun 2020, industri pariwisata Simalungun bertumpu pada 11 hotel bintang dan 78 hotel melati. Jumlah hotel bintang tersebut adalah yang terbanyak kedua di Sumatra Utara setelah Kota Medan.
----- ooooo oOo ooooo -----
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar