KABUPATEN TAPANULI SELATAN
PROVINSI SUMATERA UTARA
Orientasi
Tapanuli Selatan (surat Batak: ᯗᯇᯉᯮᯞᯪ ᯚᯩᯞᯖᯊ᯲) adalah sebuah kabupaten yang berada di provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Ibu kotanya ialah Sipirok. Kabupaten ini awalnya merupakan kabupaten yang cukup luas dan beribukota di Padang Sidempuan. Daerah-daerah yang telah berpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan adalah Kabupaten Mandailing Natal, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Padang Lawas. Setelah pemekaran, ibu kota kabupaten ini pindah ke kecamatan Sipirok. Jumlah penduduk Tapanuli Selatan pada tahun 2021 berjumlah 314.887 jiwa (2021).
Di kabupaten ini terdapat objek wisata Danau Marsabut dan Danau Siais. Bahasa yang digunakan masyarakatnya adalah bahasa Batak Angkola. Agama mayoritas penduduknya adalah Islam. Motto daerah kabupaten ini adalah Sahata saoloan (Bahasa Angkola) yang artinya "Seiya sekata".
Geografi
Letak
Di sebelah utara, kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Di bagian timur, berbatasan dengan kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, sebelah barat dan selatan berbatasan dengan kabupaten Mandailing Natal, dan tepat di tengah wilayahnya, terdapat kota Padang Sidempuan yang seluruhnya dikelilingi oleh kabupaten ini.
Topografi
Secara garis besar, kabupaten ini dilintasi oleh pegunungan Bukit Barisan, sehingga diseluruh penampakannya pasti terlihat bukit di mana-mana. Kabupaten ini masih memiliki daerah reservasi air di kawasan hutan Batang Toru yang masih kaya akan flora dan fauna yang sudah langka seperti kancil, rusa, kelinci, harimau, kucing hutan, tapir, anggrek hutan dan lain-lain. Dan sekarang sudah diusulkan menjadi kawasan Hutan Lindung. Karena sudah sangat rawan dengan perambahan hutan yang mengancam kehidupan yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Terdapat beberapa bukit dan gunung yang terkenal, antara lain Gunung Lubuk raya, Gunung Sibual-buali (masih aktif, dan memiliki geyser dan sumber air panas yang di tampung di dua kolam pemandian umum di daerah Sipirok, bukit (tor) Simago-mago, dan lain-lain.
Pemerintahan
Bupati dan Wakil Tapanuli Selatan
Bupati Tapanuli Selatan adalah pemimpin tertinggi di lingkungan pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan. Bupati Tapanuli Selatan bertanggungjawab kepada Gubernur provinsi Sumatra Utara. Saat ini, bupati atau kepala daerah yang menjabat di Tapanuli Selatan ialah Dolly Putra Parlindungan Pasaribu, dengan wakil bupati Rasyid Assaf Dongoran. Mereka menang pada Pemilihan umum Bupati Tapanuli Selatan 2020. Dolly Pasaribu merupakan bupati ke-21 setelah kemerdekaan, dilantik pada 25 Februari 2021 di Kota Medan.
Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 15 kecamatan, dengan kecamatan yang baru dimekarkan tahun 2017 yakni kecamatan Angkola Muara Tais. Adapun 15 kecamatan di kabupaten Tapanuli Selatan yaitu:
1. Aek Bilah
7. Arse
9. Batang Toru
10. Marancar
13. Sayur Matinggi
14. Sipirok
Demografi
Suku
Penduduk asli di Tapanuli Selatan adalah suku Batak Angkola, yang masih dekat dengan suku Batak Toba. Selain suku Batak Angkola, ada juga suku lainnya, umumnya adalah Batak Toba dan Mandailing. Meskipun sering disamakan, namun suku Angkola dan Mandailing adalah suku yang berbeda. Suku Batak Angkola sendiri mengenal paham kekerabatan patrilineal, sehingga orang Batak Angkola mengenal marga. Marga-marga orang Batak Angkola antara lain Siregar, Harahap, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, Pane, Lubis, Nasution, Hutasuhut, dan lainnya. Orang Batak Angkola juga mengenal pelarangan kawin antar semarga.
Rumah adat masyarakat Batak Angkola disebut Bagas Godang, yang masih mirip dengan Rumah Bolon dalam suku Batak Toba, namun arti keduanya secara harafiah sama yakni Rumah Besar. Bagas Godang berbentuk rumah panggung dan didominasi warna hitam, dengan atap memakai ijuk, dan dinding yang terbuat dari papan. Jika Jabu Bolon banyak ditambahi ornamen kepala Kerbau, sementara untuk Bagas Godang tidak demikian.
Bahasa
Bahasa yang digunakan masyarakat Tapanuli Selatan selain bahasa resmi nasional bahasa Indonesia adalah bahasa Batak Angkola. Bahasa Batak Angkola digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam acara adat. Bahasa Angkola sedikit lebih lembut dibanding bahasa Batak Toba. Namun, orang Batak Angkola lebih mudah mengerti bahasa Batak Toba dan Mandailing, dibanding bahasa suku sub Batak lainnya, yakni Simalungun, Karo dan Pakpak.
Dalam buku penelitian tahun 1997, berjudul "Fonologi Bahasa Angkola" yang disusun oleh Tumpal H. Dongoran, dkk, menyebutkan bahwa cerita turun temurun, orang Batak Angkola dahulu berasal dari kawasan Toba. Karena hal itu, banyak kesamaan yang lebih mencolok antara orang Batak Angkola dengan Batak Toba dan Mandailing. Kesamaan itu juga termasuk dalam bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama
Jumlah penduduk kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2021 berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri catatan kependudukan dan sipil, yakni 314.887 jiwa, dengan kepadatan 52 jiwa/km. Sementara agama yang dianut, yakni Islam dan Kristen. Adapun persentasi penduduk Tapanuli Selatan menurut agama yang dianut yakni Islam 78,99%, kemudian Kristen 21,00%, di mana Protestan 19,68% dan Katolik 1,32%, dan sebagian kecil beragama Budha yakni 0,01%.
Pemeluk agama Islam menyebar dan mayoritas hampir di semua kecamatan. Sementara Kristen menjadi mayoritas di kecamatan Tano Tombangan Angkola atau sering disingkat Tantom, dan di kecamatan Angkola Sangkunur. Dan cukup signifikan di kecamatan Angkola Selatan, dan Batang Toru.
Pariwisata
Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki beberapa objek wisata, antara lain Danau Buatan Cekdam di daerah Pargarutan), Danau Siasis, Danau Marsabut, Pemandian Aek Parsariran (di daerah Batang Toru), Pemandian Aek Sijorni, bukit (tor) Simago-mago (Sipirok). Ada juga Istana Adat di Muara Tais, wisata kerajinan tenun kain ulos tradisional dan panorama alam dengan suhu sejuk di daerah Sipirok.
Ekonomi
Secara umum, mata pencaharian masyarakat di kabupaten Tapanuli Selatan adalah sebagai petani dan berkebun. Hasil pertanian yang terkenal adalah kopi, padi, salak, karet, kakao, kelapa, kulit manis, kemiri, cabe, bawang merah, bawang daun, dan sayur-sayuran.
Pemekaran
Sejak 10 Agustus 2007, jumlah kecamatan di kabupaten Tapanuli Selatan berkurang dengan adanya pemekaran dari kabupaten ini, yaitu melalui pembentukan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara.
Kabupaten Padang Lawas
Kecamatan yang masuk ke wilayah Kabupaten Padang Lawas, yakni;
1. Barumun
4. Huristak
7. Sosa
8. Sosopan
9. Ulu Barumun
10. Kabupaten Padang Lawas Utara
Kecamatan yang masuk ke wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara yakni;
1. Batang Onang
2. Dolok
4. Halongonan
5. Padang Bolak
7. Portibi
8. Simangambat
Daftar marga Suku Batak
Suku Batak merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk berbagai kelompok etnis yang memiliki keterkaitan bahasa, budaya, dan marga di Sumatera Utara. Suku Batak terdiri dari 6 kelompok etnis yaitu: Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Batak Toba. Setiap kelompok etnis memiliki marga yang diwariskan kepada setiap keturunannya. Terdapat beberapa marga menyebar dalam konteks budaya etnis yang berbeda.
Suku Batak
Suku Batak merupakan salah satu kelompok etnik terbesar di Indonesia, berdasarkan sensus dari Badan Pusat Satistik pada tahun 2010. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Toba. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Utara.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tradisional, yakni ugamo Malim dan juga kepercayaan animisme.
Sejarah Kabupaten Tapanuli Selatan
Pada jaman Belanda, Tapanuli Selatan disebut AFDEELING Padangsidimpuan yang dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padang Sidimpuan dan dibagi atas tiga onder afdeeeling,masing-masing dikepalai oleh Contreleur di bantu oleh masing-masing Demang, yaitu:
Onder afdeeling Angkola dan Sipirok berkedudukan di Padang Sidimpuan. Onder ini dibagi atas tiga Onder Distrik masing-masing dikepalai oleh seorang Asisten Demang, yaitu:
1. Distrik Angkola, berkedudukan di padang sidempuan.
2. Distrik Batang Toru, berkedudukan di Batang Toru.
3. Distrik Sipirok, berkedudukan di Sipirok.
Onder Afdeeling Padang Lawas, berkedudukan di Sibuhuan. Onder ini di bagi atas tiga onder distrik, masing masing di kepalai oleh seorang Asisten Demang, yaitu:
1. Distrik Padang Bolak, berkedudukan di Gunung Tua
2. Distrik Barumun dan Sosa, berkedudukan di Sibuhuan
3. Distri Dolok, berkedudukan di Sipiongot.
Onder Afdeeling Mandailing dan Natal,berkedudukan di Kotanopan. Onder ini dibagi atas lima onder distrik,masing-masing dikepalai oleh seorang Asisten Demang, yaitu:
1. Distrik Panyabungan, berkedudukan di Panyabungan.
2. Distrik Kotanopan, berkedudukan di Kotanopan.
3. Distrik Muara Sipongi,berkedudukan di Muara Sipongi.
4. Distrik Natal berkedudukan di Natal.
5. Distrik Batang Natal berkedudukan di Muara Soma.
Tiap-tiap onder distrik dibagi atas beberapa Luhat yang dikepalai oleh seorang kepala Luhat (Kepala Kuria) dan tiap-tiap luhat dibagi atas beberapa kampung yan di kepalai oleh seorang Kepala Hoofd dan dibantu oleh seorang Kepala Rifo apabila kampung tersebut mempunyai penduduk yang besar jumlahnya. seiring perkembangan pembangunan pasca Republik Indinesia menerima kedaulatan pada akhir jaman 1949, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang Darurat Republik Indonesia No 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatra Utara. Undang-undang tersebut menjadi dasar pembentukan Kabupaten Tapanuli Selatan denagan Batas-batas yang meliputi wilayah afdeeling Padangdidimpuan dulu (Staatsblad 1937 No 563) dan Pemerintah Daerahnya berkedudukan di Padangsidimpuan dan bupati Tapanuli Selatan di pegang oleh Raja Junjungan Lubis.
Sejak 30 Nopember 1982, wilayah Padangsidimpuan dimerdekakan jadi Kecamatan PSP. Utara Psp. Selata dimana Kecamatan Psp. Utara dan Psp. Selatan di bentuk menjadi kota Administratif Padangsidimpuan (PP No 32 Tahun 1982).
Pada tahun 1992 Kecamatan Natal di mekarkan menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan natal Dengan Ibukota Natal, Kecamatan Muara Batang Gadis dengan ibu kotanya Singkuang, dan Kecamatan Batahan dengan Ibu Kotanya Batahan. Juga dibentuk Kecamatan Siais dengan Ibukotanya Simarpinggan yang berasal dari sebagian kecamatan Psp. Barat. Kemudian pada tahun 1996 sesuai dengan PP.RI.No 1 Tahun 1996 Tanggal 3 Januari di bentuk Kecamatan Halongonan Dengan Ibukotanya Hutaimbaru, yang merupakan pemekaran dari kecamatan Padang Bolak.
Dengan terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 23 Nopember 1998 tentang pembentukan Kabupaten Mandailing Natal maka kabupaten Tapanuli Selatan di mekarkan menjadi dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal (Ibukotanya panyabungan) dengan jumlah daerah administrasi 8 Kecamatan dan Kabupaten Tapanuli Selatan (Ibukotanya Padangsidimpuan) dengan jumlah daerah administrasi 16 Kecamatan Sejarah perkembangan Tapanuli Selatan Berlanjut dengan terbitnya Undang-undang tahun 2001 tentang pembentukan Kota Padangsidimpuan, serta Undang-undang No 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tapanuli Selatan. Selanjutnya sesuai dengan Perda Kabupaten Tapanuli Selatan No 12 Tahun 2007 di bentuk kecamatan Muara Batang Toru yang wilayahnya sebagian berasal dari Kecamatan Batangtoru dan Kecamatan Angkola Barat.
Pada tahun yang sama yaitu Perda No 13 Tahun 2007 telah terjadi perubahan nama Kecamatan Padangsidimpuan timur Menjadi Angkola Timur, Padang sidimpuan Barat menjadi Angkola Barat dan Kecamatan Siais menjadi Angkola Selatan. Dan sesuai Perda NO 5 Tahun 2010 tentang pembentukan Kecamatan Tantom Angkola dan Angkola Sangkunur maka secara Administrasi, Wilayah Kabupaten Tapanuli aselatan Terdiri Dari 14 (empat belas) kecamatan, duaratus 12 Desa dan 26 kelurahan.
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatra Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).[2] Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang bernama Barus, yang terletak di pesisir barat Sumatra Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatra. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatra Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Hingga saat ini, teori-teori masih diperdebatkan tentang asal usul dari Bangsa Batak. Mulai dari Pulau Formosa (Taiwan), Indochina, Mongolia, Mizoram dan yang paling kontroversial Sepuluh Suku yang Hilang dari Israel.
Identitas Batak
Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah di dirikan dan tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun, Pakpak di organisasi yang di namakan Jong Batak tahun 1926, tanpa membedakan Agama dalam satu kesepahaman: Bahasa Batak kita begitu kaya akan Puisi, Pepatah dan Pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri, Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, Aksara sendiri, Seni Bangunan yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita mempunyai nenek moyang yang perkasa, Sistem marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara yang bijak, kita berhak mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan kita dan melindungi budaya kuno itu.
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.
Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo.
Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang dari Suku Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatra akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Sebaran di wilayah Indonesia
Orang Batak kebanyakan berada di Sumatra Utara, dan sebagai suku asli di provinsi tersebut. Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah penduduk Indonesia dari suku Batak sebanyak 8.446.969 jiwa, atau 3,58% dari seluruh penduduk Indonesia, dan berada di urutan ke tiga, setelah suku Jawa dan Sunda. Suku Batak mencakup semua subsuku, yakni Toba, Karo, Angkola, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan Tapanuli. Berikut ini jumlah orang Batak di Indonesia menurut provinsi berdasarkan Sensus 2010:
No |
Provinsi |
Jumlah 2010 |
% |
1 |
5.785.716 |
68,49% |
|
2 |
691.399 |
8,19% |
|
3 |
467.438 |
5,53% |
|
4 |
326.645 |
3,87% |
|
5 |
222.549 |
2,63% |
|
6 |
208.678 |
2,47% |
|
7 |
147.295 |
1,74% |
|
8 |
139.259 |
1,65% |
|
9 |
106.249 |
1,26% |
|
10 |
56.339 |
0,67% |
|
11 |
52.311 |
0,62% |
|
12 |
45.709 |
0,54% |
|
13 |
37.145 |
0,44% |
|
14 |
32.972 |
0,39% |
|
15 |
Provinsi lain |
127.265 |
1,51% |
8.446.969 |
100% |
Catatan:* Data di Kalimantan Timur masih bergabung dengan Kalimantan Utara.
Agama
Kepercayaan
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen dan Islam, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi terhadap Mula Jadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
1. Tondi: adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
2. Sahala: adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
3. Begu: adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, tetapi orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
Penyebaran agama
Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatra Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[4] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Kerajaan Aceh di utara, juga berperan dalam mengislamkan sebagian masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatra Timur
Sejarah masuknya Kekristenan ke suku Batak
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[12] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Berikutnya, Misi Katolik di tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM. Cap., masuk ke jantung tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934. Masyarakat Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan sebagian Angkola menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
Gereja Katolik di Tanah Batak
Misi Katolik masuk ke tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah misi Katolik masuk ke tanah Batak.
Salam khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Beberapa salam yang biasa dituturkan oleh tiap puak adalah:
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!” atau "Horas Tondi Matogu, Pir Ma Tondi Madingin!"
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang sering kali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak :
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
6. Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatra dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, tetapi dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò Da Conti (1395–1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414–1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan jeruk nipis harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan tampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.
Menurut Franz Wilhelm Junghuhn, dalam bukunya yang berjudul Die Battaländer auf Sumatra, kemungkinan ritual kanibalisme suku Batak hanyalah kabar angin yang ingin menakuti Belanda agar tidak berani memasuki tanah Batak.
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Aksara Batak
Artikel utama: Surat Batak
Aksara dasar (ina ni surat) dalam tulisan bahasa Batak merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 19 aksara dasar yang dimiliki semua varian aksara Batak, sementara beberapa aksara dasar yang hanya digunakan pada varian tertentu. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:
Ina ni Surat |
|||||||||||||||||||||||
a |
ha |
ka |
ba |
pa |
na |
wa |
ga |
ja |
da |
ra |
ma |
ta |
sa |
ya |
nga |
la |
nya |
ca |
nda |
mba |
i |
u |
|
Karo |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Angkola |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||||
Pakpak |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
Simalungun |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
Toba |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.
Aksara i (ᯤ) dan u (ᯥ) hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a (ᯀ atau ᯁ) bersama diaktirik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯉᯪ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯔᯮ᯲ᯇᯔ.
Kalender Batak
Nama bulan
No |
Penanggalan (Toba) |
Penanggalan (Karo) |
Lama Hari |
1 |
Sipaha sada |
Paka sada (Kambing) |
30 |
2 |
Sipaha dua |
Paka dua (Lembu) |
29 |
3 |
Sipaha tolu |
Paka telu (Gaya) |
30 |
4 |
Sipaha opat |
Paka empat (Padek) |
29 |
5 |
Sipaha lima |
Paka lima (Arimo) |
30 |
6 |
Sipaha onom |
Paka enem (Kuliki) |
29 |
7 |
Sipaha pitu |
Paka pitu (Kayu) |
30 |
8 |
Sipaha ualu |
Paka waluh (Tambok) |
29/30 |
9 |
Sipaha sia |
Paka siwah (Gayo) |
29/30 |
10 |
Sipaha sampulu |
Paka sepuluh (Baluat) |
29 |
11 |
Sipaha li |
Paka sepuluh sada (Batu) |
30 |
12 |
Sipaha hurung |
Paka sepuluh dua (Binurung) |
29 |
13 |
Lamadu |
(30) |
|
Total |
353–355/(383–384) |
Penanggalan
Hari |
Penamaan hari (Toba) |
Penamaan hari (Karo) |
Penamaan hari (Simalungun) |
1 |
Aditia |
Aditia |
Aditia |
2 |
Suma |
Suma |
Suma |
3 |
Anggara |
Nggara |
Anggara |
4 |
Muda |
Budaha |
Mudaha |
5 |
Boraspati |
Beraspati |
Boraspati |
6 |
Singkora |
Cukra Enem Berngi |
Sihora |
7 |
Samisara |
Belah Naik |
Samisari |
8 |
Artia ni Aek |
Aditia Naik |
Aditia Turun |
9 |
Suma ni Mangadop |
Suma Siwah |
Suma ni Siah |
10 |
Anggara Sampulu |
Nggara Sepuluh |
Anggara ni Sapuluh |
11 |
Muda ni Mangadop |
Budaha Ngadep |
Mudaha ni Mangadop |
12 |
Boraspati ni Mangadop |
Beraspati Tangkep |
Boraspati ni Takkop |
13 |
Singkora ni Purnama |
Cukra Dudu (Lau) |
Sihora Duduk (Bah) |
14 |
Samisuru ni Purasa |
Belah Purnama Raya |
Samisara Purnama Raya |
15 |
Tula |
Tula |
Tula |
16 |
Suma ni Holom |
Suma Cepik |
Suma ni Holom |
17 |
Anggara ni Holom |
Nggara Enggo Tula |
Anggara ni Tula |
18 |
Muda ni Holom |
Budaha Gok |
Mudaha (Gok) |
19 |
Boraspati ni Holom |
Beraspati 19 |
Boraspati 19 |
20 |
Singkora Maraturun |
Cukra Si 20 |
Sihorasi 20 |
21 |
Samisara Maraturun |
Belah Turun |
Samisara Maraturun |
22 |
Aditia ni Angga |
Aditia Turun |
Aditia Turun |
23 |
Suma ni Mate |
Sumana Mate |
Suma ni Mate |
24 |
Anggara ni Begu |
Nggara Simbelin |
Anggarana (Bod) |
25 |
Muda ni Mate |
Budaha Medem |
Mudaha (Bod) |
26 |
Boraspati ni Gok |
Beraspati Medem |
Boraspati (Bod) |
27 |
Singkora Dudu |
Cukrana Mate |
Sihora 27 |
28 |
Samisara Bulan Mate |
Mate Bulan |
Matei ni Bulan |
29 |
Hurung |
Dalin Bulan |
Dalan ni Bulan |
30 |
Ringkar |
Sami Sara |
Rikkar |
Kontroversi
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing sempat tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Meski mayoritas masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak, wacana identitas itu sempat muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang primitif dan miskin oleh etnik lain masa Orde Baru. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak.
Di pesisir timur laut Sumatra, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam kasus syarikat Tapanuli (1919-1922), kasus pekuburan Sungai Mati (1922), dan kasus pembentukan Provinsi Tapanuli (2008–2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar