Minggu, 24 April 2016

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq, r.a.



Asal-Usul Abu Bakar Ash-Shiddiq, r.a.

Abu Bakar (bahasa Arab: أبو بكر الصديق, Abu Bakr ash-Shiddiq) (lahir: 572 - wafat: 23 Agustus634/21 Jumadil Akhir 13 H) termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Abu Bakar menjadi khalifah Islam yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Lahir dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah, ia adalah satu di antara empat khalifah yang diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk.


Genealogi

Nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin 'Utsman bin Amir bi Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy. Bertemu nasabnya dengan nabi pada kakeknya Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai, dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khair salma binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah Bani Taim.

Abu Bakar adalah ayah dari Aisyah, istri Nabi Muhammad. Nama yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Muhammad menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Muhammad memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar') setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra Mi'raj yang diceritakan oleh Muhammad kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama "Abu Bakar ash-Shiddiq".

Awal kehidupan
Abu Bakar ash-Shiddiq dilahirkan di kota Mekah dari keturunan Bani Taim , sub-suku bangsa Quraisy. Beberapa sejarawan Islam mencatat ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar, serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.

Masa bersama Nabi
Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup bersama Abu Bakar. Saat itu Muhammad menjadi tetangga Abu Bakar. Sejak saat itu mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama, pedagang dan ahli berdagang.

Memeluk Islam
Dalam kitab Hayatussahabah, bab Dakwah Muhammad kepada perorangan, dituliskan bahwa Abu bakar masuk Islam setelah diajak oleh nabi.[2] Abubakar kemudian mendakwahkan ajaran Islam kepada Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqas dan beberapa tokoh penting dalam Islam lainnya.

Istrinya Qutaylah binti Abdul Uzza tidak menerima Islam sebagai agama sehingga Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain, Ummu Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua anaknya kecuali 'Abd Rahman bin Abu Bakar, sehingga ia dan 'Abd Rahman berpisah.

Penyiksaan oleh Quraisy
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.

Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.

Selama masa sakit Rasulullah saat menjelang wafat, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Bahkan 'pun setelah Nabi SAW telah meninggal dunia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dianggap sebagai sahabat Nabi yang paling tabah menghadapi meninggalnya Nabi SAW ini. Segera setelah kematiannya, dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam pada tahun 632 M.

Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah sendiri, sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Muhammad mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. 
Sementara muslim syi'ah berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggal umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir. Banyak hadits yang menjadi rujukan dari kaum Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal rasulullah, serta jumlah pemimpin Islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istrinya yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.

Perang Ridda
Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Riddah
Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad. Pasukan Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid. Sedangkan Musailamah sendiri terbunuh di tangan Al Wahsyi, seorang mantan budak yang dibebaskan oleh Hindun istri Abu Sufyan karena telah berhasil membunuh Hamzah Singa Allah dalam Perang Uhud. Al Wahsyi kemudian bertaubat dan memeluk Islam serta mengakui kesalahannya atas pembunuhan terhadap Hamzah. Al Wahsyi pernah berkata, "Dahulu aku membunuh seorang yang sangat dicintai Rasulullah (Hamzah) dan kini aku telah membunuh orang yang sangat dibenci rasulullah (yaitu nabi palsu Musailamah al-Kazab)."

Ekspedisi ke utara

Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.

Qur'an

Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-kadzab dalam perang Riddah, banyak para penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran al-Qur'an dari para penghafal al-Qur'an dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al-Qur'an yang dikenal saat ini.

Kematian
Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah karena sakit yang dideritanya pada usia 61 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah putrinya Aisyah di dekat Masjid Nabawi, di samping makam Nabi Muhammad SAW.

Referensi 

Abdul Ghani, M. Ilyas. 2005. op cit. Hal. 39-41.
Dakwahnya Nabi kepada Abu Bakar, Maulana Yusufrah, menulis, Diriwayatkan oleh Abu Hasan Al-Athrabulusi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Bidayah. 3/29 dari Aisyah, ia berkata_Sejak zaman jahiliyah, Abubakar adalah kawan rasulullah. Pada suatu hari, dia hendak menemui Rosulullah saw, ketika bertemu dengan Rosulullah saw , dia berkata, "Wahai Abul Qosim (panggilan nabi), ada apa denganmu, sehingga engkau tidak terlihat di majelis kaummu dan orang-orang menuduh bahwa engkau telah berkata buruk tentang nenek moyangmu dan lain lain lagi?" Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah swt dan aku mengajak kamu kepada Allah swt." setelah selesai Rosulullah saw berbicara, 
Abu Bakar pun langsung masuk Islam. Melihat keislamannya itu beliau gembira sekali, tidak ada seorangpun yang ada di antara kedua gunung di Mekkah yang merasa gembira melebihi kegembiraan beliau. Kemudian Abubakar menemui Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Sa'ad bin Abi Waqas, mengajak mereka untuk masuk Islam. Lalu, merekapun masuk Islam. Hari berikutnya Abu bakar menemui Utsman bin Mazhum, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdul Saad, dan Arqam bin Abil Arqam, juga mengajak mereka untuk masuk Islam, dan mereka semua juga masuk Islam

Pengangkatan Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah
Proses pengangkatan Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah dilakukan didalam satu musyawarah atau pertemuan di Sagifah Bani Saidah (sebuah Balairung di kota Madinah).
Pertemuan tersebut diadakan oleh orang-orang Anshar, dalam rangka memilih seorang Khalifah sebagai pengganti Rasulullah SAW. hal itu mereka lakukan dikarenakan saat itu orang-orang Anshar dan Muslimin lainnya berkeyakinan, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk seseorang sebagai penggantinya.
Pada awalnya kaum Anshar akan mengangkat seseorang dari mereka, yaitu Saad bin Ubadah untuk menduduki jabatan Khalifah. Namun setelah beberapa tokoh Muhajirin menyusul datang dan ikut bermusyawarah, maka diantara orang-orang Anshar ada yang bersikap agak lunak dan menyarankan agar dari Anshar diangkat seorang Amir dan dari Muhajirin diangkat seorang Amir. Tapi Alhamdulillah, setelah Sayyidina Abu Bakar berpidato dan menerangkan keutamaan Muhajirin untuk menduduki jabatan Khalifah, maka akhirnya orang-orang Anshar menyadari hal tersebut dan menerima saran-saran dari Sayyidina Abu Bakar. 
Selanjutnya Sayyidina Abu Bakar mengakhiri pidatonya dengan sarannya, agar hadirin mengangkat salah satu dari sesepuh Muhajirin yang hadir di pertemuan tersebut, yaitu Sayyidina Umar atau Abu Ubaidah Ibnul Jarroh. Mendengar saran yang penuh dengan keikhlasan dari Sayyidina Abu Bakar tersebut, Sayyidina Umar langsung menyahut : “Tidak, tidak mungkin saya diangkat sebagai pemimpin satu kaum sedang dalam kaum itu ada engkau.” Yang dimaksud oleh Sayyidina Umar tersebut adalah tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki jabatan khalifah, melebihi Sayyidina Abu Bakar. Memang keutamaan Sayyidina Abu Bakar bukan rahasia lagi bagi para sahabat. Demikian diantara kata-kata Sayyidina Umar, selanjutnya seraya mengulurkan tangannya beliau berkata kepada Sayyidina Abu Bakar : “Ulurkan tanganmu, untuk aku bai’at.”


Setelah Sayyidina Umar membaiat Sayyidina Abu Bakar, hadirinpun segera berebut membaiat Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah. Besoknya dimasjid Nabawi diadakan pembai’atan umum dan Alhamdulillah berjalan dengan baik dan lancar, dan saat itu tidak ada satu orangpun yang protes atau tidak menyetujui pembai’atan tersebut. Hal mana karena semua sepakat, agar kekosongan pimpinan harus segera diisi. Bahkan pemakaman Nabi terpaksa diundur, karena menunggu terpilihnya Khalifah. Apabila ada keterlambatan dari dua tiga orang dalam membai’at dikarenakan alasan masing-masing, toh akhirnya semua menerima dengan ikhlas pengangkatan Sayyidina Abu Bakar tersebut. Perlu diketahui bahwa sahnya seorang Khalifah, tidak harus dengan di bai'at oleh seratus persen Muslimin, tapi yang penting dibai'at oleh mayoritas Muslimin. Hal ini dikuatkan dengan keterangan Imam Ali, dimana ketika Imam Ali berkirim surat kepada Muawiyah, beliau memberitahukan bahwa pengangkatan beliau sebagai Khalifah itu sah, karena beliau juga telah di bai'at oleh orang-orang yang telah membai'at Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar serta Sayyidina Ustman. Selanjutnya Imam Ali berkata :
Apabila dalam permusyawaratan itu diputuskan mengangkat seseorang, maka Allah akan meridhoinya dan semua yang hadir harus menyetujuinya, sedang bagi yang tidak hadir, tidak boleh menolak. Kemudian bila ada yang membangkang, maka harus diperingatkan dahulu, dan apabila tetap membangkang maka harus di perangi“.

Demikian kata-kata Imam Ali, dimana diantaranya menunjukkan pengesahannya atas kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar serta Sayyidina Ustman. Disamping merupakan pengarahan-pengarahan dari beliau kepada kaum Muslimin, dalam menghadapi orang-orang yang tidak mengakui atau menolak kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Ustman. Surat Imam Ali kepada Muawiyah tersebut dikirim saat Imam Ali diangkat sebagai Khalifah keempat dan surat ini dimuat dalam kitab Nahjul Balaghoh, satu kitab yang sangat diagungkan oleh orang-orang Syiah. Yang perlu digaris bawahi dari permusyawaratan di Sagifah Bani Saidah tersebut adalah, bahwa yang mengadakan pertemuan itu, adalah orang-orang Anshar, bukan Sayyidina Abu Bakar atau Sayyidina Umar atau orang-orang Muhajirin yang lain. Karenanya kita umat Islam wajib berterima kasih kepada tokoh-tokoh Muhajirin, yang begitu mendapat informasi mengenai adanya pertemuan di Sagifah, segera mendatangi pertemuan tersebut. Sehingga perpecahan tidak sampai terjadi. Sebab dapat kita bayangkan, apa yang akan terjadi andaikata orang-orang Anshar sampai mengangkat Khalifah sendiri. 
Disamping itu pertemuan di Sagifah tersebut, membuktikan tidak adanya wasiat mengenai penunjukan atau pengangkatan pengganti Rasulullah SAW. Sebab apabila ada wasiat dari Rasulullah, pasti dalam permusyawaratan tersebut akan menjadi pokok pembahasan. Tapi kenyataannya tidak ada satu orangpun yang menyampaikan argumentasinya mengenai adanya pengganti Rasulullah SAW. Memang saat itu ajaran Ibnu Saba’ belum ada, sebab dia belum masuk Islam. Sedang argumentasi yang sering dibawa oleh orang-orang Syiah sekarang adalah hasil rekayasa ulama-ulama Syiah yang mengartikan hadits-hadits Rasulullah menurut selera mereka, demi untuk menunjang ajaran-ajaran mereka. Apabila disana sini ada semacam tanda-tanda yang diartikan oleh beberapa orang sebagai isyarat untuk menjadi pengganti Rasulullah SAW setelah wafatnya, misalnya : Rasulullah SAW memerintahkan atau menunjuk Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi penggantinya dalam mengimami shalat, atau Rasulullah mengangkat Sayyidina Ali sebagai pemimpin dalam perang Khaibar, atau Rasulullah mengangkat Ibin Ummi Maktum sebagai pemimpin (ad interim) di Madinah, disaat Rasulullah pergi berperang, atau Rasulullah mengangkat orang-orang lain sebagai pemimpin (ad interim) juga di Madinah, saat Rasulullah dalam peperangan-peperangan yang lain, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti penunjukan atau pengangkatan sebagai pengganti Rasulullah setelah wafatnya.

Perlu kita sadari bahwa masalah Khalifah, adalah masalah yang sangat penting. Karenanya apabila Rasulullah akan menunjuk seseorang untuk menduduki jabatan tersebut, pasti akan dikatakannya dengan jelas dan tegas dan tidak dengan samar-samar. Dalam hal ini seorang cucu Imam Ali yang bernama Hasan Al-Muthanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, ketika ditanyakan kepadanya, apakah hadits :

“Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu “. itu merupakan Nash pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah, bila Rasulullah wafat ?. Beliau menjawab : Apabila yang dimaksud oleh Rasulullah itu kekhalifahan sesudahnya, maka beliau akan berkata dengan jelas sebagai berikut : “ Hai orang-orang, ini adalah penggantiku yang akan memimpin kalian sesudahku, maka dengarkanlah dia dan patuhi “.

Kemudian lanjut cucu Imam Ali tersebut : “ Saya bersumpah demi Allah, andaikata Allah dan Rasul Nya menunjuk dan memilih Ali untuk menduduki jabatan Khalifah tersebut, dan kemudian Ali tidak melaksanakannya, maka beliau adalah orang pertama yang meninggalkan perintah Allah dan Rasul Nya”.

Ketika penanya bertanya lagi : “Tidakkah Rasulullah pernah berkata : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu ?”. Beliaupun langsung menjawab: “ Demi Allah, apabila yang dimaksud Rasulullah itu mengenai Khalifah, maka beliau akan berkata dengan terang dan jelas, sebagaimana beliau menjelaskan mengenai shalat dan zakat, dan akan berkata : “ Hai orang-orang sesungguhnya Ali adalah pemimpin kalian sesudahku dan dia yang akan meneruskan perjuanganku”.

Itulah jawaban cucu Imam Ali mengenai hadits tersebut dan sekaligus sebagai petunjuk dari beliau mengenai tidak adanya wasiat dari Rasulullah SAW mengenai pengganti beliau. Andaikata maksud hadits tersebut sebagai penunjukan dan pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat, sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Ibin Saba’, maka pasti hadits tersebut akan menjadi pokok pembahasan dalam pertemuan di Sagifah Bani Saidah. Sedang kenyataannya tidak satu orangpun yang menyebut-nyebut hadits itu. Hal mana karena hadits tersebut memang tidak ada hubungannya dengan kekhalifahan, dan faham yang demikian itu sudah menjadi keyakinan kaum Muslimin saat itu, termasuk keyakinan Imam Ali dan Ahlul Bait yang lain. Bahkan apabila hadits tersebut, dimaksudkan sebagai penunjukan dan pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat, maka pertemuan untuk memilih Khalifah di Sagifah Bani Saidah tidak akan terjadi atau tidak sampai diadakan, sebab otomatis begitu Rasulullah wafat, Imam Ali langsung menjadi Khalifah, sebab beliau sudah diangkat oleh Rasulullah.
Namun kenyataannya Imam Ali tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pengganti Rasulullah dan tidak pernah menuntut kekhalifahan dari Sayyidina Abu Bakar, dengan membawa argumentasi atau menyebut hadits tersebut.
Demikian diantara bukti tidak adanya wasiat dari Rasulullah mengenai ditunjuknya Imam Ali sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat. Karena apabila ada perintah atau wasiat tersebut pasti sudah dikerjakan oleh Imam Ali, apapun akibatnya.
Apabila ulama-ulama Syiah berkata, bahwa Imam Ali tidak melaksanakan perintah atau wasiat Rasulullah tersebut karena takut fitnah, maka keyakinan mereka itu justru menambah kesesatan mereka dan dapat menjurus kepada kekufuran.
Sebab kata-kata mereka itu bila dijabarkan, berarti Rasulullah menunjuk Imam Ali menjadi Khalifah itu untuk membuat fitnah atau agar terjadi fitnah. Karenanya menurut mereka, Imam Ali berkeyakinan lebih baik meninggalkan perintah Rasulullah daripada melaksanakan perintah atau wasiat Rasulullah yang dapat membawa fitnah dan malapetaka bagi umat Islam. Itulah argumentasi ulama-ulama Syiah, yang apabila kita amati justru menuduh dan menghina Rasulullah dan Imam Ali. Padahal kita umat Islam berkeyakinan, bahwa Rasulullah diutus oleh Allah sebagai Rahmatan Lil Alamin dan tidak untuk membuat fitnah.
Adapun Imam Ali, maka dalam sejarah versi Ahlussunnah Waljamaah, beliau dikenal sebagai seorang pemimpin yang arif lagi bijaksana. Namun dalam mempertahankan haknya sebagai Khalifah, beliau sampai berperang dengan siapa saja yang dianggapnya memberontak. Seperti dalam perang Jamal, perang Shiffin dan dengan orang-orang Khowarij.

Beliau tidak mengenal istilah takut fitnah atau takut mati dalam mempertahankan haknya sebagai Khalifah, apalagi dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul Nya. Itulah diantara sifat-sifat mulia Imam Ali, namun oleh ulama-ulama Syiah, beliau sering digambarkan sedikit-sedikit Tagiyah atau sedikit-sedikit takut ini dan takut itu, sampai meninggalkan dan menghianati perintah Allah dan Rasul Nya.
Demikian sedikit mengenai jalannya pertemuan atau permusyawaratan di Sagifah Bani Saidah. Sehingga dapat kita pastikan, bahwa pengangkatan Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah tersebut tidak direncanakan terlebih dahulu atau diatur sebelumnya, tapi secara tiba-tiba atau dalam istilah Sayyidina Umar disebut Faltah. Dimana asal mulanya orang-orang Anshor merencanakan akan mengangkat seseorang dari mereka sebagai Khalifah, tapi Allah menghendaki Sayyidina Abu Bakar yang menjadi Khalifah, sehingga secara tiba-tiba hadirin membai'at Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah dan selamatlah Muslimin dari perpecahan.

Jabal Tsur terletaknya Gua Tsur tempat persembunyian
Rasulullah SAW dan Saiyidina Abu Bakr semasa Hijrah.

Sayyidina Abu Bakar As Siddiq r.a adalah manusia paling agung dalam sejarah Islam sesudah Rasulullah SAW. Kemuliaan akhlaknya, kemurahan hatinya dalam mengorbankan harta benda dan kekayaannya untuk Islam, kebijaksanaannya dalam menyelesaikan masalah umat, ketenangannya dalam menghadapi kesukaran, kerendahan hatinya ketika berkuasa serta tutur bahasanya yang lembut lagi menarik adalah sukar dicari bandingannya baik dahulu mahupun sekarang.

Dialah tokoh sahabat terbilang yang paling akrab dan paling disayangi Rasulullah SAW. Nama sebenar Sayyidina Abu Bakar As Siddiq adalah Abdullah bin Qahafah. Sebelum Islam, beliau adalah seorang saudagar yang tersangat kaya dan dari keluarga bangsawan yang sangat dihormati oleh masyarakat Quraisy. Bahkan sebelum memeluk Islam lagi, Abu Bakar terkenal sebagai seorang pembesar Quraisy yang tinggi akhlaknya dan tidak pernah minum arak sebagaimana lazim dilakukan oleh pembesar-pembesar Quraisy yang lain.

Dari segi umur, Sayyidina Abu Bakar r.a adalah dua tahun lebih muda dari Rasulullah SAW dan telah menjalin persahabatan yang akrab dengan baginda Rasul lama sebelum Rasulullah SAW menjadi Rasul. Beliaulah tokoh sahabat besar yang paling banyak berkorban harta benda untuk menegakkan Islam di samping Nabi Muhammad SAW.

Besarnya pergorbanan beliau itu sehingga Rasulullah SAW pernah mengatakan bahawa Islam telah tegak di atas harta Siti Khadijah dan pergorbanan Sayyidina Abu Bakar r.a. Adapun gelaran As Siddiq yang dberikan kepadanya itu adalah kerana sikapnya yang selalu membenarkan apa sahaja kata-kata mahupun perbuatan Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini elok kita petik suatu kisah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang diceritakan sendiri oleh Sayyidina Abu Bakar, tentang bagaimana Sayyidina Abu Bakar r.a memeluk agama Islam.

Kata Sayyidina Abu Bakar r.a, “Aku pernah mengunjungi seorang tua di negeri Yaman. Dia rajin membaca kita-kitab dan mengajar ramai murid. Dia berkata kepadaku:

“Aku kira tuan datang dari Tanah Haram.” “Benar,” jawabku. “Aku kira tuan berbangsa Quraisy?” “Benar,” ujarku lagi. “Dan apa yang aku lihat, tuan dari keluarga Bani Tamim?” “Benarlah begitu,” tambahku selanjutnya.

Orang tua itu terus menyambung katanya, “ Ada satu hal yang hendak aku tanyakan dari tuan, yaitu tentang diri tuan sendiri. Apakah tak keberatan jika aku lihat perutmu?”

Maka pada ketika itu aku pun berkata,” Aku keberatan hendak memperlihatkan selagi tuan tidak nyatakan kepadaku perkara yang sebenarnya.”

Maka ujar orang tua itu, “Aku sebenarnya melihat dalam ilmuku yang benar bahawa seorang Nabi Allah akan diutus di Tanah Haram. Nabi itu akan dibantu oleh dua orang sahabatnya, yang seorang masih muda dan seorang lagi sudah separuh umur. Sahabatnya yang muda itu berani berjuang dalam segenap lapangan dan menjadi pelindungnya dalam sebarang kesusahan. Sementara yang separuh umur itu putih kulitnya dan berbadan kurus, ada tahi lalat di perutnya dan ada suatu tanda di paha kirinya. Apalah salahnya kalau tuan perlihatkan kepadaku.”

Maka sesudah dia berkata itu aku pun membuka pakaianku lalu orang tua itu pun melihatlah tahi lalat hitam di atas bahagian pusatku seraya berkata, “Demi Tuhan yang menguasai Kaabah, tuanlah orangnya itu!”

Kemudian orang tua itu pun memberi sedikit nasihat kepadaku. Aku tinggal di Yaman untuk beberapa waktu kerana mengurusi perniagaanku dan sebelum meninggalkan negeri itu, aku sekali lagi pegi menemui orang tua tersebut untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Kemudian dia lalu bertanya, “Bolehkah tuan menyampaikan beberapa rangkap syairku?” “Boleh sahaja,” jawabku.

Setelah itu aku pun membawa pulang syair-syair itu ke Mekah. Setibanya aku di Mekah, para pemuda bergegas datang menemuiku seraya berkata, “Adakah engkau tahu apa yang sudah terjadi?” Maka ujarku pula, “Apakah yang terjadi itu?”

Jawab mereka, “Si yatim Abu Talib kini mengaku menjadi Nabi! Kalaulah tidak mengingatkan engkau hai Abu Bakar, sudah lama kami selesaikan dia. Engkaulah satu-satunya yang kami harapkan untuk menyelesaikannya.”

Kemudian aku pun meminta mereka pulang dahulu sementara aku sendiri pergi menemui Muhammad. Setelah menemuinya aku pun mengatakan, “Wahai Muhammad, tuan telah mencemarkan kedudukan keluarga tuan dan aku mendapat tahu tuan terang-terang telah menyeleweng dari kepercayaan nenek moyang kita.”

Maka ujar baginda, “Bahawa aku adalah Pesuruh Allah yang diutuskan untukmu dan untuk seluruh umat!” Aku pun bertanya baginda, “Apa buktinya?” Jawab Baginda, “Orang tua yang engkau temui di Yaman tempoh hari.” Aku menambah lagi, “Orang tua yang mana satukah yang tuan maksudkan kerana ramai orang tua yang aku temui di Yaman itu?” Baginda menyambung, “Orang tua yang mengirimkan untaian syair kepada engkau!” Aku terkejut mendengarkannya kerana hal itu tiada sesiapa pun yang mengetahuinya. Lalu aku bertanya, “Siapakah yang telah memberitahu tuan, wahai sahabatku?” Maka ujar baginda, “Malaikat yang pernah menemui nabi-nabi sebelumku.”

Akhirnya aku berkata, “Hulurkan tangan tuan, bahawa dengan sesungguhnya aku naik saksi tiada Tuhan yang ku sembah melainkan Allah, dan tuan (Muhammad) sebenarnya pesuruh Allah”

Demikian kisah indah yang meriwayatkan bagaimana Islamnya Sayyidina Abu Bakar as Siddiq. Dan memanglah menurut riwayat beliau merupakan lelaki pertama yang beriman kepada Rasulullah SAW.

Keislaman Sayyidina Abu Bakar As Siddiq r.a telah membawa pengaruh besar di kalangan kaum bangsawan Quraisy kerana dari pengaruh keislamannya itulah maka beberapa orang pemuda bangsawan Quraisy seperti Sayyidina Usman bin Affan r.a, Sayyidina Abdul Rahman bin Auf r.a, Sayyidina Saad bin Waqqas r.a menuruti jejak langkahnya.

Semenjak memeluk Islam, Sayyidina Abu Bakar r.a telah menjadi pembela Islam yang paling utama serta seorang sahabat yang paling akrab serta paling dicintai Rasulullah SAW. Seorang sahabat, Sayyidina Amru bin Al As r.a pernah suatu hari menanyakan Rasul, “Siapakah di antara manusia yang paling tuan sayang!”
Baginda menjawab, “Siti Aisyah dan kalau laki-laki adalah bapanya.”
Selain itu, Sayyidina Abu Bakar as Siddiq r.a terkenal dengan keteguhan imannya, cerdas akal, tinggi akhlak, lemah lembut dan penyantun. Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Jika ditimbang iman Abu Bakar As Siddiq dengan iman sekalian umat maka berat lagi iman Abu Bakar.”

Demikian teguhnya iman Sayyidina Abu Bakar r.a. Gelaran As Siddiq yang diberikan terhadap dirinya itu lantaran sikap serta pendiriannya yang teguh dalam membenarkan serta membela diri Rasulullah SAW. Andainya sekalian umat manusia mendustakan Muhammad SAW, Abu Bakar r.a pasti akan tampil dengan penuh keyakinan untuk membelanya.

Setelah memeluk Islam, Sayyidina Abu Bakar menyerahkan seluruh kekayaan dan jiwa raganya untuk melakukan perjuangan menegakkan Islam bersama Nabi Muhammad SAW. Beliau telah mengorbankan seluruh harta bendanya untuk menebus orang-orang yang ditawan, orang-orang yang ditangkap atau diseksa. Beliau juga telah membeli hamba-hamba yang kemudian dimerdekakannya. Salah seorang daripadanya ialah Sayyidina Bilal bin Rabah r.a.

Tatkala Nabi Muhammad SAW selesai melakukan Israk dan Mikraj, segolongan orang yang kurang mempercayai apa yang telah dikhabarkan Rasulullah SAW telah pergi menemui Sayyidina Abu Bakar r.a untuk mendengarkan apa pendapatnya tentang dakwaan Muhammad SAW itu.

Sebaik mendengarnya, Sayyidina Abu Bakar terus berkata,” Adakah Muhammad berkata begitu?” Sahut mereka, “Benar!” Maka ujar Sayyidina Abu Bakar r.a, “Jika Muhammad berkata begitu maka sungguh benarlah apa yang diceritakan itu.”
Lalu mereka pun terus menyambung, “Engkau percaya hai Abu Bakar bahawa Muhamamad sampai ke tanah Syam yang jauhnya sebulan perjalanan, hanya dalam satu malam?” Maka sahut Abu Bakar sungguh-sungguh, “Benar! Aku percaya! Malah lebih dari itu pun aku percaya kepadanya. Aku percaya akan berita dari langit yang diberitakannya, baik pada waktu siang mahupun di waktu malam!”

Demikian hebatnya keyakinan sahabat yang paling utama itu. Oleh kerana tegas dan teguhnya iman beliau terhadap agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan terhadap apa yang dikhabarkan oleh baginda maka beliau telah diberi gelaran As-Siddiq, ertinya yang membenarkan oleh Rasulullah SAW.

Tidaklah menghairankan sikap Abu Bakar itu. Beliau telah lama mengenali Muhammad SAW, bukan sehari dua. Beliau tahu bahawa sahabatnya itu sentiasa berkata benar, tidak pernah bohong hingga digelar orang Al Amin.

Tatkala kekejaman musyirikin Quraisy terhadap kaum muslimin yang sedikit jumlahnya di Mekah semakin hebat dan membahayakan, Nabi Muhammad SAW telah memberitahu Sayyidina Abu Bakar r.a supaya menemaninya dalam hijrah tersebut. Dengan perasaan gembira tanpa sedikit kebimbangan pun Sayyidina Abu Bakar r.a menyambut permintaan Rasulullah SAW.

Dari pintu belakang rumah Sayyidina Abu Bakar r.a, Rasulullah SAW bersama-sama Sayyidina Abu Bakar menuju ke Gua Tsur dan bersembunyi di situ. Pada saat suasana amat kritikal, Sayyidina Abu Bakar r.a diserang kegelisahan dan cemas kerana khuatir kalau-kalau musuh dapat mengetahui di mana Rasulullah SAW sedang bersembunyi, maka turunlah ayat suci Al Quran dari Surah At Taubah yang isinya memuji Sayyidina Abu bakar As Sidiq, sebagai ‘orang kedua’ sesudah Nabi Muhammad SAW dalam Gua Tsur. Dalam pada itu Rasulullah SAW pun mengerti akan situasi dan kegelisahan sahabatnya itu yang oleh kerananya Rasul SAW berkata, “Apakah yang mengelisahkanmu, bukankah Allah bersama kita?”

Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Kiranya mereka masuk juga ke dalam gua ini, kita masih dapat melepaskan diri dari pintu belakang itu,” ujar Rasulullah SAW sambil menunjukkan ke belakang mereka.

SayyidinaAbu Bakar r.a pun menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya beliau bila dilihatnya pintu belakang yang ditunjuk oleh Rasul itu, padahal pintu tersebut tadinya tidak ada sama sekali. Sebenarnya kebimbangan Abu Bakar r.a tatkala di dalam gua itu bukanlah kerana takutkan nyawanya diragut oleh pihak musuh tetapi yang lebih dibimbangkannya ialah keselamatan jiwa Baginda Rasul.

Beliau pernah berkata kepada Baginda Nabi saw,”Yang saya bimbangkan bukanlah diri saya sendiri. Kalau saya terbunuh, saya hanyalah seorang manusia biasa. Tapi andai kata tuan sendiri dapat dibunuhnya maka yang akan hancur ialah Islam.”

Ucapan antara dua orang sahabat tatkala dalam gua tersebut di dalam Al-Quran pada Surah At-Tawbah ayat 40:

“Kalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) ketika dia diusir oleh orang-orang kafir (dari kampung halamannya), dalam keadaan berdua orang sahaja di dalam suatu gua, di kala itu dia (Muhammad) berkata kepada sahabat karibnya (Abu Bakar): Jangan engkau berdukacita, sesungguhnya Tuhan bersama kita. Tuhan menurunkan ketenangan kepadanya dan dikuatkannya dengan tentera yang tidak kamu lihat. Dan Tuhan menjadikan perkataan orang kafir itu paling rendah dan perkataan Tuhan itu yang amat tinggi. Dan Tuhan Maha Kuasa dan Bijaksana.”

Demikian satu lagi keistimewaan Sayyidina Abu Bakar As Siddiq sebagai seorang sahabat yang sama-sama mengalami kesukaran dan kepahitan bersama-sama Rasulullah SAW dalam menyampaikan seruan Islam. Sayyidina Abu Bakar r.a tidak bercerai jauh dengan Baginda Rasul sepanjang hidupnya dan menyertai semua peperangan yang dihadapi Baginda. Beliau bukan sahaja berjuang menegakkan agama Islam dengan segenap jiwa raganya bahkan juga dengan harta kekayaannya. Sungguh beliaulah yang paling banyak sekali berkorban harta untuk menegakkan agama Islam. Bahkan seluruh kekayaannya telah habis digunakannya untuk kepentingan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Di kalangan para sahabat beliaulah tergolong orang yang paling murah hati dan dermawan sekali.

Dalam perang Tabuk misalnya, Rasulullah SAW telah meminta kepada sekalian kaum Muslimin agar mengorbankan harta pada jalan Allah. Tiba-tiba datanglah Sayyidina Abu Bakar r.a membawa seluruh harta bendanya lalu meletakkannya di hadapan baginda Rasul. Melihat banyaknya harta yang dibawa oleh Sayyidina Abu bakar r.a bagi tujuan jihad itu maka Rasulullah SAW menjadi terkejut lalu berkata padanya:

“Wahai Abu Bakar, kalau sudah semua harta bendamu kau korbankan, apa lagi yang akan engkau tinggalkan buat anak-anak dan isterimu?” Sayyidina Abu Bakar As Siddiq r.a dengan tenang menjawab, “Saya tinggalkan buat mereka Allah dan Rasul-Nya.”

Demikianlah kehebatan jiwa Sayyidina Abu Bakar As Siddiq r.a, suatu contoh kemurahan hati yang memang tidak dijumpai bandingannya di dunia. Memandangkan besarnya pengorbanan beliau terhadap Islam maka wajarlah kalau Rasulullah bersabda bahawa tegaknya agama Islam itu lantaran harta benda Siti Khadijah dan juga Sayyidina Abu Bakar as Siddiq. Tepatlah juga kiranya iman Sayyidina Abu Bakar r.a ditimbang dan dibandingkn dengan iman seluruh umat manusia maka berat lagi iman Sayyidina Abu Bakar r.a. Beliau memang manusia luar biasa. Kebesarannya telah ditakdirkan oleh ALLAH SWT untuk menjadi teman akrab Rasulullah SAW.

Pada suatu ketika di saat Rasulullah SAW membaca khutbah yang antara lain menyatakan bahawa: “…kepada seseorang hamba Allah yang apabila ditawarkan untuk memilih dunia atau memilih ganjaran yang tersedia di sisi Allah, dan hamba Allah tersebut tidak akan memilih dunia, melainkan memilih apa yang tersedia di sisi Tuhan…”

Maka ketika mendengar khutbah Nabi demikian itu, Sayyidina Abu Bakar r.a lalu menangis tersedu-sedu, kerana sedih dan terharu sebab beliau mendengar dan mengerti bahawa yang dimaksudkan dalam isi khutbah tersebut ialah bahawa umur kehidupan Rasul di dunia ini sudah hampir berakhir. Demikian kelebihan Sayyidina Abu Bakar r.a dibanding dengan para sahabat yang lain kerana beliaulah yang mengetahui bahawa umur Rasul hampir dekat.

Keunggulan beliau dapat dilihat dengan jelas selepas wafatnya Rasulullah SAW di kala umat Islam hampir-hampir menjadi panik serta tidak percaya kepada kewafatannya. Ketika itu Sayyidina Abu Bakar sedang berada di Kampung As Sunnah. Tatkala berita kewafatan Rasulullah SAW itu sampai kepadanya, beliau dengan segera menuju ke Madinah. Tanpa lengah-lengah lagi Sayyidina Abu Bakar terus ke rumah puterinya Siti Aisyah dan disanalah beliau dapati tubuh Rasulullah SAW terbujur di satu sudut di rumah. Beliau lantas membuka wajah Rasulullah SAW dan mengucup dahinya, sambil berkata,”Wahai, betapa cantiknya engkau ketika hidup dan betapa cantiknya ketika engkau ketika mati!”

Kemudian beliau pun keluar mendapatkan orang ramai yang sedang dalam panik itu lalu berkata dengan nada keras: “Wahai kaum muslimin! Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati. Tetapi barang siapa menyembah Allah maka Allah selama-lamanya hidup tidak mati!” Seraya menaymbung membacakan sepotong ayat dari Al-Quran: “Muhammad itu tidak lebih dari seorang Rasul seperti rasul-rasul yang terdahulu darinya. Jika ia mati atau terbunuh, patutkah kamu berundur ke belakang, dia tidak akan membahayai Allah sedikit pun dan sesungguhnya Allah akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.”

Sejurus sahaja mendengar ayat itu, kaum muslimin pun mendapat kepastian bahawa Rasulullah sudah wafat. Mereka tentunya telah pernah dengar ayat itu telah turun semasa peperangan Uhud, ketika Rasulullah SAW telah diberitakan mati terkorban dan menyebabkan ramai pejuang-pejuang Islam berundur ke Madinah. Tetapi mereka tidaklah memahami maksud ayat ini seperti yang difahami oleh Sayyidina Abu Bakar r.a. Ini jelas membuktikan kecerdasan Sayyidina Abu Bakar As Siddiq dalam memahami Islam. Selepas kewafatan Rasulullah SAW, Sayyidina Abu Bakar r.a telah menjadi khalifah umat Islam yang pertama. Beliau telah memberikan ucapannya yang terkenal yaitu:

“Wahai sekalian umat! Aku telah dipilih menjadi pemimpin kamu padahal aku ini bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Sebab itu jika pemerintahanku baik, maka sokonglah, tetapi jika tidak baik, maka perbaikilah. Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat di sisiku hingga aku harus mengambil hak orang lain yang berada disisinya, untuk dikembalikan kepada yang berhak semula. Patuhilah kepadaku selama aku patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi jika aku menderhakai Allah, maka kamu sekalian tidak harus lagi patuh kepadaku.

“Aku dipilih untuk memimpin urusan ini padahal aku enggan menerimanya. Demi Allah aku ingin benar kalau ada di antaramu orang yang cekap untuk urusan ini. Ketahuilah jika kamu meminta kepadaku agar aku berbuat sebagai yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW sungguh aku tidak dapat memperkenankannya, Rasulullah SAW adalah seorang hamba Allah yang dapat kurnia wahyu dari Tuhan, kerana itu baginda terpelihara dari kesalahan-kesalahan, sedang aku ini hanyalah manusia biasa yang tidak ada kelebihannya dari seorang pun juga di antara kamu.”

Ini adalah satu pembaharuan dalam pemerintahan yang belum pernah dikenali oleh orang rakyat jelata kerajaan Rom dan Parsi yang memerintah dunia Barat dan Timur ketika itu. Sayyidina Abu Bakar hidup seperti rakyat biasa dan sangat tidak suka didewa-dewakan, “Ya Khalifah Allah!” Beliau dengan segera meminta cakap orang itu dengan katanya: “Saya bukan Khalifah Allah, saya hanya Khalifah Rasul-Nya!”

Adalah diriwayatkan bahawa pada keesokan harinya iaitu sehari setelah terpilih sebagai Khalifah, Sayyidina Abu Bakar r.a kelihatan membawa barang perniagaanya ke pasar. Beberapa orang yang melihat itu lalu mendekati beliau, di antaranya Sayyidina Abu Ubaidah bin Jarrah. Sahabat besar itu berkata, “Urusan Khalifah itu tidak boleh dicampuri dengan berniaga!” Lalu Abu Bakar r.a bertanya, “Jadi dengan apakah aku hidup, dan bagaimana aku membelanjai rumah tanggaku?”

Demikian sedihnya nasib yang menimpa Sayyidina Abu Bakar r.a sebab walaupun kedudukannya sebagai Ketua Negara namun belum ada lagi ketetapan bagi seseorang ketua pemerintah Islam memperolehi peruntukan dari harta kerajaan. Keadaan ini mendapat perhatian dari para sahabat lalu mereka menentukan bantuan secukupnya buat Khalifah dan keluarganya yang diambil dari Baitul Mal. Kemudian itu baharulah Khalifah Abu Bakar meninggalkan usaha perniagaannya kerana hendak memusatkan seluruh tenaganya untuk mengembangkan agama Islam dan menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang Khalifah.

Semasa bertugas sebagai Khalifah, beliau menerima peruntukan sebanyak enam ribu dirham sahaja setahun. Peruntukan itu tidak dibelanjakannya untuk keperluan dirinya malahan di penghujung umurnya beliau telah memerintahkan supaya pendapatannya itu diserahkan kembali kepada Baitul Mal.

Sebelum wafat, Sayyidina Abu Bakar r.a telah memanggil Sayyidina Umar r.a lalu berkata, “Dengarlah hai Umar! Apa yang akan kukatakan ini, laksanakanlah. Aku mengharap akan kembali ke hadrat Allah hari ini sebab itu sebelum matahari terbit pada esok hari engkau hendaknya telah mengirim bala bantuan kepada Al Munthanna. Janganlah hendaknya sesuatu bencana bagaimana pun besarnya dapat melupakan kamu dan urusan agama dan wasiat Tuhan. Engkau telah melihat apa yang telah kulakukan tatkala Rasulullah SAW wafat sedangkan wafatnya Rasulullah itu adalah satu bencana yang belum pernah manusia ditimpa bencana yang sebesar itu. Demi Allah, andaikata di waktu itu aku melalaikan perintah Allah dan RasulNya, tentu kita telah jatuh dan mendapat seksaan Allah, dan pasti pula kota Madinah ini telah menjadi lautan api.”

Sayyidina Abu Bakar As Siddiq menjadi khalifah dalam masa dua tahun sahaja. Walaubagaimanapun beliau telah meletakkan asas pembangunan sebuah pemerintahan Islam yang teguh dan kuat. Beliau juga berjaya mengatasi berbagai masalah dalam negeri dengan segala kebijaksanaan dan kewibawaannya. Dalam masa dua tahun pemerintahannya itu telah terbentuk rantai sejarah Islam yang merupakan lembara-lembaran yang abadi.

Sungguh kehidupan Sayyidina Abu Bakar As Siddiq adalah penuh dengan nasihat, penuh dengan ajaran serta kenangan-kenangan yang indah mulia. Selama dua tahun pemerintahannya itu beliau telah berjaya menyusun tiang-tiang pokok dan kekuatan Islam. Beliau telah membangunkan kekuatan-kekuatan yang penting bagi memelihara kepercayaan kaum muslimin dan bagi memelihara keagungan agama Islam. Bahkan beliau telah mengakhiri riwayat pemerintahan yang dipimpinnya dengan menundukkan sebahagian daripada negeri Syam dan sebahagian daripada negeri Iraq, lalu pulang ke rahmatullah dengan dada yang lapang, ketika umur baginda menginjak 63 tahun. Baginda dikebumikan di samping makam Rasulullah SAW di Masjid Nabi, Madinah.

Semoga riwayat serta perjuangan beliau dan para sahabat, dapat kita contohi terutama di dalam menyokong setiap langkah Abuya bagi membuktikkan kata-kata Rasulullah SAW bahawa Islam akan menapaki kegemilangannya untuk kali kedua di sebelah Timur oleh Al Mahdi bersama-sama pemegang panji-panjinya yaitu Putera Bani Tamim.

Istri-Istri Abu Bakar Ash-Shiddiq, r.a.

1. Qutailah binti Abd al-Uzza bin Abd bin As’ad pada masa Jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan Asma’.

2. Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah, dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan ‘Aisyah.

3. Asma’ binti Umais bin Ma’add bin Taim al-Khats’amiyyah, dan sebelumnya Asma’ diperisteri oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahan ini lahirlah Muhammad bin Abu Bakar, dan kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada’ di Dzul Hulaifah.

4. Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj. Abu bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah dan kemudian mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam dengannya di suatu tempat yang disebut dengan as-Sunuh24 hingga Rasulullah صلى الله عليه وسلم wafat dan beliau kemudian diangkat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu Kaltsum setelah wafatnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Judul Asli: Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah
Penulis: al-Imam al-Hafizh Ibnu Katsir

Bibliografi dan Latar Belakang Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq ra

Nama Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq R.A. adalah tidak asing lagi bagi sekelian ummat Islam, baik dahulu mahupun sekarang. Dialah manusia yang dianggap paling teragung dalam sejarah Islam sesudah Rasulullah S.A.W. Kemuliaan akhlaknya, kemurahan hatinya dalam mengorbankan harta benda dan kekayaannya, kebijaksanaannya dalam menyelesaikan masalah ummat, ketenangannya dalam menghadapi kesukaran, kerendahan hatinya ketika berkuasa serta tutur bahasanya yang lembut lagi menarik adalah sukar dicari bandingannya baik dahulu mahupun sekarang. Dialah tokoh sahabat terbilang yang paling akrab dan paling disayangi oleh Rasulullah S.A.W.

Nama sebenar Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq adalah Abdullah Bin Qahafah. Sebelum Islam, beliau adalah seorang saudagar yang tersangat kaya serta datangnya dan keluarga bangsawan yang sangat dihormati oleh masyarakat Quraisy. Bahkan sebelum memeluk Islam lagi, Abu Bakar telah terkenal sebagai seorang pembesar Quraisy yang tinggi akhlaknya dan tidak pernah minum arak sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh pembesar-pembesar Quraisy yang lain.

Dan segi umur, Saiyidina Abu Bakar R.A. adalah dua tahun lebih muda dan Rasulullah S.A.W. dan telah menjalin persahabatan yang akrab dengan baginda Rasul lama sebelum Rasulullah S.A.W. menjadi Rasul. Beliaulah tokoh sahabat besar yang dianggap paling banyak sekali berkorban harta benda untuk menegakkan agama Islam di samping Nabi Muhammad S.A.W. Kerana besarnya pengorbanan beliau itulah Rasulullah S.A.W. pernah mengatakan bahawa Islam telah tegak di atas harta Siti Khadijah dan pengorbanan Saiyidina Abu Bakar R.A. Adapun gelaran Al-Siddiq yang diberikan kepadanya itu adalah kerana sikapnya yang selalu membenarkan apa sahaja kata-kata mahupun perbuatan Nabi Muhammad S.A.W. Dalam hal ini elok kita petik suatu kisah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud yang dicenitakan sendiri kepadanya oleh Saiyidina Abu Bakar, tentang bagaimana Saiyidina Abu Bakar R.A. memeluk agama Islam.

Kata Saiyidina Abu Bakar R.A. ketika menceritakan suatu kisah mengenai dirinya kepada Ibnu Mas'ud, "Aku pernah mengunjungi seorang tua di negeri Yaman. Dia rajin membaca kitab-kitab dan mengajar banyak murid. Dia berkata kepadaku:
"Aku kira tuan datang dari Tanah Haram.
"Benar, “jawabku.
"Aku kira tuan berbangsa Quraisy?”
"Benar,” ujarku lagi.
"Dan apa yang aku lihat, tuan dan keluarga Bani Taiyim?”
"Benarlah begitu,” tambahku selanjutnya.
Orang tua itu terus menyambung, katanya, "Ada satu lagi hal yang hendak aku tanyakan dari tuan, iaitu tentang diri tuan sendiri. Apakah tak keberatan jika aku lihat perutmu?

Maka pada ketika itu aku pun berkata, "Aku keberatan hendak memperlihatkan selagi tuan tidak nyatakan kepadaku perkara yang sebenarnya.

Maka ujar orang tua itu, "Aku sebenarnya melihat dalam ilmuku yang benar bahawa seorang Nabi Allah akan diutus di Tanah Haram. Nabi itu akan dibantu oleh dua onang sahabatnya, yang seorang masih muda dan seorang lagi sudah separoh umur. Sahabatnya yang muda itu berani berjuang dalam segenap lapangan dan menjadi pelindungnya dalam sebarang kesusahan. Sementara yang separoh umur itu putih kulitnya dan berbadan kurus, ada tahi lalat di perutnya dan ada suatu tanda di paha kirinya. Apalah salahnya kalau tuan perlihatkan kepadaku.

Maka sesudah dia berkata itu aku pun membuka pakaianku lalu orang tua itu pun melihatlah tahi lalat hitam di atas bahagian pusatku seraya berkata, "Demi Tuhan yang menguasai Kaabah, tuanlah orangnya itu! Kemudian orang tua itu pun memberi sedikit nasihat kepadaku. Aku tinggal di Yaman untuk beberapa waktu kenana mengurusi perniagaanku dan sebelum meninggalkan negeri itu aku sekali lagi pergi menemui orang tua tersebut untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Kemudian dia lalu bertanya, "Bolehkah tuan menyampaikan beberapa rangkap syairku?

"Boleh sahaja, “jawabku.

Setelah itu aku pun membawa pulang syair-syair itu ke Mekah. Setibanya aku di Mekah, para pemuda bergegas datang menemuiku seraya berkata, "Adakah engkau tahu yang sudah terjadi? Maka ujarku pula, "Apakah yang terjadi itu?

Jawab mereka, "Si yatim Abu Talib kini mengaku menjadi Nabi! Kalaulah tidak mengingat engkau hai Abu Bakar, sudah lama kami selesaikan dia. Engkaulah satu-satunya yang kami harapkan untuk menyelesaikannya.

Kemudian aku pun meminta mereka pulang dahulu sementara aku sendiri pergi menemui Muhammad. Setelah menemuinya aku pun mengatakan, "Wahai Muhammad, tuan telah mencemarkan kedudukan keluarga tüan dan aku mendapat tahu tuan terang-terang telah menyeleweng dari kepercayaan nenek moyang kita.

Maka ujar baginda, "Bahawa aku adalah Pesuruh Allah yang diutuskan untukmu dan untuk sekelian ummat!
Aku pun bertanya kepada baginda, "Apa buktinya?
Jawabnya, "Orang tua yang engkau temui di Yaman tempoh hari.
Aku menambah lagi, "Orang tua yang mana satukah yang tuan maksudkan kerana ramai orang tua yang aku temui di Yaman itu?
Baginda menyambung, "Orang tua yang mengirimkan untaian syair kepada engkau!
Aku terkejut mendengarkannya lalu bertanya, "Siapakah yang telah memberitahu tuan, wahai sahabatku?
Maka ujar baginda, "Malaikat yang pernah menemui Nabi-nabi sebelumku.
Akhirnya aku berkata, "Hulurkan tangan tuan, bahawa dengan sesungguhnya aku naik saksi tiada Tuhan yang kusembah melainkan Allah, dan tuan (Muhammad) sebenarnya Pesuruh Allah.

Demikianlah kisah indah yang meriwayatkan bagaimana Islamnya Saiyidina Abu Bakan Al-Siddiq. Dan memanglah menurut riwayat beliau merupakan lelaki yang pertama yang beriman kepada Rasulullah S.A.W.

Keislaman Saiyidina Abu Bakan Al-Siddiq R.A. telah membawa penganuh besar di kalangan kaum bangsawan Quraisy kerana dari pengaruh keislamannya itulah maka beberapa orang pemuda bangsawan Quraisy seperti Saiyidina Uthman Bin Affan, Abdul Rahman Bin Auf, dan Saad Bin Waqqas menuruti jejak langkahnya. Semenjak beliau memeluk Islam, Saiyidina Abu Bakan R.A. telah menjadi pembela Islam yang paling utama serta seorang sahabat yang paling akrab serta paling dicintai oleh Rasulullah S.A.W. Sebagai memperlihatkan kecintaan baginda terhadap Saiyidina Abu Bakar R.A., dapat kita ketahui dan satu dialog yang terjadi antara baginda Rasul dengan Amru Bin Al As. Amru seorang sahabat Rasulullah S.A.W. pernah suatu hari menanyakan Rasul, "Siapakah di antara manusia yang paling tuan sayangi? Baginda menjawab, "Siti Aisyah, dan kalau laki-laki adalah bapanya.

Selain daripada itu Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq R.A. adalah seonang sahabat yang terkenal kerana keteguhan imannya, cendas akal, tinggi akhlak, lemah lembut dan penyantun. Rasulullah S.A.W. pernah menyanjungi sahabatnya itu dengan sabdanya, "Jika ditimbang iman Abu Bakar Al-Siddiq dengan iman sekelian ummat maka berat lagi iman Abu Bakar. Demikian teguhnya iman Saiyidina Abu Bakar R.A. demi apakala kita memperhatikan pengertian yang terkandung pada sabda Rasulullah S.A.W. mengenai dirinya itu. Gelaran AlSiddiq yang dibenikan orang terhadap diri Saiyidina Abu Bakar R.A. adalah lantaran memandang sikap serta pendiriannya yang teguh dalam membenarkan serta membela diri Rasulullah S.A.W. Andainya sekelian ummat manusia akan mendustakan Muhammad S.A.W. Abu Bakar R.A. akan pasti pula tampil dengan penuh keyakinan untuk membelanya.

Tidak beberapa lama setelah memeluk agama Islam, Saiyidina Abu Bakar yang terkenal sebagai saudagar yang kaya itu telah meninggalkan perdagangannya dan meninggalkan semua usaha peribadi lain-lainnya lalu menyerahkan segenap kekayaan dan jiwa raganya untuk melakukan penjuangan menegakkan Islam bersama Nabi Muhammad S.A.W. sehingga oleh kerana kegiatannya maka Agama Islam mendapat kemegahan dengan Islamnya beberapa pemuda Quraisy yang lain seperti yang telah disebutkan itu. Beliau telah mengorbankan seluruh hanta bendanya untuk menebus orang-orang yang ditawan, orang-orang yang ditangkap atau disiksa. Selain danpada itu beliau juga telah membeli hamba-hamba yang kemudian dimerdekakannya. Salah seorang hamba yang dibelinya lalu kemudian dibebaskan yang paling terkenal dalam sejarah ialah Bilal Bin Rabah.

Tatkala Nabi Muhammad selesai melakukan Isra' dan Mikraj segolongan orang yang kurang mempercayai apa yang telah dikhabarkan Rasulullah S.A.W. telah pergi menemui Saiyidina Abu Bakan R.A. untuk mendengarkan apa pendapatnya tentang dakwaan Muhammad S.A.W. itu. Tujuan kedatangan mereka mendapatkan Abu Bakar R.A. tidak lain dengan prasangka tentunya Abu Bakar R.A. kali ini akan mendustakan kisah yang tidak masuk akal pada fikiran mereka itu. Setelah pertanyaan itu disampaikan kepada Abu Bakar R.A. lalu beliau pun berkata, "Adakah Muhammad berkata begitu? Sahut mereka, "Benar! Maka ujar Saiyidina Abu Bakar R.A. "Jika Muhammad berkata begitu maka sungguh benarlah apa yang diceritakan itu. Lalu mereka pun terus menyambung, "Engkau percaya hai Abu Bakar bahwa Muhammad sampai ke tanah Syam lebih sebulan perjalanan pulang, di malam semalam tadi? Maka sahut Abu Bakar sungguh-sungguh, "Benar! Aku percaya! Malah lebih dari itu aku percaya kepadanya. Aku percaya akan berita dari langit yg diberitakannya baik pada waktu siang mahupun di waktu malam! Demikian hebatnya sambutan sahabat yang paling utama itu. Kerana tegas dan teguhnya iman beliau terhadap agama yang dibawa oleh Muhammad dan terhadap apa yang dikhabarkan oleh baginda maka beliau telah diberi oleh Rasulullah S.A.W. dengan gelaran Al-Siddiq, entinya yang benar.

Dan memanglah tidak menghairankan sekali sikap Abu Bakar itu. Beliau telah kenal akan Muhammad S.A.W. bukan sehari dua, melainkan sudah boleh dikatakan seumur manusia. Beliau tahu bahawa sahabatnya itu berkata benar, tak pernah bohong; orang amin. Mustahil baginda akan khianat kepada pengikutnya yang pencaya kepadanya. Beliau mengimani sahabatnya itu Pesuruh Allah Yang Maha Kuasa, menerima wahyu danipada Tuhannya. Beliau sudah bertahun-tahun mengikutkan petunjuk yang diwahyukan oleh Allah kepada sahabatnya itu maka telah teguhlah iman dalam hatinya.

Tatkala keadaan kekejaman orang-orang musynikin Quraisy terhadap kaum Muslimin yang sedikit jumlahnya di Mekah semakin hebat dan membahayakan, Nabi Muhammad S.A.W. telah mengadakan permusyuaratan di rumah Saiyidina Abu Bakar R.A. untuk mencari jalan keluar daripada kesulitan yang sedang dihadapi oleh pihak kaum Muslimin. Ketika itulah Rasulullah S.A.W. menjelaskan kepada Saiyidina Abu Bakar R.A. bahawa Allah S.W.T. telah memerintahkan baginda supaya melakukan hijrah ke Madinah serta meminta Saiyidina Abu Bakar R.A. supaya menemaninya dalam peristiwa hijrah tersebut. Dengan perasaan gembira tanpa sedikit kebimbanganpun Saiyidina Abu Bakar R.A. menyambut permintaan Rasulullah S.A.W.

Dari pintu belakang rumah Saiyidina Abu Bakar R.A. Rasulullah S.A.W. bersama-sama Saiyidina Abu Bakar menuju ke Gunung Tsaur dan bersembunyi di gua yang diberi nama Gua Tsaur. Pada saat suasana amat kritis, Saiyidina Abu Bakar R.A. diserang rasa kegelisahan dan cemas kerana khuatir kalau-kalau musuh dapat mengetahui di mana Rasulullah sedang bensembunyi, maka pada saat itu turun ayat suci Al Quran dari Surah Taubah yang isinya memuji Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq, sebagai orang kedua sesudah Nabi s,a.w. dalam Gua Tsaur. Dalam pada itu Rasulullah S.A.W. pun mengerti akan situasi dan kegelisahan sahabatnya itu yang oleh kerananya Rasul berkata, "Apakah yang menggelisahkanmu, bukankah Allah menemani kita?

Kemudian Rasulullah S.A.W., diriwayatkan berkata selanjutnya untuk menghilangkan kebimbangan Saiyidina Abu Bakar, "Kiranya mereka masuk juga ke dalam gua ini kita masih dapat melepaskan diri dari pintu belakang itu, ujar Rasul sambil menunjukkan ke belakang mereka. Saiyidina Abu Bakar R.A. pun menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya beliau bila dilihatnya pintu belakang yang ditunjuk oleh Rasul itu, padahal pintu tersebut tadinya tidak ada sama sekali. Sebenarnya kebimbangan Abu Bakar R.A. tatkala di dalam gua itu bukanlah kerana takutkan nyawanya akan diragut oleh pihak musuh tetapi yang lebih dibimbangkannya ialah keselamatan jiwa baginda Rasul. Beliau pernah berkata, "Yang saya bimbangkan bukanlah mengenai diri saya sendiri, kalau saya terbunuh, yang tewas hanyalah seorang manusia biasa. Tapi andaikata tuan sendiri dapat dibunuhnya maka yang akan hancur ialah satu cita-cita yang suci murni. Yang akan runtuh ialah keadilan dan yang akan tegak pula ialah kezaliman.

Ucapan antara dua orang sahabat tatkala dalam gua itu ada tersebut dalam Al Quran dalam Surah At-Taubah ayat 40: "Kalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) ketika dia diusir oleh orang-orang kafir (dan kampung halamannya), dalam keadaan berdua orang sahaja di dalam suatu gua, Di kala itu dia (Muhammad) berkata kepada sahabat karibnya (Abu Bakar): Jangan engkau berdukacita; sesungguhnya Tuhan bersama kita. Tuhan menurunkan ketenanganNya kepadanya, dan dikuatkannya dengan tentera yang tidak kamu lihat. Dan Tuhan menjadikan perkataan orang yang kafir itu paling rendah dan perkataan Tuhan itu yang amat tinggi. Dan Tuhan Maha Kuasa dan Bijaksana.

Demikian satu lagi keistimewaan Saiyidina Abu Bakar AL Siddiq sebagai seorang sahabat yang sama-sama mengalami kesukaran dan kepahitan bersama-sama Rasulullah dalam menyampaikan seruan Islam. Saiyidina Abu Bakar R.A. tidak bercerai jauh dengan baginda Rasul sepanjang hidupnya dan menyertai semua peperangan yang dihadapi oleh baginda. Beliau bukan sahaja berjuang menegakkan Agama Islam dengan segenap jiwa raganya bahkan juga dengan harta kekayaannya. Sungguh beliaulah yang paling banyak sekali berkorban harta untuk menegakkan Agama Islam. Bahkan seluruh kekayaannya telah habis dipergunakannya untuk kepentingan penjuangan menegakkan kalimah Allah. Di kalangan para sahabat beliaulah tergolong orang yang paling murah hati dan dermawan sekali.

Dalam Perang Tabuk misalnya, Rasulullah S.A.W. telah meminta kepada sekelian kaum Muslimin agar mengorbankan hartanya pada jalan Allah. Tiba-tiba datanglah Saiyidina Abu Bakar R.A. membawa seluruh harta bendanya lalu meletakkannya di antara dua tangan baginda Rasul. Melihat banyaknya harta yang dibawa oleh Saiyidina Abu Bakar R.A., bagi tujuan jihad itu maka Rasulullah S.A.W. menjadi terkejut lalu berkata kepadanya:

"Hal sahabatku yang budiman, kalau sudah semua harta bendamu kau korbankan apa lagi yang akan engkau tinggalkan buat anak-anak dan isterimu?

Pertanyaan Rasulullah S.A.W. itu dijawab oleh Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq dengan tenang sambil tersenyum, ujarnya. "Saya tinggalkan buat mereka Allah dan RasulNya.

Demikianlah kehebatan jiwa Saiyidina Abu Bakar AlSiddiq, suatu contoh kemurahan hati yang memang tidak dijumpai bandingannya di dunia. Memandangkan besarnya pengorbanan beliau terhadap Islam maka wajarlah kalau Rasulullah bersabda bahawa tegaknya Agama Islam itu adalah lantaran hanta benda Siti Khadijah dan juga Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq. Tepatlah juga tatkala baginda bersabda bahawa kiranya iman seluruh ummat ditimbang bersama iman Saiyidina Abu Bakar R.A. maka berat lagi iman Saiyidina Abu Bakar R.A. Beliau memang manusia luar biasa kebesarannya yang telah ditakdirkan oleh Allah S.W.T. untuk menjadi teman akrab Rasulullah s.a.w

Pada suatu ketika di saat Rasulullah membaca khutbah yang antara lain menyatakan bahawa kepada seseorang hamba Allah ditawarkan untuk memilih dunia dan memilih ganjaran yang tersedia di sisi Allah, dan hamba Allah tersebut tidak akan memilih dunia, melainkan memilih apa yang tersedia di sisi Tuhan... Maka ketika meñdengar khutbah Nabi demikian itu Saiyidina Abu Bakar R.A. lalu menangis tersedu-sedu, kenana sedih dan terharu sebab beliau mendengar dan mengerti bahawa yang dimaksud dalam isi khutbah tersebut ialah bahawa umur kehidupan Rasul di dunia ini sudah hampir berakhir. Demikian kelebihan Saiyidina Abu Bakar R.A. di- banding dengan para sahabat yang lain kerana beliaulah yang mengetahui bahawa umur Rasul hampir dekat.

Keunggulan beliau dapat dilihat dengan jelas selepas wafatnya Rasulullah S.A.W. di kala mana ummat Islam hampir-hampir menjadi panik serta tidak percaya kepada kewafatannya. Bahkan sahabat besar Saiyidina Umar Al Khattab sendiri telah diselubungi kekacauan fikiran dan tampil ke muka umum sambil mencabar dan mengugut sesiapa sahaja yang berani mengatakan baginda telah wafat. Ujar Umar r.a., "Rasulullah tidak wafat, dia hanya pergi menghadap Allah sahaja seperti perginya Nabi Musa yang telah menghilangkan diri dan kaumnya selama empat puluh hari, kemudian pulang semula kepada kaumnya setelah diheboh-hebohkan wafatnya.

Ketika kegawatan itu berlaku Saiyidina Abu Bakar sedang berada di suatu kampung Al-Sunnah. Tatkala berita kewafatan Rasulullah itu sampai kepadanya, beliau dengan segera menuju ke Madinah. Di sana beliau dapati ramai orang sedang benkumpul mendengarkan pidato Saiyidina Umar Al Khattab tadi. Tanpa lengah-lengah lagi Saiyidina Abu Bakar terus ke rumah puterinya Siti Aisyah dan di sanalah beliau dapati tubuh Rasulullah S.A.W. terbujur di satu sudut rumah. Beliau lantas membuka wajah Rasulullah dan mengucupkannya, sambil benkata, "Wahai, betapa cantiknya engkau ketika hidup dan betapa cantiknya engkau ketika mati! Kemudian beliau pun keluar mendapatkan orang ramai yang sedang dalam panik itu lalu berkata dengan nada yang keras:

"Wahai kaum Muslimin! Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati. Tetapi barang siapa yang menyembah Allah maka Allah selama-lamanya hidup tidak mati. Seraya menyambung membacakan sepotong ayat dari Al Qur'an:

"Muhammad itu tidak lebih dari seorang rasul seperti rasul-rasul yang terdahulu darinya. Jika ia mati atau terbunuh patutkah kamu berundur ke belakang. Sesiapa yang surut ke belakang, dia tidak akan membahayai Allah sedikit pun dan sesungguhnya Allah akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.

Sejurus sahaja mendengar ayat itu, Saiyidina Umar Al Khattab pun terus rebah hingga barulah beliau dan orang ramai Islam yang telah mendengar pidatonya tadi mendapat kepastian bahawa Rasulullah sudah wafat. Kaum Muslimin tentunya telah pernah dengar ayat ini sebelumnya, kerana ayat itu telah turun semasa peperangan Uhud, ketika Rasulullah S.A.W. telah diberitakan mati terkorban dan menyebabkan banyak pejuang-pejuang Islam berundur ke Madinah. Tetapi mereka tidaklah memahami maksud ayat ini seperti yang difahami oleh Saiyidina Abu Bakar R.A. Ini jelas membuktikan kecerdasan Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq dalam memahami Islam.

Ketika Rasulullah S.A.W. wafat, baginda memang tidak meninggalkan pesan tentang siapa yang patut menggantikan baginda sebagai Khalifah ummat Islam. Tetapi setelah lama berbincang kaum Muslimin dengan suara ramai memilih Saiydina Abu Bakar Al-Siddiq sebagai Khalifah setelah namanya itu dicalunkan oleh Saiyidina Umar Ibnul Khattab R.A. Pemilihan ini tentulah tepat sekali kerana pada pandangan kaum Muslimin memang beliaulah yang paling layak sekali memegang kedudukan itu memandangkan kelebihan-kelebihannya dari para sahabat yang lain. Apatah lagi beliaulah yang pernah ditunjuk oleh baginda Rasul semasa hayatnya untuk menggantikan baginda sebagai imam sembahyang tatkala baginda sedang uzur.

Setelah dipilih oleh sebahagian besar ummat ketika itu Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq pun memberikan ucapannya yang terkenal yang antara lainnya baginda berkata:

"Wahai sekelian ummat! Aku telah dipilih menjadi pemimpin kamu padahal aku ini bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Sebab itu jika pemerintahanku baik, maka sokonglah, tetapi jika tiada baik, maka perbaikilah. Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat pada sisiku hingga aku harus menolongnya mendapatkan haknya, sedang orang yang kuat di antara kamu adalah lemah pada sisiku, hingga aku harus mengambil hak orang lain yang berada di sisi nya, untuk dikembalikan kepada yang berhak semula. Patuhilah kepadaku selama aku patuh kepada Allah dan RasulNya. Akan tetapi jika aku mendurhakai Allah, maka kamu sekalian tak harus lagi patuh kepadaku.

Aku dipilih untuk memimpin urusan ini padahal aku enggan menerimanya. Demi Allah aku ingin benar kalau ada di antaramu orang yang cekap untuk urusan ini. Ketahuilah jika kamu meminta kepadaku agar aku berbuat sebagai yang telah dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. sungguh aku tidak dapat memperkenankannya, Rasulullah adalah seorang hamba Allah yang dapat kurnia wahyu dari Tuhan, kerana itu baginda terpelihara dari kesalahan-kesalahan, sedang aku ini hanyalah manusia biasa yang tidak ada kelebihannya dari seorangpun juga di antara kamu.

Ini adalah satu pembaharuan dalam pemerintahan yang belum pernah dikenali oleh rakyat jelata kerajaan Rome dan Parsi yang memerintah dunia barat dan timur ketika itu. Baginda telah mematuhi manifesto politiknya. Baginda hidup seperti rakyat biasa dan sangat tidak suka didewa-dewakan. Adalah diriwayatkan bahawa pada satu masa ada orang memanggilnya, "Ya Khalifah Allah! Baginda dengan segera memintas cakap orang itu dengan katanya:

"Saya bukan Khalifah Allah, saya hanya Khalifah RasulNya!

Adalah diriwayatkan bahawa pada keesokan harinya iaitu sehari setelah baginda terpilih sebagai Khalifah, Saiyidina Abu Bakar R.A. kelihatan membawa barang perniagaannya ke pasar. Beberapa orang yang melihat itu lalu mendekati baginda, di antaranya Abu Ubaidah Bin Janrah. Sahabat besar itu mendekati baginda seraya berkata, "Urusan Khalifah itu tidak boleh dicampuri dengan berniaga! Lalu Abu Bakar R.A. bertanya, "Jadi dengan apakah aku hidup, dan bagaimana aku membelanjai rumah tanggaku? Demikian sedihnya nasib yang menimpa Saiyidina Abu Bakar R.A. sebab walaupun kedudukannya sebagai Kepala Negara namun belum ada lagi ketetapan untuk bagi seseorang kepala pemenintah Islam memperolehi gaji dari harta kerajaan.

Keadaan ini mendapat perhatian dari para sahabat lalu mereka menentukan tunjangan secukupnya buat baginda dan buat keluarga baginda yang diambil dari Baitul Mal. Kemudian itu baharulah Khalifah Abu Bakar meninggalkan usaha perniagaannya kerana hendak memusatkan seluruh tenaganya untuk mengembangkan agama Islam dan menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang Khalifah. Semasa hertugas sebagai Khalifah ummat Islam baginda hanya menerima peruntukan sebanyak enam ribu dirham sahaja setahun iaitu kira-kira lebih kurang 1,200 dolar sahaja setahun. Peruntukan itu tidak dibelanjakannya untuk keperluan dirinya malahan sebelum wafatnya baginda telah memerntahkan supaya pendapatannya itu diserahkan kembali kepada Baitul Mal.

Kebijaksanaan Abu Bakar R.A. juga ternyata dalam polisinya menyamakan pemberian elaun kepada orang-orang yang berhak agar mereka tidak dipisahkan oleh jurang-jurang perbezaan yang jauh agar tidak lahir satu golongan yang mendapat kedudukan yang lebih istimewa dan golongan-golongan yang lain. Sedangkan baginda sendiri hanya mengambil sekadar keperluan-keperluan asasi buat diri dan keluarganya.

Sebelum baginda wafat, kepada Saiyidina Umar Al Khattab baginda telah mewasiatkan agar jangan menghiraukan jenazahnya nanti bila baginda pulang ke rahmatullah, melainkan haruslah dia segera mengirim bala tentera ke Iraq untuk membantu Al Muthanna yang sedang bertempur di Iraq itu. Saiyidina Abu Bakar R.A. tidak lupa mengingatkan Saiyidina Umar R.A. apa yang dikerjakannya di waktu Rasulullah wafat dan bagaimana cintanya kepada Rasul dan perhatiannya kepada jenazah baginda yang suci itu tidak mengabaikannya dan melaksanakan kewajipan biarpun yang demikian itu amat berat bagi jiwanya. Dengarlah antara lain kata-katanya kepada Umar Ibnul Khattab R.A.:

"Dengarlah hai Umar! Apa yang akan kukatakan ini dan laksanakanlah. Aku mengharap akan kembali ke hadrat Allah hari ini sebab itu sebelum matahari terbit pada esok hari engkau hendaknya telah mengirim bala hantuan kepada Al Muthanna. Janganlah hendaknya sesuatu bencana bagaimana pun besarnya dapat melupakan kamu dan urusan agama dan wasiat Tuhan. Engkau telah melihat apa yang telah ku lakukan tatkala Rasulullah wafat sedang wafatnya Rasulullah itu adalah satu bencana yang belum pernah manusia ditimpa bencana yang sebesar itu. Demi Allah, andaikata di waktu itu aku melalaikan perintah Allah dan RasulNya, tentu kita telah jatuh dan mendapat siksaan Allah, dan pasti pula kota Madinah ini telah jadi lautan api.

Dalam masa pemerintahannya yang singkat Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq yang memerintah hanya dalam masa dua tahun sahaja itu telah meletakkan asas pembangunan sebuah pemenintahan Islam yang teguh dan kuat setelah berjaya mengatasi berbagai macam masalah dalam negeri dengan segala kebijaksanaan dan kewibawaannya. Baginda telah memenuhi segenap janji-janjinya dan dalam masa dua tahun pemerintahannya itu telah terbentuk rantai sejarah Islam yang merupakan lembaran-lembaran yang abadi.

Sungguh kehidupan Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq adalah penuh dengan nasihat, penuh dengan ajaran serta kenang-kenangan yang indah mulia. Selama dua tahun pemerintahannya itu baginda telah berjaya menyusun tiang-tiang pokok dan kekuatan Islam. Baginda telah membangunkan kekuatan-kekuatan yang penting bagi memelihara kepercayaan kaum Muslimin dan bagi memelihara keagungan Agama Islam. Bahkan baginda telah mengakhiri riwayat pemerintahan yang dipimpinnya dengan menundukkan sebahagian daripada negeri Syam dan sebahagian daripada negeri Iraq, lalu pulang ke rahmatullah dengan dada yang lapang, ketika umur baginda menginjak 63 tahun. Baginda dikebumikan di samping makam Rasulullah S.A.W. di Masjid Madinah. Semoga riwayat serta penjuangan baginda menjadi contoh ibadat yang murni bagi sekelian kaum Muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...