Selasa, 18 September 2018

KISAH ABU SOFYAN BIN HARB


KISAH ABU SOFYAN BIN HARB


Orientasi
Nama lengkapnya adalah Sakhar bin Harb bin Umaiyah. Beliau ini termasuk orang kaya Quraisy, pada mulanya termasuk musuh Islam nomor satu, di mana beliau sempat memimpin pasukan kaum Musyrikin dalam perang Uhud dan Khandak. Beliau masuk Islam pada waktu penaklukan kota Mekah. Dia adalah ayah dari Muawiyah, pendiri Daulat Umaiyah. Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah. Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya. Ia juga seperti yang dikatakan banyak orang, antara lain al-’Abbas bin Abdul Muththalib, senang dipuji dan dibanggakan orang.

Ia dilahirkan sepuluh tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah ke Mekkah. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain Arab) lainya. Ia suka keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan ‘Al-’Uqab”. Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya. Putranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallâhu ‘anhu adalah seorang penulis wahyu. Ia pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum pemerintahan Khalifah Umar ibnul-Khaththab radhiallâhu ‘anhu. Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan radhiallâhu ‘anha. (Ummu Habibah), adalah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam . Dan termasuk salah seorang dari Ummahaatul Mukminin radhiallahu ‘anhunna.

Ummu Habibah, istri Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri Habasyah bersama dengan suaminya. Di negeri nun jauh itu tiba-tiba suaminya tergoda masuk agama Nashrani. Karenanya, ia minta cerai. Sesudah berakhir ‘iddahnya, Raja Najasyi memanggilnya seraya berkata kepadanya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menulis surat kepada saya untuk mengawinkan anda dengan beliau”. Ramlah lalu berkata, “semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan juga!” Ramlah pun akhirnya menjadi isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Abu Sufyan mendengar berita perkawinan puterinya itu dengan Rasulullah, ia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak dipotong hidungnya!”

Abu Sufyan mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ternyata dia merupakan orang yagn paling gigih melawan dan memeranginya. Dia pernah juga menyertai delegasi kaum Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau menyerahkan keponakannya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan keberuntungan bagi mereka semua. Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan mereka.

Tiba saatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini. Pada suatu saat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa Abu Sufyan sedang dalam perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang selama lebih dari sepuluh tahun telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang telah mengusir mereka keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya. Abu Sufyan sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan hal itu, terutama kepada kaum Muhajirin, “Kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan segera akan melintasi daerah kita. Marilah kita keluar mencegatnya. Barangkali Allah akan menggantikan apa-apa yang telah mereka rampas dari kita dahulu!”

Ketika tiba di perbatasan Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat tidak enak. Ia selalu bertanya kepada setiap orang atau kafilah yang datang dari jurusan Madinah dengan perasaan was-was dan takut. Akhirnya ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan bahwa Muhammad telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang dipimpinnya. Abu Sufyan lalu membayar seorang kurir untuk mengirimkan kabar tentang hal itu ke kota Mekkah, namanya Dhamdham bin Amru al-Ghifari. Dalam pesannya itu, ia berharap supaya kaum Quraisy mengirimkan pasukannya untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari serangan Muhammad dan para sahabatnya.

Ternyata diluar dugaan, Abu Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari kepungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia segera mengirim kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy yang hendak melindungi kafilahnya. Ia berkata, “Kalian keluar untuk menyelamatkan kafilah, harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu sudah diselamatkan oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke Mekkah”. Abu Jahal berkata kepada anggota pasukannya , “Demi Allah, kami tidak akan kembali hingga sampai ke Badar. Disana, kami akan berdiam tiga hari tiga malam, bersuka ria, memotong ternak, makan-makan, minum-minuman keras, dan wanita menyanyi dan menari agar bangsa Arab mendengar dan mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan senantiasa menakuti kami. Ayo jalan terus!”

Terjadilah peperangan di Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam peperangan itu, Abu Jahal dan banyak tokoh Quraisy lain tewas, dan banyak juga yang tertawan. Diantara yang tertawan itu adalah Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, suami Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para tawanannya, sedangkan Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, lalu ia bersabda kepada para sahabatnya dengan penuh haru, “Kalau kalian ridha melepaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya, silahkan!” Mereka menyambutnya, “Baiklah, ya Rasulullah!”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta janji Abul ‘Ash bahwa ia akan melepaskan putrinya, Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengirimkan Zaid bin Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar untuk mengawalnya. Rasulullah bersabda kepada orang itu, “Kalian berdua hendaklah menunggu kedatangan Zainab di Lembah Ya’jaj kemudian menyertainya hingga datang ke sini”.

Sesudah Abul ‘Ash tiba di Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab (isterinya) pergi ke Madinah untuk menyusul ayahnya. Sesudah keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada saudaranya, Kinanah bin ar-Rabi’, untuk mengawal keberangaktan isterinya itu. Kinanah berangkat di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan busurnya, sedangkan sayyidatina Zainab di atas haudaj. Keluarnya Zainab ini sempat membuat ketegangan di kalangan kaum Quraisy yang baru kalah perang di Badar. Mereka mengejarnya dan berhasil menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa. Orang yang pertama berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al-Aswad bin Abdul Muththalib bin Ased. Kinanah dengan cekatan menghadang Hubar seraya berkata, “Demi Allah, jangan ada yang mendekati kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu melepaskan panahku ini”. Orang-orang pun menjauh darinya. Tak lama setelah itu, Abu Sufyan datang dengan rombongannya hendak melerai kedua rombonga itu. Ia berkata: “Kinanah! Masukkanlah anak panahmu. Kami akan berbicara denganmu”. Ia pun lalu memasukkan anak panahnya ke sarungnya.

Abu Sufyan lalu menasehatinya: “Kamu tidak tepat membawa keluar wanita itu di siang hari, padahal kamu tahu benar apa yang telah dilakukan Muhammad terhadap tokoh kita di Badar baru-baru ini. Dengan mengeluarkan putrinya di siang hari dari tengah-tengah kita, akan menimbulkan anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam keadaan hina dan lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya dari ayahnya, namun kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah, sampai suara-suara yang membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai, barulah kamu membawanya keluar secara diam-diam. Kinanah membawa Zainab kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa malam, ketika pembicaraan Quraisy tentang kekalahannya sudah mulai mereda, barulah ia membawa keluar dengan diam-diam dan menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan rekannya itu. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan telah bertindak bijaksana sekali hingga dapat mengekang amarah kaum Quraisy yang sedang berkobar-kobar dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.

Belum setahun dari kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil mengarahkan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi Muhammad. Abrang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkan dari akum muslimin dahulu itu diapakai sebagfai modal utama untuk membiayai peperangan yang akan mereka lancarkan. Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun binti Utbah. Ternyata, dalam peperangan itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak meninggalkan kedudukannya di atas Bukit Uhud. Allah Ta’ala ingin memelihara kaum muslimin yang akan mengemban tugas menyebarkan agama-Nya ke seluruh penjuru dunia, agar mereka senantiasa bersatu padu, tidak bercerai berai, dan selalu kompak dan patuh pada perintah pimpinannya.

Sesudah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud seraya berteriak dengan suara keras, “Peperangan berakhir dengan seri, Perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah Dewa Hubal, agamamu telah menang!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Umar, jawablah mereka dan katakanlah, ‘Allah Maha Agung. Mayat orang-orang kami di surga dan mayat orang-orang kalian di api neraka”. Sesudah Umar menjawab pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Umar, mari Anda ke sini!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Umar, “Hampirilah, Umar! Apa maunya?” Umar pergi menghampirinya, lalu Abu Sufyan bertanya, “Saya mohon kepadamu, wahai Umar apakah pasukan kami telah membunuh Muhammad ?” Umar menjawab, “Demi Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini”. Ia lalu berkata dengan tegas: “Saya lebih percaya kepadamu daripada Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad!” Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan mengatakan lagi, “Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di Badar”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan salah seorang sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan itu, “Katakanlah kepadanya, kami akan sambut tantanganmu”. Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di tengah jalan, ada seorang yang berkata kepada mereka, “Kita memang telah membunuh banyak pimpinan tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita tidak menumpas sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada mereka?”Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan tetapi, belum sempat ia memutar kepala kudanya, ia melihat Ma’bad bin Ma’bad al-Khuza’i datang dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, “Ada kabar apa, wahai Ma’bad?” Ia menjawab, “Muhammad dan kawan-kawanya sedang mengejar-ngejar kalian dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang yang tidak ikut berperang bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri. Mereka dengan perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas kekejaman yang derita kawan-kawannya”.

Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya, “Celaka, Apa katamu?” Ma’bad berkata lagi, menegaskan: “Menurut pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali!” Abu Sufyan berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka yang masih hidup”. Ma’bad menasehati mereka, “Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya!” Setelah mendengar nasihat Ma’bad, mereka cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah. Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan mendatangkannya untuk menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak sebagai panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tewas karenanya, bahkan ia telah berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan. Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya? Memang Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas. Kalau Abu Sufyan termasuk orang yang tewas juga tentu keadaan akan berubah jauh, tentu banyak orang yang menganut Islam dengan terang-terangan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang Abu Sufyan; ternyata banyak diantara mereka yang memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia bertanggung jawab atas tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi, kalau ia di bunuh, ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan kejahatan. Rasululklah Shallallahu ‘alaihi wasallam puas atas hasil musyawarah itu. Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan untuk mengirimkan Amru bin Umayyah ad-Dhamri dan seorang dari golongan Anshar pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan. Kedua orang itu pergi memenuhi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Amru menceritakan misinya, “Saya keluar bersama rekan saya yang kurang sehat. Saya membawanya diatas untaku hingga mencapai Lembah Ya’jaj, tidak jauh dari Mekkah.
Aku berkata kepada rekanku: “Kita tinggalkan unta kita disini dan kita pergi mencari Abu Sufyan dan membunuhnya. Kalau kamu melihat sesuatu yang mengkhawatirkan, cepat-cepat pergi ke tempat unta itu dan kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ceritakan apa-apa yang telah terjadi kepadanya, tidak usah memikirkan aku’. Kami memasuki kota Mekkah. Aku menyandang sebilah Khanjar (belati). Aku sengaja persiapkan kepada siapa-sapa saja yang menghalang-halangiku. Rekanku berkata kepadanya, ‘Apakah tidak sebaiknya kita Thawaf dahulu dan Shalat dua raka’at?’ Saya menjawabnya, ‘Biasanya penduduk kota Mekkah duduk-duduk di halaman rumah mereka dan saya mengenali mereka’. Kami memasuki Baitullah, lalu kami thawaf dan shalat dua raka’at disana, kemudian kami keluar dan melewati tempat mereka duduk-duduk. Ternyata, sebagian dari mereka mengenaliku, lalu berteriak sekeras-kerasnya, ‘Itu Amru bin Umayyah’. Penduduk kota Mekkah keluar mengejar kami dan berkata:’ dia tidak datang melainkan untuk melakukan suatu kejahatan’. Aku berkata kepada rekanku, ‘Selamatkan dirimu!’ Kami melarikan diri keatas gunung, lalu memasuki sebuah gua. Kami bermalam dua hari dua malam disana, menunggu keadaan tenang. Tiba-tiba Utsman bin Malik dengan menunggang kuda ada di pintu goa. Saya keluar dan menikamnya dengan khanjarku. Dia berteriak dengan sekeras-kerasnya sehingga penduduk Mekkah datang menghampirinya, sedangkan saya kembali bersembunyi. Mereka menemukannya sudah dalam keadaan sekarat. Mereka bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menikammu?’

Dia menjawab, ‘Amru bin Umayyah,’ lalu ia menghembuskan napas terakhirnya dan tak sempat memberitahukan kepadanya tempat persembunyianku. Kini mereka disibukan mengurusi mayatnya sehingga tidak sempat mencari tempat persembunyianku. Aku tinggal di gua itu dua hari lagi sampai keadaan menjadi benar-benar tenang. Setelah itu, kami keluar menuju Tan’im, suatu tempat yang tidak jauh dari Mekkah. Disana, saya menemukam mayat Khubaib tergantung diatas sebuah kayu; disekitarnya terdapat beberapa orang pengawal. Saya menurunkan mayatnya, lalu memanggulnya. Belum sampai empat puluh langkah dari tempatnya, mereka sadar dan mengejar saya. Saya meletakkan mayat Khubaib dan melarikan diri, sampai mereka tidak mengejarku lagi. Adapun rekanku telah kembali dengan mengendarai untanya dan menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai mayat Khubaib, sejak saat itu tidak terlihat lagi, seolah-olah telah di telan bumi”.

Dikisahkan bahwa Abu Sufyan berkata kepada Khubaib ketika hendak dibinihnya, “Ya Khubaib, maukah kau kalau menggantikan tempatmu sekarang, akan kami penggal batang lehernya sedangkan aku duduk dengan keluargaku.” Abu Sufyan terheran-heran, “Belum pernah aku melihat ada seseorang yang mencintai seseorang lebih dari sahabat Muhammad mencintai Muhammad.” Dia pun lalu dibunuhnya. Sudah menjadi takdir Allah Ta’ala bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh. Misi ‘Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan berkesempatan untuk mengerahkan para kabilah Arab untuk memerangi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kali ini, ia bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk menggali parit sesuai dengan saran Salman al-Farisi radhiallâhu ‘anhu. Begitu parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan tiba, tetapi mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka mendirikan perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka’ab bin Asad, pimpinan baru Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas nama kaumnya. Ia lalu menutup pintu bentengnnya dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk memasukinya, seraya berkata, ‘Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan perjanjian dengan Muhammad dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya itu”.

Huyai menjawab, “wahai Ka’ab, saya datang membawa berita gembira dan kemuliaan abadi. Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan para sahabatnya”. Ka’ab menjawab: “Kalau begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi!” Celaka kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!” Akan tetapi, Huyai tidak membiarkan Ka’ab melepaskan diri dari cengkramanannya, sampai ia mau melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Dia mengadakan perjanjian dengan Huyai, “Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu dan hidup senasib dengan kau!”
Pada saat itu, kaum muslimin menderita ketakutan yang luar biasa karena harus menghadapi dua front: Quraisy dan Ghathafan dari luar serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang dilukiskan dalam Al-Qur’an:
 “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (QS. Al-Ahzab: 10-11)

Malapetaka ini terjadi karena lebih dari dua puluh malam, kedua pasukan yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan panahnya masing-masing. Tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kamu hanya sendirian. Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu daya”. Nu’aim lalu pergi menemui tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman jahiliyyah, mereka bersahabat . Nu’aim berkata kepada mereka: “kalian sudah mengetahui hubungan baik antara aku dan kalian”. Mereka menjawab: “Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu”.

Lalu, sambungnya lagi, “Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu, sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya. Janganlah kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad”. Mereka menjawab, “Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali!”

Kemudian Nu’aim pergi menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya, seraya berkata, “Kalian sudan mengetahui hubungan baikku dengan kalian dan kerengganganku dengan Muhammad. Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah menyesali tindakannya dan mereka telah mengirim delegasi kepada Muhammad dan menanyakan, ‘Apakah Anda mau menerima kalau kami meminta jaminan tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami serahkan kepada Anda untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan anda memperkuat persahabatan yang telah ada?”

Tampaknya, tawaran mereka itu diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian memenuhinyya meskipun hanya seorang saja”. Nu’aim lalu pergi menemui pimpinan Ghathafan dan berkata, “Kalian terbilang keluarga dan familiku sendiri”. Ia lalu memperingatkan mereka seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy. Begitu Nu’aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya berkata kepada mereka, “Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera melancarkan peperangan untuk menumpas Muhammad”. Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan Nu’aim, “Kami tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian akan segera kembali ke negeri kalian dan membairkan kami menjadi umpan Muhammad sedang kami berada di negerinya”.

Delegasi Ikrimah kembali dari perkampungan Bani Quraizhah dengan tangan hampa. Ia menyampaikan kepada Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu, sambut Abu Sufyan, “Demi Allah benar sekali apa yang dikatakan Nu’aim bin Mas’ud!” Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban tegas kepada Bani Quraiszah, Demi Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh kami seorangpun juga!” Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, “Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu’aim bun Mas’ud kepada kami”.

Allah Ta’ala mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu, ke perkemahan Quraisy dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya, seperti yang dilukiskan Al-Qur’anul Karim:
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya.Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9)

Abu Sufyan kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat itu bersabda, “Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami lagi”. Ternyata sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu tepat sekali, perjanjian damai antara Quraisy dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berhasil ditandatangani. Dalam kesempatan baik ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan surat dan delegasinya ke seluruh penjuru bumi, mengundang raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk agama Islam. Diantara surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Heraclius, Kaisar Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah al-Kullabi.

Konon, Kaisar bersedia menerima tawaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya. Ketika Heraclius ada di negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah dihadapkan kepada baginda beberapa orang, antara lain Abu Sufyan. Heraclius mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya seraya berkata: “Saya akan bertanya kepadamu. Kalau ia berbohong, sangkallah!” Abu Sufyan berkata mengenang peristiwa itu: “Kalau saya tidak khawatir dicap pembohong, tentu saya akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai tentang Nabi, saya berusaha memperkecil perannya, namun baginda tidak menghiraukan keterangan saya itu, lalu tanyanya tiba-tiba:

“Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?”
“Keluarganya terbilang keluarga bangsawan”.
“Apakah ada diantara keluarganya yang mengaku Nabi?”
“Tidak!”.
‘Apakah ada hak-haknya yang pernah kalian rampas?”
“Tidak”.
“Siapa para pengikutnya?”
‘Mereka terdiri atas para orang lemah, miskin, dan anak muda’.
‘Apakah para pengikutnya mencintai dan mematuhinya, atau meninggalkannya?”
“Tidak ada yang mengikutinya lalu meninggalkannya”.
“Bagaimana peperangan yang terjadi antara dia dan kamu?”
“Sekali kami menang dan sekali lagi dia yang menang”.
“Apakah dia pernah berbuat curang?”
“Saya tidak pernah mencurigainya. Kini, kami sedang berdamai dengan dia, namun kami tidak saling curiga”.

Heraclius berkata lagi: “Saya bertanya kepadamu tentang nasabnya, Anda mengatakan bahwa dia terbilang keluarga bangsawan dan begitulah para nabi umumnya”. Saya bertanya kepadamu, apakah ada diantara keluarganya yang mengaku nabi, Anda mengatakan tidak. Saya bertanya kepadamu, apakah ada hak-haknya yang kalian rampas, lalu dia bangkit untuk menuntutnya, anda mengatakan tidak. Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, anda mengatakan mereka terdiri atas para mustadh’afiin dan fakir miskin, dan memang begitulah pengikut para rasul. Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, apakah mereka mencintainya atau meninggalkannya, anda mengatakan bahwa para pengikutnya mencintainya dan tidak ada yang meninggalkannya. Begitulah lezatnya keimanan apabila sudah memasuki kalbu seseorang, tidak akan sudi keluar lagi. Saya bertanya kepadamu, apakah ia pernah melakukan kecurangan, anda menjawab tidak. Kalau Anda mau percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi yang ada dibawah telapak kakiku ini. Rasanya aku ingin sekali mencuci kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda!’

Selanjutnya, Abu Sufyan berkata: ‘Aku keluar dari hadapan Kaisar Heraclius dengan rasa takjub, lalu berkata: ‘Sungguh menakjubkan keadaan Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut kekuasaannya akan terancam”. Akan tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk Islam? Apakah ia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad?
Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau ia ada dihadapannya, tentu ia akan mencuci kedua kakinya. Sesungguhnya, rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk Islam tidak lain hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata:
“Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS.al-Anfaal: 32)

Ternyata Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama memegang tampuk kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Quraisy sesudah perang Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum muslimin lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang mereka untuk menaklukkan kota Mekkah. Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi. Abu Sufyan mengetahui benar apa tujuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekkah. Kali ini, ia pergi seorang diri tanpa pasukan menuju ke Medinah, tidak membawa senjata dan perlengkapan apa pun. Ia pergi ke Medinah dengan penuh rasa gelisah dan ketakutan. Setiba disana, ia langsung menemui putrinya, Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia hendak duduk diatas permadani yang biasa di duduki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, putrinya cepat-cepat menariknya dan menggulungnya.

Abu Sufyan marah sekali atas perlakuan putrinya itu dan berkata, “Apakah kau lebih menghargai permadani itu daripadaku?”. Dia berkata lagi,” Putriku, sungguh kamu sudah kerasukan setan!” Dia lalu keluar pergi menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun beliau tidak mau menjawabnya sepatah katapun. Dia lalu keluar dan pergi menemui Abu Bakar, meminta agar ia mau membantunya memperlunak sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi Abu Bakar radhiallâhu ‘anhu menjawabnya dengan tegas, “Saya tidak dapat melakukannya!” Dia lalu pergi menemui Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu melihat Abu Sufyan, ia cepat-cepat memasuki kemah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan memberitahukan hal itu seraya meminta, “Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku untuk memenggal batang lehernya!” Abbas radhiallâhu ‘anhu mendahuluinya dan berkata, “Ya Rasulullah, saya sudah melindungi dan menjaminya!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memerintahkan, “Bawa pergilah dia dan bawa kembalilah nanti siang. Kami sudah memberinya perlindungan”.

Siang harinya, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lagi, Rasulullah menegurnya, “Celaka kau, Wahai Abu Sufyan! Apakah kau belum juga mau sadar bahwa tiada tuhan selain Allah?”. Abu Sufyan menjawab: “Tentu, hal itu tidak dapat saya menyangkalnya sedikit pun”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegurnya lagi, “Celaka kau Abu Sufyan, apakah kau belum juga sadar bahwa saya Rasul Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Kalau soal ini, rasanya dalam jiwaku masih terdapat keberatan sedikit”. Abbas lalu membentaknya, “Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu”. Dia lalu mengucapkan syahadatain bersama dengannya; telah menyatakan islamnya juga: Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa’.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyuruh Abbas supaya menahan Abu Sufyan hingga usai parade militer, ‘Tahan dia sampai melihat pawai tentara Allah!” Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang juga pada pujian. Berikanlah sesuatu yang ia bisa banggakan kepada kaumnya!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang memasuki rumah Hakim bin Hizam, aman; siapa yagn memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu rumahnya, dia juga aman!” Selanjutnya, Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Saya mengajak Abu Sufyan duduk diatas sebuah puncak gunung, lalu pawai tentara Allah itu mulai bergerak di hadapan kami, rombongan demi rombongan: Kabilah Aslam, Juhainah, barisan Muhajirin dan Anshar, dan seterusnya. Setelah Abu Sufyan melihat pameran kekuatan itu, ia berkata, ‘Sungguh besar kerajaan anak saudaramu itu!”

Saya menjawabnya, ‘Celaka kau. Ia bukan kerajaan, tetapi kenabian!’ Abu Sufyan berkata, ‘Benar juga!’ Abbas lalu memerintahkan kepada Abu Sufyan supaya segera kembali ke Mekkah dan memperingatkan kaumnya jangan sampai mereka melanggar perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam segera pulang kembali ke kota Mekkah. Setiba di Masjidil Haram, keduanya berteriak-teriak memanggil kaumnya, Wahai kaum Quraisy, pasukan Muhammad telah datang dengan kekuatan yang tidak terbilang besarnya”. Keduanya berkata lagi, “Siapa yang memasuki rumahku, dia akan aman; siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan aman; siapa yang menutup pintunya, dia akan aman. Wahai kaum Quraisy, masuklah Islam, kalian akan selamat!” Allah Ta’ala menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin, kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu’awiyah radhiallâhu ‘anhu, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kini sudah masuk Islam. Kini, ia ikut serta menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru bumi yang jauh.

Ayah Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah masuk Islam. Ayah Yazid bin Abi Sufyan, kini sudah masuk Islam. Isterinya pun, yang dinyatakan sebagai salah seorang penjahat perang, telah masuk Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan berhala yang ada dirumahnya, seraya berkata, “Selama ini, kami tertipu oleh kamu!” Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengkuan Islam. Sejarah tidak mencatat sesuatu yang berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah Bani Saa’idah untuk memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib radhiallâhu ‘anhu tidak menghadiri bai’at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam .

Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah Rasulullah, orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari Isra’ dan Mi’raj. Ia berkata kepada orang membawa berita itu kepadanya, “Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan demikian, tentu beritanya itu benar!” Dia adalah kawan senasib dan sependeritaan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada dalam gua, ketika keduanya hendak berhijrah ke Madinah. Pada saat-saat kritis seperti itu, Abu Sufyan tampil kepermukaan seraya berkata, “Tampaknya, melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani urusanmu?” Ia lalu datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, “Ulurkan tanganmu, saya akan membai’atmu!”. ‘Ali bin Abi Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, “Kamu tidak menghendaki dari perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya tidak butuh nasihatmu!”

Dalam perang Yarmuk, ia ingin menebus semua dosanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Ia berperang mati-matian sampai salah satu matanya tercongkel. Ia meninggal dunia pada tahun 33 Hijrah di usia 88 tahun pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu. Jenazahnya dishalati oleh putranya, Mu’awiyah, dan dikuburkan di Baqi’. Sebab turunnya ayat menurut Muhammad bin Ishaq dan murid-muridnya, ketika Abu Sufyan berhasil menyelamatkan kafilah Quraisy dari Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, sementara tokoh-tokoh Quraisy yang ingin melindungi kafilah itu berhasil diterwaskan dalam perang Badar, maka timbullah inisiatif Abu Sufyan untuk mengobarkan peperangan yang lebih dahsyat terhadap kaum muslimin dengan mengerahkan pasukan yang lebih besar dan terlatih, dan menghimpun dana yang lebih banyak, termasuk hasil penjualan barang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkannya itu. Ia berkata kepada kaumnya: “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membunuh tokoh-tokoh kalian maka dukunglah kami untuk menuntut balas dengan harta yang dapat kami selamatkan ini”.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan) buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al-Anfaal: 36-37)

Renungan
Dirirwayatkan oleh ‘Urwah bin az–Zubair bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :”Ya Rasulullah, apakah engkau pernah merasa menghadapi kesulitan lebih dahsyat dari pada Perang Uhud?” Beliau menajwab, “Aku telah menghadapi berbagai kesulitan yang lebih dahsyat dari kaummu, terutama ketika aku menawarkan Islam pada hari Aqibah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Kemudian, aku pergi dengan perasan pedih dan sedih. Aku tidak sadar, tiba-tiba aku tiba di Qarnits Tsa’alib. Ketika aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat awan sedang memayungiku dan mendengar Jibril memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar omongan kaummu dan reaksi mereka terhadap tawaran-tawaranmu, dan Dia telah mengirimkan Raja Pegunungan kepadamu agar kamu memerintahkan kepadanya apa yang kamu inginkan terhadap kaummu itu!”

Ujar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya: “Lalu, Raja Pegunungan itu mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ya Muhammad, Allah Ta’ala telah mendengar omongan-omongan kaummu terhadapmu. Aku Raja Pegunungan, Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk diperintahkan sesuai dengan yang kamu inginkan. Kalau kamu mau, aku akan menimpakan pegunungan ini di atas mereka!’ Aku menjawab, ‘Tidak, malah aku berharap Allah Ta’ala akan melahirkan dari mereka itu orang-orang yang akan menyembah Allah dan tidak musyrik sedikitpun kepada-Nya”. Siapa gerangan mereka selalu menghalang-halangi penyebaran dakwah dan menyakiti hati Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu? Siapa gerangan orang yang senantiasa menyiksa kaum mustadh’afin di Mekkah dan lain-lain, setelah mereka memaklumatkan Islamnya? Siapa gerangan mereka yang telah mengusir Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari kampung halamannya dan menghalang-halangi penyebaran dakwahnya?

Sejarah mencatat nama-nama mereka dan tidak akan melupakannya. Mereka telah mendongakkan kepalanya, menutup rapat pintu hatinya, memejamkan matanya sehingga tidak melihat cahaya kebenaran memancar di hadapannya, dan memalingkan perhatian dari tanda-tanda hidayah dan keimanan. Adapun tokoh-tokoh sesat yang paling terkenal di antara mereka ialah: Abu Jahal (al-Hakam bin Hisyam), Utbah bin Ra’biah, Syaibah bin Ra’biah, al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Mu’ith dan Abu Sufyan bin Harb. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mau mengutuk dan mendoakan kaumnya agar mendapat siksa seperti halnya umat para nabi yang terdahulu, setelah mereka tetap membangkang tidak mau menyambut dakwah para nabi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa saja meneladani para nabi yang sebelumnya, memohon kepada Rabbnya untuk menghukum kaumnya yang jahat dan angkara murka itu, namun baginda sebagai Nabiyur-rahmah hanya bisa mengucapkan: ” semoga Allah akan melahirkan dari mereka keturunan yang mengabdikan diri kepada Allah!”

Sejarah telah mencatat juga kepada kita, berapa banyak dari keturunan mereka orang yang paling gigih memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan agamanya. Begitu juga dengan orang yang telah ikut serta menyebarkan agama ini ke seluruh penjuru bumi. Mereka sebagai kaum muslimin, baik sebagai prajurit, panglima, maupun sebagai dai, telah berhasil menyampaikan agama tauhid ini kepada kita. Ikrimah bin Abu Jahal radhiallâhu ‘anhu sebagai contoh, ketika ia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyatakan Islamnya, ia disambut baginda, “Marhaban, selamat datang kepada sang musafir yang muhajir!” Dia berkata, “Ya Rasulullah, ajarilah aku sesuatu yang terbaik yang baginda ketahui supaya aku mengucapkannya!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan, “Ucapkanlah syahadatain!”. Ikrimah radhiallâhu ‘anhu mengucapkan syahadatain, lalu ia memohon ampun atas dosa-dosanya yang lalu dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberinya ampun. Kemudian, ia menyatakan janji, “Demi Allah, berapa besar dana yang telah aku keluarkan selama ini untuk menghalang-halangi penyebaran agama Allah, kini aku akan menebusnya dengan pengeluaran yang serupa dalam upaya mengembangkan agamaNya; berapa besar kegigihanku untuk memenangkan agama dan penganut agama itu”.

Ternyata, kesaksianya itu ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha menjadi ahli ibadah dan agama yang takwa, dan sekaligus menjadi pahalwan perang yang patut dibanggakan. Akhirnya, ia syahid dalam perang Yarmuk. Begitu pula dengan Khalid bin Walid radhiallâhu ‘anhu, seperti yang dilukiskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya, ketika Khalid masuk Islam. Rasulullah bersabda, “Kota Mekkah telah melemparkan anak tersayangnya pada kalian!” Sementara itu, Abu Bakar ash-Shidiq radhiallâhu ‘anhu berkata: “Kaum wanita kita belum mampu melahirkan anak seperti Khalid!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggelarinya “Saifullah” (Pedang Allah) terhadap kaum kafir dan musyrik. Tidak ada yang berani di hadapannya untuk menghadang dakwah kepada Allah.

Begitu pula dengan Abu Sufyan, yang senantiasa menjadi pimpinan tertinggi Quraisy dalam memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum uslimin, Allah Ta’ala berkenan kepadanya memberikan anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan agama Allah, antara lain; Yazid bin Abi Sufyan yang digelari “Yazid al-Khair”. Ia berperang di pihak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di Hunain dan mendapat kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan empat puluh uqiya (ukuran emas) yang ditimbangkan oleh Bilal. Dalam pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia diangkat menjadi seorang pembantunya, dan ketika hendak pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya dengan berjalan kaki. Diantaranya juga Mu’awiyah bin Abu Sufyan, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sungguh benar apa yang diramalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa agama Islam akan dimasuki oleh banyak umat secara beramai-ramai dan berbondong-bondong. Lalu, mana para tiran yang angkara murka itu? Mana mereka yang dengan gigih hendak menghalang-halangi penyebaran agama Allah itu? Mana para penguasa diktator yang mengangkat dirinya sebagai tuhan dimuka bumi, yang mendekatkan orang yang dicintainya, dan menyiksa serta menganiaya orang yang dibencinya meskipun tanpa salah dan dosa. Mana mereka itu sekarang? Mereka sudah pergi setelah menderita kekalahan, baik karena tewas, maupun terusir, sementara agama Allah Ta’ala tetap berjaya, panji kebenaran senantiasa berkibar-kibar dengan megah, sesuai dengan janji-Nya untuk dimenangkan di atas agama-agama yang lainnya (at-Taubah: 33). Allah Ta’ala juga sudah berjanji, “Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh”. (al-Anbiyaa’: 105).

Apakah ada diantara para tiran abad ke-21, para penguasa angkara murka yang merusak bumi dan merusak semua yang hidup diatasnya, yang mau merenunginya? Apakah mereka belum juga mau sadar bahwa pada akhirnya tentara Allah jugalah yang akan meraih kemenangan akhir? Apakah mereka masih saja belum sadar, sebelum berbagai musibah dan petaka datang bertubi-tubi menimpa mereka? Sesungguhnya kemenangan Allah sudah dekat sekali. Pada saat itu kaum mukminin akan bersuka cita atas kemenangan Allah itu. Abu Sufyan bin Harits, dan bukan Abu Sufyan bin Harb ayah Mu’awiyah. Kisahnya merupakan kisah kebenaran setelah kesesatan, sayang setelah benci dan bahagia setelah celaka …. Yaitu kisah tentang rahmat Allah yang pintu-pintu-nya terbuka lebar, demi seorang hamba menjatuhkan diri diharibaan-Nya, setelah penderitaan yang berlarut-larut … !  Bayangkan, waktu tidak kurang dari 20 tahun yang dilalui Ibnul Harits dalam kesesatan memusuhi dan memerangi Islam … ! Waktu 20 tahun, yakni semenjak dibangkitkan-Nya Nabi saw. sampai dekat hari pembebasan Mekah yang terkenal itu. Selama itu Abu Sufyan menjadi tulang punggung Quraisy dan sekutu-sekutunya, menggubah syair-syair untuk menjelekkan serta menjatuhkan Nabi, juga selalu mengambil bagian dalam peperangan yang dilancarkan terhadap Islam.

Saudaranya ada tiga orang, yaitu Naufal, Rabi’ah dan Abdullah, semuanya telah lebih dulu masuk Islam. Dan Abu Sufyan ini adalah saudara sepupu Nabi, yaitu putera dari pamannya, Harits bin Abdul Mutthalib. Di samping itu ia juga saudara sesusu dari Nabi karena selain beberapa hari disusukan oleh ibu susu Nabi, Halimatus Sa’diyah. Pada suatu hari nasib mujurnya membawanya kepada peruntungan membahagiakan. Dipanggilnya puteranya Ja’far dan dikatakannya kepada keluarganya bahwa mereka akan bepergian. Dan waktu ditanyakan ke mana tujuannya, jawabnya ialah :  “Kepada Rasulullah, untuk menyerahkan diri bersama beliau kepada Allah Robbul’alamin  .......!” Demikianlah ia melakukan perjalanan dengan mengendarai kuda, dibawa oleh hati yang insaf dan sadar ….

Di Abwa’ kelihatan olehnya barisan depan dari suatu pasukan besar. Maklumlah ia bahwa itu adalah tentara Islam yang menuju Mekah dengan maksud hendak membebaskannya. Ia bingung memikirkan apa yang hendak dilakukannya. Disebabkan sekian lamanya ia menghunus pedang memerangi Islam dan menggunakan lisannya untuk menjatuhkannya, mungkin Rasulullah telah menghalalkan darahnya, hingga ia bila tertangkap oleh salah seorang Muslimin, ia langsung akan menerima hukuman qishas. Maka ia harus mencari akal bagaimana caranya lebih dulu menemui Nabi sebelum jatuh ke tangan orang lain. Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puteranya Ja’far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga akhirnya tampaklah olehnya Rasulullah bersama serombongan shahabat, maka ia menyingkir sampai rombongan itu berhenti. Tiba-tiba sambil membuka tutup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Beliau memalingkan muka daripadanya, maka Abu Sufyan mendatanginya dari arah lain, tetapi Rasulullah masih menghindarkan diri daripadanya.

Dengan serempak Abu Sufyan bersama puteranya berseru: “Asyhadu alla ilaha illallah. Wa-asyhadu anna Muhammadar Rasulullah . Lalu ia menghampiri Nabi saw. seraya katanya: “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Rasulullah”.  Rasulullah pun menjawab:  “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan!”  Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya: — “Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudlu dan sunnah, kemudian bawa lagi ke sini”.  Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah: “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridla kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridla pula…!”

Demikianlah hanya sekejap saat…! Rasulullah bersabda:
“Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah…!” Maka tergulunglah sudah masa-masa yang penuh kesesatan dan kesengsaraan, dan terbukalah pintu rahmat yang tiada terbatas….
Abu Sufyan sebetulnya hampir saja masuk Islam ketika melihat sesuatu yang mengherankan hatinya ketika perang Badar, yakni sewaktu ia berperang di pihak Quraisy. Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut serta, dan mengirimkan ‘Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, ia menunggu-nunggu berita pertempuran, yang mulai berdatangan menyampaikan kekalahan pahit bagi pihak Quraisy.

Pada suatu hari, ketika Abu Lahab sedang duduk dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraisy, tiba-tiba kelihatan oleh mereka seorang berkuda datang menghampiri. Setelah dekat, ternyata bahwa ia adalah Abu Sufyan bin Harits.

Tanpa bertangguh Abu Lahab memanggilnya, katanya: – “Mari ke sini hai keponakanku! Pasti kamu membawa berita! Nah, ceritakanlah kepada kami bagaimana kabar di sana …!”
Ujar Abu Sufyan bin Harits: – “Demi Allah! Tiada berita, kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka …! Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengendarai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun…!”— yang dimaksud Abu Sufyan dengan mereka ini ialah para malaikat yang ikut bertempur di samping Kaum Muslimin – Menjadi suatu pertanyaan bagi kita, kenapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan apa yang telah disaksikannya?  Jawabannya ialah bahwa keraguan itu merupakan jalan kepada keyakinan. Dan betapa kuatnya keraguan Abu Sufyan bin Harits, demikianlah pula keyakinannya sedemikian kukuh dan kuat jika suatu ketika ia datang nanti …. Nah, saat petunjuk dan keyakinan itu telah tiba, dan sebagai kita lihat, ia Islam, menyerahkan dirinya kepada Tuhan Robbul’alamin … !

Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lain dan mengejar ketinggalannya selama ini…. Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah pempembebasan Mekah ia selalu ikut bersama Rasulu!lah. Dan di waktu perang Hunain orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan mereka porak poranda. Sebagian besar tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya
berseru: “Hai manusia  ! Saya ini Nabi dan tidak dusta… ! Saya adalah putra Abdul Mutthalib … !”

Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada beberapa gelintir shahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja’far.  Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, yaitu berjuang fi sabilillah sampai menemui syahid dan di hadapan Rasulullah, telah terbuka. Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya. Dalam pada itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, dan akhirnya Allah memberi mereka kemenangan mutlak. Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling …. Kiranya didapatinya seorang Mu’min sedang memegang erat-erat tall kekangnya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya.

Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya: “Siapa ini … ? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits… !” Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan “saudaraku”, hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciuminya dan dicucinya dengan air matanya …. Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menyatakan kegembiraan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya: –“Warga Ka’ab dan ‘Amir sama mengetahui.  Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai
Bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati. Menejuni api peperangan tak pernah nyali
Semata mengharapkan keridla;in Ilahi Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali”.

Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah saw. ruhnya mendambakan kematian agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi kematiantetap menjadi tumpuan hidupnya… ! Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang menunjukkan keheranan mereka, maka katanya: “Aku sedang menyiapkan kuburku ….”. Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring dirumahnya sementara keluarganya berada di sekelilingnya dan sama menangis. Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya melihat mereka, lalu katanya: — “Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tidak sedikit pun daku berlumur dosa…!”
Dan sebelum: Kepalanya terkulai di atas dadanya, diangkatkannya sedikit keatas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini … Agaknya tidak ada tali-temali yang menghubungkan dua pribadi sedemikian erat dan kuat, seperti tali-temali yang menghubungkan Muhammad SAW dengan Abu Sufyan bin Harits. Abu Sufyan lahir bersamaan dengan Muhammad bin Abdullah. Keduanya sebaya dan dibesarkan dalam keluarga yang sama.

Abu Sufyan adalah anak paman Rasulullah SAW yang paling dekat. Karena Al-Harits, ayah kandung Abu Sufyan, dengan Abdullah ayahanda Rasululah SAW adalah kakak beradik dari putra Abdul Muthallib. Di samping itu, Abu Sufyan adalah saudara susuan Rasululah. Kedua-duanya disusui oleh Halimatus Sa’diyah secara bersama-sama. Setelah itu keduanya menjadi kawan bermain yang saling mengasihi dan sahabat terdekat bagi Rasulullah sebelum kenabian. Abu Sufyan adalah salah seorang yang sangat mirip dengan Rasulullah. Maka, hubungan keluarga mana lagi yang lebih dekat dan kuat dari hubungan Muhammad bin Abdullah dengan Abu Sufyan? Karena hubungan yang demikian erat itulah, kebanyakan orang menyangka bahwa Abu Sufyan adalah orang yang paling dahulu menerima seruan Rasulullah SAW dan yang paling cepat mempercayai serta mematuhi ajarannya dengan setia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, ia menjadi penentang Rasulullah SAW.

Ketika Rasululah SAW mulai berdakwah secara terang-terangan, Abu Sufyan menjadi penunggang kuda yang terkenal. Di samping itu, ia adalah penyair yang berimajinasi tinggi dan berbobot. Dengan kedua keistimewaannya itulah, Abu Sufyan tampil memusuhi dan memerangi dakwah Rasulullah SAW. Ia berusaha dengan segala daya dan upaya untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Bila kaum Quraisy menyalakan api peperangan melawan Rasulullah SAW dan kaum muslimin, Abu Sufyan selalu turut mengobarkannya dan setiap penganiayaan yang dilancarkannya selalu membawa malapetaka besar bagi kaum muslimin. Sementara itu, setan penyair Abu Sufyan selalu membangunkan dan mempergunakan lidahnya untuk menyindir Rasulullah dengan kata-kata tajam, kotor, dan menyakitkan.

Abu sufyan terus-menerus memusuhi Rasulullah SAW berkelanjutan hingga masa dua puluh tahun. Selama masa itu, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan meneror Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Tidak berapa lama sebelum penaklukan Mekah, seorang saudara Abu Sufyan menulis surat kepadanya, mengajak masuk Islam sebelum Mekah ditaklukkan. Ajakan saudaranya itu diterimanya, maka dia pun masuk Islam. Tetapi, buku-buku sejarah mencatat kisah macam-macam tentang Islamnya Abu Sufyan. Karena itu, marilah kita dengarkan dia menceritakan kisahnya sendiri. Ingatannya tentu lebih dalam, sifatnya lebih terperinci dan lebih benar.

“Ketika Islam sudah berdiri teguh dan kuat, gencarlah berita bahwa Rasulullah akan datang menaklukkan Mekah. Sementara itu, bumi yang terbentang luas semakin sempit terasa bagiku. Aku bertanya kepada diriku sendiri, “Hendak ke mana kau? Siapa temanku? Dan, dengan siapa aku?” Kemudian, aku panggil istri dan anak-anakku, lalu kukatakan, “Bersiaplah kalian untuk mengungsi dari Mekah ini, karena tidak lama lagi tentara Muhammad akan tiba. Aku pasti akan dibunuh oleh kaum muslimin. Hal itu tidak mustahil terjadi jika mereka menemukan aku.” Mereka menjawab, “Apakah belum tiba juga masanya bagi Bapak untuk menyaksikan bangsa-bangsa Arab dan bukan Arab tunduk patuh dan setia kepada Muhammad dan agamanya, sedangkan Bapak senantiasa memusuhinya. Seharusnya Bapaklah orang yang pertama-tama memperkuat barisan Muhammad dan membantu segala kegiatannya.” “Istri dan anak-anakku senantiasa membujukku masuk Islam, sehingga akhirnya Allah melapangkan dadaku menerimanya.”

“Saya bangkit dan berkata kepada pelayanku, Madzkur, ‘Siapkan bagi kami unta dan kuda.’ Lalu, anakku Ja’far kubawa bersama-sama denganku. Kami mempercepat jalan menuju Abwa’, yaitu daerah antara Mekah dan Madinah. Kami mendapat kabar bahwa Muhammad telah sampai di sana dan menduduki tempat itu dan di sana aku masuk Islam. Ketika kami hampir tiba, aku menyamar, sehingga tidak seorang pun mengenalku, lalu aku menyatakan Islam di hadapan beliau.” “Aku meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Setalah satu mil aku berjalan, aku bertemu dengan pasukan perintis kaum muslimin menuju Mekah. Pasukan demi pasukan lewat. Aku menghindar dari jalan mereka, karena khawatir ada di antara mereka yang mengenalku.”

“Lalu, terlihat olehku Rasulullah berada di tengah-tengah pasukan pengawalnya. Aku memberanikan diri menemuinya sampai aku tegak berhadapan muka dengannya. Lalu, kubuka topeng dari wajahku, setelah dia melihat dan mengenalku, dia memalingkan muka dariku ke arah lain. Aku pun pindah berdiri ke arah dia melihat, tetapi dia berpaling pula ke arah lain. Aku tetap mengejar sehingga hal seperti itu terjadi beberapa kali.” “Aku tidak pernah ragu, jika aku mendatangi Rasulullah, beliau akan gembira dengan keislamanku. Dan, para sahabat akan gembira pula karena nabinya gembira. Tetapi, ketika kaum muslimin melihat Rasulullah berpaling dariku, mereka pun memperlihatkan muka masam dan semuanya memalingkan muka dariku.” “Aku bertemu dengan Abu Bakar, tetapi dia memalingkan mukanya dariku. Aku memandang kepada Umar bin Khattab dengan pandangan lembut, tetapi Umar melongos dengan cara yang menjengkelkan. Bahkan, ada seorang Anshar berkata dengan semangat kepadaku, ‘Hai Musuh Allah! Engkau telah banyak menyakiti Rasulullah SAW dan para sahabat. Kejahatanmu telah sampai ke ujung timur dan barat permukaan bumi ini’.”

Orang Anshar ini semakin mengeraskan suaranya memaki-makiku, sehingga kaum muslimin menyorotkan pandangan menghina kepadaku, tetapi aku gembira dengan cemoohan yang sedang kualami. Sementara itu, aku melihat pamanku, Abbas. Aku mendekatinya seraya berkata, “Wahai paman! Aku berharap semoga Rasulullah gembira karena aku masuk Islam, sebagai famili dekat baginya, yang paman mengetahui seluruhnya. Tolonglah paman bicarakan dengannya (Muhammad) mengenai maksudku.” Jawab Abbas, “Demi Allah, saya tidak berani satu kalimat pun bicara dengannya setelah kulihat dia memalingkan muka darimu. Kecuali, bila datang kesempatan lain yang lebih baik, akan saya coba.” “Sekarang kepada siapa akan paman serahkan aku?’ tanyaku.” Jawab Abbas,”Saya tidak berwenang apa-apa selain yang engkau dengar.” “Aku sungguh susah dan sedih karena jawaban paman Abbas kepadaku. Tidak lama kemudian aku melihat adik sepupuku, Ali bin Abi Thalib. Maka, kubicarakan dengannya maksudku. Ali pun menjawab seperti jawaban paman Abbas.”

”Aku kembali menemui paman Abbas. Aku berkata, ‘Jika paman tidak sanggup membujuk Rasulullah mengenai diriku, tolong cegah orang-orang itu mengejekku, atau yang menghasut orang lain mengejekku’.” Abbas bertanya, “Siapa orangnya? Sebutkan ciri-cirinya kepadaku.” “Maka, kuterangkan ciri-ciri orang itu kepada paman Abbas. Ia lalu berkata, ‘Oh, itu adalah Nu’aiman bin Harits an-Najjary’.” Abbas kemudian mendatangi orang tersebut seraya berkata, “Hai Nu’aiman! Sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah anak paman Rasulullah, dan anak saudaraku. Seandainya Rasulullah SAW marah hari ini kepadanya, barangkali besok beliau rida kepadanya. Karena itu, janganlah mencela Abu Sufyan.”

”Ketika Rasulullah berhenti di Jahfah, saya duduk di muka pintu rumahnya bersama anakku, Ja’far. Ketika beliau keluar rumah, beliau melihatku, tetapi dia tetap memalingkan muka dariku. Tetapi, aku tidak putus asa untuk mendapatkan ridanya. Setiap kali dia keluar masuk rumah, aku senantiasa duduk di muka pintu. Sedangkan anakku, Ja’far, kusuruh berdiri di dekatku. Dia tetap memalingkan muka bila melihatku. Lama juga kualami keadaan seperti ini, hingga akhirnya aku merasa susah sendiri.” Lalu, aku berkata kepada isteriku, ‘Demi Allah, bila aku dan anakku ini pergi mengasingkan diri sampai kami mati kelaparan dan kehasusan, tentu Rasulullah akan meridaiku’.” “Tatkala berita mengenai diriku itu sampai kepada Rasulullah, beliau merasa kasihan. Ketika beliau keluar dari kubah untuk pertama kali beliau memandang lembut kepadaku. Aku berharap semoga beliau tersenyum melihatku.” ”Kemudian Rasulullah memasuki kota Mekah. Aku turut dalam rombongan pasukan beliau. Belau langsung menuju masjid, aku pun segera mendampingi dan tidak berpisah semenit pun dengannya.”

Saat terjadi perang Hunein seluruh kabilah Arab bersatu padu, persatuan Arab yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Mereka membawa perlengkapan perang dan jumlah tentara yang cukup banyak. Bangsa Arab bertekad hendak membuat perhitungan kalah atau menang dengan kaum muslimin dalam perang kali ini. Rasulullah menemui musuh hanya dengan beberapa pasukan. Aku turut dalam rombongan pasukan pengawal beliau. Tatkala kulihat jumlah tentara musyrikin sangat besar, aku berkata kepada diriku, “Demi Allah, hari ini aku harus menebus segala dosa-dosaku yang telah lalu karena memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Hendak kubaktikan kepada beliau amal yang diridai Allah dan Rasul-Nya.”

Ketika pasukan telah berhadap-hadapan, kaum musyrikin dengan jumlah tentaranya yang banyak berhasil mendesak mundur kaum muslimin, sehingga banyak di antara kaum muslimin yang lari dari samping Nabi. Hampir saja menderita kekalahan yang tidak diinginkan. “Demi Allah, aku tetap bertahan di samping beliau di tengah-tenah medan tempur. Beliau tetap berada di atas keledainya yang berwarna keabu-abuan, teguh bagaikan sebuah bukit yang terhunjam dalam ke bumi. Dengan pedang terhunus ditebasnya setiap musuh yang datang mendekat, bagaikan seekor singa jantan menghadapi mangsanya. Melihat Rasulullah seorang diri, aku melompat dari kudaku dan kupatahkan sarung pedangku. Hanya Allah yang tahu, ketika itu aku ingin mati di samping Rasulullah SAW. Pamanku, Abbas, memegang kendali keledai Nabi pada sebuah sisi, dan berdiri di sampingnya, sedangkan aku memegang kendali keledai itu pada sisi yang lain dan berdiri pula di sebelahnya. Tangan kananku memegang pedang untuk melindung Nabi, sedang tangan kiriku memegang kendali kendaraan beliau.”

“Ketika Rasulullah melihat perlawananku yang mematikan musuh, beliau bertanya kepada paman Abbas, ‘Siapa ini paman’?” Abbas menjawab, “Ini saudara Anda, anak paman Anda, Sufyan bin Harits. Ridakanlah dia, ya Rasulullah.” Beliau menjawab, “Sudah kuridhai. Dan, Allah telah mengampuni segala dosanya.” “Hatiku bagai terbang kegirangan mendegar Rasulullah ridha mengampuni segala dosa-dosaku. Lalu, kuciumi kaki beliau yang terjuntai di kendaraan. Beliau menoleh kepadaku seraya berkata, ‘Saudaraku, demi hidupku, majulah menyerang musuh’.” “Ucapan Rasulullah sungguh membangkitkan keberanianku. Lalu, kuserang kaum musyirikin sampai mereka mundur. Kukerahkan kaum muslimin mengejar mereka sejauh lebih kurang satu farsakh (1 farsakh = 8 km). Kemudian, kami kucar-kacirkan barisan mereka setiap arah.”

Semenjak perang Hunain, Abu Sufyan bin Harits merasakan nikmat dan keindahan rida Nabi SAW kepadanya. Dia merasa bahagia dan mulia menjadi sahabat beliau. Meski demikian, Abu Sufyan tidak berani mengangkat pandangannya ke wajah Rasulullah SAW selama-lamanya, karena malu mengingat masa silamnya yang kelabu. Abu Sufyan memendam rasa penyesalan yang dalam di hatinya, berhubung dengan masa hitam jahiliah yang menutupnya dari cahaya Allah, dan melempar jauh-jauh kitabullah. Maka, dia sekarang bagaikan tengkurap di atas mushaf Alquran siang malam, membaca ayat-ayat, mempelajari hukum-hukum, dan merenungkan pengajaran-pengajaran yang terkandung di dalamnya. Dia berpaling dari dunia dan segala godaannya, menghadap kepada Allah semata-mata dengan seluruh jiwa dan raganya. Pada suatu ketika Rasulullah melihatnya dalam masjid, lalu beliau bertanya kepada Aisyah ra. “Hai Aisyah, tahukah kamu siapa itu?” “Tidak, ya Rasululah,” jawab Aisyah. “Dia adalah anak pamanku, Abu Sufyan bin Harits, perhatikanlah dia yang paling dahulu masuk masjid dan paling belakang keluar. Pandangannya tidak pernah beranjak dan tetap menunduk ke tempat sujud,” kata beliau.

Ketika Rasulullah meninggal, Abu Sufyan sedih bagaikan seorang ibu kehilangan putra satu-satunya. Dia menangis seperti seorang kekasih menangisi kekasihnya, sehingga jiwa penyairnya kembali memantulkan rangkuman sajak yang memilukan dan menyanyat hati setiap pembaca atau pendengarnya. Pada zaman pemerintahan Umar al-Faruq (Umar bin Khattab) , Abu Sufyan merasa ajalnya sudah dekat. Lalu, digalinya kuburan untuk dirinya sendiri. Tidak lebih tiga hari setelah itu, maut datang menjemputnya, seakan sudah berjanji sebelumnya.

Dia berpesan kepada istri dan anak-anaknya, “Kalian sekali-kali jangan menangisiku. Demi Allah! Aku tidak berdosa sedikit pun sejak aku masuk Islam.” Lalu, ruhnya yang suci pergi ke hadirat Allah, Abu Sofyan bin Harb Wafat 31 H / 652 H. Khalifah Umar bin Khattab turut menyalatkan jenazahnya. Beliau menangis kehilangan Abu Sufyan bin Harits, sahabat yang mulia.

Sumber : Google Wikipedia (Biografi Ahlul Hadits)
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...