KISAH
KEN AROK
Orientasi
Ken Arok
atau sering pula ditulis Ken Angrok
(lahir di Jawa Timur
pada tahun 1182,
wafat di Jawa Timur pada tahun 1247 atau 1227), adalah pendiri Kerajaan
Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama
bergelar Sri Rajasa san Amurwabhumi
pada tahun 1222
- 1227
(atau 1247).
Asal Usul
Ken
Arok adalah dikisahkan sebagai putra Gajah Para dari desa Campara (Bacem, Sutojayan, Blitar) dengan seorang
wanita desa Pangkur (Jiwut, Nglegok, Blitar) bernama Ken Ndok.
"Gajah" adalah nama jabatan setara "wedana" (pembantu
adipati) pada era kerajaan Kediri. Sebelum Ken Arok lahir ayahnya telah meninggal dunia
saat ia dalam kandungan, dan saat itu Ken Ndok telah direbut oleh raja Kediri.
Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian
ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.
Ken
Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, sehingga
membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh
oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari desa Karuman (sekarang Garum, Blitar)
yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Ken
Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan
dan Istri mudanya bernama Thirthaja. Istri muda Bango Samparan mempunyai 5
anak, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung dan yang
bungsu wanita bernama Cucupuranti. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak
kepala desa Siganggeng, sekarang Senggreng, Sumberpucung, Malang.
Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan
Kadiri.
Akhirnya,
Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke
tanah Jawa
mencari titisan Wisnu.
Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang
dicarinya. Berdasarkan Serat Pararaton juga, Ken Arok (disebut pula Ken Aŋgrok)
digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini hanya untuk simbolis
menggambarkan perbedaan status sosial kognitif si calon raja di kemudian hari
daripada anak-anak seusianya saat itu.
Merebut Tumapel
Tumapel
merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan
Kadiri. Yang menjadi akuwu
(setara camat
zaman sekarang) Tumapel
saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok
dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul
Ametung. Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes
istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe
juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin
membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes,
meskipun tidak direstui Lohgawe.
Ken
Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul
Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun
memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring
dari desa Lulumbang, sekarang Plumbangan, Doko, Blitar yaitu seorang
ahli pembuat pusaka ampuh. Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris
ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang
mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada
Mpu Gandring
sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring
mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang raja,
termasuk Ken Arok sendiri dan anak cucunya.
Kembali
ke Tumapel,
Ken Arok menjalankan rencananya untuk merebut kekuasaan Tunggul Ametung.
Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal.
Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua
orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik
Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil. Malam berikutnya, Ken
Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia
lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul
Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes
menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok.
Lagi pula, Ken Dedes
menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Pagi
harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul
Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru
di Tumapel
dan menikahi Ken Dedes.
Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes
sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul
Ametung, bernama Anusapati, disebut juga Panji Anengah.
Mendirikan Kerajaan
Tumapel
Pada
tahun 1222
terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana.
Para brahmana
itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang
mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri.
Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel
sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri.
Sebagai raja pertama ia bergelar Sri
Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.
Kertajaya
(dalam Pararaton
disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel.
Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa.
Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa (= Bhatara
Guru) dan siap memerangi Kertajaya. Perang antara Kadiri
dan Tumapel
terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri
kalah. Kertajaya
diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.
Keturunan Ken Arok
Ken Dedes
telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Apanji Saprang, Agnibhaya,
dan Dewi Rumbu. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang,
yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya,
Panji Sudhatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi. Selain itu, Ken Dedes
juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.
Semua anaknya Ken Arok berjumlah 9 orang, 7 laki-laki dan 2 wanita.
Kematian Ken Arok
Anusapati
merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal
ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes),
akhirnya Anusapati
mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga
mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul
Ametung telah mati dibunuh Ken Arok. Anusapati
berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes.
Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh
Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati
ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak. Peristiwa kematian
Ken Arok dalam naskah Pararaton
terjadi pada tahun 1247
M (1169 Ç).
Berdasarkan
Negarakertagama, telah didirikan candi pendarmaan Ken Arok di Genengan sebagai
Siwa dan di Usana sebagai Budha. Candi pendarmaan ini dipercaya berada di Situs
Gunung Katu yang terletak di sebelah timur Gunung Kawi yang masuk ke dalam
wilayah Wagir, Kabupaten Malang. Bekas-bekasnya menunggu untuk digali lebih
lanjut.
Versi Negarakertagama
Nama
Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama
(1365).
Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan
Tumapel merupakan putra
Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182. Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra
mengalahkan Kertajaya
raja Kadiri.
Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel
bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu
kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari
oleh Wisnuwardhana).
Sri
Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun
dibandingkan berita dalam Pararaton).
Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di
mana ia dipuja sebagai Siwa,
dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.
Kematian
Sang Rajasa dalam Nagarakretagama
terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut
merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk,
sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit
dianggap aib.
Adanya
peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton
diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam
prasasti itu, nama pendiri Kerajaan
Tumapel adalah Bhatara Siwa
yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan
kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.
Keistimewaan Ken Arok
Nama
Rajasa selain dijumpai dalam
kedua naskah sastra di atas, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang
dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit
tahun 1305.
Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa.
Raden Wijaya
memang adalah keturunan Ken Arok. Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton,
sehingga diduga kuat merupakan ciptaan si pengarang sebagai nama asli Rajasa. Arok diduga berasal dari kata rok yang artinya
"berkelahi". Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar
berkelahi.
Pengarang
Pararaton
sengaja menciptakan tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sang Rajasa dengan penuh
keistimewaan. Kasus yang sama terjadi pula pada Babad Tanah Jawi di mana leluhur
raja-raja Kesultanan Mataram dikisahkan sebagai manusia-manusia
pilihan yang penuh dengan keistimewaan. Ken Arok sendiri diberitakan sebagai
putra Brahma,
titisan Wisnu,
serta penjelmaan Siwa,
sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.
Terlepas
dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri
Kerajaan Tumapel merupakan perkawinan seorang
bangsawan yang dipercaya sebagai titisan Dewa Brahma dengan seorang rakyat
jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di atas rata-rata sehingga
dapat mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu dinasti baru yang
menggantikan dominasi keturunan Airlangga
dalam memerintah pulau Jawa.
Dinasti Ken Arok
Ken
Arok dikenal sebagai pendiri Dinasti Rajasa, yakni
dinasti yang menurunkan raja-raja Singhasari
dan Majapahit
hingga abad ke-16.
Para raja Demak,
Pajang,
dan Mataram
Islam, juga merupakan keturunan Dinasti Rajasa.
Kepustakaan
Ø
Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Jakarta: Balai Pustaka
Ø
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Ø
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Ø
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Ø
Pogadaev, V. A. The Bloody Throne of Java. Zhivaya
istoriya Vostoka (The Live History of Orient). Мoscow: Znanie, 1998,
p. 172-179.
Kisah Ken
Arok, Seorang Pencuri yang Berhasil Membangun Kerajaan
Pada
zaman dahulu, seseorang yang bisa membangun kerajaan dan menjadi penguasa pada
umumnya adalah seorang keturunan bangsawan. Tapi tidak demikian halnya dengan
kerajaan Tumapel atau Singasari.
Kerajaan
ini tidak didirikan oleh seseorang dengan status bangsawan. Ken Arok yang
merupakan pendiri kerajaan ini sebenarnya berlatar belakang sebagai pencuri.
Ø Asal-usul
Ken Arok yang Tidak Jelas
Tidak ada yang benar-benar tahu
asal-usul Ken Arok. Namun dikisahkan, ia adalah putra Gajah Para dari desa
Campara (Blitar) dan Ken Ndok dari desa Pangkur (Blitar). Meski begitu, ada
juga yang menyebutkan bahwa Ken Arok bukanlah anak dari Gajah Para, melainkan
terlahir karena Ken Ndok bersetubuh dengan seorang Brahma. Gajah Para yang
marah kemudian meninggalkan Ken Ndok. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa
perbuatan tidak senonoh yang membuat Ken Ndok hamil tersebut adalah pemerkosaan
dan yang dilambangkan sebagai dewa Brahma adalah orang yang berkuasa di wilayah
tersebut dan tidak lain adalah Tunggul Ametung. Sehingga hal ini membuat Ken
Arok sebenarnya adalah anak dari Tunggul Ametung sendiri. Ken Ndok yang
melahirkan putranya tanpa suami akhirnya membuang anaknya karena malu. Saat
itulah bayi tersebut ditemukan oleh seorang pencuri bernama Lembong. Karena
dibesarkan oleh seorang pencuri, maka ia juga akhirnya tumbuh menjadi seorang
berandalan yang gemar mencuri dan berjudi sehingga membuat Lembong banyak
hutang.
Ø Menjadi
Perampok yang Ditakuti di Kawasan Kerajaan Kadiri
Lembong yang merasa terbebani
akhirnya mengusir Ken Arok. Saat berkelana itulah ia kemudian bertemu dengan
Bango Samparan, seorang penjudi dari desa Karuman (Garum, Blitar). Bango
Samparan kemudian mengasuhnya karena dianggap sebagai pembawa keberuntungan. Meski
begitu, Ken Arok tidak betah tinggal bersama keluarga Bango Samparan. Pasalnya,
Bango Samparan memiliki 5 orang anak yang akhirnya merasa cemburu karena Ken
Arok dianggap istimewa. Ken Arok kemudian kembali mengembara dan ia bertemu
dengan Tita, dari desa Siganggeng (Malang). Bersama Tita, keduanya malah menjadi
pasangan perampok yang paling ditakuti di seluruh Kadiri. Bahkan banyak
perampok lain yang akhirnya bergabung dengan komplotan Ken Arok.
Ø Bertemu
dengan Brahmana yang Membantunya Menjadi Raja
Ken Arok kemudian bertemu dengan
brahmana dari India, Lohgawe. Ia yakin bahwa Ken Arok adalah titisan Wisnu yang
dicarinya. Lohgawe berkata bahwa dirinya akan membantu Ken Arok mendirikan
sebuah kerajaan, namun ia harus merebut kekuasaan Tunggul Ametung terlebih
dulu. Lohgawe yang dihormati akhirnya berhasil membuat Ken Arok menjadi
pengawal Tunggul Ametung. Saat itulah ia bertemu dengan Ken Dedes untuk pertama
kalinya dan langsung jatuh hati padanya. Dari situlah Ken Arok bertekat untuk
membunuh Tunggul Ametung dan merebut Ken Dedes.
Ø Merebut
Kekuasaan Tunggul Ametung
Singkat cerita, Ken Arok kemudian
memesan sebuah keris sakti dari Mpu Gandring. Mpu Gandring meminta waktu satu
tahun, namun Ken Arok tidak sabar dan meminta waktu 5 bulan. Meski akhirya
disetujui, keris tersebut ternyata belum jadi setelah 5 bulan. Mpu Gandring
yang menolak memberikan keris tersebut akhirnya justru dibunuh oleh Ken Arok
dengan kerisnya sendiri. Mpu Gandring yang sekarat kemudian mengutuk keris
tersebut bahwa keris itu akan membunuh 7 orang termasuk Ken Arok sendiri. Di
sinilah kelicikan Ken Arok kemudian muncul. Ia memberikan keris tersebut kepada
Kebo Ijo, teman sesama pengawal. Kebo Ijo yang begitu bangga dengan keris
tersebut selalu membawa keris itu kemanapun ia pergi, sehingga setiap orang
tahu bahwa keris tersebut adalah milik Kebo Ijo. Ketika Kebo Ijo sedang mabuk,
Ken Arok kemudian mencuri keris tersebut dan membunuh Tunggul Ametung yang
sedang tertidur pulas. Ken Dedes sebenarnya mengetahui kejadian tersebut, namun
ia menyimpan rahasia tersebut karena sudah jatuh hati pada Ken Arok serta
karena ia dulu menikahi Tunggul Ametung karena terpaksa. Tunggul Ametung. Ken
Arok kemudian mengangkat diri sebagai akuwu atau penguasa Tumapel dan menikahi
Ken Dedes, meski saat itu ia mengandung anak dari Tunggul Ametung.
Ø Memberontak dari Kerajaan Kadiri
Tumapel sendiri sebenarnya merupakan
bagian dari Kerajaan Kadiri. Namun Ken Arok kemudian terus memperluas wilayah
sehingga dianggap membangkang. Para Brahmana yang berselisih dengan Kertajaya,
raja Kadiri kemudian pindah ke Tumapel dan meminta perlindungan Ken Arok yang
sedang mempersiapkan pemberontakan.
Dengan
dukungan dari para Brahmana, Ken Arok menyatakan Tumapel sebagai kerajaan
merdeka yang lepas dari Kadiri. Maka selanjutnya terjadilah peperangan antara
Kadiri dan Tumapel yang berakhir dengan kalahnya Kertajaya. Kemudian kerajaan
Tumapel diganti namanya menjadi Kerajaan Singasari yang hanya bertahan sebentar
yaitu dari tahun 1222 hingga 1292. Ken Arok memang berhasil mendirikan sebuah
kerajaan, tapi toh pada akhirnya kerajaan tersebut tidak bisa bertahan lama.
Ken Arok mati dibunuh oleh Anusapati yang merupakan putra dari Tunggul Ametung.
Dan konflik perpecahan antar keluarga akhirnya juga justru membuat kerajaan ini
tidak bisa bertahan. Mungkin inilah gambaran jelas sejarah bahwa kesuksesan
yang diraih dengan jalan kecurangan atau kejahatan tidak akan bertahan lama.
Kisah
Ken Arok, dari Lahir sampai Menjadi Raja. Sumber : Kakawin Pararaton. Demikian
inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanya, ia dijadikan manusia: Adalah seorang
anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus – mutus tali kekang
kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari Jiput,
mengungsi ke daerah Bulalak. Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu
Tapawangkeng, ia sedang membuat pintu gerbang asramanya, dimintai seekor
kambing merah jantan oleh roh pintu. Kata Tapawangkèng: “Tak akan berhasil
berpusing kepala, akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh kedalam dosa,
kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat
menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu.” Kemudian orang yang memutus
mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup mejadi korban pintu Mpu
Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat menjadi
lantaran untuk dapat kembali ke surga dewa Wisnu dan menjelma lagi didalam
kelahiran mulia, ke alam tengah lagi, demikianlah permintaannya.
Demikianlah
ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma, disetujui inti
sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah mati, maka ia dijadikan
korban oleh Mpu Tapawangkeng. Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak
bolak inti perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di
sebelah timur Kawi. Dewa Brahma melihat lihat siapa akan dijadikan temanya
bersepasang. Sesudah demikian itu, adalah mempelai baru, sedang cinta
mencintai, yang laki laki bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok,
mereka ini bercocok tanam. Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yalah:
si Gadjahpara; nama sawah tempat ia: mengirim : Ayuga; desa Ken Endok bernama
Pangkur. Dewa Brahma turun kesitu, bertemu dengan Ken Endok, pertemuan mereka
kedua ini terdjadi di ladang Lalaten; dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada
isteri itu: “Jangan kamu bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan
suamimu, ia akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu:
Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa”. Dewa Brahma lalu
menghilang. Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara. Kata Ken Endok:
“Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya ditemani didalam pertemuan oleh
Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku: jangan tidur
dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan kamu,
dan akan tercampurlah anakku itu.
Lalu
pulanglah Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan ditemani
didalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara. “Wahai, kakak
Gajahpara putuslah perkawinanku dengan kakak, saya takut kepada perkataan Sang
Hyang. Ia tidak mengijinkan aku berkumpul dengan kakak lagi.” Kata Gadjahpara:
“Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak berkeberatan saya,
kalau saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali
kepadamu lagi, adik, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi”. Sesudah
itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap
bertempat tinggal di Campara di seberang selatan. Belum genap sepekan kemudian
matilah Gajahpara. Kata orang yang mempercakapkan: “Luar biasa panas anak
didalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua laki laki
perempuan sudah diikuti, orang tua laki laki segera meninggal dunia”. Akhirnja
sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di kuburan
kanak kanak oleh Ken Endok. Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong,
tersesat di kuburan anak anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh
Lembong, mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah
yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil diambin dan dibawa pulang
diaku anak oleh Lembong.
Ken
Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak, teman Lembonglah yang
memberitakan itu dengan menyebut nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak
kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok datang kepadanya,
sungguhlah itu anaknya sendiri. Kata Ken Endok: “Kakak Lembong, kiranya tuan
tidak tahu tentang anak yang tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak, jika
kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya,
jangan tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu
beribu dua berayah satu, demikian persamaannya.”
Lembong
beserta keluarganya semakin cinta dan senang, lambat laun anak itu akhirnya
menjadi besar, dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya
dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur. Habislah harta benda
Ken Endok dan harta benda Lembong, habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok.
Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak, menggembalakan
sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang, kerbau
sepasang diberi harga delapan ribu oleh yang dipertuan di Lebak, Ken Angrok
sekarang dimarahi oleh orang tua laki laki dan perempuan, kedua duanya: “Nah
buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja,
kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada yang dipertuan
di Lebak”. Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orang tuanya
ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari
perlindungan di Kapundungan; Orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung
tak menaruh belas kasihan. Ada seorang penjudi permainan Saji berasal dari
Karuman, bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang bandar judi di
Karuman, ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari
Karuman, berjiarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa,
disuruh pulang ke Karuman lagi. “Kami mempunyai anak yang akan dapat
menyelesaikan hutangmu ia bernama Ken Angrok.” Pergilah Bango Samparan dari
Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang anak,
dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken
Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan.
Dia
itu lalu ketempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango Samparan dilawan
berjudi, kalahlah bandar itu, kembali kekalahan Bango Samparan, memang betul
petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken Angrok dibawa pulang oleh Bango
Samparan. Bango Samparan berbayuh dua orang bersaudara, Genuk Buntu nama istri
tuanja. dan Tirtaya nama isteri mudanja. Adapun nama anak anaknya dari isteri
muda, yalah Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan
Panji Kenengkung, bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken
Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak dapat
sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman.
Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak tuwan Sahaja,
kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia bersahabat karib
dengan Ken Angrok. Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta mencinta, selanjutnya
Ken Angrok bertermpat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah Ken
Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf huruf,
pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta
diajar sastera. Mereka diberi pelajaran tentang bentuk bentuk bentuk dan
penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan huruf huruf mati, semua
perobahan huruf, juga diajar tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan,
tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari
sembilan, nama nama minggu. Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua duanya pandai
diajar pengetahuan oleh Guru. Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman, berupa
pohon jambu, yang ditanamnya sendiri.
Buahnya
sangat lebat, sungguh padat karena sedang musimnya, dijaga baik tak ada yang
diijinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru:
“Jika sudah masak jambu itu, petiklah”. Ken Angrok sangat ingin, melihat buah
jambu itu, sangat dikenang kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba waktu
orang tidur sedang nyenyak nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah
kelelawar dari ubun ubun Ken Angrok, berbondong bondong tak ada putusnya,
semalam malaman makan buah jambu sang guru. Pada waktu paginya buah jambu
tampak berserak serak di halaman, diambil oleh pengiring guru. Ketika guru
melihat buah jambu rusak berserakan di halaman itu, maka rnendjadi susah. Kata
guru kepada murid murid: “Apakah sebabnya maka jambu itu rusak.” Menjawablah
pengiring guru: “Tuanku rusaklah itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu”.
Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam
malaman. Ken Angrok tidur lagi diatas balai balai sebelah selatan, dekat tempat
daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap.
Menurut
penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong bondong, keluar dari
ubun ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu guru, bingunglah hati guru itu,
merasa tak berdaya mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya,
marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh guru, kira kira pada waktu tengah
malam guru rnengusirnya. Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung huyung, lalu
keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar,
ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira
kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia
disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi, menurutlah Ken
Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi paginya ia disuruh mengambil buah
jambu oleh guru, Ken Angrok senang. katanya : “Aku mengharap semoga aku menjadi
orang, aku akan membalas budi kepada guru.”
Lama
kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala dengan Tuwan Tita,
membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja,
dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di jalan, dengan
Tuwan Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di hutan orang
Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta pergi ke
hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam pertemuan didalam hutan,
hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok,
kemudian ia memperkosa orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di
negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk
dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul
Ametung. Pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat. Rabut
Gorontol. “Semoga tergenang didalam air, orang yang akan melenyapkan saya”
kutuk Ken Angrok, semoga keluar air dan tidak ada, sehingga terdjadilah tahun
tak ada kesukaran di Jawa.”
Ia
pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala. Ada
seorang pemikat burung pitpit, ia memperkosa orang yang sedang rnemanggil
manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat
tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi ke Jun Watu,
daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal pada penduduk
desa, keturunan golongan tentara, bernana Gagak Uget. Lamalah ia bertempat
tinggal disitu, memerkosa orang yang sedang rnelalui jalan. Ia lalu pergi ke
Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak
tahu kemana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi sungai, setelah
siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu, ditunggu orang
Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan canang, Pohon tal itu ditebang oleh
orang-orang yang mengejarnya.
Sekarang
dia menangis, menyebut nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya, akhirnya ia
mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal, untuk didjadikan
sayapnya kiri kanan, agar supaya dapat melayang ke seberang timur, mustahil ia
akan mati, lalu ia memotong daun tal mendapat dua helai, dijadikan sayapnya
kiri kanan, ia melayang keseberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa, diikuti
dikejar, mengungsilah ia ke daerah orang masih juga dikejar diburu, lari
mengungsi ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan
didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak oleh
yang dipertuan itu. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam,
banyaknya enam orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan
empangan, tinggal 1ima orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken
Angrok, datanglah yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah:
“Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi
kemari.” meanjawablah penguasa daerah itu: “Tuan tuan, kami tidak sungguh
bohong kami tuan, ia tidak disini; anak kami enam orang, yang sedang bertanam
ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu
ada orang lain disini” Kata orang-orang yang mengejar: “Memang sungguh, anak
penguasa daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang.”
Segera pergilah yang mengejar.
Kata
penguasa daerah kepada ken Angrok: “Pergilah kamu, buyung, jangan jangan
kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang membicarakan kata kataku tadi,
akan sia sia kamu berlindung kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan”. Maka kata
ken Angrok: “Semoga berhenti lagilah yang mengejar, itulah sebabnya maka Ken
Angrok bersembunyi di dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu. Selanjutnya ia
mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag. ia semakin merusuh. Adalah seorang
kepala lingkungan daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak tanah,
berangkatlah ia membajak ladang, mempesiapkan. tanahnya untuk ditanami kacang,
membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala Lingkungan itu,
dimasukkin kedalam tabung bambu, diletakkan diatas onggokan; sangat asyiklah
kepala Lingkungan itu, selalu membajak ladang kacang saja, maka dirunduk
diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok, tiap tiap hari terdjadi demikian
itu, kepala Lingkungan bingunglah, karena tiap tiap hari kehilangan nasi untuk
anak gembalanya, kata kepala Lingkungan: “Apakah sebabnya maka nasi itu
hilang”. Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu
diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama
kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil
nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: “Terangnya, kamulah, buyung, yang
nengambil nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu,”
Ken
Angrok menjawab: “Betullah tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil
nasi anak gembala tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang
kumakan..” Kata kepala Lingkungan: “Nah buyung. datanglah ke asramaku, kalau
kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap tiap hari mengharap
ada tamu datang”. Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala
lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kata kepala lingkungan kepada
isterinya: “Nini batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang
kemari, meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas lekas terima sebagai
keluarga, kasihanilah ia” diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang,
seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet. Ada seorang kepala
lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia
adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan
akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang barang emas dengan sesempurna
sesempurnanya, sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari
Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu
takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan
perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia
berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat.
Kata
ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini,” Kata
Mpu, menjawabnya: “Saya sedang bepergian dari Kebalon, buyung, akan pulang ke
Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada orang yang melakukan
perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok”. Tersenyumlah Ken Angrok: “Nah Tuan,
anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti yang akan melawan
kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju
sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir.” Mpu di Tuyantapada itu
merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di
Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang barang emas,
lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot,
selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama
Turyantapada dinamakan daerah Bapa. Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada
Mpu Palot, karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi
pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat
barang barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan
yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke
Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon. Ken Angrok
lalu marah : “Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini,”
Ken
Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon,
dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru
Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama
sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu, maksud para
petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. Segera
mendengar suara dari angkasa: “Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa,
anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini.” Demikan1ah
suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. Maka ditolong Ken Angrok,
bangun seperti sedia kala. Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: “Semoga tak ada
petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat
benda-benda emas”.
Ken
Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan
Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. Ken Angrok pergi dari lingkungan
Bapa menuju ke daerah desa Tugaran, Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh
belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya
didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan
kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering. Gadis ini
lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang
menghasilkan berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran
benihnya mengkilat besar dan gurih. Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa
lagi. Kata ken Angrok: “Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak
kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken
Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan Daha, Diadakan
tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari
daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka.
Ia
pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas
kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok
berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. Kepadanya turun petunjuk
dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga
pertama, para dewa bermusyawarah berrapat; Demikian ini kata seorang nenek
kebayan di Panitikan: “Saya akan membantu menyembunyikan kamu, buyung, agar
supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu
semua dewa dewa bermusyawarah.” Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu.
Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama
tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni
dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah suara tujuh
nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan
masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar
suara tak ada hentinya, berdengung dengung bergemuruh.
Adapun
inti musyawarah para dewa: “Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah
mestinya.” Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan:
“Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa,” demikian pertanyaan para
dewa semua. Menjawablah dewa Guru: “Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku,
seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah
Jawa.” Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa;
semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu
pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah. Diberi petunjuklah Ken
Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang
Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah
asal mulanja ada brahmana di sebelah timur Kawi.
Pada
waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga
potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang
Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Ada seorang
anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang
kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah
penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: “Wahai
Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini,
aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat
perjudian.” Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat
amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang
Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Tentu buyunglah
yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak
padaku pada waktu aku memuja”. Menjawablah Ken Angrok: “Betul tuan, anaknda
bernama Ken Angrok.” Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe:
“Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana
saja kamu pergi.”
Ken
Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. Setelah ia
datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba
pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Dijumpainya
dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: “Selamatlah
tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan.”
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari
seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu”. Menjawablah
Tunggul Ametung: “Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat
tinggal dengan tenteram pada anaknda ini”. Demikianlah kata Tunggul Ametung.
Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di
Tumapel itu, Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut
aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia
mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta
Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes.
Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di
sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang
di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes;
Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu.
Kebetulan
Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan
oleh Tunggu1 Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak
rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal
yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: “Nah,
semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia
ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen
ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air
kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang
dengan paksaan. Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan
gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat
keselamatan dan kebahagiaan besar.” Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen.
Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung,
Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes menampakkan
gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama
berserta isterinya ke taman Boboji;
Ken
Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya,
terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona
ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai
kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat.
Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu
kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: “Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan
bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda
buruk atau tanda baikkah itu”. Dang Hyang menjawab: ” Siapa itu, buyung”. Kata
Ken Angrok: ” Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya
oleh hamba”. Kata Dang Hyang: “Jika ada perempuan yang demikian, buyung,
perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama,
buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja.” Ke
Angrok diam, akhirnya berkata: “Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala
rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya
akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan
mengijinkan.” Jawab Dang Hyang: ” Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung
olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan
seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri.” Kata Ken Angrok: “Jika
demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan.” Sang Brahmana menjawab: “Akan
kemana kamu buyung?” Ken Angrok menjawab: ” Hamba pergi ke Karuman, ada seorang
penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada
hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan
menyetujuinya.”
Kata
Dang Hyang: “Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di
Karuman, buyung.” Kata Ken Angrok: “Apakah perlunya hamba lama disana.” Ken
Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan.
“Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian
saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi.” Ken Angrok menjawab:
“Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya
hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta,
tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Ada seorang brahmana yang
baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada
hamba, hamba bertanya kepadanya: “Apakah nama seorang perempuan yang menyala
rahasianya itu.” Kata Sang Brahmana: “Itu yang disebut seorang perempuan ardana
reswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan
dapat menjadi maharaja.” Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung
akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi raja,
hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang, Kata Dang Hyang: “Buyung Angrok, tidak
dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri
orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri.”
Itulah
sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang akuwu
akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba.” Menjawablah
Bango Samparan: “Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu
akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi
hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu
tusuk keris yang kurang bertuah. Saya ada seorang teman, seorang pandai keris
di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang
sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu
menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah
hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia.”
Demikian
pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. kata Ken Angrok: “Hamba memohon diri,
Bapa, akan pergi ke Lulumbang.” Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang,
bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok
datang lalu bertanya: “Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu,
hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu
lima bulan, akan datang keperluan yang harus hamba lakukan.”
Kata
Mpu Gandring: “Jangan lima bulan itu, kalau kamu menginginkan yang baik, kira –
kira setahun baru selesai, akan baik dan matang tempaannya,” Ken Angrok
berkata: “Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya saja, hendaknya selesai
didalam lima bulan.” Ken Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel bertemu dengan
Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok: “Apakah sebabnya kamu lama
di Tumapel itu.” Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada perjanjiannya, bahwa
ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring. Pergilah ia ke Lulumbang,
bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan memotong motong keris pesanan
Ken Angrok. Kata Ken Angrok: “Manakah pesanan hamba kepada tuan Gandring.”
Menjawablah Gandring itu: “Yang sedang saya asah ini, buyung Angrok.” Keris
diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok. Katanya dengan agak marah: “Ah tak ada
gunanya aku menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah belum selesai diasah
keris ini, memang celaka, inikah rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan
itu.” Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya ditusukkan kepada Gandring keris
buatan Gandring itu. Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan,
lumpang berbelah menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa, juga ini
berbelah menjadi dua. Kini Gandring berkata: “Buyung Angrok, kelak kamu akan
mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang
raja akan mati karena keris itu.”
Sesudah
Gandring berkata demikian lalu meninggal. Sekarang Ken Angrok tampak menyesal
karena Gandring meninggal itu, kata Ken Angrok: “Kalau aku menjadi orang,
semoga kemulianku melimpah, juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang.”
Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel. Ada seorang kekasih Tunggul Ametung,
bernama Kebo Hijo, bersahabat dengan Ken Angrok, cinta mencintai. Pada waktu
itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris baru, berhulu kayu
cangkring masih berduri, belum diberi perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo
melihat itu. Ia berkata kepada Ken Angrok: ” Wahai kakak, saya pinjam keris
itu.” Diberikan oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang
memakai melihatnya itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak
orang Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru
dipinggangnya. Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat
diambil oleh yang mencuri itu. Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari
pergi kedalam rumah akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur,
kebetulan juga disertai nasib baik , ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung,
tidak terhalang perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok,
tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga. Keris buatan Gandring
ditinggalkan dengan sengaja. Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam
didada Tunggul Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu
dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja. Kata orang
Tumapel semua: “Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung dengan
secara rahasia, karena memang nyata kerisnya masih tertanam didada sang akuwu
di Tumapel.
Kini
Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan keris buatan
Gandring, meninggallah Kebo Hijo. Kebo Hijo mempunyai seorang anak, bernama
Mahisa Randi, sedih karena ayahnya meninggal, Ken Angrok menaruh belas kasihan
kepadanya, kemana mana anak ini dibawa, karena Ken Angrok luar biasa kasih
sayangnya terhadap Mahisa Randi. Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki,
bahwasanya Ken Angrok memang sungguh sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah
sudah mereka saling hendak menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani
membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok, demikian juga semua keluarga
Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa apa, akhirnya Ken Angrok
kawin dengan Ken Dedes. Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, dia ini
telah mengandung tiga bulan, lalu dicampuri oleh Ken Angrok. Ken Angrok dan Ken
Dedes sangat cinta mencintai.
Telah
lama perkawinannya. Setelah genap bulannya Ken Dedes melahirkan seorang anak
laki laki, lahir dari ayah Tunggul Ametung, diberi nama Sang Anusapati dan nama
kepanjangannya kepanjiannya Sang Apanji Anengah. Setelah lama perkawinan Ken
Angrok dan Ken Dedes itu, maka Ken Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak laki
laki, bernama Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng bernama Sang
Apanji Saprang, adik panji Saprang juga laki laki bernama Agnibaya, adik
Agnibaya perempuan bernama Dewi Rimbu, Ken Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat
orang anak. Ken Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken Umang, ia melahirkan
anak laki laki bernama panji Tohjaya, adik panji Tohjaya, bernama Twan Wregola,
adik Twan Wregola perempuan bernama Dewi Rambi. Banyaknya anak semua ada 9
orang, laki laki 7 orang, perempuan 2 orang. Sudah dikuasailah sebelah timur
Kawi, bahkan seluruh daerah sebelah timur Kawi itu, semua takut terhadap Ken
Angrok, mulailah Ken Angrok menampakkan keinginannya untuk menjadi raja, orang
orang Tumapel semua senang, kalau Ken Angrok menjadi raja itu.
Kebetulan
disertai kehendak nasib, raja Daha, yalah raja Dandhang Gendis, berkata kepada
para bujangga yang berada di seluruh wilayah Daha, katanya: “Wahai, tuan tuan
bujangga pemeluk agama Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan tuan tidak
menyembah kepada kami, bukanlah kami ini semata mata Batara Guru.” Menjawablah
para bujangga di seluruh daerah negara Daha: “Tuanku, semenjak jaman dahulu
kala tak ada bujangga yang menyembah raja.” demikianlah kata bujangga semua.
Kata Raja Dandhang Gendis: “Nah, jika semenjak dahulu kala tak ada yang
menyembah, sekarang ini hendaknyalah kami tuan sembah, jika tuan tuan tidak
tahu kesaktian kami, sekarang akan kami beri buktinya.” Kini Raja Dandhang
Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan kedalam tanah, ia
duduk di ujung tombak, seraya berkata: “Nah, tuan tuan bujangga, lihatlah
kesaktian kami.” Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, semata mata Batara
Guru perwujudannya, para bujangga di seluruh daerah Daha diperintahkan
menyembah, semua tidak ada yang mau, bahkan menentang dan mencari perlindungan
ke Tumapel, menghamba kepada Ken Angrok. Itulah asal mulanya Tumapel tak mau
tahu negara Daha.
Tak
lama sesudah itu Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel, negaranya bernama
Singasari, nama nobatannya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, disaksikan oleh
para bujangga pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal dari Daha, terutama
Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi pendeta istana, adapun mereka yang
menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang menderita,
semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi belas balasan atas budi
jasanya, misalnya Bango Samparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala
lingkungan Turyantapada, dan anak anak pandai besi Lulumbang yang bernama Mpu
Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa di dalam
lingkungan batas jejak bajak beliung cangkulnya.
Sumber : face
book Oleh Tjahja
Tribinuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar