KISAH
ARYA DAMAR
Orientasi
Arya Damar
(sebelumnya bernama Jaka Dilah)
adalah nama seorang pemimpin legendaris yang berkuasa di Palembang
pada pertengahan abad ke-14 sebagai bawahan Kerajaan Majapahit. Ia disebut juga dengan nama Ario Damar atau Ario Abdilah. Menurut kronik Cina
dari Kuil Sam Po Kong Semarang,
ia memiliki nama Tionghoa yaitu Swan
Liong (Naga Berlian) tanpa nama marga di depannya, karena ibunya
merupakan wanita peranakan Tionghoa.
Penaklukan
Bali
Nama
Arya Damar ditemukan dalam Kidung
Pamacangah dan Usana Bali
sebagai penguasa bawahan di Palembang
yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada
tahun 1343.
Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara,
sedangkan Gajah Mada menyerang dari selatan dengan
jumlah prajurit yang sama. Pasukan Arya Damar berhasil menaklukkan Ularan yang
terletak di pantai utara Bali. Pemimpin Ularan yang bernama Pasung Giri
akhirnya menyerah setelah bertempur selama dua hari. Arya Damar yang kehilangan
banyak prajurit melampiaskan kemarahannya dengan cara membunuh Pasung Giri.
Arya Damar kembali ke Majapahit untuk melaporkan kemenangan di Ularan.
Pemerintah pusat yang saat itu dipimpin Tribhuwana
Tunggadewi marah
atas kelancangannya, yaitu membunuh musuh yang sudah menyerah. Arya Damar pun
dikirim kembali ke medan perang untuk menebus kesalahannya.
Arya
Damar tiba di Bali bergabung dengan Gajah Mada yang bersiap menyerang Tawing.
Sempat terjadi kesalahpahaman di mana Arya Damar menyerbu lebih dulu sebelum
datangnya perintah. Namun keduanya akhirnya berdamai sehingga pertahanan
terakhir Bali pun dapat dihancurkan.
Seluruh
Pulau Bali akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran
panjang selama tujuh bulan. Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik
Arya Damar, yaitu Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog.
Sementara itu, Arya Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang.
Arya Kenceng memimpin saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan
Majapahit. Ia dianggap sebagai leluhur raja-raja Tabanan
dan Badung.
Identifikasi dengan
Adityawarman
Sejarawan
Prof. Berg menganggap Arya Damar identik dengan Adityawarman,
yaitu penguasa Pulau Sumatra bawahan Majapahit.
Nama Adityawarman ditemukan dalam beberapa prasasti yang berangka tahun 1343 dan 1347 sehingga
jelas kalau ia hidup sezaman dengan Arya Damar.
Menurut
Berg, Arya Damar adalah penguasa Sumatra, Adityawarman juga penguasa Sumatra.
Karena keduanya hidup pada zaman yang sama, maka cukup masuk akal apabila kedua
tokoh ini dianggap identik. Di samping itu, karena Adityawarman adalah putra Dara Jingga,
maka Arya Damar dan adik-adiknya juga dianggap sebagai anak-anak putri Melayu
tersebut.
Namun,
daerah yang dipimpin Adityawarman bukan Palembang,
melainkan Pagaruyung, sedangkan kedua negeri tersebut
terletak berjauhan. Palembang sekarang masuk wilayah Sumatera Selatan, sedangkan Pagaruyung berada di Sumatera Barat. Sementara itu, berita Cina
dari Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di Pulau Sumatra
terdapat tiga kerajaan dan semuanya adalah bawahan Pulau Jawa (Majapahit). Tiga
kerajaan tersebut adalah Palembang, Dharmasraya, dan Pagaruyung.
Dengan
demikian, Arya Damar bukan satu-satunya raja di Pulau Sumatra, begitu pula
dengan Adityawarman. Oleh karena itu, Arya Damar tidak harus identik dengan
Adityawarman.
Jadi,
meskipun Arya Damar dan Adityawarman hidup pada zaman yang sama, serta memiliki
jabatan yang sama pula, namun keduanya belum tentu identik. Arya Damar adalah
raja Palembang sedangkan Adityawarman adalah raja Pagaruyung. Keduanya
merupakan wakil Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra.
Ayah Tiri Raden Patah
Arya
Damar adalah pahlawan legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh
masyarakat Jawa.
Dalam naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi, tokoh Arya Damar disebut sebagai
ayah tiri Raden Patah, raja Demak
pertama . Dikisahkan ada seorang raksasa wanita ingin menjadi istri Brawijaya
raja terakhir Majapahit (versi babad). Ia pun mengubah
wujud menjadi gadis cantik bernama Endang Sasmintapura, dan segera ditemukan
oleh patih Majapahit (yang juga bernama Gajah Mada)
di dalam pasar kota. Sasmintapura pun dipersembahkan kepada Brawijaya untuk
dijadikan istri.
Namun,
ketika sedang mengandung, Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan
daging mentah. Ia pun diusir oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di
tengah hutan. Putra sulung Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah. Setelah dewasa
Jaka Dilah mengabdi ke Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah
pun mendatangkan semua binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat
gembira melihatnya dan akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.
Jaka
Dilah kemudian diangkat sebagai bupati Palembang
bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah menceraikan seorang selirnya
yang berdarah Cina
karena permaisurinya yang bernama Ratu Dwarawati (Putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu
diserahkan kepada Arya Damar untuk dijadikan istri. Arya Damar membawa putri
Cina ke Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden
Patah. Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan
demikian terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah,
dan Raden Kusen. Setelah dewasa, Raden Patah dan Raden Kusen meninggalkan
Palembang menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi raja
Demak pertama, dengan bergelar Panembahan Jimbun.
Seputar Tokoh Swan Liong
Kisah
hidup Raden Patah juga tercatat dalam kronik Cina
dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
Dalam naskah itu, Raden Patah disebut dengan nama Jin Bun, sedangkan ayah
tirinya bukan bernama Arya Damar, melainkan bernama Swan Liong (= Naga Berlian). Swan Liong adalah putra raja Majapahit
bernama Yang-wi-si-sa yang lahir dari seorang selir Cina. Mungkin
Yang-wi-si-sa sama dengan Hyang Wisesa
atau mungkin Hyang Purwawisesa. Kedua nama ini ditemukan dalam
naskah Pararaton.
Swan
Liong bekerja sebagai kepala pabrik bahan peledak di Semarang.
Pada tahun 1443
ia diangkat menjadi kapten Cina di Palembang oleh Gan Eng Cu, kapten Cina di
Jawa. Swan Liong di Palembang memiliki asisten bernama Bong Swi Hoo. Pada tahun
1445
Bong Swi Hoo pindah ke Jawa dan menjadi menantu Gan Eng Cu. Pada tahun 1451 Bong Swi
Hoo mendirikan pusat perguruan agama Islam
di Surabaya,
dan ia pun terkenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Arya Dilah dari Palembang
Lain
lagi dengan naskah dari Jawa Barat,
misalnya Hikayat Hasanuddin
atau Sejarah Banten.
Naskah-naskah tersebut menggabungkan nama Arya Damar dengan Jaka Dilah menjadi
Arya Dilah, yang juga menjabat sebagai bupati Palembang. Selain itu, nama Arya
Dilah juga diduga berasal dari nama Arya Abdilah. Dikisahkan ada seorang
perdana menteri "Munggul" bernama Cek Ko-po
yang mengabdi ke Majapahit. Putranya yang bernama Cu Cu
berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang.
Raja Majapahit sangat gembira dan mengangkat Cu Cu sebagai bupati Demak,
bergelar Molana Arya Sumangsang.
Dengan
demikian, Arya Sumangsang berhasil menjadi pemimpin Demak setelah mengalahkan
Arya Dilah. Kisah dari Jawa Barat ini cukup unik karena pada umumnya, raja
Demak disebut sebagai anak tiri bupati Palembang. Sementara itu, berita tentang
pemberontakan Palembang ternyata benar-benar terjadi. Kronik Cina
dari Dinasti Ming mencatat bahwa pada tahun 1377 tentara
Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Palembang. Rupanya pengarang naskah
di atas pernah mendengar berita pemberontakan Palembang terhadap Majapahit.
Namun ia tidak mengetahui secara pasti bagaimana peristiwa itu terjadi.
Pemberontakan Palembang dan berdirinya Demak dikisahkannya sebagai satu
rangkaian, padahal sesungguhnya, kedua peristiwa tersebut berselang lebih dari
100 tahun.
Hubungan
dengan Raja Demak
Naskah-naskah
di atas menunjukkan adanya hubungan antara pendiri Demak dan penguasa Palembang.
Teori yang paling populer adalah yang bersumber dari Babad Tanah Jawi (atau naskah lainnya yang sejenis),
yaitu Raden Patah disebut sebagai anak tiri Arya
Damar. Sementara itu catatan Portugis
berjudul Suma Oriental
menyebut raja Demak sebagai keturunan masyarakat kelas rendah dari Gresik.
Naskah ini ditulis sekitar tahun 1513 sehingga
kebenarannya relatif lebih meyakinkan daripada Babad Tanah Jawi.
Babad Tanah Jawi sendiri disusun pada abad ke-18, yaitu berselang
ratusan tahun sejak kematian Raden Patah. Melalui naskah itu, si penulis
berusaha menunjukkan kalau Demak adalah pewaris sah dari Majapahit. Raden Patah
pun disebutnya sebagai putra kandung Brawijaya. Mungkin penyusun Babad Tanah Jawi juga pernah
mendengar adanya hubungan antara Demak dengan Palembang. Maka, Raden Patah pun
dikisahkan sebagai anak tiri bupati Palembang. Karena nama bupati Palembang
yang paling legendaris adalah Arya Damar, maka tokoh ini pun “dipilih” sebagai
nama ayah tiri sekaligus kakak Raden Patah.
Dalam
hal ini penyusun Babad Tanah Jawi
tidak menyadari kalau Arya Damar dan Raden Patah hidup pada zaman yang berbeda.
Arya Damar merupakan pahlawan penakluk Bali pada
tahun 1343,
sedangkan Raden Patah menjadi raja Demak sekitar tahun 1500–an.
Kepustakaan
Ø
(Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya
kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 68. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
Ø
Babad Tanah Jawi, Mulai
dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Ø
C.C. Berg. 1985. Penulisan Sejarah Jawa. (terj.). Jakarta: Bhratara
Ø
H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Grafiti
Ø
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Ø
Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
[Misteri]
5 Sosok Arya Damar, dalam Sejarah Melayu Palembang ?
Pelabuhan
Kukang (Palembang), telah ber abad-abad menjadi salah satu pusat pedagangan di
Nusantara. Dan tidaklah berlebihan, apabila Maha Patih Gajah Mada dalam Sumpah
Palapa-nya, menempatkan Palembang sebagai wilayah yang wajib dikuasai. Dalam
naskah-naskah kuno, Perwakilan Majapahit di Palembang menggunakan istilah
“Adipati Arya Damar”, yang apabila kita selusuri, terdiri dari beberapa tokoh.
Hal inilah yang sering kali membuat bingung Sejarawan, sebab terkadang kisah
dari sosok “Adipati Arya Damar”, saling tertukar dan tumpang tindih.
Arya Damar, dalam Sejarah Melayu
Ada
hal menarik, meskipun nama “Adipati Arya Damar” banyak beredar dalam
naskah-naskah kuno di Pulau Jawa, justru nama tersebut tidak sama sekali
disinggung dalam Naskah Sejarah Melayu. Dalam Sejarah Melayu
tertulis kedatangan Sang Suparba di Bukit Siguntang (pada sekitar tahun
1285 M), disambut Demang Lebar Daun. Peristiwa kedatangan Sang Suparba ini,
hanya berjarak sekitar 23 tahun dari pelantikan Arya Damar sebagai Adipati
Palembang pada tahun 1308 M. Setelah Kepemimpinan Sang Suparba, Sejarah
Melayu mengisahkan Pemerintahan Palembang dipegang oleh anak keturunan, puteri
angkatnya Puteri Tunjung Buih.
Di
sisi lain, dalam naskah-naskah kuno dikatakan, dimasa awal abad ke-14 M, yang
memerintah Palembang adalah anak keturunan Adipati Arya Damar dengan istrinya
bernama Puteri Ciu Chen.
Apakah
Puteri Tunjung Buih itu adalah nama lain dari Puteri Ciu Chen ? Dengan
berpedoman kepada Sejarah Melayu, sangat besar kemungkinan yang menjadi suami
dari Puteri Tunjung Buih (Ciu Chen) adalah Adipati Arya Damar. Dan dari
pernikahan keduanya, melahirkan 3 putera, yaitu :
Ø Arya Barak (Ratu Bhatãra di
Wayan/Puyang Semidang Aji/Panglima Timur)
Ø Arya Gading (Ratu Bhatãra di Made/Puyang
Gading/Panglima Barat)
Ø Arya Yasa (Ratu Layang Petak atau
Puyang Melayang)
Misteri 5 Sosok Arya Damar
Dari
berbagai kisah yang ada di masyarakat, setidaknya ada 5 tokoh, yang
di-identifikasikan sebagai Arya Damar, yaitu :
Ø Adityawarman
Tokoh Adipati Arya Damar, yang
paling awal bisa dideteksi adalah Adityawarman. Adityawarman adalah putera
pejabat kerajaan Majapahit bernama Adwaya Brahman, sementara ibunya Dara
Jingga, seorang putri Kerajaan Darmasraya. Di kisahkan Adityawarman berjasa
dalam menumpas para pepatih di wilayah situlembang, kemudian diangkat menjadi
Adipati Palembang pada tahun 1308 M. Roda pemerintahan di Palembang, lebih
banyak dijalankan oleh istrinya Ciu Chen, dikarenakan Adityawarman sering
berpergian dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan
Majapahit. Pada tahun 1347 M, bersama istrinya yang lain Puti Jamilan,
Adityawarman pindah ke pedalaman, untuk membangun kembali Kerajaan Pagaruyung.
Pemerintahan di Palembang, ia serahkan kepada anak-anaknya dari Puteri Ciu
Chen, dibantu Patih Palembang bernama Arya Sampang.
Ø Arya Dillah
Diperkirakan Arya Dillah (Jaka
Dillah) lahir tahun 1415, dan merupakan anak Prabu Wikramawardhana (memerintah
Majapahit, 1389-1429). Ketika menjabat menjadi Adipati Palembang, ia kedatangan
mubaligh Muslim bernama Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), yang membimbingnya menjadi
seorang mualaf. Dalam buku Suluk Abdul Jalil: perjalanan ruhani Syaikh
Siti Jenar, tulisan Agus Sunyoto, tercatat Aria Dillah memiliki istri,
bernama Nyimas Sahilan binti Syarif Husein Hidayatullah (Menak Usang
Sekampung), dari istrinya ini Aria Dillah memiliki putera bernama Raden Sahun.
Dalam naskah Mertasinga, Ario Dillah memiliki seorang puteri yang kemudian
menikah dengan Arya Palembang.
Ø Arya Palembang (Abdullah Azmatkhan)
Sebelum Arya Palembang diangkat
menantu oleh Arya Dillah. Arya Palembang telah menikah dengan Nyai Ratna
Subanci, yang kemudian memperoleh putera bernama Raden Husein (Kusen),
Adipati Terung. Di dalam Naskah Mertasinga Arya Palembang menikahi Nyai Ratna
Subanci, selir Kerajaan Majapahit yang hijrah ke Palembang. Kedatangan
Nyai Ratna Subanci ke Palembang, dalam upaya meyelamatkan bayi putera dari
Putri Champa, yang bernama Raden Hasan (Raden Fattah). Sejarah mencatat,
kelak di kemudian hari, sekitar tahun 1478 M, Raden Fattah diangkat menjadi
Sultan Demak oleh Walisongo. Kemungkinan Arya Palembang adalah orang yang
dimaksud sebagai Arya Damar dalam catatan Sayyid Bahruddin Azmatkhan. Dalam
catatan itu, Arya Damar dikatakan sebagai anak keturunan dari Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan.
Ø Pangeran Sukemilung (Si Pahit Lidah)
Pangeran Sukemilung adalah anak dari
Ratu Raja Muda (Ratu Kebuyutan). Di dalam naskah Sumatera Selatan, Pangeran
Sukemilung (Arya Damar) dikisahkan memiliki istri bernama Maharatu Putri
Semidang Biduk Putri Sultan Moeghni.
Masa kepemimpinannya diperkirakan
sebelum era Syahbandar Pai Lian Bang (sekitar tahun 1485 M). Pangeran
Sukemilung (Si Pahit Lidah/Serunting Sakti) berputera tujuh orang, yaitu :
1.
Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang Bengkulu Selatan
2. Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat
3. Serampu Raye, yang menetap di Tanjung Karang Enim
4. Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan
5. Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat
6. Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat
7. Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat
2. Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat
3. Serampu Raye, yang menetap di Tanjung Karang Enim
4. Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan
5. Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat
6. Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat
7. Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat
Ø Pangeran Guru
Pangeran Guru adalah seorang tokoh
perantauan dari tanah Jawa. Pangeran Guru dikenal memiliki kesaktiana dan
membuka padepokan di Palembang. Tokoh yang hidup di era akhir Kerajaan
Majapahit ini dalam Babad Dermayu di-identifikasi sebagai Arya Damar, meskipun
Pangeran Guru sendiri belum pernah menjabat sebagai Adipati. Pangeran Guru
diceritakan pada tahun 1527, tewas terbunuh setelah adu kesaktian dengan Endang
Darma.
WaLlahu a’lamu bishshawab
[Misteri]
Panglima Arya Damar bukanlah Adipati Arya Dillah ?
Seringkali
pemerhati sejarah, dibuat bingung dengan jati diri penguasa Palembang Arya
Damar. Sekali waktu ia diceritakan sebagai Panglima Majapahit di tahun 1343 M,
namun disisi lain sosok ini dikisahkan sebagai ayah angkat Raden Fatah, yang
masa kehidupannya berjarak lebih dari 100 tahun.Berdasarkan timeline, nampaknya
ada dua sosok Arya Damar, yang sama-sama pernah menjadi pemimpin rakyat
Palembang. Sosok pertama dikenal sebagai Panglima Majapahit Penakluk Pulau Bali,
sementara lainnya adalah seorang Birokrat Majapahit, yang menjadi mualaf
melalui dakwah Sunan Ampel.
Panglima Arya Damar
Arya
Damar adalah putera pejabat kerajaan Majapahit yang bernama Adwaya Brahman,
sementara ibunya Dara Jingga, seorang putri Kerajaan Darmasraya. Diperkirakan
Arya Damar lahir pada tahun 1294 M, merupakan keturunan dari Sri Muliwarman
Raja di Sumatra. Atas jasanya menumpas para pepatih di wilayah situlembang, ia
diangkat menjadi Adipati di daerah itu tahun 1308 M (sumber : ratu-wijaya.blogspot.com dan sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com).
Nama
Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai Panglima
Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343. Bersama Gajah Mada, seluruh Pulau
Bali akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran panjang
selama tujuh bulan (sumber : wikipedia).
Adipati Arya Dillah
Pada
tahun 1415 M, istri kedua Wikramawardhana yang bernama Bhre Mataram, melahirkan
bayi yang diberi nama Arya Damar. Tidak lama setelah melahirkan, Bhre Mataram
wafat, sehingga Arya Damar diasuh oleh uwaknya, yang bernama Ki Kumbarawa
(sumber : siwisangnusantara.web.id). Ketika Arya Damar menjadi Adipati
Palembang, ia kedatangan mubaligh Muslim bernama Ali Rahmatullah (Sunan Ampel,
sumber : sumsel.kemenag.go.id). Setelah melalui diskusi yang
cukup panjang, akhirnya Arya Damar menjadi seorang mualaf, dan memiliki nama
baru Arya Dillah (Abdullah).
Sejarah
mencatat, Adipati Arya Dillah ikut berperan dalam mengasuh anak angkatnya yang
bernama Raden Fattah. Kelak di kemudian hari, Raden Fattah diangkat menjadi
Sultan Demak oleh Walisongo pada tahun 1478 M (sumber : pusakaindonesia.org).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar