Kamis, 04 Oktober 2018

KISAH PERJANJIAN GIYANTI

KISAH PERJANJIAN GIYANTI

Orientasi
Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Demi keuntungan pribadi, Pangeran Mangkubumi memutar haluan dengan menyeberang dari kelompok pemberontak ke kelompok pemegang legitimasi kekuasaan untuk memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 tersebut secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda) yang sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.

Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua. Wilayah di sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris takhta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III, dan tetap berkedudukan di Surakarta. Adapun wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

Perundingan
Menurut dokumen register harian N. Hartingh, Gubernur VOC untuk Jawa Utara, pada tanggal 10 September 1754 ia berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal 22 September 1754. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Natakusuma dan Tumenggung Ronggo. Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel, dan sekretarisnya, W. Fockens. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.

Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kesultanan. Mangkubumi menyatakan bahwa di Cirebon ada lebih dari satu sultan. Hartingh pun menawarkan Mataram sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan bisa berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar sunan dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya. Mangkubumi keberatan melepas gelar sunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai sunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan yang Dipertuan atas Kesultanan Mataram ketika Pakubuwana II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III.

Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan. Daerah pantai utara Jawa atau daerah pesisiran yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada Pakubuwana III. Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III menyampaikan surat kepada Gubernur Jenderal VOC, Mossel, mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Gubernur Jawa Utara, N. Hartingh, dan Pangeran Mangkubumi.

Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, maka pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah Perjanjian di Giyanti.

Isi Perjanjian
Poin-poin perjanjian tersebut seperti yang dikemukakan oleh Soedarisman Poerwokoesoemo adalah sebagai berikut.
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separo dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
Pasal 9
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens dari pihak VOC.

Polemik
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan. Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti Pangeran Sambernyawa adalah rival Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Oleh VOC, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.

Referensi
Ø Soedarisman Poerwokoesoemo. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ø M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ø Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.

Sejarah (Babad) Perjanjian Giyanti
Babad Giyanti (aksara Jawa: ) adalah sebuah syair dalam bentuk tembang macapat yang dikarang oleh Yasadipura tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755. Sesudah keraton dipindahkan ke Surakarta dari Kartasura karena dibakar oleh orang Tionghoa, maka Pangeran Mangkubumi pun keluar dari keraton dan marah sampai memberontak. Sebab tanah bengkoknya dikurangi banyak sekali. Maka berperanglah dia melawan keraton Surakarta. Selama peperangan ini dia dibantu oleh banyak pangeran dan bangsawan lainnya, antara lain Pangeran Samber-Nyawa (Mangkunegara I). Lalu Pangeran Samber Nyawa dibuat panglima perang.

Dalam peperangan ini, Pangeran Mangkubumi menaklukkan daerah-daerah di sebelah barat Surakarta, di daerah Mataram. Selanjutnya Pangeran Sambernyawa malahan bentrok dengan Pangeran Mangkubumi. Terjadinya bentrok ini karena kedua nya sama sama ingin mendapatkan supremasi tunggal kedaulatan yang tidak terbagi.Sambernyawa menjadi pesaing yang serius dari Mangkubumi dalam mendapatkan dukungan elite Jawa sebab ketika diambil pemungutan suara antara memilih Sambernyawa atau Mangkubumi maka pilihan dan dukungan kepada Sambernyawa melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs, 1991). Melihat dukungannya berkurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan kekuatan bersenjata tetapi Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan menderita kekalahan yang telak dan serius.Kekuatan bersenjata Mangkubumi kalah telak dengan kekuatan Sambernyawa.Satu satu nya jalan untuk cepat cepat bisa mendapat separuh kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh Mangkubumi.

Mangkubumi meminta Semarang memberinya separuh kekuasaan Mataram dan berjanji setia dan tunduk kepada Belanda serta bersedia membantu Surakarta dan Belanda untuk melenyapkan Sambernyawa.Sebagai ikatan perjanjian yang baru antara bekas musuh maka Mangkubumi bersedia untuk memberikan isterinya Raden Ayu Retnosari dari Sukowati kepada Belanda atau VOC sebagai tanda perjanjian persahabatan yang baru itu.Akhirnya Pangeran Mangkubumi menjadi raja sendiri; sultan Hamengkubuwana I di kota baru yang dinamakan Yogyakarta Karya sastra ini memuat visi Yasadipura dari peristiwa di atas ini. Secara umum karya sastra ini dianggap indah dan mendapatkan kritik yang baik oleh para pakar kesustraan Jawa.

Masa Penulisan
Masa penulisan Babad Giyanti tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan karya sastra ini digubah antara tahun 1757 dan 1803. Tahun 1757 adalah tahun terakhir yang ditulis kejadian-kejadian peristiwanya di karya sastra ini. Sementara tahun 1803 merupakan tahun meninggalnya Yasadipura senior. Tapi perlu dikemukakan di sini pula bahwa tidaklah pasti oleh Yasadipura yang mana karya sastra ini dikarang. Sebab Yasadipura senior menurunkan Yasadipura junior yang juga merupakan seorang sastrawan ternama. Yasadipura junior adalah kakek Ranggawarsita. Oleh para pakar sastra Jawa, Babad Giyanti biasanya dianggap dikarang oleh Yasadipura senior.

Ringkasan
Babad Giyanti membahas peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di pulau Jawa antara tahun 1741 dan 1757. Peristiwa-peristiwa ini ditulis menurut sudut pandang atau opini Yasadipura. Tahun 1746 merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah Kasunanan Mataram mencakup seluruh bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun tersebut Mataram secara sekaligus kehilangan seluruh pesisir utara, dan bahkan di antara Pasuruan dan Banyuwangi semuanya hilang. Pada waktu yang sama muncul perang baru lagi di mana Mataram kehilangan separuh daerah yang masih ada. Lalu ketika perjanjian perdamaian ditanda tangani sembilan tahun kemudian, pada tahun 1755, paling tidak separuh penduduk Jawa tewas.

Alasan langsung bencana-bencana ini ialah kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada tahun 1746. Beberapa tahun sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur dijanjikan kepada VOC, karena VOC telah membantu Sunan menumpas pemberontakan. Sekarang ini Van Imhoff menuntut janji sang Sunan. Sunan Pakubuwana II yang kala itu menjabat memang pernah menjanjikan daerah-daerah ini ketika ia sedang terjepit. Kala itu dia harus melarikan diri dari keraton sementara dikawal oleh para serdadu VOC.

Sunan Pakubuwana II memang tidak banyak mengenal damai dalam masa pemerintahannnya (1726-1749). Warga Tionghoa yang memberontak dan mengacau, karena alasan yang sangat berbeda dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena ada pembantaian warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah pemberontakan di Madura yang menjalar ke Jawa Timur. Selain itu di ibu kota sendiri, banyak pangeran-pangeran, “warisan” ayahnya yang memberontak meminta kekuasaan serta intrik-intrik keraton. Salah seorang pangeran yang banyak mengganggu sunan Pakubuwana II adalah kakaknya sendiri, pangeran Mangkunagara. Untungnya Pakubuwana II bisa membuangnya ke Sri Lanka berkat bantuan VOC. Namun bagi putranya, Raden Mas Said, hal ini menjadikan alasan untuk membangkang dan membalas dendam terhadap pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena Pakubuwana II tidak kuat melawan Raden Mas Said, maka dia menjanjikan imbalan bagi yang bisa mengusirnya. Seorang adik Pakubuwana II yang lain, pangeran Mangkubumi berhasil mengusir Raden Mas Said. Namun kemudian patih Sunan Pakubuwana II berpendapat bahwa imbalannya terlalu besar, padahal Sunan Pakubuwana II sebenarnya tidak apa-apa.

Masalah dengan Mangkubumi ini justru terjadi ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi di keraton pada tahun 1746. Van Imhoff sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan Pakubuwana II, maka diapun menegur Mangkubumi mengenai tuntutannya yang keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan Pakubuwana II memotong imbalannya sampai dua pertiga. Mangkubumi kehilangan mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di keraton. Iapun pergi dan mencari kontak dengan Raden Mas Said, keponakannya yang telah diusirnya. Kehilangan muka Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya alasan, meski alasan utama, menjauhnya Pakubuwana II dengan Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang setuju terhadap keputusan kakaknya menyerahkan daerah pesisir dan akan kompensasi VOC yang telah diberikan untuk pendapatan yang hilang.

Perang awalnya berlangsung buruk bagi sunan Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka hanya bisa mempertahankan posisi mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh pulau Jawa. Bahkan kota Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik perang gerilya. Sementara ini Mangkubumi tujuannya tidak hanya membalas dendam saja, namun diapun ingin menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana II pada saat berlangsungnya perang jatuh sakit dan mangkat pada tahun 1749, maka Mangkubumi memproklamasikan dirinya sebagai Susuhunan yang baru dan mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena Surakarta dan VOC tidak mengakuinya, namun menobatkan putra Sunan Pakubuwana II menjadi Sunan Pakubuwana II, maka kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.

Kala itu terlihat jelas bahwa kedua kubu tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan yang lain. Maka kedua kubupun sadar dengan hal ini. Selain itu Gubernur-Jenderal Van Imhoff meninggal pada tahun 1750 dan digantikan oleh Jacob Mossel. Lalu Pangeran Mangkubumi sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas Said sehingga situasipun berubah. Raden Mas Said sendiri memiliki aspirasi untuk menjadi raja. Pada tahun 1754 mulailah rundingan antara Mangkubumi dengan VOC (tanpa melibatkan Raden Mas Said dan Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi untuk melawan Raden Mas Said, diterima oleh VOC dengan imbalan separuh wilayah kekuasaan Mataram yang masih ada. Tawarannya diterima oleh VOC tetapi kekuatan mangkubumi tidak cukup untuk mengalahkan mas Said. Pada tanggal 13 Februari 1755 perjanjian ini ditanda tangani di desa Giyanti, beberapa kilometer di sebelah timur Surakarta. Mangkubumi akhirnya mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sunan Pakubuwana III tidak bisa berbuat lain daripada menerima kenyataan. Sementara itu Raden Mas Said dua tahun kemudian pada tahun 1757 memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan syarat dia boleh menjadi raja. Tuntutannya dituluskan dan dia mendapat wilayah yang diambil dari wilayah Surakarta dan diperbolehkan menyebut dirinya Pangeran Adipati.

Kepustakaan
Ø  (Belanda) W. van der Molen, 1997, Twaalf eeuwen Javaanse literatuur, [Leiden].
Ø  (Indonesia) Poerbatjaraka, 1952, Kepustakaan Djawa, Amsterdam/Djakarta: Djambatan.
Ø  (Jawa) Raden Ngabèhi Yasadipura, 1885-92, Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Giyanti, Soerakarta : Toef & Kalf.
Ø  (Jawa) Radèn Ngabèhi Yasadipura, 1937-39, Babad Giyanti, Batawi-Centrum : Balai Poestaka.

Sumber : Google Wikipedia

Reorientasi
Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti merupakan sebuah kesepakatan VOC dengan pihak Mataram yang diwakili oleh Sultan Pakubuwana III dan juga kelompok Pangeran Mangkubumi. Perjanjian di tandatangani padal 13 Februari 1755, pemeberian nama Giyanti mengambil dari lokasi penandatanganan perjanjian yaitu di Desa Giyanti kalau sekarang yaitu Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo terletak di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.

Dalam perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua wilayah yaitu mulai dari sebelah timur Kali Opak yaitu dkuasai pewaris Mataram antara lain Sultan Pakubuwana III dengan kedudukan di Surakarta, untuk wilayah sebelah barat merupakan kawasan Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I yang bertempat di Yogyakarta. Selain itu juga pihak VOC Belanda berhak menentukan siapa menguasai kedua kerajaan tersebut.

Latar Belakang Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti merupakan bentuk kesepakatan pihak VOC Belanda dengan pihak Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Demi keuntungan pribadi Pangeran Mangkubumi membuat pilihan untuk menyebrang dari kelompok pemberontak, dan bergabung dengan pemegang kekuasaan dalam melawan pemberontakan yang dilakukan Pangeran Sambernyawa.

Awalnya pada tanggal 10 September 1754 N, seorang VOC Hartingh bertolak dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi dan untuk mengadakan suatu perundingan. Perundingan tersebut tertutup yang dihadiri hanya sedikit orang yaitu Pangeran Mangkubumi beserta Pangeran Notokusumo dan juga Tumenggung Ronggo, untuk VOC sendiri Hartingh dengan pendampingnya Breton, Kapten Donkel, serta sekretaris Fockens, sebagai juru bahasa Pendeta Bastani. Perundingan tersebut merupakan mengenai pembagian Mataram. Hartingh memberikan penawaran Mataram sebelah timur, namun usulan Hartingh ditolak oleh pangeran. VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan memakai gelar sunan dan menentukan daerah mana yang ingin beliau kuasai. Pada tangga 23 September 1754 Pangeran Mangkubumi menggunakan gelar Sultan dan juga mendapatkan setengah kerajaan.

Untuk Pantai Utara Jawa merupakan kawasan VOC, dan pada 4 November 1754 jarak sebulan kurang Paku Buwono III memberikan surat kepada Gubernur Jenderal VOC untuk persetujuan Gubernur Jawa Utara dan juga Mangkubumi. Maka dari hasil perundingan tersebut maka tercetuslah perjanjian giyanti.

Isi Perjanjian Giyanti
Ø Pasal 1 Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separuh dari Kerajaan Mataram, yang telah diberikan kepada beliau yaitu dengan hak turun temurun kepada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Ø Pasal 2 Diadakanya kerjasama antara rakyat yang ada pada kekuasaan Kumpeni dengan rakyat yang ada pada Kasultanan.
Ø Pasal 3 Sebelum Pepatih Dalem dan para Bupati sebelum melakukan tugasnya masing-masing, harus dilakukan sumpah setia terlebih dahulu kepada Kumpeni di tangan Gubernur. Intinya yaitu seorang patih dari kedua kerajaan harus mengkonsultasikan kepada Belanda sebelum pihak Belanda menyetujuinya.
Ø Pasal 4 Dalam pengangkatan dan pemberhentian Pepatih Dalem dan juga Bupati Sri Sultan harus mendapatkan persetujuan dari Kumpeni. Pokok-pokok pemikirannya itu Sri Sultan tidak mempunyai kuasa penuh atas berhenti atau berlanjutnya patih dalem karena semua keputusan berada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Ø Pasal 5 Sri Sultan mengampuni Bupati pada selama peperangan lebih memihak Kumpeni.
Ø Pasal 6 Sri Sultan tidak dapat menuntut atas pulau Madura dan daerah pesisiran, karena telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni pada tanggal 18 Mei 1746 dalam Contract-nya. Untuk itu Kumpeni memberikan ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real pertahunya.
Ø Pasal 7 Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Paku Buwono III jika sewatu diperlukan.
Ø Pasal 8 Sri Sultan berjanji menjual seluruh bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada Kumpeni.
Ø Pasal 9 Sri Sultan berjanji harus mentaati segala macam perjanjian yang sudah pernah diadakan oleh raja-raja Mataram sebelumnya dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.

Dampak Perjanjian Giyanti
Perjanjian ini untuk pihak VOC ditandatangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. Dampak perjanjian giyanti yaitu kerusuhan terus berlangsung, hal ini karena kelompok Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said tidak turut serta dalam perjanjian tersebut. Untungya sekarang Indonesia dalam keadaan damai, karenanya kerusuhan sudah tidak terjadi lagi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...