KISAH PERJANJIAN GIYANTI
Orientasi
Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan
antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang
diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan
kelompok Pangeran Mangkubumi.
Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak
ikut dalam perjanjian ini. Demi keuntungan pribadi, Pangeran Mangkubumi memutar
haluan dengan menyeberang dari kelompok pemberontak ke kelompok pemegang
legitimasi kekuasaan untuk memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa.
Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 tersebut secara de facto dan de jure
menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi
penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda) yang
sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo,
sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.
Lokasi
penandatanganan Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.
Berdasarkan
perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua. Wilayah di sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris takhta Mataram,
yaitu Sunan Pakubuwana III, dan tetap berkedudukan di Surakarta. Adapun wilayah di sebelah barat (daerah Mataram
yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang
sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I
yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat
klausul bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu
jika diperlukan.
Perundingan
Menurut dokumen register harian N. Hartingh,
Gubernur VOC untuk Jawa Utara,
pada tanggal 10 September 1754
ia berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran
Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada
tanggal 22 September 1754.
Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh
beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Natakusuma dan Tumenggung
Ronggo. Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel,
dan sekretarisnya, W. Fockens.
Adapun yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian
Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin
dalam satu kesultanan. Mangkubumi menyatakan bahwa di Cirebon ada lebih dari satu sultan. Hartingh pun menawarkan Mataram sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi.
Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara
mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka
pembicaraan bisa berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi
tidak menggunakan gelar sunan dan menentukan daerah mana saja yang akan
dikuasai olehnya. Mangkubumi keberatan melepas gelar sunan karena rakyat telah
mengakuinya sebagai sunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi
diangkat sebagai Sunan yang Dipertuan atas Kesultanan Mataram ketika Pakubuwana II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan
saat VOC melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III.
Perundingan terpaksa dihentikan dan
diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa
Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian
kesultanan. Daerah pantai utara Jawa atau daerah pesisiran yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai
oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan
kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka
istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada Pakubuwana III. Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III menyampaikan surat kepada Gubernur Jenderal VOC, Mossel, mengenai
persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Gubernur Jawa Utara, N.
Hartingh, dan Pangeran Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada
tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, maka pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah Perjanjian di Giyanti.
Isi Perjanjian
Poin-poin perjanjian
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Soedarisman Poerwokoesoemo
adalah sebagai berikut.
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi
diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana
Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas
separo dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak
turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa
diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC
dengan rakyat kesultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem
(Rijks-Bestuurder) dan para
bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah
setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan
eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan
mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan
persetujuan dari VOC.
Pasal 5
Sri Sultan akan
mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan
menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran
yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam
kontraknya tertanggal 18 Mei 1746.
Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real
tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi
bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III
sewaktu-waktu jika diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji
akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
Pasal 9
Sultan berjanji akan
menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram
terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun
1705,
1733,
1743,
1746,
dan 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari
ditandatangani oleh N. Hartingh, W. van
Ossenberch, J.J. Steenmulder,
C. Donkel, dan W. Fockens dari pihak VOC.
Polemik
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan
karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan.
Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti Pangeran Sambernyawa
adalah rival Pangeran Mangkubumi untuk
menjadi penguasa Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan
untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Oleh VOC, Perjanjian
Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk
menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng
salah satu kekuatannya.
Referensi
Ø Soedarisman Poerwokoesoemo. 1985.
Kadipaten Pakualaman.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ø M.C. Ricklefs. 1991.
Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ø Purwadi. 2007. Sejarah
Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
Sejarah (Babad) Perjanjian Giyanti
Babad Giyanti (aksara Jawa: )
adalah sebuah syair dalam bentuk tembang macapat yang dikarang oleh Yasadipura tentang sejarah pembagian Jawa pada 13 Februari 1755. Sesudah keraton dipindahkan ke Surakarta dari Kartasura karena dibakar oleh orang Tionghoa, maka Pangeran Mangkubumi pun
keluar dari keraton dan marah sampai memberontak. Sebab tanah bengkoknya dikurangi banyak sekali. Maka berperanglah
dia melawan keraton Surakarta. Selama peperangan ini dia dibantu oleh banyak
pangeran dan bangsawan lainnya, antara lain Pangeran Samber-Nyawa (Mangkunegara I). Lalu Pangeran Samber Nyawa dibuat panglima
perang.
Dalam peperangan ini, Pangeran Mangkubumi
menaklukkan daerah-daerah di sebelah barat Surakarta, di daerah Mataram.
Selanjutnya Pangeran Sambernyawa
malahan bentrok dengan Pangeran Mangkubumi.
Terjadinya bentrok ini karena kedua nya sama sama ingin mendapatkan supremasi
tunggal kedaulatan yang tidak terbagi.Sambernyawa menjadi pesaing yang serius
dari Mangkubumi dalam mendapatkan dukungan elite Jawa sebab ketika diambil
pemungutan suara antara memilih Sambernyawa atau Mangkubumi maka pilihan dan
dukungan kepada Sambernyawa melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs,
1991). Melihat dukungannya berkurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan
kekuatan bersenjata tetapi Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan
menderita kekalahan yang telak dan serius.Kekuatan bersenjata Mangkubumi kalah
telak dengan kekuatan Sambernyawa.Satu satu nya jalan untuk cepat cepat bisa
mendapat separuh kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh
Mangkubumi.
Mangkubumi meminta Semarang memberinya
separuh kekuasaan Mataram dan berjanji setia dan tunduk kepada Belanda serta
bersedia membantu Surakarta dan Belanda untuk melenyapkan Sambernyawa.Sebagai
ikatan perjanjian yang baru antara bekas musuh maka Mangkubumi bersedia untuk memberikan isterinya Raden Ayu
Retnosari dari Sukowati kepada Belanda atau VOC sebagai tanda perjanjian persahabatan yang
baru itu.Akhirnya Pangeran Mangkubumi menjadi raja sendiri; sultan Hamengkubuwana I di kota baru yang dinamakan Yogyakarta Karya sastra ini memuat visi Yasadipura dari
peristiwa di atas ini. Secara umum karya sastra ini dianggap indah dan
mendapatkan kritik yang baik oleh para pakar kesustraan Jawa.
Masa Penulisan
Masa penulisan Babad Giyanti tidak diketahui secara pasti. Namun diperkirakan
karya sastra ini digubah antara tahun 1757
dan 1803. Tahun 1757 adalah tahun terakhir yang ditulis
kejadian-kejadian peristiwanya di karya sastra ini. Sementara tahun 1803
merupakan tahun meninggalnya Yasadipura senior. Tapi perlu dikemukakan di sini pula bahwa
tidaklah pasti oleh Yasadipura yang mana karya sastra ini dikarang. Sebab
Yasadipura senior menurunkan Yasadipura junior yang juga merupakan seorang
sastrawan ternama. Yasadipura junior adalah kakek Ranggawarsita. Oleh para pakar sastra Jawa, Babad
Giyanti biasanya dianggap dikarang oleh Yasadipura senior.
Ringkasan
Babad Giyanti membahas peristiwa-peristiwa
politik yang terjadi di pulau Jawa antara tahun 1741
dan 1757. Peristiwa-peristiwa ini ditulis menurut sudut pandang
atau opini Yasadipura. Tahun 1746 merupakan sebuah lembaran hitam dalam
sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah Kasunanan Mataram mencakup seluruh
bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun tersebut Mataram secara sekaligus
kehilangan seluruh pesisir utara, dan bahkan di antara Pasuruan dan Banyuwangi semuanya
hilang. Pada waktu yang sama muncul perang baru lagi di mana Mataram kehilangan
separuh daerah yang masih ada. Lalu ketika perjanjian perdamaian ditanda
tangani sembilan tahun kemudian, pada tahun 1755,
paling tidak separuh penduduk Jawa tewas.
Alasan langsung bencana-bencana ini ialah
kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada
tahun 1746. Beberapa tahun sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur
dijanjikan kepada VOC, karena VOC telah membantu Sunan menumpas pemberontakan.
Sekarang ini Van Imhoff menuntut janji sang Sunan. Sunan Pakubuwana II yang
kala itu menjabat memang pernah menjanjikan daerah-daerah ini ketika ia sedang
terjepit. Kala itu dia harus melarikan diri dari keraton sementara dikawal oleh
para serdadu VOC.
Sunan Pakubuwana II memang tidak banyak
mengenal damai dalam masa pemerintahannnya (1726-1749). Warga Tionghoa yang
memberontak dan mengacau, karena alasan yang sangat berbeda dan sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena ada pembantaian warga Tionghoa
di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah pemberontakan di Madura yang menjalar ke
Jawa Timur. Selain itu di ibu kota sendiri, banyak pangeran-pangeran, “warisan”
ayahnya yang memberontak meminta kekuasaan serta intrik-intrik keraton. Salah
seorang pangeran yang banyak mengganggu sunan Pakubuwana II adalah kakaknya sendiri, pangeran Mangkunagara.
Untungnya Pakubuwana II bisa membuangnya ke Sri Lanka berkat bantuan VOC. Namun bagi putranya, Raden Mas Said, hal ini menjadikan alasan untuk membangkang
dan membalas dendam terhadap pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena Pakubuwana
II tidak kuat melawan Raden Mas Said, maka dia menjanjikan imbalan bagi yang
bisa mengusirnya. Seorang adik Pakubuwana II yang lain, pangeran Mangkubumi
berhasil mengusir Raden Mas Said. Namun kemudian patih Sunan Pakubuwana II
berpendapat bahwa imbalannya terlalu besar, padahal Sunan Pakubuwana II
sebenarnya tidak apa-apa.
Masalah dengan Mangkubumi ini justru terjadi
ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi di keraton pada tahun 1746. Van Imhoff
sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan Pakubuwana II, maka diapun menegur
Mangkubumi mengenai tuntutannya yang keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan
Pakubuwana II memotong imbalannya sampai dua pertiga. Mangkubumi kehilangan
mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di keraton. Iapun pergi dan mencari kontak
dengan Raden Mas Said, keponakannya yang telah diusirnya. Kehilangan muka
Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya alasan, meski alasan utama, menjauhnya
Pakubuwana II dengan Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang
setuju terhadap keputusan kakaknya menyerahkan daerah pesisir dan akan
kompensasi VOC yang telah diberikan untuk pendapatan yang hilang.
Perang awalnya berlangsung buruk bagi sunan
Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka hanya bisa mempertahankan posisi
mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh pulau Jawa. Bahkan kota
Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik perang gerilya. Sementara ini Mangkubumi tujuannya tidak hanya
membalas dendam saja, namun diapun ingin menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana
II pada saat berlangsungnya perang jatuh sakit dan mangkat pada tahun 1749,
maka Mangkubumi memproklamasikan dirinya sebagai Susuhunan yang baru dan
mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena Surakarta dan VOC tidak mengakuinya,
namun menobatkan putra Sunan Pakubuwana II menjadi Sunan Pakubuwana II, maka
kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.
Kala itu terlihat jelas bahwa kedua kubu
tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan yang lain. Maka kedua kubupun sadar
dengan hal ini. Selain itu Gubernur-Jenderal Van Imhoff meninggal pada tahun
1750 dan digantikan oleh Jacob Mossel. Lalu Pangeran Mangkubumi
sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas Said sehingga situasipun berubah. Raden
Mas Said sendiri memiliki aspirasi untuk menjadi raja. Pada tahun 1754 mulailah
rundingan antara Mangkubumi dengan VOC (tanpa melibatkan Raden Mas Said dan
Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi untuk melawan Raden Mas Said,
diterima oleh VOC dengan imbalan separuh wilayah kekuasaan Mataram yang masih
ada. Tawarannya diterima oleh VOC tetapi kekuatan mangkubumi tidak cukup untuk
mengalahkan mas Said. Pada tanggal 13 Februari 1755 perjanjian ini ditanda tangani di desa
Giyanti, beberapa kilometer di sebelah timur Surakarta. Mangkubumi akhirnya
mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sunan Pakubuwana III tidak bisa
berbuat lain daripada menerima kenyataan. Sementara itu Raden Mas Said dua
tahun kemudian pada tahun 1757 memutuskan untuk menghentikan peperangan
dengan syarat dia boleh menjadi raja. Tuntutannya dituluskan dan dia mendapat
wilayah yang diambil dari wilayah Surakarta dan diperbolehkan menyebut dirinya
Pangeran Adipati.
Kepustakaan
Ø (Belanda) W. van der Molen, 1997, Twaalf eeuwen Javaanse literatuur, [Leiden].
Ø (Jawa) Raden Ngabèhi Yasadipura, 1885-92, Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad
Giyanti, Soerakarta : Toef & Kalf.
Ø (Jawa) Radèn Ngabèhi Yasadipura, 1937-39, Babad Giyanti, Batawi-Centrum :
Balai Poestaka.
Sumber : Google Wikipedia
Reorientasi
Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti merupakan sebuah kesepakatan VOC dengan
pihak Mataram yang diwakili oleh Sultan Pakubuwana III dan juga kelompok
Pangeran Mangkubumi. Perjanjian di tandatangani padal 13
Februari 1755, pemeberian nama Giyanti mengambil dari lokasi penandatanganan
perjanjian yaitu di Desa Giyanti kalau sekarang yaitu Dukuh Kerten, Desa
Jantiharjo terletak di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Dalam perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua wilayah yaitu
mulai dari sebelah timur Kali Opak yaitu dkuasai pewaris Mataram antara lain
Sultan Pakubuwana III dengan kedudukan di Surakarta, untuk wilayah sebelah
barat merupakan kawasan Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I yang
bertempat di Yogyakarta. Selain itu juga pihak VOC Belanda berhak menentukan
siapa menguasai kedua kerajaan tersebut.
Latar Belakang Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti merupakan bentuk
kesepakatan pihak VOC Belanda dengan pihak Mataram yang diwakili oleh Sunan
Pakubuwana III dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Demi keuntungan pribadi
Pangeran Mangkubumi membuat pilihan untuk menyebrang dari kelompok
pemberontak, dan bergabung dengan pemegang kekuasaan dalam melawan
pemberontakan yang dilakukan Pangeran Sambernyawa.
Awalnya pada tanggal 10 September 1754 N,
seorang VOC Hartingh bertolak dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi
dan untuk mengadakan suatu perundingan. Perundingan tersebut tertutup yang
dihadiri hanya sedikit orang yaitu Pangeran Mangkubumi beserta Pangeran
Notokusumo dan juga Tumenggung Ronggo, untuk VOC sendiri Hartingh dengan
pendampingnya Breton, Kapten Donkel, serta sekretaris Fockens, sebagai juru
bahasa Pendeta Bastani. Perundingan tersebut merupakan mengenai pembagian
Mataram. Hartingh memberikan penawaran Mataram sebelah timur, namun usulan
Hartingh ditolak oleh pangeran. VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan memakai
gelar sunan dan menentukan daerah mana yang ingin beliau kuasai. Pada tangga 23
September 1754 Pangeran Mangkubumi menggunakan gelar Sultan dan juga
mendapatkan setengah kerajaan.
Untuk Pantai Utara Jawa merupakan kawasan
VOC, dan pada 4 November 1754 jarak sebulan kurang Paku Buwono III memberikan
surat kepada Gubernur Jenderal VOC untuk persetujuan Gubernur Jawa Utara dan
juga Mangkubumi. Maka dari hasil perundingan tersebut maka tercetuslah
perjanjian giyanti.
Isi Perjanjian Giyanti
Ø Pasal 1 Pangeran Mangkubumi
diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin
Panotogomo Kalifattullah di atas separuh dari Kerajaan Mataram, yang telah
diberikan kepada beliau yaitu dengan hak turun temurun kepada pewarisnya, dalam
hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Ø Pasal 2 Diadakanya kerjasama
antara rakyat yang ada pada kekuasaan Kumpeni dengan rakyat yang ada pada
Kasultanan.
Ø Pasal 3 Sebelum Pepatih Dalem dan
para Bupati sebelum melakukan tugasnya masing-masing, harus dilakukan sumpah
setia terlebih dahulu kepada Kumpeni di tangan Gubernur. Intinya yaitu seorang
patih dari kedua kerajaan harus mengkonsultasikan kepada Belanda sebelum pihak
Belanda menyetujuinya.
Ø Pasal 4 Dalam pengangkatan dan
pemberhentian Pepatih Dalem dan juga Bupati Sri Sultan harus mendapatkan
persetujuan dari Kumpeni. Pokok-pokok pemikirannya itu Sri Sultan tidak
mempunyai kuasa penuh atas berhenti atau berlanjutnya patih dalem karena semua
keputusan berada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Ø Pasal 5 Sri Sultan mengampuni
Bupati pada selama peperangan lebih memihak Kumpeni.
Ø Pasal 6 Sri Sultan tidak dapat
menuntut atas pulau Madura dan daerah pesisiran, karena telah diserahkan oleh
Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni pada tanggal 18 Mei 1746 dalam
Contract-nya. Untuk itu Kumpeni memberikan ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000
real pertahunya.
Ø Pasal 7 Sri Sultan akan memberi
bantuan kepada Sri Sunan Paku Buwono III jika sewatu diperlukan.
Ø Pasal 8 Sri Sultan berjanji
menjual seluruh bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada Kumpeni.
Ø
Pasal 9 Sri Sultan berjanji harus mentaati segala
macam perjanjian yang sudah pernah diadakan oleh raja-raja Mataram sebelumnya
dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Dampak
Perjanjian Giyanti
Perjanjian
ini untuk pihak VOC ditandatangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder,
C. Donkel, dan W. Fockens. Dampak perjanjian giyanti yaitu kerusuhan terus
berlangsung, hal ini karena kelompok Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said
tidak turut serta dalam perjanjian tersebut. Untungya sekarang Indonesia dalam
keadaan damai, karenanya kerusuhan sudah tidak terjadi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar