KISAH PERJANJIAN BUNGAYA
Orientasi
Perjanjian Bungaya
(sering juga disebut Bongaya
atau Bongaja) adalah perjanjian
perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.[1] Meski disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya
adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni), serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di
pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).
Isi Perjanjian Bungaya
Ø Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duet
pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
Ø Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa
lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
Ø Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang
yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
Ø Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang
Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan
mendapat hukuman setimpal.
Ø Raja dan bangsawan Makassar
harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
Ø Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau
melakukan perdagangan.
Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
Ø Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor"
(Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang
dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan
dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
Ø Kompeni harus dibebaskan dari bea dan
pajak impor maupun ekspor.
Ø Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali,
pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap
musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke
Bima,
Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur
Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang
melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
Ø Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang,
Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk
ditempati raja.
Ø Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang
menjadi wilayahnya.
Ø Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan
perhitungan 2½ tael atau 40 mas
emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan
sisanya paling lambat pada musim berikut.
Ø Raja dan bangsawan Makassar
tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
Ø Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan
kepada Kompeni untuk dihukum.
Ø Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada
penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah
meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
Ø Bagi Sultan Ternate, semua orang yang
telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan
senapan. Gowa harus melepaskan
seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang
sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
Ø Gowa harus menanggalkan
seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus
dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di
wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang
masih ditahan penguasa Gowa.
Ø Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing
dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
Ø Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari
Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak
penaklukan.
Ø Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh
pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata
dan lainnya.
Ø Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea
yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri
mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea,
atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea
berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan
seizin penguasa atau raja yang berwenang.
Ø Pemerintah Gowa harus
menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
Ø Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan,
Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan
penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
Ø Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten
Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk
menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh
sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
Ø Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah
dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa
pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk
menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai
sandera selama yang dia inginkan.
Ø Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
Ø Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan
Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka
putra dari kedua penguasa harus ditahan.
Ø Pemerintah Gowa harus
membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders
dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak
ataupun permata.
Ø Raja Makassar dan para bangsawannya,
Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam
persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk
perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat,
18 November 1667.
Kepustakaan
Ø Andaya, Leonard Y. 2004.
Warsaw Wrung Palapa: Sejarah Sulawesi
Skelaton Abad Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.
Reorientasi
Perjanjian Bongaya atau disebut juga
perjanjian Bongaja terjadi pada tanggal 18 November 1667 di daerah Bungaya.
Perjanjian ini merupakan perjanjian perdamaian antara pihak Kesultanan Gowa
dengan VOC Belanda, Kesultanan Gowa diwakili oleh Sultan Hasanuddin sedangkan
VOC diwakili laksamana Cornelis Speelman. Perjanjian Bongaya merupakan
perjanjian berisi untuk mengatur antara hubungan Kerajaan Gowa dan VOC Belanda.
Dalam Perjanjian Bongaya ini Belanda yang membuat perjanjian
dan kerajaan Gowa sangat dirugikan. Perjanjian Bongaya merupakan pejanjian
yang dipaksakan VOC Belanda kepada Kerajaan Gowa dan sangat merugikan Kerajaan
Gowa sehingga keuntungan besar bagi pihak Belanda. Walaupun Perjanjian Bongaya (perdamaian) telah
diadakan namun perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Mapasomba putra Hasannudin sebagai penerus perlawanan
terhadap VOC Belanda. Dalam menghadapi rakyat Makasar, pihak Belanda terus
menyerang dengan pasukannya secara besar-besaran.
Latar Belakang Perjanjian Bongaya
Menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian
Timur karena Makasar memiliki letak wilayah strategis, sekaligus menjadi
penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Pengaruh Hindu-Buddha di daerah ini
cukup lemah sehingga kebudayaan Islam cukup berkembang dengan pesat di kawasan
ini. Sulawesi Selatan memiliki jiwa niaga yang cukup tinggi, sehingga disini
membuat perahu merupakan salah satu kebudayaan berlayar.
Kerajaan Makasar mengalami masa keemasan
ketika Sultan Hasanudin berkuasa yaitu sekitar tahun 1654 s.d 1660. Pada masa
ini Kerajaan Makasar menguasai jalur perdagangan khususnya Indonesia Timur. Kesuksesan
Kerajaan Makasar (Gowa Tallo) tidak selalu berjalan mulus, persaingan dengan
Kerajaan Bone yang lama dan terlibatnya VOC Belanda sehingga terjadi perang
Makasar dari tahun 1660 s.d 1669.
Maluku merupakan sumber utama VOC Belanda
yang segan dibawah standar Somba Opu, namun ketergiuran VOC Belanda maka dari
itu Belanda ingin merebut kota dagang Somba Opu. Disinilah terjadilah
peperangan berlangsung lama dengan Kerajaan Gowa Tallo (Makasar), untuk
mengakhiri peperangan VOC Belanda melakukan politik adu-domba Kerajaan Gowa
Tallo dengan kerajaan Bone. Pada akhir tahun 1667 akhirnya Kerajaan Makassar
menyerah dan Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya,
yang isinya sangat merugikan Makasar.
Isi Perjanjian Bongaya
Ø Perjanjian
Bongaya tepatnya di Desa Bongaya pada tahun 1667, perjanjian ini berisi 30 poin
yaitu:
Ø Perjanjian Bongaya yang ditandatangani oleh Karaeng
Poppa beserta Hindia pada tanggal 19 Agustus 1660, harus diberlakukan pada
tanggal 2 Desember 1660.
Ø Seluruh pejabat serta masyarakay eropa harus
diserahkan ke kepada Laksamana Cornelis Speelman.
Ø Alat, meriam, uang beserta barang yang tersisa dari
kapal Walvisch dan Leeuwin harus di serahkan ke Kompeni.
Ø Yang terbukti bersalah membunuh orang belanda harus
diadili dengan hukuman setimpal.
Ø Raja dan bangsawan makasar pada musim berikutnya harus
membayar ganti rugi kepada kompeni.
Ø Bangsa Inggris dan Portugis harus di usir dari Makasar
Ø Bangsa eropa tidak diperbolehkan masuk ke Makasar.
Ø Hanya Kompeni yang bebas berdagang di Makasar.
Ø Kompeni bebas dari bea dan pajak impor ekspor.
Ø Rakyat makasar tidak diperbolehkan berlayar kecuali
Bali, pantai Jawa, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan juga
Kalimantan. Berlayar dengan menggunakan surat izin dari Komandan Belanda
Makasar.
Ø Seluruh benteng pantai Makasar harus dihancurkan
kecuali Sombaopu.
Ø Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Kompeni.
Ø Koin Batavia harus berlaku di Makasar.
Ø Raja beserta Bangsawan Makasar harus menyerahkan uang
dengan nilai seribu budak proa dan juga wanita.
Ø Raja beserta bangsawan makasar tidak mencampuri urusan
Bima.
Ø Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan ke
kompeni.
Ø Orang-orang yang diambil dari Sultan Buntung harus
dikembalikan.
Ø Kerugian yang dialami Kerajaan Gowa (Makasar) sangat
banyak sekali terutama bagi perekonomian Gowa. Dengan kekalahan Gowa oleh
Belanda kejayaan Gowa yang sudah akhirnya mengalami kemunduran.
Ø Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 merupakan kekalahan
Makassar, maka sejak itu penjajahan Belanda sepenuhnya di Indonesia.
Perjanjian Bongaya
Sejarah : Isi
Perjanjian Bongaya terdapat 8 point isi Perjanjian
Bongaya. Perjanjian Bongaya adalah perjanjian antara Kerajaan Makassar dengan VOC pada
tanggal 18 November 1667. Perjanjian Bongaya dapat terjadi atau latar
belakangnya adalah VOC yang mengalahkan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan
Makassar, dimana pada waktu itu VOC memperalat Raja Bone Arung Palaka untuk
mengalahkan Kerajaan Makassar, yang akhirnya menyebabkan Kerajaan Makassar
kalah dengan terpaksa melakukan perjanjian Bongaya dan menandatangan perjanjian
tersebut. Jadi dari cerita diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian bongaya
dapat terjadi akibat dari VOC, yang memberikan dampak yang membuat Makassar mengalami
kemunduran dan akhirnya jatuh ke tangan VOC. Adapun Isi Perjanjian Bongaya dapat dilihat dibawah ini..
Isi Perjanjian Bongaya, antara lain sebagai
berikut :
1. Makassar harus
mengakui kedaulatan VOC.
2. Makassar harus
menyerahkan daerah, Bone, Flores, dan Sumbawa kepada VOC.
3. Benteng-benteng
Makassar harus dihancurkan, kecuali Benteng Rotterdam.
4. VOC mempunyai hak
memonopoli perdagangan.
5. Makassar harus
membayar ongkos perang.
6. VOC bebas dari bea
pemasukan dan pengeluaran barang-barang.
7. Makassar tidak
boleh berdagang dengan maluku.
8. Aru Palaka
dikembalikan lagi kedudukanya sebagai Raja Bone oleh VOC.
Perjanjian Bongaya sangat merugikan
rakyat Makassar dengan Politik adu domba Bangsa Asing yakni Belanda terhadap
Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Bone yang membuat persatuan rakyat di
Makassar apa lagi Bone dengan Makassar. Dapat dilihat begitu mudahnya kita
diperalat oleh bangsa asing, sehingga perlunya kita memiliki visi yang luas
kedepannya agar kita tidak mudah saling berselisih, bertengkar, apa lagi sampai
terjadi pertumpahan darah.
Perjanjian Bongaya
merupakan saksi bisu dimana kita di Adu Domba Bangsa Asing.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar