Kamis, 04 Oktober 2018

KISAH PERJANJIAN BUNGAYA


KISAH PERJANJIAN BUNGAYA

Orientasi
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.[1] Meski disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni), serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).

Isi Perjanjian Bungaya
Ø Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duet pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
Ø Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
Ø Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
Ø Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
Ø Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
Ø Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan.
Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
Ø Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
Ø Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
Ø Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
Ø Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
Ø Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
Ø Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
Ø Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
Ø Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
Ø Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
Ø Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
Ø Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
Ø Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
Ø Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
Ø Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
Ø Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
Ø Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
Ø Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
Ø Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
Ø Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
Ø Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
Ø Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
Ø Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
Ø Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
Ø Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Kepustakaan
Ø Andaya, Leonard Y. 2004. Warsaw Wrung Palapa: Sejarah Sulawesi Skelaton Abad Ke-17. Makassar: Ininnawa. ISBN 979-98499-0-X.

Reorientasi
Perjanjian Bongaya atau disebut juga perjanjian Bongaja terjadi pada tanggal 18 November 1667 di daerah Bungaya. Perjanjian ini merupakan perjanjian perdamaian antara pihak Kesultanan Gowa dengan VOC Belanda, Kesultanan Gowa diwakili oleh Sultan Hasanuddin sedangkan VOC diwakili laksamana Cornelis Speelman. Perjanjian Bongaya merupakan perjanjian berisi untuk mengatur antara hubungan Kerajaan Gowa dan VOC Belanda.

Dalam Perjanjian Bongaya ini Belanda yang membuat perjanjian dan kerajaan Gowa sangat dirugikan. Perjanjian Bongaya merupakan pejanjian yang dipaksakan VOC Belanda kepada Kerajaan Gowa dan sangat merugikan Kerajaan Gowa sehingga keuntungan besar bagi pihak Belanda. Walaupun Perjanjian Bongaya (perdamaian) telah diadakan namun perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Mapasomba putra Hasannudin sebagai penerus perlawanan terhadap VOC Belanda. Dalam menghadapi rakyat Makasar, pihak Belanda terus menyerang dengan pasukannya secara besar-besaran.

Latar Belakang Perjanjian Bongaya
Menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur karena Makasar memiliki letak wilayah strategis, sekaligus menjadi penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Pengaruh Hindu-Buddha di daerah ini cukup lemah sehingga kebudayaan Islam cukup berkembang dengan pesat di kawasan ini. Sulawesi Selatan memiliki jiwa niaga yang cukup tinggi, sehingga disini membuat perahu merupakan salah satu kebudayaan berlayar.

Kerajaan Makasar mengalami masa keemasan ketika Sultan Hasanudin berkuasa yaitu sekitar tahun 1654 s.d 1660. Pada masa ini Kerajaan Makasar menguasai jalur perdagangan khususnya Indonesia Timur. Kesuksesan Kerajaan Makasar (Gowa Tallo) tidak selalu berjalan mulus, persaingan dengan Kerajaan Bone yang lama dan terlibatnya VOC Belanda sehingga terjadi perang Makasar dari tahun 1660 s.d 1669.

Maluku merupakan sumber utama VOC Belanda yang segan dibawah standar Somba Opu, namun ketergiuran VOC Belanda maka dari itu Belanda ingin merebut kota dagang Somba Opu. Disinilah terjadilah peperangan berlangsung lama dengan Kerajaan Gowa Tallo (Makasar), untuk mengakhiri peperangan VOC Belanda melakukan politik adu-domba Kerajaan Gowa Tallo dengan kerajaan Bone. Pada akhir tahun 1667 akhirnya Kerajaan Makassar menyerah dan Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya, yang isinya sangat merugikan Makasar.

Isi Perjanjian Bongaya
Ø Perjanjian Bongaya tepatnya di Desa Bongaya pada tahun 1667, perjanjian ini berisi 30 poin yaitu:
Ø Perjanjian Bongaya yang ditandatangani oleh Karaeng Poppa beserta Hindia pada tanggal 19 Agustus 1660, harus diberlakukan pada tanggal 2 Desember 1660.
Ø Seluruh pejabat serta masyarakay eropa harus diserahkan ke kepada Laksamana Cornelis Speelman.
Ø Alat, meriam, uang beserta barang yang tersisa dari kapal Walvisch dan Leeuwin harus di serahkan ke Kompeni.
Ø Yang terbukti bersalah membunuh orang belanda harus diadili dengan hukuman setimpal.
Ø Raja dan bangsawan makasar pada musim berikutnya harus membayar ganti rugi kepada kompeni.
Ø Bangsa Inggris dan Portugis harus di usir dari Makasar
Ø Bangsa eropa tidak diperbolehkan masuk ke Makasar.
Ø Hanya Kompeni yang bebas berdagang di Makasar.
Ø Kompeni bebas dari bea dan pajak impor ekspor.
Ø Rakyat makasar tidak diperbolehkan berlayar kecuali Bali, pantai Jawa, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan juga Kalimantan. Berlayar dengan menggunakan surat izin dari Komandan Belanda Makasar.
Ø Seluruh benteng pantai Makasar harus dihancurkan kecuali Sombaopu.
Ø Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Kompeni.
Ø Koin Batavia harus berlaku di Makasar.
Ø Raja beserta Bangsawan Makasar harus menyerahkan uang dengan nilai seribu budak proa dan juga wanita.
Ø Raja beserta bangsawan makasar tidak mencampuri urusan Bima.
Ø Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan ke kompeni.
Ø Orang-orang yang diambil dari Sultan Buntung harus dikembalikan.
Ø Kerugian yang dialami Kerajaan Gowa (Makasar) sangat banyak sekali terutama bagi perekonomian Gowa. Dengan kekalahan Gowa oleh Belanda kejayaan Gowa yang sudah akhirnya mengalami kemunduran.
Ø Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 merupakan kekalahan Makassar, maka sejak itu penjajahan Belanda sepenuhnya di Indonesia.

Perjanjian Bongaya
Sejarah : Isi Perjanjian Bongaya terdapat 8 point isi Perjanjian Bongaya. Perjanjian Bongaya adalah perjanjian antara Kerajaan Makassar dengan VOC pada tanggal 18 November 1667. Perjanjian Bongaya dapat terjadi atau latar belakangnya adalah VOC yang mengalahkan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Makassar, dimana pada waktu itu VOC memperalat Raja Bone Arung Palaka untuk mengalahkan Kerajaan Makassar, yang akhirnya menyebabkan Kerajaan Makassar kalah dengan terpaksa melakukan perjanjian Bongaya dan menandatangan perjanjian tersebut. Jadi dari cerita diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian bongaya dapat terjadi akibat dari VOC, yang memberikan dampak yang membuat Makassar mengalami kemunduran dan akhirnya jatuh ke tangan VOC. Adapun Isi Perjanjian Bongaya dapat dilihat dibawah ini..

Isi Perjanjian Bongaya, antara lain sebagai berikut :
1. Makassar harus mengakui kedaulatan VOC. 
2. Makassar harus menyerahkan daerah, Bone, Flores, dan Sumbawa kepada VOC.
3. Benteng-benteng Makassar harus dihancurkan, kecuali Benteng Rotterdam. 
4. VOC mempunyai hak memonopoli perdagangan. 
5. Makassar harus membayar ongkos perang. 
6. VOC bebas dari bea pemasukan dan pengeluaran barang-barang. 
7. Makassar tidak boleh berdagang dengan maluku. 
8. Aru Palaka dikembalikan lagi kedudukanya sebagai Raja Bone oleh VOC.

Perjanjian Bongaya sangat merugikan rakyat Makassar dengan Politik adu domba Bangsa Asing yakni Belanda terhadap Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Bone yang membuat persatuan rakyat di Makassar apa lagi Bone dengan Makassar. Dapat dilihat begitu mudahnya kita diperalat oleh bangsa asing, sehingga perlunya kita memiliki visi yang luas kedepannya agar kita tidak mudah saling berselisih, bertengkar, apa lagi sampai terjadi pertumpahan darah. 

Perjanjian Bongaya merupakan saksi bisu dimana kita di Adu Domba Bangsa Asing.

Sumber : Google Wikipedia

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...