KISAH
KASUNANAN KARTASURA
Orientasi
Kasunanan Kartasura adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa yang berdiri pada tahun 1680
dan berakhir tahun 1742, sebagai kelanjutan dari Kesultanan
Mataram. Riwayat
kerajaan yang usianya relatif singkat ini cenderung diwarnai oleh perang
saudara memperebutkan takhta. Lokasi
pusat Kasunanan Kartasura berada di Kartasura,
Sukoharjo, sebelah
selatan pasar sekarang. Kompleks keraton sebagian besar telah menjadi
pemukiman penduduk, namun masih tersisa tembok bata yang mengitari kompleks
inti keraton.
Latar
Belakang
Amangkurat I adalah raja terakhir Kesultanan
Mataram yang
memerintah dengan sewenang-wenang sejak tahun 1645.
Ia juga terlibat perselisihan dengan putranya sendiri yang menjabat sebagai Adipati Anom. Pada tahun 1670
Adipati Anom menggunakan Trunajaya dari Madura sebagai alat untuk melakukan kudeta terhadap ayahnya itu. Pemberontakan Trunajaya yang semakin besar membuatnya sulit
dikendalikan lagi. Puncaknya, pada tanggal 2 Juli
1677 istana Mataram yang terletak di Plered diserbu kaum pemberontak. Adipati Anom memilih kabur bersama Amangkurat I ke arah barat. Amangkurat I meninggal dalam perjalanan. Ia
sempat berwasiat agar Adipati Anom meminta bantuan VOC
untuk menumpas Trunajaya dan merebut kembali takhta.
Berdirinya
Kasunanan Katasura
Sesuai
wasiat ayahnya, Adipati
Anom pun bekerja
sama dengan VOC untuk menumpas Trunajaya. Ia menandatangani Perjanjian Jepara 1677 dengan VOC, yang berisi VOC akan membantu Adipati
Anom melawan Trunojoyo, dan sebagai gantinya, VOC berhak memonopoli perdagangan
di Pantai Utara Jawa. Atas bantuan VOC, Adipati Anom diangkat sebagai raja
tanpa takhta bergelar Amangkurat II. Trunajaya akhirnya berhasil ditangkap dan
dihukum mati awal tahun 1680.
Istana
lama Mataram, yang letaknya di Plered, saat itu telah dikuasai oleh Pangeran Puger, putra Amangkurat I lainnya, yang ditugasi sang ayah
untuk merebutnya dari tangan Trunajaya. Amangkurat II terpaksa membangun istana baru di
Hutan Wanakarta, yang diberi nama Kartasura. Ia mulai pindah ke istana tersebut
pada bulan September 1680.
Kemudian terjadilah perang antara Kartasura melawan Mataram untuk memperebutkan kekuasaan atas
tanah Jawa sebagai pewaris Amangkurat I yang sah. Pada tanggal 28 November 1681
akhirnya Pangeran
Puger menyerah
kalah kepada Amangkurat
II yang dibantu VOC.
Sejak saat itu, Mataram resmi menjadi bagian dari Kartasura.
Perkembangan
Selanjutnya
Amangkurat II yang naik takhta atas bantuan VOC,
kemudian hari merasa sangat dirugikan dengan Perjanjian Jepara 1677. Dengan berbagai cara ia berusaha
untuk melepaskan diri dari perjanjian dengan VOC,
antara lain membantu perjuangan seorang buronan bernama Untung Suropati. Amangkurat II menerima dan
membantu pelarian Untung
Surapati di
Kartasura. Kapten
Tack, pemimpin
pasukan VOC yang mengejar Untung Surapati tewas terbunuh di Kartasura. Untung Surapati diangkat sebagai saudara oleh
Amangkurat II dan diberikan hadiah sebagai Bupati Pasuruhan pertama dengan
gelar Wiranegara. Atas peristiwa itu, hubungan VOC
dengan Amangkurat II memanas.
Sepeninggal
Amangkurat
II terjadi
perebutan takhta antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I (Perang
Suksesi Jawa Pertama).
Pada tahun 1705 Pakubuwana I berhasil mengusir Amangkurat III dan merebut Kartasura. Perang antara Pakubuwana I yang didukung VOC
melawan Amangkurat
III yang didukung
keluarga Untung
Suropati di Jawa Timur baru berakhir tahun 1708.
Penobatan Puger membuktikan perjanjian antara Ki Gede Pemanahan dan Ki Juru
Martani mengenai pergantian tujuh keturunan Pemanahan ke keturunan Ki Juru
Martani.
Sepeninggal
Pakubuwana I terjadi lagi perebutan takhta Kartasura di antara putra, yaitu Amangkurat IV yang dibantu VOC
melawan Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Dipanegara Madiun (Perang
Suksesi Jawa Kedua).
Perang saudara ini berakhir tahun 1723
yang dimenangkan oleh Amangkurat IV.
Jatuhnya
Kartasura
Pada
tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia yang menjalar sampai ke seluruh Jawa.
Mula-mula Pakubuwana
II (pengganti Amangkurat IV) mendukung mereka. Namun ketika
melihat pihak VOC unggul, ia pun berbalik mendukung
bangsa Belanda tersebut. Perbuatan Pakubuwana II justru membuat kekuatan pemberontak
meningkat karena banyak pejabat anti VOC
yang meninggalkannya. Akhirnya pada tanggal 30 Juni
1742 para pemberontak menyerbu Kartasura besar-besaran. Pakubuwana II pun melarikan diri ke Ponorogo. VOC
bekerja sama dengan Cakraningrat IV dari Madura dan berhasil merebut kembali Kartasura. Pada akhir tahun 1743
Pakubuwana
II kembali ke Kartasura namun kondisi kota tersebut sudah
hancur. Ia pun memutuskan membangun istana baru di desa Sala bernama Surakarta, yang ditempatinya sejak tahun 1745.
Babad Tanah Jawi menyebut peristiwa ini sebagai Geger Pacinan. Rusaknya kraton di Kartasura,
dianggap merupakan tanda hilangnya landasan kosmogonis kraton sebagai sentrum
kekuasaan, sehingga perlu dibangun kraton baru.
Kasunanan Kartasura
Daftar Raja Kasunanan Kartasura :
3. Pakubuwana I (1705 – 1719), pernah
memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama Pangeran Puger.
5. Pakubuwana II (1726 – 1742), menyingkir
ke Ponorogo karena Kartasura diserbu
pemberontak; sebelum akhirnya mendirikan Surakarta.
6. Amangkurat V (Raden Mas Garendi), penguasa
terakhir di Kasunanan Kartasura sebelum akhirnya direbut kembali oleh
Pakubuwana II, namun tak lama kemudian Amangkurat V pun tersingkir. Pakubuwana
II kemudian pindah ke keraton yang baru, yakni Surakarta.
Mitos
Akhir Babad
Masyarakat
Jawa, terutama kaum bangsawan, telah
terjebak pada mitos tentang runtuhnya kerajaan pada akhir abad, dan berdirinya
kerajaan baru tiga tahun kemudian. Menurut
catatan para pujangga Jawa, pada tahun Saka 1400
Kerajaan
Majapahit runtuh
dan tahun 1403 Kesultanan Demak berdiri. Pada tahun Saka 1500
Kesultanan
Demak runtuh dan
tahun 1503 Kesultanan Pajang berdiri yang kemudian dilanjutkan
oleh Kesultanan
Mataram. Kemudian
pada tahun Jawa 1600
Kesultanan
Mataram runtuh dan
tahun 1603 Jawa
Kasunanan Kartasura berdiri.
Maka
pada tahun Jawa 1700
(bertepatan dengan 1774 Masehi) terjadi kegelisahan di antara
raja-raja Kasunanan
Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta, dua
kerajaan bersaudara yang saling berusaha menaklukkan pada masa itu. Untuk
menangkal mitos tersebut, seorang menantu Hamengkubuwana I dari Yogyakarta mengarang sebuah naskah berjudul Babad
Kraton pada tahun Jawa 1703
yang isinya menyebutkan bahwa Kartasura adalah kerajaan yang runtuh
mewakili tahun 1700, sedangkan Yogyakarta adalah kerajaan yang berdiri tahun 1703.
Padahal runtuhnya Kartasura dan berdirinya Yogyakarta yang sesungguhnya terpaut selisih
sekitar 14 tahun. Rupanya pihak Hamengkubuwana I berusaha untuk menegaskan bahwa Yogyakarta adalah penerus yang sah dari Kartasura, bukan Surakarta sebagaimana kenyataannya.
Kepustakaan
2. Babad Tanah Jawi, Mulai dari
Nabi Adam Sampai Tahun 1647.
(terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
3. H.J.de Graaf. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII (terj.).
Jakarta: Temprint
4. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
5. Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram.
Yogyakarta: Kanisius
6. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Keraton Kartasura, Riwayatmu Kini...
Penulis : Kontributor Surakarta, M Wismabrata
Benteng Srimanganti masih tampak kokoh berdiri
mengelilingi lahan seluas 2,5 ha yang tak lain adalah bekas lokasi keraton
Kartasura. Terletak di Desa Krapyak, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Jawa
Tengah, keraton ini menjadi bagian penting dari sejarah kejayaan dinasti Kerajaan
Mataram Islam di Jawa. Benteng Srimanganti tersebut menjadi saksi bisu Keraton
Kartasura yang berdiri pada tahun 1680-1742, oleh Amangkurat II. Berawal dari
pemberontakan Trunajaya dari Madura, pada tahun 1677, yang menyerbu di Keraton
Mataram lama yang terletak di Plered. Saat itu Adipati Anom yang selanjutnya
bergelar Amangkurat II, melarikan diri ke hutan Wanakerta, dan mendirikan
Keraton Kartasura. Setelah itu, pada tahun 1681, Amangkurat II yang dibantu VOC
pun memenangkan perang dengan Kerajaan Mataram dimana Pangeran Puger yang
bertahta di Kerajaan Mataram Plered.
Akhirnya, Mataram berhasil dikuasai Amangkurat II.
Setelah itu, perang dan pemberontakan menghiasai kisah dari Kraton Kartasura,
dan yang paling terkenal terjadi pemberontakan mas Garendi pada tahun 1742 yang
dibantu etnis Tionghoa menyerbu dan menghancurkan Keraton Kartasura. Saat itu,
Pakubuwono II yang bertahta, melarikan diri ke Ponorogo. Pada tahun 1743,
Pakubuwono II kembali ke Kartasura karena pemberontak sudah dikalahkan, namun
kondisi keraton yang porak poranda dan rusak, membuat dirinya memilih untuk
memindahkan keraton Kartasura ke Sala yang saat ini dikenal dengan Surakarta.
Pakubuwana II menempati Kraton Surakarta pada tahun 1745. Lobang besar
berdiameter dua meter di bagian utara benteng, diyakini dilakukan oleh
pemberontak mas Garendi yang menerobos ke dalam keraton dengan menjebol benteng
bersama sama anak buahnya.
Meskipun lobang tersebut sudah ditutup oleh pengelola,
namun warga sekitar menganggap awal kehancuran Keraton Kartasura dari lobang
yang dibuat para pemberontak saat itu. Warga pun menganggap lokasi tersebut
wingit atau angker. Tidak sulit menemukan keberadaan Keraton Kartasura. Berada
di bagian barat kota Solo, dan hanya 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan.
Sekitar 300 meter ke selatan dari jalan utama Slamet Riyadi Kartasura, benteng
yang dulu melindungi keluarga kerajaan dari serbuan pemberontak, sudah
terlihat. Benteng setinggi 4 meter dengan tebal 2 meter, saat ini berada di
tengah perkampungan warga. Menurut dari juru kunci petilasan Keraton Kartasura,
Haris (69), di bagian dalam benteng digunakan sebagai makam keluarga dan
keturunannya. "Dari 2,5 hektar, 2 hektar digunakan sebagai makam,"
katanya. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu, banyak warga yang datang untuk
berdoa dan berziarah di tempat ini. Namun atas permintaan Keraton Surakarta,
aktivitas ziarah dihentikan. Salah satu bangunan yang sering didatangi adalah
bangunan utama keraton berada sebelah timur bagian dalam keraton. Tampak sebuah
dua batu diatas lantai berukuran kurang lebih 4x 4 meter dengan tinggi 50
centimeter, berada di bawah pohon beringin raksasa, setinggi 20-an meter.
Suasana mistis kental terasa apalagi kondisi rumput
liar yang tumbuh subur dimana mana, menunjukkan keraton Kartasura yang
terbengkalai, tidak terawat. Saat ini, Keraton Kartasura berubah wujud menjadi
kompleks pemakaman. Selain makam keluarga raja, di beberapa lokasi juga dibuka
untuk pemakaman umum. "Namun sejak tahun 2005, lokasi ini sudah tertutup
untuk pemakaman umum," kata Haris. Keraton Kartasura memiliki dua benteng.
Benteng bagian dalam yaitu benteng Srimanganti, dan benteng bagian luar adalah
benteng Baluarti. Namun untuk Baluarti hanya tinggal 100 meter saja yang
tersisa, karena sebagian besar digunakan sebagai pemukiman penduduk. Untuk
benteng Srimanganti, masih tegak berdiri meski di beberapa bagian mengalami
kerusakan. Untuk bagian bangunan lainnya seperti bangunan utama keraton, Gunung
Kunci (taman kerajaan), Masjid Agung, Gedong Obat (penyimpanan mesiu), Tangsi
Kompeni (barak militer), sudah dibawa ke Keraton Surakarta pada tahun 1745 atau
saat pemindahan keraton.
Satu-satunya peninggalan yang tersisi adalah dua
benteng, Srimanganti dan Baluarti. Benteng Keraton Kartasura pun menjadi benda
cagar budaya yang ditetapkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa
Tengah. Cerita sejarah kejayaan Keraton Kartasura yang penuh dengan peperangan
dan intrik kekuasaan bertolak belakang dengan kondisi fisik keraton saat ini.
Tidak banyak wisatawan yang berkunjung, karena keraton saat ini dikenal sudah
menjadi komplek makam. "Sesekali turis asing datang berkunjung, namun hal
tersebut bisa dihitung dengan jari," kata Haris. Sedikitnya perhatian dari
pemerintah Kabupaten Sukoharjo dan keraton Surakarta sendiri, membuat Haris dan
sanak familinya merawat petilasan keraton Kartasura seadanya.
Kisah Kasunanan Kartasura, kerajaan / Jawa Tengah
Kisah Kasunanan Kartasura, kerajaan / Jawa Tengah
Kasunanan Kartasura: 1680 – 1745. Terletak di provinsi Jawa tengah. Kelanjutan dari Kesultanan
Mataram. Lokasi pusat Kasunanan Kartasura
berada di Kartasura, Sukoharjo.
Sejarah / History Kasunanan Kartasura
2.
1680-1742:
Kerajaan
Kasunanan Kartasura
Kasunanan
Kartasura adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa yang berdiri pada tahun 1680 dan
berakhir tahun 1742, sebagai kelanjutan dari Kesultanan
Mataram.
Sri Susuhunan Amangkurat II, 1677-1703 adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.
Sri Susuhunan Amangkurat II, 1677-1703 adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.
Sesuai
wasiat ayahnya (Amangkurat I), Adipati Anom pun bekerja sama
dengan VOC untuk menumpas Trunajaya. Ia menandatangani Perjanjian
Jepara 1677 dengan VOC, yang berisi VOC akan membantu Adipati Anom melawan
Trunojoyo, dan sebagai gantinya, VOC berhak memonopoli perdagangan di Pantai
Utara Jawa. Atas bantuan VOC, Adipati Anom diangkat sebagai raja tanpa takhta
bergelar Amangkurat II. Trunajaya akhirnya berhasil
ditangkap dan dihukum mati awal tahun 1680.
Istana
lama Mataram, yang letaknya di Plered, saat itu telah dikuasai oleh Pangeran
Puger, putra Amangkurat I lainnya, yang ditugasi sang ayah untuk merebutnya
dari tangan Trunajaya. Amangkurat II terpaksa membangun istana baru di Hutan
Wanakarta, yang diberi nama Kartasura. Ia mulai pindah ke istana tersebut pada
bulan September 1680.
Kemudian terjadilah perang antara Kartasura melawan Mataram untuk memperebutkan kekuasaan atas tanah Jawa sebagai pewaris Amangkurat I yang sah. Pada tanggal 28 November 1681 akhirnya Pangeran Puger menyerah kalah kepada Amangkurat II yang dibantu VOC. Sejak saat itu, Mataram resmi menjadi bagian dari Kartasura.
Kemudian terjadilah perang antara Kartasura melawan Mataram untuk memperebutkan kekuasaan atas tanah Jawa sebagai pewaris Amangkurat I yang sah. Pada tanggal 28 November 1681 akhirnya Pangeran Puger menyerah kalah kepada Amangkurat II yang dibantu VOC. Sejak saat itu, Mataram resmi menjadi bagian dari Kartasura.
Jatuhnya Kasunanan
Kartasura
Pada
tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia yang menjalar
sampai ke seluruh Jawa. Mula-mula Pakubuwana II (pengganti Amangkurat IV) mendukung
mereka. Namun ketika melihat pihak VOC unggul, ia pun berbalik mendukung bangsa
Belanda tersebut. Perbuatan Pakubuwana II justru membuat kekuatan pemberontak
meningkat karena banyak pejabat anti VOC yang meninggalkannya. Akhirnya pada
tanggal 30 Juni 1742 para pemberontak menyerbu Kartasura besar-besaran.
Pakubuwana II pun melarikan diri ke Ponorogo.
VOC
bekerja sama dengan Cakraningrat IV dari Madura dan berhasil merebut kembali
Kartasura. Pada akhir tahun 1743 Pakubuwana II kembali ke Kartasura namun
kondisi kota tersebut sudah hancur. Ia pun memutuskan membangun istana baru di
desa Sala bernama Surakarta,
yang ditempatinya sejak tahun 1745. Babad Tanah Jawi menyebut peristiwa ini
sebagai Geger Pacinan. Rusaknya kraton di Kartasura, dianggap merupakan tanda
hilangnya landasan kosmogonis kraton sebagai sentrum kekuasaan, sehingga perlu
dibangun kraton baru.
Sejarah keraton-keraton bekas kerajaan Mataram
1. Keraton lama di Karta dibangun Sultan
Agung (ayah dari Amangkurat I) antara tahun 1614 dan 1622 dan terbuat dari
kayu.
2. Keraton Plered adalah kraton yang dibangun raja Amangkurat I dari Mataram. Amangkurat pindah dari kraton lama di
Karta, yang dibangun Sultan Agung (ayah dari Amangkurat I) antara tahun 1614
dan 1622 dan terbuat dari kayu. Plered dibangun dengan bata. Pekerjaan
pembangunan di Plered dikatakan tidak berhenti sampai tahun 1666. Letaknya di
Pleret, Bantul, di sebelah timur laut Karta. Kraton Plered ditinggalkan tahun
1680 oleh putera Amangkurat I, Amangkurat II, yang pindah ke Kartasura.
3. Keraton Kartasura dibangun oleh
Sunan Amangkurat II atau Sunan Amangkurat Amral (1677-1703) dengan suatu
pertimbangan bahwa Keraton Mataram Pleret sudah pernah diduduki musuh
(Trunajaya).
Enam puluh enam tahun sebelum peristiwa perpindahan
tersebut, Keraton Kartasura secara resmi pertama kali didiami oleh Sunan
Amangkurat II (1677-1702), walau pembangunannya masih belum sempurna. Tepatnya
pada tanggal 11 September 1680. Raja Mataram yang semula bernama Pangeran
Adipati Anom itu merupakan raja pertama yang menempati Kartasura, keraton dan
ibukota baru Kerajaan Mataram pengganti Keraton yang lama di Plered,
Yogyakarta.
Ø
1745, Keraton Kartasura resmi berpindah ke Keraton Surakarta, sekitar 10 kilo meter
arah timur dari keraton lama.
Ø
Keraton
Surakarta, Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun
1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger
Pecinan tahun 1743.
Ø
Perjanjian
Giyanti, 1755: Wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur
Kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan
tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah diserahkan kepada
Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang
berkedudukan di Yogyakarta.
Ø
Keraton
Yogyakarta. Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan
Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Raja-raja Kerajaan Kartasura
Ø 1726-1742: Pakubuwana II, menyingkir ke Ponorogo karena
Kartasura diserbu pemberontakl; mendirikan Surakarta.
Ø Sri Susuhunan Pakubuwana
II (lahir: Kartasura, 1711 – wafat: Surakarta, 1749) adalah
raja terakhir Kasunanan Kartasura yang memerintah tahun 1726 – 1742 dan menjadi
raja pertama Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1745 –
1749.
Ø Sri Pakubuwono II (born 1711 in Kartasura, died 1749 in Surakarta)
was the last king of Kasunanan Kartasura (ruled 1726-1742) became the first king of Kasunanan Surakarta (ruled 1745-1749).
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar