Kamis, 15 November 2018

KISAH KESULTANAN CIREBON


KISAH KESULTANAN CIREBON


Orientasi
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.  Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan cirebon. letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton kasepuhan cirebon.

Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi).

Persahabatan Cheng Ho, mecusuar Muara Jati dan Masjid Kung Wu Ping
Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian memberikan cinderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan Cirebon). Cheng Ho dan anak buahnya kemudian berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu pembuatan keramik, penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping (Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho) kemudian menginisiasi pendirian sebuah mercusuar (bahasa Cirebon : Prasada Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara Jati pembangunannya kemudian mengambil tempat di bukit Amparan Jati.

Pemukiman warga muslim Tionghoa pun kemudian dibangun disekitar prasada tunggang prawata bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah Sembung, Sarindil dan Talang lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil ditugaskan untuk menyediakan kayu jati guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung ditugaskan memelihara mercusuar, ketiga pemukiman Tionghoa tersebut secara bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal, masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah fungsinya menjadi sebuah klenteng.

Pembangunan Gedong Witana
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi. yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.

Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Pembangunan tajug Jalagrahan
Pada masa pemerintahan ki Danusela sebagai kuwu Kebon Pesisir, dibangun juga tajug (bahasa Indonesia : Mushola) pertama di wilayah tersebut atas prakarsa dari menantunya yaitu pangeran Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug Jalagrahan.

Pendirian
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.  Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.

Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M  . Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.  Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.  Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m dan dimakamkan di gunung Sembung, Cirebon.

Perkembangan dan perluasan syiar
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagaamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia : pusatnya dunia).

Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali ditangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.

“Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.”
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)

Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon : gegeden).  Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.
1.      Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
2.      Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
3.      Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
4.      Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 m, dengan penguasanya Ki gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan Gunung Jati menjadikan putera Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan nama Sangkuku diangkat sebagai Depati Kuningan (bahasa Indonesia : gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Kuningan).

Datangnya Gamelan Suka Hati dari kerajaan Demak
Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada tahun 1521 pada penyerangan ke Melaka yang dikuasi Portugis, Ratu Ayu, putri Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua) dan istri dari Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) kemudian membawa gamelan dakwah yang disebut "Sukahati" (bahasa Indonesia : kebahagian karena ikhlas) ke wilayah Cirebon dari Demak sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya. Budayawan Cirebon meyakini bahwa Gong Sukahati (bahasa Indonesia : gong Sekati) merupakan alat musik gamelan dakwah pertama yang dibawa masuk ke Cirebon dari Demak.  Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya sendiri disaat yang sama, dalam bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat dalam pagelaran gong Suka Hati disebut Sukaten atau Sekaten dari tata bahasa Cirebon Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan kata benda) sehingga Suka(h)at(ia)n menjadi Sukaten (huruf "h" tidak dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi "e") atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan Sekaten, hingga sekarang kesenian Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.

Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.

Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.  Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.

Latar belakang penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.  Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.  Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten.

Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah, sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt), aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.

Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.

Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.

Penguasaan Banten
Pada tahun 1522, Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan. Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.

Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten. Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang.  Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya  Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.

Penyatuan Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.  Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai kadipaten (bahasa Indonesia : provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m), kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di BantenAlasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.  Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.  Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Dikuasainya Sunda Kelapa pada 1527
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.

Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian masyarakat Cirebon berasal dari Passai sudah dikenal dibeberapa kalangan masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah dari Passai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun, hal ini membuat Fatahilah menjadi menantu Sunan Gunung Jati dan kesultanan Demak.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.

Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.

Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan Portugis sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa.  Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon, kesultanan Demak dan kesultanan Banten (pada saat itu Banten masih menjadi kadepaten dibawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati atas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.

Pada saat menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527, menurut sejarahwan dan budayawan Betawi Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan perkampungan yang ada disana termasuk perkampungan yang didiami tiga ribu orang muslim Betawi yang pemukimannya berada di wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan, Jakarta, Fatahilah kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali Besar (terusan sungai di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang rumahnya berada didekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan, Sunda kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.

Keterlambatan bantuan Portugis
Pada pertempuran antara kerajaan Sunda dengan gabungan prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta sebagian penduduk Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan dari Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa sebuah koloni Portugis di India. Keberangkatan ke kerajaan Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal perang) yang dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk Benggala, tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Malaka tahun 1527.

Ekspedisi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh Maulana Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco De Xa memancangkan Padrão pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de São Jorge" (dibaca : Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge. Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri, hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Duarte Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.

Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu di wilayah Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni Portugis di Afrika yang sekarang menjadi bagian dari negara Ghana.

Dikuasainya Rajagaluh pada 1528
Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh bermula dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung menjadikan kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan Rajagaluh.  Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh prabu Cakraningrat (raja Rajagaluh) adalah depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kiban atau pada masyaraakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban (depati palimanan), rombongan pimpinan depati Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota Cirebon namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk memasuki kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk agama Islam.

Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri dari Ciwaringin, Gempol, Palimanan serta sebagian dari Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang wilayahnya paling dekat dengan pantai.  Duta kedua yang dikirim prabu Cakraningrat adalah demang Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya. demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan rombongannya bertemu dengan pangeran depati Kuningan (putra Ki gede Luragung yang diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati ) dan pasukannya yang memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh tunduk kepada kesultanan Cirebon.

Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu peristiwa pertemuannya dengan Demang Dipasara kepada Sunan Gunung Jati sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan Rajagaluh, sebelum menyerang, Pangeran Depati Kuningan membuat pertahanan di Plered sekaligus mengirimkan duta yaitu Ki Demang Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat agar prabu dan rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.

Perang Palimanan
Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan Ki Demang Singagati yang membawa pesan penolakan dari prabu Cakraningrat. Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh Pangeran Depati Kuningan sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah Depati Kiban (penguasa Palimanan).  Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan bantuan kekuatan, prajurit Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol sementara prajurit Pangeran Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan Cirebon ditambah 700 orang pasukan kesultanan Demak yang pada saat itu sedang berada di kesultanan Cirebon untuk keperluan pengawalan Sultan Demak yang pada saat itu sedang berada di Cirebon.

Pada perang Palimanan, Depati Kiban dan Sanghyang Gempol dapat dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian bergerak menuju ibukota Rajagaluh dan mengepung istana kerajaan Rajagaluh.  Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.

Perwalian oleh Pangeran Mohammad Arifin
Pada tahun 1528 m Syarief Hidayatullah menyerahkan (mewakilkan) kekuasaan kesultanan Cirebon kepada puteranya yaitu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang merupakan depati Cirebon (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sementara beliau mengkhususkan diri kepada dakwah Islam.

Bergabungnya Talaga pada 1529
Proses bergabungnya Talaga masuk menjadi bagian dari wilayah kesultanan Cirebon pada awalnya dikarenakan ada kesalahpahaman antara pasukan Cirebon yang sedang mengarak pangeran-pangeran Cirebon dengan Demang dari kerajaan Talaga.  Pada awalnya pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon sedang mengarak para pangeran Cirebon yaitu pangeran Bratakelana dan pangeran Jayakelana yang dikawal dari depan (oleh pasukan dari Jawa (pasukan kesultanan Demak dan juga dari belakang oleh pasukan Cirebon dan Sunan Jati, secara tidak sengaja arak-arakan telah memasuki wilayah kerajaan Talaga dan membuat kehebohan di Talaga, masyarakat kemudian melaporkan ke Istana Kerajaan, Pucuk Umum (bahasa Indonesia : penguasa) Talaga memerintah Demang kerajaan memimpin sejumlah prajurit kerajaan untuk menyelidiki hal tersebut.

Pasukan dari kerajaan Talaga dipimpin oleh Demang kerajaan lantas menemui iring-iringan tersebut menanyakan kepada arak-arakan prajurit paling depan tentang asal usul dan keperluan mereka masuk ke wilayah Talaga, dikarenakan para prajurit Talaga bertanya dengan menggunakan bahasa Sunda maka para prajurit yang mengawal didepan yang kebetulan suku Jawa dari kerajaan Demak tidak memahami arti pertanyaannya dan hanya diam saja. Sikap diam yang ditunjukan para barisan prajurit suku Jawa tersebut dianggap sebagai penghinaan kepada rombongan pasukan kerajaan Talaga, Demang kerajaan Talaga marah dan mengamuk namun dapat segera diatasi oleh barisan prajurit didepan (barisan prajurit kesultanan Demak) tersebut, Demang kerajaan Talaga lantas melaporkan masalah kepada Pangeran Aria Salingsingan (Putra Mahkota Talaga), ketika Pangeran Aria datang ke iring-iringan tersebut untuk membalas perlakuan mereka kepada rombongan prajurit kerajaan Talaga dan Demang kerajaan, terjadi keributan kembali (tanpa Pangeran Aria sempat mencari tahu apa maksud kedatangan para rombongan prajurit tersebut) beberapa prajurit barisan depan tadi kemudian ada yang meninggal, dikatakan setelah melihat sosok Sunan Gunung Jati yang maju kedepan untuk melihat ada keributan apa sehingga iring-iringan tertahan, Pangeran Aria Salingsingan kemudian menghentikan serangannya kepada para prajurit, diyakini kemudian Sunan Gunung Jati menjelaskan tujuan iring-iringan prajurit tersebut yang tidak sengaja memasuki wilayah Talaga, dikarenakan telah membunuh beberapa prajurit barisan depan (prajurit kesultanan Demak) maka Pangeran Aria Salingsingan meminta maaf. Sunan Gunung Jati kemudian memintanya agar masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan Pangeran Aria Salingsingan dengan sukarela mengikutinya (masuk Islam).

Rombongan iring-iringan para pangeran Cirebon kemudian menuju ke kraton Talaga untuk menemui pucuk umum (penguasa) Talaga (kabar bahwa Pangeran Aria Salingsingan masuk Islam dan menghentikan serangan kemudian sampai ke kraton Talaga) namun ketika mereka sampai raja sudah tidak ada di kraton, begitupula dengan saudari Pangeran Arya Salingsingan yang bernama Ratu Mas Tanduran Gagang yang juga keluar Istana dan dikabarkan pergi bertapa, dikarenakan tidak adanya raja pada saat itu maka Pangeran Aria Salingsingan menjadi penguasa Talaga dan kemudian menggabungan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon pada tahun 1529 dan masyakarat Talaga mulai mengenal ajaran Islam.

Sumedang bergabung pada 1530
Latar belakang bergabungnya kerajaan Sumedang Larang menjadi bagian dari kesultanan Cirebon adalah dengan pendekatan dakwah Islam, pada awal 1500an Maulana Muhammad (putera dari Maulana Abdurahman (Pangeran Panjunan) keturunan dari Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nur Jati) melakukan dakwah Islam diwilayah kerajaan Sumedang Larang disekitar wilayah Sindang Kasih (sebelah timur Cilutung / sungai Lutung), di wilayah Sindang Kasih Maulana Muhammad menikah dengan Nyai Armillah (diyakini sebagai kerabat pembesar Sindang Kasih) dan memiliki putera yang diberi nama Soleh (masyarakat lebih mengenalnya dengan nama pangeran Santri karena dia berasal dari pesantren).

Pangeran Soleh ini kemudian menikah dengan Ratu Setyasih (putri Raja Tirtakusuma (Patuakan) yang sedang memerintah di kerajaan Sumedang Larang. Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka) Pangeran Soleh diserahi kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya dan kemudian dia dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang dengan gelar Kusumahdinata[53] Tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka) diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung Pakungwati atas diangkatnya Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang Larang juga keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah timur (Galuh).

Perjanjian damai dengan kerajaan Pajajaran
Pasca pertempuran di Kalapa (kini : Jakarta) pada tahun 1527 m, para prajurit dari kesultanan Cirebon dan kerajaan Pajajaran masih terlibat pertempuran di pedalaman hingga beberapa tahun, akhirnya ditanda-tanganilah perjanjian perdamaian diantara keduanya pada tanggal 14 paro terang bulan Asada tahun 1453 saka atau bertepatan pada 12 Juni 1531 m. Pada masa itu yang menjadi raja di kerajaan Pajajaran adalah Prabu Surawisesa (saudara Pangeran Walangsungsang penguasa pertama kesultanan Cirebon) sementara kesultanan Cirebon dipimpin oleh Syarief Hidayatullah yang diwalikan urusan pemerintahannya kepada anaknya yaitu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean).

Isi surat perjanjian damai tersebut diantaranya adalah,
Pengakuan atas kedaulatan masing-masing kerajaan dan untuk tidak saling menyerang, Pengakuan bahwa kedua kerajaan adalah sederajat dan bersaudara (sama-sama merupakan ahli waris dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi atau Prabu Jayadewata).

Terbunuhnya Pangeran Mohammad Arifin
Pada tahun 1546 m sultan Trenggana tidak sengaja terbunuh dalam usaha penyerangan ke Panarukan, pada saat itu Panarukan sudah dikepung selama tiga bulan oleh gabungan prajurit kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon, kesultanan Cirebon mengirimkan sekitar 7000 prajuritnya yang didatangkan dari wilayah Banten dan Jayakarta serta Cirebon, diantara prajurit yang dikirim dari kesultanan Cirebon ada Fernão Medes Pinto (dibaca : Fernaun Mendes Pinto, penjelajah Portugis yang mencatat ekspedisi penyerangan ke Panarukan dalam catatannya Peregrinação (dibaca : Peregrinasaun (perjalanan) ) bersama empat puluh orang temannya yang ikut serta. Fernão Mendes Pinto sebelumnya tiba di Banten pada tanggal 1 Oktober 1545 untuk membeli lada dalam pelayarannya dari Goa menuju China, beliau terpaksa menunggu berbulan-bulan karena pada saat itu persediaan lada di pelabuhan Banten belum mencukupi., usai pengepungan selama tiga bulan Sultan Trenggana kemudian mengadakan sebuah rapat bersama para adipati untuk merencanakan penyerangan lanjutan ke Panarukan, pada saat itu putera adipati Surabaya yang berumur sepuluh tahun menjadi pelayannya membawakan tempat sirih, karena tertarik dengan jalannya rapat tersebut putera adipati Surabaya tidak mendengarkan perintah sultan Trenggana sehingga sultan memarahinya dan memukulnya, putera adipati Surabaya itu merasa sangat tersinggung dan tiba-tiba menusukan pisau kecil yang terselip di ikat pinggangnya ke arah jantung Sultan. Sultan pun tewas seketika dan dibawa pulang ke Demak dari Panarukan.

Selanjutnya terjadi huru-hara perebutan kekuasaan di kesultanan Demak, masa itu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang menjabat sebagai Depati Cirebon (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sekaligus putera mahkota kesultanan Cirebon yang sedang berada di Demak mewakili sultan Cirebon (oleh Fernão Mendes Pinto disebut sebagai Quiay Ansedaa Pate de Cherbom (Kyai Sang Depati Cirebon) ) meninggal dalam peristiwa tersebut. Istrinya Ratu Nyawa yang turut mendampinginya berhasil selamat dan melahirkan Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1547 m. Pada peristiwa huru hara di kesultanan Demak juga terbunuh Pangeran Hadiri (suami dari Ratu Kalinyamat (Ratna Kencana), putri pertama Sultan Trenggana) sekaligus Adipati Jepara.

Kesultanan Cirebon mengadakan musyawarah dalam menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin di Demak, hasil dari musyawarah tersebut pada tahun 1552 m menyatakan bahwa putera pertama Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Maulana Hasanuddin yang menjabat sebagai depati Banten (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Banten) dinaikan statusnya dari depati (gubernur) menjadi sultan atas wilayah Banten yang kemudian mengembangkan kesultanan Banten sementara untuk mengisi kekosongan posisi sebagai wakil sultan Cirebon yang mengurusi kesultanan Cirebon saat Syarief Hidayatullah tidak berada ditempat diputuskan untuk diisi oleh Fadillah Khan (Fatahilah).

Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon
Setelah Kerajaan Sunda runtuh maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara terbagi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati[61]pada abad ke 15  membagi wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama Jayakarta..

Fatahillah (1568-1570)
Pada tahun 1568 m Syarief Hidayatullah meninggal dunia maka kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Syarief Hidayatullah melaksanakan tugas dakwah dijadikan wakilnya sebagai pengurus kesultanan Cirebon, Fadillah Khan (Fatahillah) kemudian naik takhta (sebagai wali Kesultanan) dan memerintah Cirebon secara resmi sejak tahun 1568. Fadillah Khan (Fatahillah) mengurusi kesultanan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Persahabatan dengan kesultanan Banten dan kesultanan Mataram
Sultan Zainul Arifin (1568-1649)
Sepeninggal Fadillah Khan (Fatahillah), oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Mas Zainul Arifin atau dikenal juga dengan nama Panembahan Ratu I, putra tertua dari Pangeran Mohammad Arifin (Depati Cirebon) atau cicit Sunan Gunung Jati yang sudah berusia 21 tahun. Pangeran Mas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun.
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun disekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, namun beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan Pajang, Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan. Pada masa pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya; Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putera dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang.

Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan seseorang dari wilayah Yuwana Kedu dan Bagelen (sebelah barat pegunungan menoreh) juga berhasil dikuasai Madiun mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590 Surabaya berhasil dikuasai, Kediri berhasil dikuasai, Priyangan sebelah timur berhasil dikuasai.

Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin, kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara kesultanan Banten dengan kesultanan Mataram, hal itu disebabkan adanya hubungan keluarga antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan sunan Gunung Jati sementara dengan kesultanan Mataram hubungan persahabatan yang erat telah dijalin antara Pangeran Mas Zainul Arifin dengan Danang Sutawijaya penguasa Mataram pertama.

Persahabatan dengan kesultanan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta Cirebon
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan. Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.

“Waktu semono maksi akikib, Kuta Cirebon masih Sinaroja, Adi wuku sakubenge, Tan ana Durga ngaru, Kadi gelare kang rumihin, Jawa gunung kapurba, Katitiha ngulun, Sira koli tiwa-tiwa, Nagara gung Mataram pon anglilani, Ing Crebon yen gawea.”

Taktkala itu masih tertutup, Kuta Cirebon masih utuh dibangun pagar sekelilingnya, benteng itu tidak ada yang mengganggu, seperti jaman dahulu kala pulau Jawa yang dibentengi oleh gunung-gunung, demikian juga dengan Cirebon, maka negara agung Mataram pun merestui (membantu) proyek yang sedang dikerjakan Cirebon (membuat benteng Kuta Cirebon).

Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596 dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.  Persahabatan dengan Mataram dan dikirimnya Mas Rangsang (Sultan Agung Mataram) belajar ke Cirebon.

Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram sangat menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya (Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan Pangeran Mas), hal tersebut tidak lain adalah pesan dari Danang Sutawijaya Sultan Mataram pertama yang berpesan kepada keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik dengan Cirebon.

Pada tahun 1614 ketika Gubernur Jendral Pieter Both berkuasa di Hindia Belanda, Belanda mengirimkan utusan ke Mataram, rombongan dipimpin oleh Jan Piterszoon Coen (yang kelak menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tahun 1619). Mataram pada masa itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), kepada utusan Belanda ini Sultan Agung menyampaikan klaim sepihak bahwa seluruh wilayah pulau Jawa bagian barat adalah wilayah Mataram kecuali wilayah kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon.

Rijckloff Volckertsz van Goens Gubernur Jendral Hindia Belanda periode 1678 - 1681 menyatakan bahwa utusan ''Vereenigde Oostindische Compagnie'' (VOC) telah lima kali ditugaskan ke Mataram pada periode sekitar tahun 1648 - 1654. Sejak zaman Danang Sutawijaya (teman Pangeran Mas Zainul Arifin), sudah dipelihara hubungan yang erat dalam suasana perdamaian (groote correspon-dentie on foede vreede), sebelum Danang Sutawijaya wafat ia telah berpesan pula kepada puteranya agar tetap memelihara hubungan baik dengan Cirebon, Rijckloff Volckertsz van Goens berpendapat bahwa hal tersebut dimungkinkan karena Cirebon dianggap suci” (guansuis, omdat den Cheribonder voor hem’t geloof hadde aengenoomen ende een heilige man was)..

Pembuatan kereta Singa Barong
Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 m berdasarkan Candrasangkala yang berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa), menurut H.B Vos, kereta Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi.
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu. Ketegangan hubungan dengan kesultanan Mataram, perang Pacirebonan dan meninggalnya Sultan Abdul Karim

Perang Pacirebonan
Perang Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama perang Pagrage adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan kesultanan Cirebon ke wilayah kesultanan Banten.

Latar belakang
Pada tahun 1588 ketika kesultanan Mataram muncul setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, Danang Sutawijaya kemudian mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalah sebuah Kadipaten dari kerajaan Pajang kini menjadi kesultanan yang mandiri, namun demikian, kesultanan Banten pada masa itu belum mengakui eksistensi kesultanan Mataram, Sultan Maulana Muhammad, sultan Banten yang bertahta saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (beliau naik tahta pada 1585 pada usia 9 tahun).

Masa Sultan Maulana Muhammad
Kesultanan Banten pada masa awal pemerintahan Sultan Maulana Muhammad disibukan dengan klaim tahta oleh Arya Jepara (saudara Maulana Yusuf, ayah dari Sultan Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana dari Demak sekaligus istri dari pangeran Hadiri seorang Adipati Jepara) ). Pangeran Arya Jepara mengajukan usul kepada kesultanan Banten agar dirinya dijadikan penguasa kesultanan Banten sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk memegang pemerintahan, namun usul tersebut ditolak oleh para pejabat kesultanan Banten yang menganggap bahwa pangeran Arya Jepara adalah orang luar Banten, para pejabat dengan dukungan Qadi kesultanan Banten pada masa itu mengangkat Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten, sementara menunggu usia Sultan Banten cukup untuk memegang pemerintahan, maka Qadi dibantu dengan empat pejabat lainnya menjadi wakil Sultan Banten dalam memerintah kesultanan Banten mereka adalah Patih (bahasa Indonesia : Perdana Menteri) Jayanegara, Senapati (bahasa Indonesia : Panglima) Pontang, Ki Waduaji dan Ki Wijamanggala.

Penolakan Qadi dan para pejabat kesultanan Banten membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang kesultanan Banten. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan Demang Laksamana (bahasa Indonesia : Laksamana) Jepara pergi menuju kesultanan Banten melalui jalur laut, dalam peperangan tersebut Demang Laksamana Jepara tewas dan membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.

Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng Kuta Raja di Cirebon, Sultan Maulana Muhammad pada masa itu disibukan dengan kegiatan dakwah Islam dan baru pada tahun 1596 atas masukan dari Pangeran Mas (putera Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari kesultanan Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang maka Sultan Maulana Muhammad memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah Palembang, dalam penyerangan tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia 19 tahun wafat dan meninggalkan putra mahkota kesultanan Banten yang baru berusia 5 bulan yang kemudian dikenal dengan nama Abdul mufakhir mahmud abdul kadir. Peristiwa-peristiwa inilah yang menjadi latar belakang tidak terlibatnya kesultanan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad terhadap permasalahan eksistensi dan penaklukan wilayah yang dilakukan oleh kesultanan Mataram

Masa Sultan Abdul Mufakir
Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan Patih Jayanegara ditunjuk menjadi walinya. Patih Jayanegara dikenal sebagai pejabat kesultanan Banten yang handal dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali kesultanan Banten, kesultanan berada dalam kondisi yang tentram.

Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck ditemani oleh wakil laksamana Wybrand van Warwyck dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu yaitu Jacob van Heemskerk, van Heemskerk pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi perang Delapan puluh tahun antara Belanda dengan Spanyol, Belanda yang selama ini mengambil rempah dari Lisbon (Portugal) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, namun usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena statusnya pada masa itu berada dibawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang Inggris, ketika Itineratio sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya Huygen van Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol, munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut gagal, Jacob van Heemskerk yang ikut dalam misi melintasi kutub utara menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan tersebut.

Dari laporan Jacob van Heemskerk Belanda kemudian menyiapkan misi menuju Asia melewati Tanjung Harapan (Afrika), misi itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman, namun Jacob van Heemskerk tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah beliau ikut serta kedalamnya, mereka kemudian berlayar dengan mengikuti arahan dari seorang ahli astronomi dan kartografer (pembuat peta) kelahiran Flander (sekarang bagian dari Belgia) yang bernama Pieter Platevoet. Jacob van Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di bidang navigasi pelayaran, latar belakang keahliannya adalah bidang perdagangan, oleh karenanya dia memutuskan untuk mengambil kelas di bidang navigasi guna mendalaminya. Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya yakni Cornelis de Houtman yang tercatat sempat berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek kapal -kapal pembawa rempah dari Sumatera dan Kalimantan yang datang ke Banten, walaupun sebenarnya sikap Cornelis de Houtman dilatar belakangi kejadian buruk yang menimpanya ketika dia mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia berusaha membeli rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan harga yang sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada rombongan Cornelis de Houtman bahkan rombongan inipun tidak diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih, akhirnya rombongan Cornelis de Houtman pergi ke Sumatera untuk mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah namun ia dan rombongannya ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan dibayar, kejadian itu membuat Cornelis de Houtman kesal hingga melakukan penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa rempah yang menuju Banten.

Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan Abdul Mufakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2 tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda persahabatan.

Pada tahun 1602, Patih Jayanegara meninggal dunia, posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, namun dia dipecat pada 17 Nobermber 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang bangsawan keraton yang bernama Pangeran Camara, dia mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan Abdul Mufakhir, setelah suami barunya ini menjadi wali Sultan, dia membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang asing, wali Sultan yang baru ini juga dituduh menerima suap sehingga perjanjian dagang yang dibuatnya cenderung menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada umumnya, banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas dengan keadaan ini ditambah banyak keributan di wilayah kesultanan Banten yang diprakarsai oleh para pedagang asing yang berpihak pada para pedagang Belanda atau Portugis.

Keberadaan Patih sudah tidak dihiraukan oleh pejabat wilayah kesultanan Banten sehingga dikatakan bahwa kekuasaan Patih yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah Jung (bahasa Indonesia : Kapal) dari Johor oleh Pangeran Mandalika (anak dari Pangeran Maulana Yusuf), seruan Patih untuk melepaskan Jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan Patih, mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota, masalah ini kemudian dapat diseleseikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan Pangeran Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara khitanan Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir pada saat itu Patih meminta bantuannya, akhirnya perjanjian damai dilakukan antara kesultanan Banten dengan kubu Pangeran Mandalika, dikatakan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah kesultanan Banten selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga..

Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama Pailir (bahasa Indonesia : bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton dibawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para ponggawa (pejabat), sebenarnya peristiwa Pailir disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah Pangeran Ranamanggala dan rekan-rekannya bersekutu untuk membunuh Patih yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan kesultanan Banten setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa kesultanan Banten tidak aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di kesultanan Banten terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608. Kacaunya kondisi kesultanan Banten kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan Patih dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak kesultanan Banten hingga lainnya dimana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh Patih sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk membunuh Patih diserahkan kepada Depati Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi kesultanan Banten.

Pada tanggal 23 Oktober 1608, Depati Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga Patih keluar tanpa membawa Sultan Abdul Mufakir, dikatakan bahwa, walaupun Patih yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang membuat kebijakan kurang berpihak kepada kesultanan Banten dan tidak mampu menjadi figur yang baik namun beliau sebagai ayah sambung dari Sultan Abdul Mufakir menjalankan tugasnya dengan sangat baik, beliau mendidik Sultan Abdul Mufakir dengan penuh tanggung jawab, mendampingi Sultan dalam setiap pertemuan dengan para pejabat dan lain sebagainya sehingga Sultan Abdul Mufakir yang masih remaja pada masa itu sangat dekat dan menyukainya. Setelah Patih dan Juru tulisnya keluar dari keraton, Depati Yudanegara kemudian membunuhya.

Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (Patih) sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 dimana kebakaran berhasil menghanguskan kediaman Patih namun pada peristiwa ini Patih berhasil selamat..

Pasca terbunuhnya Pangeran Camara Patih kesultanan Banten, keadaan Sultan Abdul Mufakir menjadi rentan, beliau yang masih muda diliputi rasa kehilangan yang mendalam karena ditinggal ayah sambungnya, dilatar belakangi hal tersebut Pangeran Ranamanggala membuat sebuah pertemuan yang membahas kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten, namun Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang sebelumnya mengikuti pertemuan untuk membunuh Pangeran Camara tidak bersedia hadir, temasuk Pangeran Prabangsa pun menolak hadir, sehingga yang hadir pada saat itu hanyalah Pangeran Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat lainnya, peristiwa pembahasan kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten inilah yang kemudian membuat Depati Yudanegara selaku orang yang ditugasi membunuh Pangeran Camara khawatir dirinya akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir ini membuat Depati Yudanegara menemui Pangeran Kulon dan menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya akan mendukung Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari Sultan Maulana Yusuf dari anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang menikahi Pangeran Gebang dari Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah awal dari terjadinya peristiwa Pailir.

Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada Ki Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.

Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon yang pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang bernama Ki Jajaka Tua namun hal tersebut tidak begitu merubah keadaan. Perang yang oleh Sultan Abdul Mufakir (masa itu Sultan berusia 13 tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir dengan perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri dari wilayah inti Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609 berangkatlah Tumenggung Anggabaya, Syahbandar dan pihak lainnya yang memihak Pangeran Kulon menuju Jayakarta jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617, para Pangeran, Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke Banten namun mereka tidak diberikan peranan politik apapun, setelah peristiwa Pailir, Pangeran Ranamanggala naik menjadi wali Sultan bagi Sultan Abdul Mufakir yang masa itu berusia 13 tahun, waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam sengkala Tanpa Guna Tataning Prang (1530 saka / 1608 m) jika dihitung dari penyebab atau latar belakang munculnya peristiwa Pailir hingga tuntasnya perpindahan delapan ribu orang pengikut Pangeran Kulon maka secara keseluruhan peristiwa ini berlangsung pada tanggal 8 Maret 1608 hingga 26 Maret 1609 sementara inti peperangan dalam peristiwa Pailir berlangsung dari sekitar akhir Oktober atau awal November 1608 hingga perundingan damai yang menghasilkan keputusan pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon pada bulan Februari 1609.

Sultan Abdul Karim (1649-1666)
Setelah Sultan Zainul Arifin meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.

Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya, pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, sekitar tahun 1650-an Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua putera tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya untuk berkunjung ke keraton Mataram di kota Gede sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon.

Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua puteranya dilarang kembali ke Cirebon dan tinggal di lingkungan Mataram hingga kematiannya. Sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu Pakungwati II menurut Mason Hoadley meninggal pada tahun 1666, namun menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m, 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Kebijakan menawan tersebut merupakan kebijakan politik Amangkurat I terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama juga dialami oleh pangeran Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan Arosbaya (Bangkalan) di Madura, pada tahun 1624, empat tahun setelah pangeran Tengah meninggal dunia pada 1620, Mataram menyerang kerajaan Arosbaya, wali raja pada saat itu pangeran Mas dari Arosbaya (adik dari pangeran Tengah sekaligus paman bagi pangeran Prasena yang pada saat itu masih kecil) berhasil melarikan diri ke Demak sementara pangeran Prasena berhasil dibawa ke Mataram dan diangkat menjadi adipati Cakraningrat penguasa Madura bagian barat, namun selama menjadi adipati, pangeran Prasena menghabiskan waktunya di Mataram mirip seperti kejadian yang menimpa pangeran Abdul Karim atau dikenal dengan nama pangeran Girilaya.  Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Perwalian oleh Pengeran Wangsakerta
Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali. keluarga akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.

Lepasnya Karawang kepada Belanda
Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjianjian antara keduanya untuk saling membantupun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram, Amangkurat I dan puteranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibukota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya)..
Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.

Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta bantuan kesultanan Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton mataram, orang-orang yang ada didalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri, awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada di antara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke kesultanan Banten.

Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.

Pembagian Kesultanan Cirebon
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton.

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan :
1.     Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
2.    Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
3.   Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu wali kota dan bupati.

Kesultanan Cirebon sebagai pusat kebudayaan
Kesultanan Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam tercermin dari banyaknya karya seni dan sastra yang bernuansa Islami yang tumbuh seiring dengan perkembangan kesultanan Cirebon, naskah-naskah kuno Cirebon yang memuat tentang sastra biasanya ditulis dengan menggunakan aksara Pegon ataupun Jawi. Berdasarkan isinya, naskah Cirebon bisa dikategorikan kedalam tiga belas kategori yaitu, sejarah, silsilah, wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita islam, primbon, pengobatan, mantra, hukum, dongeng, legenda dan lainnya termasuk jimat, adat istiadat dan pelajaran asmara. Naskah kuno di Cirebon juga ada yang memuat tentang tasawuf yang ditulis oleh ahli agama dari kalangan keraton yaitu pangeran Muhammad Nasiruddin (wangsakerta) dan pangeran Kaharuddin (arya Cirebon), selain di keraton, naskah kuno, mushaf al Qur'an dan kitab-kitab fiqih juga dapat ditemukan di pesantren-pesantren yang ada di wilayah kesultanan Cirebon, seperti di pesantren Buntet yang didirikan oleh Ki Muqoyyim yang merupakan seorang Qadi dari kesultanan Kanoman, oleh karena banyaknya naskah-naskah yang memuat tentang segala hal yang berkenaan dengan sendi kehidupan manusia dari mulai pelajaran agama, hukum hingga masalah asmara maka wilayah kesultanan Cirebon disebut sebagai pusatnya kebudayaan.

Sumber : Google Wikipedia

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...