KISAH
KESULTANAN CIREBON
Orientasi
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan
Islam
ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan
penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai
utara pulau Jawa
yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah
dan Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta
suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan
Jawa maupun kebudayaan Sunda. Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung
pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan cirebon. letak dalem
agung pakungwati sekarang menjadi keraton
kasepuhan cirebon.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat
yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon
pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda
untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan
dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan
garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon)
yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya
alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi
salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal
bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki
Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah
seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur
pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan
tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata
(prabu Silih Wangi).
Persahabatan Cheng Ho, mecusuar
Muara Jati dan Masjid Kung Wu Ping
Cheng
Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon
pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian memberikan cinderamata berupa
piring yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di keraton
Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan Cirebon). Cheng Ho
dan anak buahnya kemudian berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu
pembuatan keramik, penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping
(Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho) kemudian menginisiasi
pendirian sebuah mercusuar (bahasa
Cirebon : Prasada
Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara Jati pembangunannya kemudian
mengambil tempat di bukit Amparan Jati.
Pemukiman
warga muslim Tionghoa pun kemudian dibangun disekitar prasada tunggang prawata bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah
Sembung, Sarindil dan Talang lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil
ditugaskan untuk menyediakan kayu jati guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di
Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung
ditugaskan memelihara mercusuar, ketiga pemukiman Tionghoa tersebut secara
bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal,
masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah fungsinya menjadi sebuah
klenteng.
Pembangunan Gedong Witana
Pada
masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran
Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi.
yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton
Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan
pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian
menunaikan ibadah haji
ke Mekah,
disana nyimas Rara Santang
menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon.
Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk
membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia
cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan
perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut
sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran
Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk
membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir
tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela
dan istrinya yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang
pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar
Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki
Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi
diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran
Cakrabuana.
Pembangunan tajug Jalagrahan
Pada
masa pemerintahan ki Danusela
sebagai kuwu Kebon Pesisir,
dibangun juga tajug (bahasa
Indonesia : Mushola) pertama di wilayah tersebut atas prakarsa
dari menantunya yaitu pangeran Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug
Jalagrahan.
Pendirian
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479)
Pangeran
Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng
Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai
Rara Santang dan Raden Kian Santang. Sebagai
anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam
(diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran
agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda)
Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak
laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran
Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa
spasi) mendirikan Dalem Agung
Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430
M . Dengan demikian, yang dianggap
sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama
yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam
kepada penduduk Cirebon. Pendirian
kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan
Demak. Pangeran
Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m dan dimakamkan di gunung Sembung, Cirebon.
Perkembangan dan perluasan syiar
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada
tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur
untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali,
akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke
gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten
Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagaamaan
ini kemudian disebut sebagai Puser
Bumi (bahasa Indonesia : pusatnya dunia).
Pada
tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon
kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari
pernikahan Nyai Rarasantang
dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah
wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad
Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya
Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Syarif
Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya
Dewata (prabu Silih Wangi) agar
berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim
jauh sebelum menikah dengan prabu Silih
Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada
saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali ditangan
prabu Silih Wangi), seperti
yang tertuang dalam naskah Purwaka
Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
“Dwa
Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.”
(bertepatan
dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
Pada
tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi,
akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan
Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.
Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa
Cirebon : gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan
Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.
1.
Pangeran
Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
2.
Pangeran
Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
3.
Pangeran
Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
4.
Ratu
Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang
menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan
dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian
diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan
Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka,
Kuningan,
Kawali
(Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Syiar Islam ke Kuningan dan
berkuasanya Pangeran Kuningan
Syiar
Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di
wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada
tahun 1481 m, dengan penguasanya Ki
gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan Gunung
Jati menjadikan putera Ki
gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung
Jati) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat
kuningan dikenal dengan nama Sangkuku
diangkat sebagai Depati Kuningan
(bahasa Indonesia : gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Kuningan).
Datangnya Gamelan Suka Hati dari kerajaan
Demak
Pangeran
Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa
setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada tahun 1521 pada penyerangan ke
Melaka yang dikuasi Portugis, Ratu Ayu, putri Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua)
dan istri dari Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) kemudian membawa
gamelan dakwah yang disebut "Sukahati" (bahasa Indonesia :
kebahagian karena ikhlas) ke wilayah Cirebon
dari Demak
sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya. Budayawan Cirebon meyakini
bahwa Gong Sukahati (bahasa
Indonesia : gong Sekati) merupakan alat musik gamelan dakwah pertama yang
dibawa masuk ke Cirebon dari Demak. Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan
dakwahnya sendiri disaat yang sama, dalam bahasa
Cirebon orang-orang yang sedang terlibat dalam pagelaran gong Suka Hati disebut Sukaten atau Sekaten dari tata bahasa Cirebon Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan
kata benda) sehingga Suka(h)at(ia)n
menjadi Sukaten (huruf
"h" tidak dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi
"e") atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan Sekaten, hingga sekarang kesenian Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan
di keraton-keraton Cirebon.
Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan
Banten
Pada
masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar
Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam
syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad
(perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga
perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati
masyarakat Wahanten dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah
Wahanten terdapat dua penguasa
yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang
menjadi pucuk umum (penguasa)
untuk wilayah Wahanten Pasisir
dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk
umum untuk wilayah Wahanten
Girang.
Di
wilayah Wahanten Pasisir Syarif
Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan),
keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon
(lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin :
nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang
Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para
pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya. Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke
kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan
Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang
menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung
Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Latar belakang penguasaan Banten
Perkawinan
Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung
Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan
laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak
Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518. Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan
Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi)
di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi
Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja
gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Pada tahun 1513 m, Tome Pires
pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang
Islam di pelabuhan Banten.
Syarif
Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah, sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah
dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah
Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara
sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari
aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama
Syekh Nurullah (Syekh yang
membawa cahaya Allah swt), aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah
tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung
Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang
lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada
tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di
pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk
mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika
melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut
kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh
Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut,
bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan
Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan
Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang
memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan
Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan
Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan
Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada
tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi)
mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha
meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan
antara kerajaan Sunda dan Portugis.
Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan
secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan
Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer
dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan
Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis
untuk membangun benteng.
Pada
tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di
Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa
(dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk membangun benteng
keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya
bersifat ekspansif.
Pada
tanggal 21 Agustus
1522 dibuatlah
suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji
(perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten,
sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda
Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada
sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ
(dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut
dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan
Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar)
Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan
muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
Penguasaan Banten
Pada
tahun 1522, Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama
keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar,
masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan. Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya
(putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang
Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.
Pada
tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari
kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten.
Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi
kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung
Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang. Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika
pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan
Demak mencapai Wahanten
Girang, Ki Jongjo
(seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.
Dalam
sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan
banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik
simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas
dakwahnya dan menantangnya sabung ayam
(adu ayam) dengan syarat jika sabung
ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas
dakwahnya. Sabung Ayam pun
dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan
aktifitas dakwahnya Arya Suranggana dan
masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di
wilayah Selatan.
Sepeninggal
Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi
para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.
Penyatuan Banten
Atas
petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat
pemerintahan Wahanten Girang ke
pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir. Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya
selesai pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela
menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten
Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut
sebagai Banten dengan status
sebagai kadipaten (bahasa
Indonesia : provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933
Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m), kemudian Sunan Gunung
Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten
diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut
sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung
Jati adalah Sultan pertama di Banten meskipun demikian Sunan Gunung
Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di
BantenAlasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein
Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung
Jatilah yang menjadi pendiri Banten
dan bukannya Maulana Hasanuddin. Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten
dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten
lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara. Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di
wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati).
Dikuasainya Sunda Kelapa pada 1527
Laporan
Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua
kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi
sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang
terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10
kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal
tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu,
Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang
sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe
kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di
depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang
Sunda diangkut dengan lanchara,
yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu
pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di
Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa
(dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk membangun benteng
keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya
bersifat ekspansif.
Pada
masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian masyarakat
Cirebon berasal dari Passai sudah dikenal dibeberapa kalangan masyarakat Demak
dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah dari Passai ke Melaka
sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut dikuasai oleh Portugis,
Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut membantu dalam hal syiar Islam, di
Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian
menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak
dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran
Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya
yang berasal dari kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun, hal
ini membuat Fatahilah menjadi menantu Sunan Gunung
Jati dan kesultanan Demak.
Pada
tanggal 21 Agustus
1522 dibuatlah
suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji
(perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten,
sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda
Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada
sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ
(dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão dimaksud disebut
dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan
Sunda perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang
bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau
dengan Khot.
Padraõ
itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh)
dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah
kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa,
rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari kesultanan
Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan
Sunda dengan Portugis sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan
serangan ke Sunda Kelapa. Penyerangan ke
Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon, kesultanan
Demak dan kesultanan Banten (pada saat itu Banten
masih menjadi kadepaten dibawah
kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan
prajurit Cirebon dan Demak dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung
Jati atas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah
meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda
Kelapa sendirian.
Pada
saat menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527, menurut sejarahwan dan budayawan Betawi
Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu
Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan tubuhnya ditenggelamkan
di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan perkampungan yang ada disana
termasuk perkampungan yang didiami tiga ribu orang muslim Betawi yang
pemukimannya berada di wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan, Jakarta,
Fatahilah kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali
Besar (terusan sungai di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang
rumahnya berada didekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan, Sunda
kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.
Keterlambatan bantuan Portugis
Pada
pertempuran antara kerajaan Sunda dengan gabungan prajurit Banten,
Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan tewasnya Wak Item
(Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta sebagian penduduk
Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan dari
Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi
Gubernur Goa
sebuah koloni Portugis di India. Keberangkatan ke kerajaan
Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal
perang) yang dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun
benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di
Teluk Benggala, tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Malaka
tahun 1527.
Ekspedisi
ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena
Banten sudah dikuasai oleh Maulana Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke
Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco De Xa memancangkan Padrão pada
tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de São
Jorge" (dibaca : Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge.
Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri, hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte
Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Duarte Coelho
terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai
dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan kerusakan yang berat dan
korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Tahun
1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan
tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte Coelho demikian
menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu
di wilayah Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni
Portugis di Afrika
yang sekarang menjadi bagian dari negara Ghana.
Dikuasainya Rajagaluh pada 1528
Perseteruan
antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh bermula dari permintaan
kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan Cirebon mengakui kerajaan
Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung menjadikan kesultanan Cirebon
sebagai negara bagian dari kerajaan Rajagaluh. Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh
prabu Cakraningrat (raja Rajagaluh) adalah depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kiban atau pada
masyaraakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban (depati palimanan), rombongan pimpinan depati Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota
Cirebon namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk memasuki
kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk agama Islam.
Pada
masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh,
wilayah Palimanan (sekarang terdiri dari Ciwaringin, Gempol,
Palimanan serta sebagian dari Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai
kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang wilayahnya paling dekat
dengan pantai. Duta kedua yang dikirim
prabu Cakraningrat adalah demang
Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh
sebagai pusatnya. demang
Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan rombongannya bertemu
dengan pangeran depati Kuningan
(putra Ki gede Luragung yang
diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati ) dan pasukannya yang
memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh tunduk
kepada kesultanan Cirebon.
Pangeran
Depati Kuningan kemudian memberitahu peristiwa pertemuannya dengan Demang Dipasara kepada Sunan Gunung
Jati sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan Rajagaluh,
sebelum menyerang, Pangeran Depati Kuningan membuat pertahanan di Plered
sekaligus mengirimkan duta yaitu Ki
Demang Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat agar
prabu dan rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan
Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.
Perang Palimanan
Perang
Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan Ki Demang Singagati yang membawa pesan penolakan dari prabu
Cakraningrat. Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh
Pangeran Depati Kuningan
sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah Depati Kiban (penguasa Palimanan). Prajurit dari kedua kerajaan kemudian
mendapatkan bantuan kekuatan, prajurit Depati
Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan
Sanghyang Gempol sementara prajurit Pangeran Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan
Cirebon ditambah 700 orang pasukan kesultanan
Demak yang pada saat itu sedang berada di kesultanan Cirebon untuk
keperluan pengawalan Sultan Demak yang pada saat itu sedang berada di Cirebon.
Pada
perang Palimanan, Depati Kiban
dan Sanghyang Gempol dapat dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian
bergerak menuju ibukota Rajagaluh dan mengepung istana kerajaan Rajagaluh. Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan
Cirebon dan kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan
Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.
Perwalian oleh Pangeran Mohammad
Arifin
Pada
tahun 1528 m Syarief Hidayatullah menyerahkan (mewakilkan)
kekuasaan kesultanan Cirebon kepada puteranya yaitu Pangeran Mohammad Arifin
(Pangeran Pasarean) yang merupakan depati
Cirebon (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sementara
beliau mengkhususkan diri kepada dakwah Islam.
Bergabungnya Talaga pada 1529
Proses
bergabungnya Talaga masuk menjadi bagian dari wilayah kesultanan Cirebon pada
awalnya dikarenakan ada kesalahpahaman antara pasukan Cirebon yang sedang
mengarak pangeran-pangeran Cirebon dengan Demang dari kerajaan Talaga. Pada awalnya pasukan kesultanan
Demak dan kesultanan Cirebon sedang mengarak para pangeran Cirebon
yaitu pangeran Bratakelana dan pangeran Jayakelana yang dikawal dari depan
(oleh pasukan dari Jawa (pasukan kesultanan
Demak dan juga dari belakang oleh pasukan Cirebon dan Sunan Jati,
secara tidak sengaja arak-arakan telah memasuki wilayah kerajaan Talaga dan
membuat kehebohan di Talaga, masyarakat kemudian melaporkan ke Istana Kerajaan,
Pucuk Umum (bahasa
Indonesia : penguasa) Talaga memerintah Demang kerajaan memimpin sejumlah
prajurit kerajaan untuk menyelidiki hal tersebut.
Pasukan
dari kerajaan Talaga dipimpin oleh Demang kerajaan lantas menemui iring-iringan
tersebut menanyakan kepada arak-arakan prajurit paling depan tentang asal usul
dan keperluan mereka masuk ke wilayah Talaga, dikarenakan para prajurit Talaga
bertanya dengan menggunakan bahasa Sunda maka para prajurit yang mengawal
didepan yang kebetulan suku Jawa dari kerajaan
Demak tidak memahami arti pertanyaannya dan hanya diam saja. Sikap
diam yang ditunjukan para barisan prajurit suku Jawa
tersebut dianggap sebagai penghinaan kepada rombongan pasukan kerajaan Talaga,
Demang kerajaan Talaga marah dan mengamuk namun dapat segera diatasi oleh
barisan prajurit didepan (barisan prajurit kesultanan
Demak) tersebut, Demang kerajaan Talaga lantas melaporkan masalah
kepada Pangeran Aria Salingsingan (Putra Mahkota Talaga), ketika Pangeran Aria
datang ke iring-iringan tersebut untuk membalas perlakuan mereka kepada
rombongan prajurit kerajaan Talaga dan Demang kerajaan, terjadi keributan
kembali (tanpa Pangeran Aria sempat mencari tahu apa maksud kedatangan para
rombongan prajurit tersebut) beberapa prajurit barisan depan tadi kemudian ada
yang meninggal, dikatakan setelah melihat sosok Sunan Gunung
Jati yang maju kedepan untuk melihat ada keributan apa sehingga
iring-iringan tertahan, Pangeran Aria Salingsingan kemudian menghentikan
serangannya kepada para prajurit, diyakini kemudian Sunan Gunung
Jati menjelaskan tujuan iring-iringan prajurit tersebut yang tidak
sengaja memasuki wilayah Talaga, dikarenakan telah membunuh beberapa prajurit
barisan depan (prajurit kesultanan Demak) maka Pangeran Aria
Salingsingan meminta maaf. Sunan Gunung
Jati kemudian memintanya agar masuk Islam dengan membaca dua kalimat
syahadat dan Pangeran Aria Salingsingan dengan sukarela mengikutinya (masuk
Islam).
Rombongan
iring-iringan para pangeran Cirebon kemudian menuju ke kraton Talaga untuk
menemui pucuk umum (penguasa)
Talaga (kabar bahwa Pangeran Aria Salingsingan masuk Islam dan menghentikan
serangan kemudian sampai ke kraton Talaga) namun ketika mereka sampai raja
sudah tidak ada di kraton, begitupula dengan saudari Pangeran Arya Salingsingan
yang bernama Ratu Mas Tanduran Gagang yang juga keluar Istana dan dikabarkan
pergi bertapa, dikarenakan tidak adanya raja pada saat itu maka Pangeran Aria
Salingsingan menjadi penguasa Talaga dan kemudian menggabungan wilayahnya dengan
kesultanan Cirebon pada tahun 1529 dan masyakarat Talaga mulai mengenal ajaran
Islam.
Sumedang bergabung pada 1530
Latar
belakang bergabungnya kerajaan Sumedang Larang menjadi bagian
dari kesultanan Cirebon adalah dengan pendekatan dakwah Islam, pada awal 1500an
Maulana Muhammad (putera dari Maulana Abdurahman (Pangeran Panjunan) keturunan dari
Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nur Jati) melakukan dakwah Islam diwilayah kerajaan Sumedang Larang disekitar wilayah
Sindang Kasih (sebelah timur Cilutung / sungai Lutung), di wilayah Sindang
Kasih Maulana Muhammad menikah dengan Nyai Armillah (diyakini sebagai kerabat
pembesar Sindang Kasih) dan memiliki putera yang diberi nama Soleh (masyarakat
lebih mengenalnya dengan nama pangeran Santri karena dia berasal dari
pesantren).
Pangeran
Soleh ini kemudian menikah dengan Ratu Setyasih (putri Raja Tirtakusuma
(Patuakan) yang sedang memerintah di kerajaan Sumedang Larang. Pada 21 Okober
1530 (13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka) Pangeran Soleh diserahi
kekuasaan atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya dan
kemudian dia dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang dengan gelar Kusumahdinata[53]
Tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka)
diadakan syukuran di kesultanan Cirebon tepatnya di Dalem Agung Pakungwati atas diangkatnya Pangeran Soleh sebagai
penguasa kerajaan Sumedang Larang juga keberhasilan
Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah timur (Galuh).
Perjanjian damai dengan kerajaan Pajajaran
Pasca
pertempuran di Kalapa
(kini : Jakarta)
pada tahun 1527 m, para prajurit dari kesultanan Cirebon dan kerajaan Pajajaran masih terlibat pertempuran
di pedalaman hingga beberapa tahun, akhirnya ditanda-tanganilah perjanjian
perdamaian diantara keduanya pada tanggal 14 paro terang bulan Asada tahun 1453
saka atau bertepatan pada 12 Juni 1531 m. Pada masa itu yang menjadi raja di kerajaan Pajajaran adalah Prabu Surawisesa
(saudara Pangeran Walangsungsang penguasa pertama kesultanan Cirebon) sementara
kesultanan Cirebon dipimpin oleh Syarief
Hidayatullah yang diwalikan urusan pemerintahannya kepada anaknya
yaitu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean).
Isi
surat perjanjian damai tersebut diantaranya adalah,
Pengakuan atas
kedaulatan masing-masing kerajaan dan untuk tidak saling menyerang, Pengakuan
bahwa kedua kerajaan adalah sederajat dan bersaudara (sama-sama merupakan ahli
waris dari Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi atau Prabu Jayadewata).
Terbunuhnya Pangeran Mohammad Arifin
Pada
tahun 1546 m sultan
Trenggana tidak sengaja terbunuh dalam usaha penyerangan ke Panarukan,
pada saat itu Panarukan sudah dikepung selama tiga bulan oleh gabungan
prajurit kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon,
kesultanan Cirebon mengirimkan sekitar 7000 prajuritnya yang didatangkan dari
wilayah Banten
dan Jayakarta
serta Cirebon,
diantara prajurit yang dikirim dari kesultanan Cirebon ada Fernão Medes Pinto
(dibaca : Fernaun Mendes Pinto, penjelajah Portugis yang mencatat
ekspedisi penyerangan ke Panarukan dalam catatannya Peregrinação (dibaca : Peregrinasaun (perjalanan) ) bersama
empat puluh orang temannya yang ikut serta. Fernão Mendes Pinto sebelumnya tiba
di Banten
pada tanggal 1 Oktober 1545 untuk membeli lada dalam pelayarannya dari Goa
menuju China,
beliau terpaksa menunggu berbulan-bulan karena pada saat itu persediaan lada di
pelabuhan Banten
belum mencukupi., usai pengepungan selama tiga bulan Sultan Trenggana
kemudian mengadakan sebuah rapat bersama para adipati untuk merencanakan
penyerangan lanjutan ke Panarukan, pada saat itu putera adipati Surabaya yang berumur
sepuluh tahun menjadi pelayannya membawakan tempat sirih, karena tertarik
dengan jalannya rapat tersebut putera adipati Surabaya tidak mendengarkan
perintah sultan
Trenggana sehingga sultan memarahinya dan memukulnya, putera adipati
Surabaya itu merasa sangat tersinggung dan tiba-tiba menusukan pisau kecil yang
terselip di ikat pinggangnya ke arah jantung Sultan. Sultan pun tewas seketika
dan dibawa pulang ke Demak
dari Panarukan.
Selanjutnya
terjadi huru-hara perebutan kekuasaan di kesultanan
Demak, masa itu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang
menjabat sebagai Depati Cirebon
(gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sekaligus putera mahkota
kesultanan Cirebon yang sedang berada di Demak mewakili sultan Cirebon (oleh
Fernão Mendes Pinto disebut sebagai Quiay
Ansedaa Pate de Cherbom (Kyai Sang Depati Cirebon) ) meninggal dalam
peristiwa tersebut. Istrinya Ratu Nyawa yang turut mendampinginya berhasil
selamat dan melahirkan Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1547 m. Pada
peristiwa huru hara di kesultanan Demak juga terbunuh Pangeran Hadiri
(suami dari Ratu Kalinyamat (Ratna Kencana), putri pertama Sultan Trenggana)
sekaligus Adipati Jepara.
Kesultanan
Cirebon mengadakan musyawarah dalam menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran
Mohammad Arifin di Demak,
hasil dari musyawarah tersebut pada tahun 1552 m menyatakan bahwa putera
pertama Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Maulana
Hasanuddin yang menjabat sebagai depati
Banten (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Banten)
dinaikan statusnya dari depati
(gubernur) menjadi sultan atas
wilayah Banten
yang kemudian mengembangkan kesultanan
Banten sementara untuk mengisi kekosongan posisi sebagai wakil sultan Cirebon yang mengurusi
kesultanan Cirebon saat Syarief
Hidayatullah tidak berada ditempat diputuskan untuk diisi oleh
Fadillah Khan (Fatahilah).
Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan
Banten dengan kesultanan Cirebon
Setelah
Kerajaan
Sunda runtuh maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara
terbagi dua. Menurut Carita Sajarah Banten,
Sunan Gunung Jati[61]pada
abad ke 15 membagi wilayah antara sungai
Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum sebagai
pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara masuk
wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke menjadi
wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama Jayakarta..
Fatahillah (1568-1570)
Pada
tahun 1568 m Syarief Hidayatullah meninggal dunia maka
kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
keraton yang selama Syarief Hidayatullah melaksanakan tugas dakwah
dijadikan wakilnya sebagai pengurus kesultanan Cirebon, Fadillah Khan
(Fatahillah) kemudian naik takhta (sebagai wali Kesultanan) dan memerintah
Cirebon secara resmi sejak tahun 1568. Fadillah Khan (Fatahillah) mengurusi
kesultanan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada
tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung
Sembung.
Persahabatan dengan kesultanan
Banten dan kesultanan Mataram
Sultan Zainul Arifin (1568-1649)
Sepeninggal
Fadillah Khan (Fatahillah), oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi
raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Syarief
Hidayatullah yaitu Pangeran Mas Zainul Arifin atau dikenal juga
dengan nama Panembahan Ratu I,
putra tertua dari Pangeran Mohammad Arifin (Depati Cirebon) atau cicit Sunan Gunung Jati yang sudah berusia
21 tahun. Pangeran Mas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah
Cirebon selama kurang lebih 81 tahun.
Pada
masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin ini dikatakan bahwa keraton
Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun
disekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan,
namun beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga
kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Danang
Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan,
Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah
kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara)
pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan Pajang,
Danang
Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang
akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan. Pada masa
pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya; Pajang
dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putera dari Sultan Hadiwijaya)
dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang.
Demak berhasil dikuasai
dan kemudian dia menempatkan seseorang dari wilayah Yuwana Kedu dan Bagelen
(sebelah barat pegunungan menoreh) juga berhasil dikuasai Madiun
mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590 Surabaya
berhasil dikuasai, Kediri
berhasil dikuasai, Priyangan sebelah timur berhasil dikuasai.
Pada
masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin, kesultanan Cirebon berhasil
mempertahankan hubungan baik antara kesultanan
Banten dengan kesultanan Mataram, hal itu disebabkan adanya
hubungan keluarga antara kesultanan Banten
dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan sunan Gunung
Jati sementara dengan kesultanan Mataram hubungan persahabatan yang
erat telah dijalin antara Pangeran Mas Zainul Arifin dengan Danang
Sutawijaya penguasa Mataram pertama.
Persahabatan dengan kesultanan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta
Cirebon
Pada
masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram
oleh Danang
Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan
Cirebon, namun hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan
melainkan dari persahabatan. Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah
Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan
bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.
“Waktu semono maksi akikib, Kuta Cirebon masih Sinaroja, Adi wuku
sakubenge, Tan ana Durga ngaru, Kadi gelare kang rumihin, Jawa gunung kapurba,
Katitiha ngulun, Sira koli tiwa-tiwa, Nagara gung Mataram pon anglilani, Ing
Crebon yen gawea.”
Taktkala
itu masih tertutup, Kuta Cirebon masih utuh dibangun pagar sekelilingnya,
benteng itu tidak ada yang mengganggu, seperti jaman dahulu kala pulau Jawa
yang dibentengi oleh gunung-gunung, demikian juga dengan Cirebon, maka negara
agung Mataram
pun merestui (membantu) proyek yang sedang dikerjakan Cirebon (membuat benteng
Kuta Cirebon).
Benteng
Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan
benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun
1596 dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang
sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada
tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali. Persahabatan dengan
Mataram dan dikirimnya Mas Rangsang (Sultan Agung Mataram) belajar ke Cirebon.
Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram
sangat menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya (Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dikatakan
sebagai salah satu murid kesayangan Pangeran Mas), hal tersebut tidak lain
adalah pesan dari Danang Sutawijaya Sultan Mataram pertama yang
berpesan kepada keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik dengan Cirebon.
Pada
tahun 1614 ketika Gubernur Jendral Pieter Both berkuasa di Hindia
Belanda, Belanda mengirimkan utusan ke Mataram, rombongan dipimpin oleh Jan
Piterszoon Coen (yang kelak menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tahun
1619). Mataram pada masa itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), kepada
utusan Belanda ini Sultan Agung menyampaikan klaim sepihak bahwa seluruh
wilayah pulau Jawa bagian barat adalah wilayah Mataram kecuali wilayah kesultanan
Banten dan kesultanan Cirebon.
Rijckloff Volckertsz van Goens Gubernur Jendral
Hindia Belanda periode 1678 - 1681 menyatakan bahwa utusan ''Vereenigde
Oostindische Compagnie'' (VOC) telah lima kali ditugaskan ke Mataram
pada periode sekitar tahun 1648 - 1654. Sejak zaman Danang
Sutawijaya (teman Pangeran Mas Zainul Arifin), sudah dipelihara
hubungan yang erat dalam suasana perdamaian (groote correspon-dentie on foede vreede), sebelum Danang
Sutawijaya wafat ia telah berpesan pula kepada puteranya agar tetap
memelihara hubungan baik dengan Cirebon, Rijckloff Volckertsz van Goens berpendapat
bahwa hal tersebut dimungkinkan karena Cirebon
dianggap suci” (guansuis, omdat den
Cheribonder voor hem’t geloof hadde aengenoomen ende een heilige man was)..
Pembuatan kereta Singa Barong
Kereta
Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 m
berdasarkan Candrasangkala yang
berbunyi iku pandita buta rupanane
yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa), menurut H.B Vos, kereta
Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan
tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi.
Kereta
Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis
pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu. Ketegangan
hubungan dengan kesultanan Mataram, perang Pacirebonan dan
meninggalnya Sultan Abdul Karim
Perang Pacirebonan
Perang
Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama perang Pagrage adalah sebuah
peristiwa pengiriman pasukan kesultanan Cirebon ke wilayah kesultanan
Banten.
Latar belakang
Pada
tahun 1588 ketika kesultanan Mataram muncul setelah meninggalnya
Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, Danang Sutawijaya kemudian
mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas
eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh
dan mengakui eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu
diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang
Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalah sebuah Kadipaten dari kerajaan
Pajang kini menjadi kesultanan yang mandiri, namun demikian, kesultanan
Banten pada masa itu belum mengakui eksistensi kesultanan Mataram, Sultan Maulana Muhammad,
sultan Banten yang bertahta saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (beliau naik
tahta pada 1585 pada usia 9 tahun).
Masa Sultan Maulana Muhammad
Kesultanan
Banten pada masa awal pemerintahan Sultan Maulana Muhammad disibukan
dengan klaim tahta oleh Arya Jepara (saudara Maulana Yusuf, ayah dari Sultan
Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana
dari Demak sekaligus istri dari pangeran Hadiri seorang Adipati Jepara) ).
Pangeran Arya Jepara mengajukan usul kepada kesultanan
Banten agar dirinya dijadikan penguasa kesultanan
Banten sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk memegang
pemerintahan, namun usul tersebut ditolak oleh para pejabat kesultanan
Banten yang menganggap bahwa pangeran Arya Jepara adalah orang luar
Banten, para pejabat dengan dukungan Qadi
kesultanan Banten pada masa itu mengangkat
Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten, sementara menunggu usia Sultan Banten
cukup untuk memegang pemerintahan, maka Qadi
dibantu dengan empat pejabat lainnya menjadi wakil Sultan Banten dalam
memerintah kesultanan Banten mereka adalah Patih (bahasa Indonesia :
Perdana Menteri) Jayanegara, Senapati
(bahasa Indonesia : Panglima) Pontang, Ki Waduaji dan Ki
Wijamanggala.
Penolakan
Qadi dan para pejabat kesultanan
Banten membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang kesultanan
Banten. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan Demang Laksamana (bahasa
Indonesia : Laksamana) Jepara pergi menuju kesultanan
Banten melalui jalur laut, dalam peperangan tersebut Demang Laksamana Jepara tewas dan
membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.
Pada
masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa
untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun
benteng Kuta Raja di Cirebon, Sultan Maulana Muhammad pada masa itu disibukan
dengan kegiatan dakwah Islam dan baru pada tahun 1596 atas masukan dari
Pangeran Mas (putera Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari kesultanan
Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang
maka Sultan Maulana Muhammad memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah
Palembang, dalam penyerangan tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia
19 tahun wafat dan meninggalkan putra mahkota kesultanan
Banten yang baru berusia 5 bulan yang kemudian dikenal dengan nama
Abdul mufakhir mahmud abdul kadir. Peristiwa-peristiwa inilah yang menjadi
latar belakang tidak terlibatnya kesultanan
Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad terhadap permasalahan
eksistensi dan penaklukan wilayah yang dilakukan oleh kesultanan Mataram
Masa Sultan Abdul Mufakir
Sepeninggal
Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas
dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah
pemerintahan Patih Jayanegara
ditunjuk menjadi walinya. Patih
Jayanegara dikenal sebagai pejabat kesultanan
Banten yang handal dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa
jabatannya sebagai wali kesultanan
Banten, kesultanan berada dalam kondisi yang tentram.
Pada
tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana
Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh Jacob
Corneliszoon van Neck ditemani oleh wakil laksamana Wybrand van
Warwyck dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu yaitu Jacob van
Heemskerk, van Heemskerk pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana
yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi perang Delapan puluh
tahun antara Belanda dengan Spanyol, Belanda yang selama ini mengambil rempah
dari Lisbon
(Portugal) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan
saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda
berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha
mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, namun
usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi
incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena
statusnya pada masa itu berada dibawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang
Inggris, ketika Itineratio
sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya Huygen van
Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan alternatif ke
Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol, munculah ide untuk melewati
kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga
kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut
gagal, Jacob van
Heemskerk yang ikut dalam misi melintasi kutub utara menemukan
kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya meninggal karena kedinginan, dia
dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan
tersebut.
Dari
laporan Jacob van
Heemskerk Belanda kemudian menyiapkan misi menuju Asia melewati
Tanjung Harapan (Afrika), misi itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman, namun Jacob van
Heemskerk tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan
menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah beliau ikut serta kedalamnya,
mereka kemudian berlayar dengan mengikuti arahan dari seorang ahli astronomi
dan kartografer (pembuat peta) kelahiran Flander (sekarang bagian dari Belgia)
yang bernama Pieter
Platevoet. Jacob van Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di
bidang navigasi pelayaran, latar belakang keahliannya adalah bidang
perdagangan, oleh karenanya dia memutuskan untuk mengambil kelas di bidang
navigasi guna mendalaminya. Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut
baik oleh kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya
yakni Cornelis de Houtman yang tercatat sempat
berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek kapal -kapal pembawa rempah
dari Sumatera dan Kalimantan yang datang ke Banten, walaupun sebenarnya sikap Cornelis de Houtman dilatar belakangi kejadian
buruk yang menimpanya ketika dia mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia
berusaha membeli rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan
harga yang sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada rombongan Cornelis de Houtman bahkan rombongan inipun
tidak diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih, akhirnya rombongan Cornelis de Houtman pergi ke Sumatera untuk
mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah namun ia dan rombongannya
ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan dibayar, kejadian itu membuat
Cornelis de Houtman kesal hingga melakukan
penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa rempah yang menuju Banten.
Pembawaan
Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh
masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk
bertemu dengan Sultan Abdul Mufakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2
tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah piala berkaki emas
sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda persahabatan.
Pada
tahun 1602, Patih Jayanegara
meninggal dunia, posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, namun dia dipecat
pada 17 Nobermber 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu
Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang bangsawan keraton yang
bernama Pangeran Camara, dia mendesak agar suami barunya itu diperkenankan
menjadi wali bagi Sultan Abdul Mufakhir, setelah suami barunya ini menjadi wali
Sultan, dia membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang asing, wali
Sultan yang baru ini juga dituduh menerima suap sehingga perjanjian dagang yang
dibuatnya cenderung menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada
umumnya, banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas dengan keadaan ini
ditambah banyak keributan di wilayah kesultanan
Banten yang diprakarsai oleh para pedagang asing yang berpihak pada
para pedagang Belanda atau Portugis.
Keberadaan
Patih sudah tidak dihiraukan
oleh pejabat wilayah kesultanan Banten sehingga dikatakan bahwa
kekuasaan Patih yang sekaligus
adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah
sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah Jung (bahasa
Indonesia : Kapal) dari Johor oleh Pangeran
Mandalika (anak dari Pangeran Maulana Yusuf), seruan Patih untuk melepaskan Jung
tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Mandalika bersekutu dengan para
pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan Patih, mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota,
masalah ini kemudian dapat diseleseikan dengan penyerangan ke benteng
pertahanan Pangeran Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh Inggris
pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya
untuk menghadiri acara khitanan
Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir pada saat itu Patih meminta bantuannya, akhirnya perjanjian damai dilakukan
antara kesultanan Banten dengan kubu Pangeran
Mandalika, dikatakan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah kesultanan Banten
selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga..
Setelah
peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang
dikenal dengan nama Pailir (bahasa
Indonesia : bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara
para pangeran dari keraton dibawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu
Pangeran Kulon dan para ponggawa
(pejabat), sebenarnya peristiwa Pailir
disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah Pangeran Ranamanggala dan rekan-rekannya bersekutu untuk
membunuh Patih yang juga
merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan kesultanan
Banten setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan
membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat
kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka
lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang
beranggapan bahwa kesultanan Banten tidak aman untuk berdagang,
hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di kesultanan
Banten terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques
l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan
Juli 1608. Kacaunya kondisi kesultanan
Banten kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura,
Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan
lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan
bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan Patih
dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak kesultanan
Banten hingga lainnya dimana figurnya tidak dapat dijadikan panutan.
Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh Patih sebagai penyebab masalah yang
terjadi. Upaya untuk membunuh Patih
diserahkan kepada Depati
Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran
Mandura dan juga Qadi kesultanan Banten.
Pada
tanggal 23 Oktober 1608, Depati
Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga Patih keluar tanpa membawa Sultan Abdul Mufakir, dikatakan
bahwa, walaupun Patih yang
sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang membuat kebijakan
kurang berpihak kepada kesultanan Banten dan tidak mampu menjadi figur
yang baik namun beliau sebagai ayah sambung dari Sultan Abdul Mufakir
menjalankan tugasnya dengan sangat baik, beliau mendidik Sultan Abdul Mufakir
dengan penuh tanggung jawab, mendampingi Sultan dalam setiap pertemuan dengan
para pejabat dan lain sebagainya sehingga Sultan Abdul Mufakir yang masih
remaja pada masa itu sangat dekat dan menyukainya. Setelah Patih dan Juru tulisnya keluar dari
keraton, Depati Yudanegara
kemudian membunuhya.
Kebakaran
yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (Patih) sebenarnya sudah terjadi
beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang
pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian
peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 dimana
kebakaran berhasil menghanguskan kediaman Patih namun pada peristiwa ini Patih berhasil selamat..
Pasca
terbunuhnya Pangeran Camara Patih
kesultanan Banten, keadaan Sultan Abdul Mufakir
menjadi rentan, beliau yang masih muda diliputi rasa kehilangan yang mendalam
karena ditinggal ayah sambungnya, dilatar belakangi hal tersebut Pangeran
Ranamanggala membuat sebuah pertemuan yang membahas kematian Pangeran Camara
selaku Patih kesultanan
Banten, namun Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang
sebelumnya mengikuti pertemuan untuk membunuh Pangeran Camara tidak bersedia
hadir, temasuk Pangeran Prabangsa pun menolak hadir, sehingga yang hadir pada
saat itu hanyalah Pangeran Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat
lainnya, peristiwa pembahasan kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan
Banten inilah yang kemudian membuat Depati Yudanegara selaku orang yang ditugasi membunuh Pangeran
Camara khawatir dirinya akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir
ini membuat Depati Yudanegara
menemui Pangeran Kulon dan menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya akan
mendukung Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari Sultan Maulana Yusuf dari
anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang menikahi Pangeran Gebang dari
Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah awal dari terjadinya peristiwa
Pailir.
Peristiwa
Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang
memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling)
membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan
usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan
keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam
peperangan, hal ini terjadi kepada Ki
Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan
dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara
tersebut.
Peristiwa
Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas
permohonan pihak Pangeran Kulon yang pada saat itu telah terdesak, pihak
Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang
bernama Ki Jajaka Tua namun hal
tersebut tidak begitu merubah keadaan. Perang yang oleh Sultan Abdul Mufakir
(masa itu Sultan berusia 13 tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir
dengan perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri dari
wilayah inti Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609 berangkatlah
Tumenggung Anggabaya, Syahbandar dan pihak lainnya yang memihak Pangeran Kulon
menuju Jayakarta jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617,
para Pangeran, Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke Banten namun
mereka tidak diberikan peranan politik apapun, setelah peristiwa Pailir,
Pangeran Ranamanggala naik menjadi wali Sultan bagi Sultan Abdul Mufakir yang
masa itu berusia 13 tahun, waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam
sengkala Tanpa Guna Tataning Prang
(1530 saka / 1608 m) jika dihitung dari penyebab atau latar belakang munculnya
peristiwa Pailir hingga tuntasnya perpindahan delapan ribu orang pengikut
Pangeran Kulon maka secara keseluruhan peristiwa ini berlangsung pada tanggal 8
Maret 1608 hingga 26 Maret 1609 sementara inti peperangan dalam peristiwa Pailir berlangsung dari sekitar akhir
Oktober atau awal November 1608 hingga perundingan damai yang menghasilkan
keputusan pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon pada bulan Februari 1609.
Sultan Abdul Karim (1649-1666)
Setelah
Sultan Zainul Arifin meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran
Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau
Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian
menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang
kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu
II.
Panembahan
Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan,
yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua
Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.
Pada
surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah
ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681)
diceritakan tentang peristiwa Girilaya, pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik
tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, sekitar tahun
1650-an Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta
kedua putera tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya untuk berkunjung ke
keraton Mataram di kota Gede sekaligus menghormati naiknya
Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon.
Selepas
acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua puteranya dilarang kembali ke
Cirebon dan tinggal di lingkungan Mataram hingga kematiannya. Sultan Abdul
Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu
Pakungwati II menurut Mason Hoadley meninggal pada tahun 1666, namun menurut
naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun
1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m, 12 tahun setelah kepergiannya ke
Mataram. Kebijakan menawan tersebut merupakan kebijakan politik Amangkurat I
terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama juga dialami oleh pangeran
Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan Arosbaya (Bangkalan) di
Madura, pada tahun 1624, empat tahun setelah pangeran Tengah meninggal dunia
pada 1620, Mataram menyerang kerajaan Arosbaya, wali raja pada saat itu
pangeran Mas dari Arosbaya (adik dari pangeran Tengah sekaligus paman bagi
pangeran Prasena yang pada saat itu masih kecil) berhasil melarikan diri ke
Demak sementara pangeran Prasena berhasil dibawa ke Mataram dan diangkat
menjadi adipati Cakraningrat penguasa Madura bagian barat, namun selama menjadi
adipati, pangeran Prasena menghabiskan waktunya di Mataram mirip seperti
kejadian yang menimpa pangeran Abdul Karim atau dikenal dengan nama pangeran
Girilaya. Makamnya di Jogjakarta, di
bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten
Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam
Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Perwalian oleh Pengeran Wangsakerta
Pada
saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan
Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas
naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung
kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya pemimpin
di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan Cirebon
dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki
keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran
Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan
bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang
merupakan rakyat biasa), maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan
Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan
Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali. keluarga
akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.
Lepasnya Karawang kepada Belanda
Sepeninggal
sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram,
penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjianjian
antara keduanya untuk saling membantupun dilakukan, pada masa pemberontakan
Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang
diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi Gubernur
Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu
Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga
sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu
laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret
1677 dan diterima oleh sultan Mataram, Amangkurat I
dan puteranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibukota Mataram tanggal
28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh
Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya)..
Syarat
tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta
sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Karawang atau
sebagian masyarakat mengenalnya dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai
Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten
Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau
melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.
Pangeran
Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran
Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I
kemudian meminta bantuan kesultanan
Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian
mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk
membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo
berhasil merebut keraton mataram, orang-orang yang ada didalamnya kemudian
ditawan dan dibawa ke Kediri, awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para
pangeran Cirebon ada di antara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah
memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran
Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke
kesultanan Banten.
Posisi
Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan
dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum
bisa merebut kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan
paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika
kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon
dengan nama Kasepuhan
dan Kanoman
mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil
paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat
ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas
sungai Cipunegara.
Pembagian Kesultanan Cirebon
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi
terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan
menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran
kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan
bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron
dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena
adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan
Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya,
Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah
mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun
1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu
Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran
Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan
atas kepustakaan kraton.
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan
Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa
dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi
dinobatkan :
1. Sultan
Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi
Muhammad Samsudin (1679-1697)
2. Sultan Kanoman,
Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1679-1723)
3. Panembahan
Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad
Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi
dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka
mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran
Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak
memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai
Kaprabon(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah
kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton
Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada
tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon
secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon),
yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb.
1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali
diperluas menjadi 2.450 hektare.
Pada
masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah
Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang
secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia
yaitu wali kota dan bupati.
Kesultanan Cirebon sebagai pusat
kebudayaan
Kesultanan
Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam tercermin dari banyaknya karya seni dan
sastra yang bernuansa Islami yang tumbuh seiring dengan perkembangan kesultanan
Cirebon, naskah-naskah kuno Cirebon yang memuat tentang sastra biasanya ditulis
dengan menggunakan aksara Pegon ataupun Jawi. Berdasarkan isinya,
naskah Cirebon bisa dikategorikan kedalam tiga belas kategori yaitu, sejarah,
silsilah, wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita islam, primbon,
pengobatan, mantra, hukum, dongeng, legenda dan lainnya termasuk jimat, adat
istiadat dan pelajaran asmara. Naskah kuno di Cirebon juga ada yang memuat
tentang tasawuf yang ditulis
oleh ahli agama dari kalangan keraton yaitu pangeran Muhammad Nasiruddin
(wangsakerta) dan pangeran Kaharuddin (arya Cirebon), selain di keraton, naskah
kuno, mushaf al Qur'an dan kitab-kitab fiqih juga dapat ditemukan di
pesantren-pesantren yang ada di wilayah kesultanan Cirebon, seperti di
pesantren Buntet yang didirikan oleh Ki
Muqoyyim yang merupakan seorang Qadi
dari kesultanan Kanoman, oleh karena banyaknya
naskah-naskah yang memuat tentang segala hal yang berkenaan dengan sendi
kehidupan manusia dari mulai pelajaran agama, hukum hingga masalah asmara maka
wilayah kesultanan Cirebon disebut sebagai pusatnya kebudayaan.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar