KISAH
KERAJAAN SUNDA
Orientasi
Kerajaan Sunda
atau Kerajaan Pasundan adalah
kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerajaan ini bahkan
pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha, kemudian sekitar abad ke-14
diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan
pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.
Kerajaan
Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan
Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Catatan
Sejarah
Meskipun
nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah
dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto
menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan
secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam berbagai sumber
kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan. Diduga sebelum
keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa kali
perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan
Pajajaran.
Catatan sejarah dari Cina
Menurut
Hirth dan Rockhill, ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat
Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para
pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam
laporannya tentang negara Jauh, Zhufan
Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o".
Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-orang
tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang
pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan
atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan
kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya
dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya
setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi
berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini
menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."
"Dalam perjalanan
ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97
1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai
(melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam
untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang
pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati
Cirebon."
Catatan sejarah dari Eropa
Laporan
Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh
kekuatan Kesultanan Banten.
Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental
(1513 - 1515) ia menulis bahwa:
"Beberapa orang
menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa;
sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa
dan ditambah seperdelapannya."
Temuan arkeologi
Di
wilayah Jawa
Barat ditemukan
beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya
di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal
dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu
Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi
ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini
dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu
Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di
Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut
"arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan
kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca
tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung
dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa
Tengah dari awal abad ke-10.
Di
situs purbakala Banten Girang,
yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten
sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada
abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan
pengaruh Jawa Tengah. Situs-situs
arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat
ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung. Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat
transportasi utama pada masa tersebut.
Naskah Kuno
Selain
dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra
dan karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut
keberadaan Kerajaaan Sunda, antaranya naskah Carita Parahyangan,
Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.
Berdirinya kerajaan Sunda
Berdasarkan
Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno
dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja
Sunda menduduki kembali tahtanya".[8] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa
Raja Sunda telah ada sebelumnya. Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi
yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan
dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.
Menurut
naskah Wangsakerta,
naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai
sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan
yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa
pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi
wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Sebelum
berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir,
Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan
Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari
dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih,
putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa
dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya,
Tarusbawa.
Hal
ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari
Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga
menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan
kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan
dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara
diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite
Pon, 9 Suklapaksa,
bulan Yista,
tahun 519 Saka (kira-kira 18
Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas
kerajaannya yaitu sungai Citarum
(Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Wilayah
Kesuasaan
Berdasarkan
naskah kuno primer Bujangga Manik
(yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci
agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini
disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci
Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes)
dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang berikbukota di
Pajajaran juga mencakup wilayah bagian
selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan
Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.
Menurut
Naskah Wangsakerta,
wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga
Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda
oleh Selat
Sunda.
Persekutuan antara Sunda dan Galuh
Putera
Tarusbawa
yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan
seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi
oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera,
Rahyang Tamperan. Ibu dari Sanjaya
adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna,
Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak,
raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh
oleh Purbasora. Purbasora
dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu,
tetapi lain ayah.
Sena
dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta
pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut
Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang
merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan
Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora. Saat
Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada
di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun
732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama
22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi
Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran.
Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu
membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut
Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang
Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari
tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan
dari Saunggalah,
Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang,
yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan
Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda
selama 12 tahun (783-795).
Karena
Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda
lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi
Dharmeswara) yang berkuasa
selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke
puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja
Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara
iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh
Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal
Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan.
Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh
tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading
(913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab
kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri
berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan
Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut
kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana
(954-964).
Dari
Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan
Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa,
kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan
Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012),
dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang,
kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri
Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh
dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari
Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064),
lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi
dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122
tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12
tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal
moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal
Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan
Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303).
Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang
berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi,
Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan,
Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa
(1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu
Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa
(1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat,
putranya—Niskalawastukancana—masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang
oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal
Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana,
yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay
Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang
diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat
pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai
saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari,
istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala),
yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482). Susuktunggal dan
Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana)
dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh
disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
Menurut
Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa
kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja
Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala
Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri
dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi
sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di
Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi
ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut:
“Selamat. Dalam tahun
Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad,
Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat
oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah
pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti
(maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah”.
Prasasti
lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di
Bogor. Berdasarkan Prasasti Batutulis
berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata,
sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan
Batutulis, Kelurahan Batutulis,
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap
terletak di situs ibu kota Pajajaran.[11] Prasasti ini dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu
Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan
menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai
berikut :
Semoga
selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama
Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja
Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit
(pertahanan) Pakuan.
“Dia putera Rahiyang
Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana
yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa
gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga
Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban
Bumi".
Sayang
sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan
nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri
Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu Kancana.
Namun nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.
Naskah
kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406)
menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja
terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma,
Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang
Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya
kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah
kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah
raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda
(Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya,
Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa
Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai
Surawisesa.
Sedangkan
nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan Kesultanan Banten dan
Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah Banten. Tahun-tahun masa
pemerintaha para raja Sunda secara lebh terperinci dapat ditemukan pada naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi) :
34.
Prabu
Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena
sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
Menyebarnya Islam
Islam mulai masuk ke wilayah Tatar
Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru
dimulai pada abad ke-13 Masehi. Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju
Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di
Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura.
Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura
di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian
menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang,
salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja
yang menganut Islam.
Masa penurunan
Sapeninggal
Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535),
kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu
Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana
(1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh
yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten,
mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran
runtuh.
Hubungan dengan kerajaan lain
1.
Singasari
Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut
bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di
kemudian hari, kerajaan Majapahit
sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda,
sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada. Tetapi bisa jadi di masa peralihan
yakni saat runtuhnya Singhasari oleh pasukan dari China, menjadikan kerajaan
Sunda lepas dari cengkeraman Singhasari. Maka setelah Majapahit melanjutkan
Singhasari, kerajaan itu berusaha untuk menguasai sunda.
2.
Majapahit
Menurut Kidung Sunda, Majapahit berusaha untuk
menaklukan Kerajaan Sunda dan beberapa kali melakukan penyerangan tetapi
berhasil digagalkan. Upaya terakhir Mejapahit untuk memperluas kekuasaannya
adalah dengan upaya penyatuan melalui perkawinan antara raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda tetapi usaha ini pun gagal dan berakhir
dengan tragedi Bubat.
3.
Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin
hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah
menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan
gudang di pelabuhan Sunda Kelapa.
Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan
Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon
(yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Sumber
: Google Wikipedia
Gajah Mada Segan pada Kerajaan Sunda
Tak
seperti wilayah lain, Kerajaan Sunda punya posisi unik bagi Majapahit. Gajah
Mada pun segan memeranginya. Setelah
melenyapkan para pencibir yang menentang Sumpah Palapa, Gajah Mada beserta para
pendukungnya mulai unjuk kekuatan. Bersama tentara Majapahit, mereka memulai
serangkaian serangan ke luar Jawa. Wilayah
pertama yang diserang adalah Bali. Mpu Prapanca menyebut, raja Bali
berbuat kasar, kejam, nista, sehingga perlu diperangi.
Negarakrtagama mencatat
serangan terbuka pada 1265 saka (1343 M) di bawah pimpinan Gajah Mada dan Mpu
Aditya (Adityawarmman), seorang kerabat Tribhuwanattunggadewi yang berdarah
Melayu. Setelah perang yang lama dan melelahkan, Bali akhirnya takluk, sebelum
kemudian Gurun (Pulau Lombok). Berbeda dengan Bali, Majapahit tidak menyerang
Kerajaan Sunda padahal termasuk wilayah yang dibidik Gajah Mada agar sumpahnya
terpenuhi. Karenanya, Sunda menjadi salah satu wilayah yang belum mengakui
kebesaran Majapahit, setelah banyak negara di Nusantara melakukannya.
Dalam Gajah Mada : Biografi Politik,
arkeolog Agus Aris Munandar berpendapat, bagi Majapahit, Kerajaan Sunda punya
posisi yang unik. Tak mudah bagi mereka menaklukannya sebagaimana terhadap Bali
atau Lombok.
“Tak terbayang apabila
armada dan tentara Majapahit harus menyerang Kerajaan Sunda,” kata Agus. Sunda
adalah kerajaan tersendiri yang bebas merdeka. Pada masa itu ada anggapan,
Sunda merupakan wilayah yang harus dihormati. Tak layak ditaklukkan secara
militer. Menurut Agus dasar pemikiran itu mungkin disandarkan kepada pernyataan
dalam Prasasti Raja Sri Jayabhupati dari abad 11 M. Prasasti berbahasa Jawa
Kuno ini ada di wilayah Sukabumi. Di dalamnya disebutkan gelar yang mirip
dengan Airlangga, yaitu Jayabhupati haji ri
Sunda (Raja Sunda). “Jadi sebenarnya raja-raja Sunda keturunan
Jayabhupati sejatinya masih bekerabat dengan para penguasa di Jawa Timur dalam
masa yang kemudian,” jelas Agus.
Wilayah
Jawa bagian barat tempat berkembangnya Kerajaan Sunda itu juga merupakan
wilayah peradaban tua. Kerajaan yang bercorak kebudayaan India pertama kali
muncul di Jawa bagian barat, yaitu Tarumanegara. Wilayah barat Majapahit itu
dulunya juga ada di bawah kekuasaan Sanjaya. Raja pertama Mataram Kuno ini,
berdasarkan prasastinya, merupakan yang pertama menyebarkan agama Hindu
Trimurti. Agama ini terus dikenal hingga masa Majapahit. “Sanjaya dapat
dipandang sebagai penyeru agama Hindu-Saiva di Jawa, karena itu bekas daerah
kekuasaannya tetap harus dihormati,” lanjut Agus.
Gajah
Mada juga segan ketika mengingat wilayah Sunda sebagai wilayah yang aman dan
stabil. Bahkan, ketika wilayah Timur terus menerus dilanda kerusuhan dan
peperangan sejak masa Airlangga, Janggala-Panjalu, Kadiri, Singhasari, hingga
masa Tribhuwanattunggadewi. Penduduk wilayah Kerajaan Sunda tampak tidak
ditakutkan dengan berbagai peperangan. Karenanya Gajah Mada khawatir jika
pihaknya begitu saja menyerang Sunda dalam perang terbuka, mereka bakal kalah. Lagipula
secara politik hubungan antara Sunda dan Majapahit baik-baik saja. Hanya saja
para penguasa Sunda tidak pernah mau tunduk di bawah Majapahit. Peluang
itu akhirnya datang, ketika putri raja Sunda, Dyah Pitaloka akan menikah dengan
Hayam Wuruk, raja Majapahit. Sumber Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Carita Parahyangan mencatat
keberangkatan raja Sunda beserta rombongannya ke Majapahit untuk mengantar sang
putri.
Inilah
kesempatan Gajah Mada untuk menuntaskan sumpahnya. Dia membuat strategi politik
dengan menafsirkan kedatangan orang nomor satu Kerajaan Sunda itu sebagai
pernyataan tunduk. Dia meminta sang putri sebagai persembahan dari Sunda ke
Majapahit.
“Dalam hal rencana
pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda sepenuhnya masalah asmara dan
hubungan antara lelaki dan perempuan. Jadi, sebenarnya jauh dari muatan
politik,” kata Agus.
Rombongan Kerajaan
Sunda tentu saja menolak tunduk. Pernikahan pun gagal dan terjadilah
Peristiwa Bubat. Kendati demikian, Kerajaan Sunda tetap tak berhasil
ditaklukkan. Bahkan, kerajaan itu baru binasa 60 tahun setelah Majapahit runtuh
pada 1519.
Kerajaan
Sunda : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara
Lengkap
Tahukah
anda tentang Kerajaan Sunda ? Jika anda belum mengetahuinya anda tepat sekali
mengunjungi gurupendidikan.com. Karena pada kesempatan kali ini
akan membahas tentang sejarah Kerajaan Sunda, raja-raja Kerajaan Sunda,
peninggalan Kerajaan Sunda, dan kehidupan politik Kerajaan Sunda secara
lengkap. Oleh karena itu marilah simak ulasan yang ada dibawah berikut ini.
Sejarah
Kerajaan Sunda
Rujukan
awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II
tahun 458 Saka (536 Masehi).[1] Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun,
bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya
sebagai berikut: Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada
tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja
Sunda.
Beberapa
orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka
(932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD,
di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ). Rujukan lainnya kerajaan Sunda
adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4
buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak,
Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang
keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73
(Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian
dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12
pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini
adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakala buwana mandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang
diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini
dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya
disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Raja-Raja
Kerajaan Sunda
Di
bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah
Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi) :
1.
Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Peninggalan
Kerajaan Sunda
1.
Prasasti Cikapundung
Prasasti ini ditemukan warga di
sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010. Batu prasasti
bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14.
Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan,
telapak kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih
meneliti batu prasasti tersebut.
Batu prasasti yang ditemukan
tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada prasasti
itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf
Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia
di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi
Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti
Cikapundung.
2.
Prasasti Pasir Datar
Prasasti Pasir Datar ditemukan di
Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi pada tahun 1872 . Prasasti
ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang terbuat dari batu
alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.
3.
Prasasti Huludayeuh
Prasasti Huludayeuh berada di tengah
persawahan di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah
pemekaran wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang– Cirebon. Penemuan Prasasti Huludayeuh telah
lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan
arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan
dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian
Kompas pada 12 September 1991.
Isi
Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno,
tetapi sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena
beberapa batunya pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan
batu juga telah sangat rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga
sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara
garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu
Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya.
4.
Prasasti Perjanjian
Sunda-Portugis
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis
adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada tahun 1918 di
Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal
yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme
dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang
Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti
ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun
benteng dan gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali
ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut
Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur
I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang
disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya
dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta.
5.
Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu
dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda dari abad
ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada
tahun 1936. Meskipun ditemukan di daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada
sejarawan yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah
aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan
Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa
wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah Lampung. Setelah Kerajaan Sunda
diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera
dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti berupa mantra permintaan
tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan
Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar
menjaga keselamatan dari semua musuh.
6.
Prasasti Kebon Kopi II
Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti
Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini ditemukan tidak jauh dari
Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan tarumanegara dan
dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama. Namun sayang sekali
prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K. Bosch,
yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa
Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan
menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi
II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan
untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu
prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).
7.
Situs Karangkamulyan
Situs Karangkamulyan adalah sebuah
situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat. Situs ini
merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang bercorak Hindu-Buddha.
Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan
dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan
yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh
orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara. Kawasan yang luasnya kurang lebih
25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang
Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya
tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda.
Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari
tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah
pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Batu-batu yang ada di dalam struktur
bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu pula di
beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama
tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau
mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang
peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.
Kehidupan
Sosial Kerajaan Sunda
Didalam
naskah Sanghyang Siksakandang Karesian didapat penjelasan bahwa masyarakat
kerajaan Sunda umumnya adalah masyarakat Peladang. Masyarakat ini memiliki ciri
menonjol seperti selalu berpindah tempat dan rasa kebersamaannya agak longgar
apabila dibandingkan dengan masyarakat sawah yang menetap. Pola berpindah
tempat dalam masyarakat peladang berlangsung karena tanah garapan dipandang tidak
subur lagi untuk digarap. Oleh sebab itu perlu membuka kembali hutan baru untuk
berladang. Caranya dengan menebangi pohon, membiarkannya mengering dan terakhir
menanami area itu dengan berbagai macam tanaman. Perpindahan tempat berladang
seperti tersebut tidak menumbuhkan tradisi untuk membangun aneka bangunan
permanen. Baik sebagai tempat tinggal / tempat pemujaan. Itulah sebabnya
didaerah Jabar tidak ditemukan Candi yang banyak seperti di Jateng atau di
Jatim.
Kehidupan
Ekonomi Kerajaan Sunda
Kerajaan
Sunda adalah kerajaan yang masyarakatnya hidup dari pertanian, hasil
pertaniannya menjadi pokok bagi pendapat kerajaan. Aneka hasil pertanian
seperti lada, asam, beras, sayur mayur dan buah-buahan banyak dihasilkan
masyarakat kerajaan Sunda, selain itu, ada juga golongan peternak Sapi,
kambing, biri-biri dan babi adalah hewan yang banyak diperjualbelikan di
bandar-bandar pelabuhan kerajaan Sunda. Menurut Tom Pires, kerajaan Sunda
memiliki enam buah pelabuhan penting yang masing-masing di kepalai oleh seorang
Syahbandar. mereka bertanggungjawab kepada raja dan bertindak atas nama raja di
masing-masing pelabuhan, Banten, Pontang, Cigede, Tomgara, Kalapa dan Cimanuk
adalah pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda.
Kehidupan
Budaya Kerajaan Sunda
Kitab
carita Parahyangan dan serta Dewabuda memberi petunjuk bahwa masyarakat
kerajaan Sunda banyak mendapat pengaruh budaya Hindu dan Budha. Kedua budaya
itu selanjutnya berbaur dengan unsur budaya leluhur yang telah ada sebelumnya.
Keruntuhan
Kerajaan Sunda
Sapeninggal
Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa
(1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti
(1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu
Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan
Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan
Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya
Kancanadan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar