KISAH
KERATON SURAKARTA
Orientasi
Keraton Surakarta Hadiningrat adalah istana resmi Kasunanan
Surakarta yang
terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744
sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743.
Walaupun Kasunanan
Surakarta tersebut
secara resmi telah menjadi bagian Republik
Indonesia sejak
tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini
masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya
yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga
merupakan salah satu objek wisata utama di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton
merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi
milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa,
replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini
merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.
Sejarah
Kesultanan
Mataram yang kacau
akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677
ibukotanya oleh Susuhunan
Amangkurat II
dipindahkan di Kartasura. Pada masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan,
Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari
orang-orang Jawa anti VOC
tahun 1742, dan Mataram yang berpusat di Kartasura saat itu mengalami keruntuhannya.
Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat yang
merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk
membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibukota Mataram yang baru.
Bangunan
Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung
Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda,
J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah
keraton baru berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa
Sala, tidak jauh dari Bengawan Solo. Untuk pembangunan keraton ini, Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan
kepada akuwu (lurah) Desa Sala
yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gede Sala
meninggal dan dimakamkan di area keraton.
Setelah
istana kerajaan selesai dibangun, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula
menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kesultanan
Mataram oleh Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC
pada tahun 1749. Setelah Perjanjian
Giyanti tahun 1755,
keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan
Surakarta.
Arsitektur
Keraton
(Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya.
Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran
Mangkubumi (kelak
bergelar Sultan
Hamengkubuwana I)
yang juga menjadi arsitek utama Keraton
Yogyakarta. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton
tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum.
Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah
dibangun serentak pada 1744-1745,
namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang
tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran
terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwana X yang bertahta 1893-1939.
Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur
gaya campuran Jawa-Eropa.
Secara
umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti
Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan
Lor/Utara, Kompleks Sri
Manganti, Kompleks Kedaton,
Kompleks Kamagangan, Kompleks Sri Manganti Kidul/Selatan (?) dan Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-alun Kidul/Selatan. Kompleks
keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti,
sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan
tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah
dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus
meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di
dalam dinding adalah dari Kamandungan
Lor/Utara sampai Kamandungan
Kidul/Selatan.
Kompleks Alun-alun Lor/Utara
Kompleks
ini meliputi Gladag, Pangurakan, Alun-alun Lor, dan Masjid
Agung Surakarta. Gladag yang sekarang dikenal dengan
Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi Solo. Pada zaman dahulu, space area di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai
sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud
arsitektur pada kawasan Gladag
ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk
mencapai tujuan ke arah Manunggaling
Kawula Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja). Alun-alun merupakan tempat
diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu
alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir
alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat
dua batang pohon beringin (Ficus
benjamina; Famili Moraceae)
yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi
nama Dewadaru dan Jayadaru.
Di
sebelah barat alun-alun utara berdiri Masjid
Agung Surakarta.
Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana III pada tahun 1750
(Kasunanan
Surakarta merupakan
kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari
atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal
kecil yang disebut Bale Pewatangan
dan Bale Pekapalan. Tempat ini
pada jaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat
setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang
dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat
menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini. Bangunan-bangunan
lain di sekeliling alun-alun sekarang dipergunakan sebagai kios penjual
cinderamata. Di sebelah barat daya Alun-alun
Lor (ke arah Pasar
Klewer) dan sebelah
timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat dua gapura besar yang berfungsi
sebagai pintu keluar dari Alun-alun
Lor yang bernama Gapura
Batangan dan Gapura Klewer.
Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks
Siti Hinggil Lor/Utara
Sasana Sumewa
merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada
zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat
menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat
sejumlah meriam diantaranya diberi nama Kyai
Pancawura atau Kyai Sapu Jagad.
Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Siti Hinggil.
Sasana Sumewa
sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini
memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta
(atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga
oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan
ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan
diplester. Sesuai dengan namanya (pagelaran
= area terbuka; sasana = tempat
= rumah; sumewa = menghadap),
fungsi Sasana Sumewa pada zaman
dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau
Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut
biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun),
ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik tahta, dan sebagainya.
Siti Hinggil
merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari
sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang
disebut dengan Kori Wijil dan
satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Siti
Hinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat
pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Sela Pamecat.
Bangunan
utama di kompleks Siti Hinggil
adalah Sasana Sewayana yang
digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal
ini berfungsi sebagai tempat singgasana tahta Sri Sunan saat menerima para
pimpinan. Kemudian di sebelah selatan terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan
selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu
bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam
yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC
saat menyerbu Batavia. Di sebelah timur Sasana Sewayana dan Witana, terdapat dua bangunan
bangsal, yaitu Bangsal Gandekan Tengen
di bagian utara, dan Bangsal
Angun-angun di bagian selatan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Siti Hinggil merupakan jalan umum
yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah = capit udang).
Kompleks Kamandungan Lor/Utara
Kori Brajanala
(Kori Brojonolo) atau Kori Gapit
merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor. Gerbang ini
sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh
dinding istana yang disebut baluwarti)
yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini
dibangun oleh Susuhunan
Pakubuwana III
dengan gaya Semar Tinandu. Semar Tinandu merupakan gerbang yang
memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh
dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.
Di
sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisamarta tempat jaga pengawal istana. Selain itu di
timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya
terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di
bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah
yang disebut dengan Panggung Sangga
Buwana (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya,
Kompleks Sri Manganti.
Di
atas Kori Kamandungan Lor/Utara
(atau disebut juga Balerata)
terdapat gambar bendera merah putih (gula-kelapa) dan bermacam senjata perang,
di mana di tengah terdapat gambar daun kapas, dan diatasnya terdapat gambar
mahkota, gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja, yang merupakan simbol dari keraton Jawa tempo
dulu. Di sebelah kiri dan kanan Balerata
terdapat los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan
yang akan dipakai oleh Sri Sunan. Sekarang tempat ini berfungsi sebagai Museum
Kereta Keraton.
Kompleks Sri Manganti
Untuk
memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang
disebut dengan Kori Kamandungan.
Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini
terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar
dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang
ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Gendera Gula Klapa. Di halaman Sri
Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Pada
zamannya Bangsal Smarakatha
digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula
menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat
ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Kata asmarakatha sendiri memiliki arti sebagai dawuh kang nengsemake atau perkataan
yang menyenangkan.
Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir
prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk
menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk
menyimpan Krobongan Madirengga,
sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di
sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat,
yang digunakan sebagai Kantor Wedana.
Di
sisi barat daya Bangsal Marcukundha
terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang
memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua
halaman sekaligus, halaman Sri
Manganti dan halaman Kedaton. Namun pintu utamanya terletak di halaman Kedaton.
Kompleks Kedaton
Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedaton dari utara. Pintu gerbang
yang dibangun oleh Susuhunan
Pakubuwana IV pada
tahun 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki
kaitan erat dengan Pangung Sangga
Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk
menunggu tamu - tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki
cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman Kedaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan
ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini
juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan
utama diantaranya adalah Sasana Sewaka,
Bangsal Maligi, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Sasana Sewaka
aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa Keraton Kartasura. Pada masa Susuhunan Pakubuwana XII tepatnya pada tahun 1985
tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertahta
dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja.
Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana
Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat nDalem
Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting
dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan
pusaka-pusaka dan juga tahta Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi
ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan
dihadapan khalayak di Siti Hinggil Lor.
Bangunan
berikutnya adalah Sasana Handrawina.
Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini
bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke
kota Solo. Di depan Sasana Handrawina
terdapat tiga bangunan kecil yaitu Bangsal
Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga (tempat memukul gamelan), dan Bangsal Musik (untuk musik atau
orkes). Bangunan utama lainnya adalah Panggung
Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Sri Sunan
sekaligus untuk mengawasi Benteng
Vastenburg milik Belanda yang berada tidak jauh dari istana.
Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi
bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Panggung
Sangga Buwana didirikan tahun 1777
saat pemerintahan Susuhunan
Pakubuwana III .
Pembangun Panggung Sangga Buwana
adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang
kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat gambar seseorang
menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai sengkala Naga Muluk Tinitihan Janma. Arti sengkala tersebut adalah tahun 1708
Jawa, tahun pembuatan menara.
Sebelah
barat kompleks Kedaton
merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk
dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya.
Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang
masih digunakan hingga sekarang. Di belakang tempat tinggal keluarga Sri Sunan,
terdapat Taman Sari Bandengan.
Di tengah-tengah kolam buatan manusia ini berdiri bangunan yang digunakan
sebagai ruang meditasi oleh para pangeran. Di sebelah belakang pinggiran kolam
terdapat tempat yang berisi batu meteor keramat dan tangga dari batu yang
menuju ruang meditasi. Di antara taman air dan bangunan tempat keluarga Sri
Sunan, terdapat bukit yang dipenuhi rerumputan yang diatasnya berdiri bangunan
paviliun kecil dengan terasnya. Tempat ini disebut Gunungan dan dipakai sebagai tempat istirahat Sri Sunan.
Kompleks Magangan, Sri Manganti,
Kamandungan, serta Siti Hinggil Kidul/Selatan
Kompleks
Magangan dahulunya digunakan
oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di
tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal
Magangan. Di sekeliling halaman ini ada bangunan-bangunan untuk
menempatkan perlengkapan prajurit, seperti keris, pedang, bedil, pistol, dan
pakaian seragam prajurit untuk hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan hanyalah
berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun
permaisuri. Di sekitar Kori
Kamandungan Kidul adalah pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk
umum.
Kompleks
terakhir, Siti Hinggil Kidul/Selatan,
memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara
pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan Kyai Slamet. Kori
Brajanala Kidul/Selatan memberikan akses ke Siti Hinggil Kidul. Siti
Hinggil Kidul sendiri adalah suatu komplek bangunan pendapa terbuka,
yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dahulu di
sekitarnya terdapat empat meriam, dua diantaranya kemudian diambil pemerintah
untuk diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan kompleks Siti Hinggil Lor yang megah, komplek Siti Hinggil Kidul dan bangunan
maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan
dibuat dari material yang lebih sederhana pula.
Disebelah
selatan Siti Hinggil Kidul
dapat dijumpai Alun-alun Kidul/Selatan,
alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-alun Lor/Utara. Alun-alun
Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya
terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di area tersebut. Pada bagian
ini, terdapat sebuah bangunan yang di dalamnya disemayamkan sebuah gerbong
kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Susuhunan Pakubuwana X menuju ke pemakaman Astana Imogiri.
Tembok
yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan
yang bernama Gapura Gading.
Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladag. Pada tahun 1932,
Susuhunan Pakubuwana X, menambahkan pintu gerbang di
sebelah selatan Gapura Gading,
dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-alun Kidul dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di Alun-alun Kidul ini dikenal dengan
sebutan Tri Gapurendra.
Warisan Budaya
Selain
memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan
budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian
sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Sura. Upacara yang berasal dari zaman
kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.
Grebeg
Upacara Garebeg atau Grebeg
diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada
tanggal dua belas bulan Mulud
(bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal
(bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut Sri Sunan
mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah
atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan
perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung
sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran
kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur
itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan
kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti
keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari
makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk
lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di
sebelah atasnya.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan
yang dilaksanakan selama tujuh hari untuk memperingati kelahahiran Nabi Muhammad. Konon asal usul upacara ini sejak Kesultanan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan
sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua
perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk
ditempatkan di depan Masjid
Agung Surakarta.
Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (Bahasa
Jawa: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh
upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan
Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan
suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
Kirab Mubeng Beteng atau Malam Satu
Sura
Malam
1 Sura (1 Muharram) dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru
menurut kalender
Jawa. Malam 1 Sura
jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya
matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Di Keraton Surakarta
upacara ini diperingati dengan Kirab
Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini
dimulai dari kompleks Kamandungan Lor
melalui Kori Brajanala Lor
kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah
putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kamandungan Lor. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian
utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar
keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di
barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino
keturunan kerbau pusaka kesayangan Susuhunan Pakubuwana II, Kyai Slamet, yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Pusaka (heirloom) dan Tari-Tarian
Sakral
Keraton
Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa
singgasana Sri Sunan, perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara
koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari
dan Kyai Gunturmadu yang hanya
dimainkan/dibunyikan pada saat upacara sekaten.
Selain memiliki pusaka Keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang
hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral
adalah Bedhaya Ketawang yang
hanya dipentaskan pada saat pemahkotaan dan hari peringatan kenaikan tahta Sri
Sunan.
Pemangku Adat Jawa Surakarta
Semula
Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan
disamping menjadi pusat pemerintahan Kasunanan
Surakarta. Setelah
tahun 1946 peran Keraton Surakarta tidak lebih
hanya sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi
berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik
melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, simbol dan
pemimpin informal kebudayaan.
Fungsi
keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun
dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta tetap
memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas
wilayah Kasunanan
Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten Sragen, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten
Sukoharjo). Selain
itu Keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang
mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya budaya Jawa gaya
Surakarta maupun perhatian dan sumbangsih mereka terhadap eksistensi Keraton
Surakarta, disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena
posisi mereka sebagai pegawai (abdi
dalem) keraton.
Filosofi dan Mitologi seputar
Keraton
Setiap
nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak
bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi
masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak
banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Cermin
besar di kanan dan kiri Kori
Kamadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata
mandung yang memiliki arti
berhenti. Nama bangsal Marcukundha
berasal dari kata Marcu yang
berarti api dan kundha yang
berarti wadah/tempat, sehingga kata Marcukundha
berarti melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol lingga dan Kori Sri
Manganti di sebelah baratnya adalah simbol yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol
kesuburan. Dalam upacara garebeg
dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut
melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.
Selain
itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos
serta legenda yang berkembang di tengah
masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta
legenda inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah
kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai
bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik
maupun yang lainnya.
Selain
itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana
selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa Kasunanan
Surakarta hanya
akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri
Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (kari sak megare payung). Legenda inipun seakan mendapat
pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari pembangunan dan
penempatan istana secara resmi pada 1745,
maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun 1945
negara Indonesia merdeka dan kekuasaan Kasunanan
benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946,
Kasunanan
Surakarta sebagai Daerah
Istimewa Surakarta
dibekukan oleh pemerintah Indonesia karena terjadi kekacauan politik
saat itu dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan benar-benar habis dan hanya
tinggal atas tanah adat serta kerabat dekatnya saja.
Referensi
1. Aart van
Beek (1990). Images of Asia: "Life in the Javanese Kraton".
Singapore: Oxford University Press. ISBN
979-497-123-5.
2. Periplus
Edition Singapore (1997). Periplus Adventure Guide "Java Indonesia".
Periplus Singapore.
3. Acara
budaya dengan judul Pocung
dalam episode Wewangunan Karaton
Surakarta Hadiningrat disiarkan oleh JogjaTV (1).
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar