KISAH
KESULTAAN KACIREBONAN
Orientasi
Kesultanan Kacirebonan adalah berdiri pada tahun 1808 sebagai hasil
perundingan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan telah
bertahtanya Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik
dari Pangeran Raja Kanoman (putera tertua Sultan Anom IV Pangeran Raja Adipati
Muhammad Chaerudin), hasil dari perundingan besar menghasilkan bahwa kesultanan Kanoman dibagi menjadi dua, yaitu kesultanan Kanoman dengan sultannya Sultan Anom
V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin dan kesultanan
Kacirebonan dengan sultannya adalah Pangeran Raja Kanoman yang diberi
gelar Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon Kacirebonan Amirul Mukminin. Pada masa
awal menjabat Sultan Kacirebonan I tidak memiliki keraton dia hidup sederhana dengan permaisurinya yaitu Ratu Raja
Resminingpuri di Taman Sari Gua Sunyaragi dan selalu
menolak uang pensiunan yang diberikan oleh Belanda. Baru setelah dia meninggal
pada tahun 1814, dikarenakan putranya yang masih kecil yaitu Pangeran Raja
Madenda, Ratu Raja Resminingpuri memutuskan untuk membangun keraton Kacirebonan dan menjadi wali sementara
bagi puteranya.
Sejarah kesultanan
Kacirebonan
Masuknya pengaruh Belanda
Pada
tahun 1677, para pengeran (bahasa
Cirebon : Elang)
dari kesultanan Cirebon yang ditawan oleh Mataram
berhasil diselamatkan oleh kesultanan
Banten dengan bantuan Trunojoyo, setelah sebelumnya pangeran
Nasiruddin yang pada masa itu menjabat sebagai wali sultan Cirebon meminta
bantuan kepada sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan
Banten untuk menyelamatkan saudaranya yang ditawan Mataram. Pada
kurun waktu itu Banten yang sedang mengalami peperangan dengan Belanda pun
dibebani tugas untuk menghindari kisruh meluas didalam keluarga besar kesultanan Cirebon yang memang sudah terpecah
sebelumnya dalam menentukan penerus tahta kesultanan Cirebon, akhirnya sultan Ageng
Tirtayasa dari kesultanan Banten memutuskan untuk melantik
Syamsuddin (Martawijaya) sebagai sultan Sepuh, Badruddin (Kartawijaya) sebagai
sultan Anom dan Nasiruddin (Wangsakerta) sebagai Panembahan Cirebon yang menguasai kepustakaan dan pendidikan di
Cirebon utamanya para bangsawan. Penegasan ketiganya sebagai penguasa Cirebon
kemudian dilakukan di keraton Pakungwati (kini bagian dari kompleks keraton
Kasepuhan) pada tahun 1679, namun ternyata masalah internal keluarga
besar ini tidak selesai begitu saja yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh
Belanda yang sedang berperang dengan kesultanan
Banten untuk mengirimkan pasukannya guna menyerang Cirebon.
Pada
tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan
Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua kesultanan yaitu kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran
Wangsakerta serta memaksa mereka untuk menyetujuinya. Perjanjian persahabatan
tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiganya sebagai para penguasa Cirebon
sementara pada perjanjian tanggal 7 Januari 1681 tersebut Belanda diwakili oleh
komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs, perjanjian persahabatan
yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon
diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula, lada serta Jati sekaligus
menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah
dibawah naungan Belanda). Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di
Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu
Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.
Semenjak
kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua
kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung
selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa
Cirebon : pribawa)
dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan
pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda
mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian
masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal
kesultanan-kesultanan di Cirebon. Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun
setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon), Belanda
mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru
yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian
tersebut diantaranya ;
“bahwa dalam
hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya
diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung
Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di
kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing.”
Namun
perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara
keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan
Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian
perjanjian tersebut. Belanda kemudian kembali mengirimkan utusan untuk
menyeleseikan masalah internal di Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun
perjajian yang ditandatangani pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa
kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda
(VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.
Belanda dalam masalah pribawa
Pada
tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia
dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin
Djamaludin dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan derajat paling tinggi (di antara
seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum Sultan
Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan Muhammad
Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat
kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu
Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil
Mukaram Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian
membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan (pada era ini,
kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk
oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808).
Sultan
Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari
permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera
pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja
Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga
yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan
Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, setelah
ayahandanya wafat, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan
diam-diam) melawan Belanda.
Pada
tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya
yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda.
Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh
keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati
oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan
Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan
Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati
putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati
Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan
Pangeran Adipati Kaprabon yang menjadi rama
guru bagi peguron Kaprabonan.
Kemudian
Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton
Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan
putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan
Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan
kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad
Qadirudin. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan
diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda membentuk sebuah Karesidenan
(wilayah yang berada di bawah kekuasaan gubernur jendral pada waktu itu atau
setingkat provinsi dimasa sekarang dengan pimpinannya yang menjabat sebagai
residen).
Pada
tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon,
guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya
maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada
masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan
bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah
protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas
antara provinsi Jawa
Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di
sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap
Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten
Cilacap).
Pada
tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan
dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta
wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan
penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara
keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu
sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan
Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi
Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya
Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri
yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I
Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah
menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati
Kaprabon yang menguasai peguron
Kaprabonan
begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad
Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan
kepustakaan Cirebon.
Bermula
dari masalah pribawa inilah Belanda
turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga
yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan
pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus,
peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.
Belanda menguasai politik Cirebon
Akhirnya
pada tahun 1700-an, setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan
alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal
kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu
meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon
tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa
yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm
sebagai pejabat penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman
Sulendraningrat sejak diangkatnya Jacob Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon
dapat dikatakan habis (secara politik).
Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara
Cirebon
Pada
tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar
digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut
sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada
masyarakat setempat. Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan
Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi
ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706,
secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan
Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan
bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya
surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang
waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang
dalam naskah peristiwa itu disebut :
"... Kalpariksa
jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"
Perang terbuka Pangeran Raja Kanoman
(Sultan Kacirebonan pertama) melawan penjajah
Pada
sekitar tahun 1770-an,
Sultan Muhammad Chaerudin menjadi pemimpin di kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom IV,
dikatakan semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan
kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan
yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif
kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Putera Mahkota
Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV) pada waktu itu melakukan perlawanan
terbuka terhadap belanda, masyarakat yang berjuang bersama diantaranya adalah
Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan
bantuan tokoh agama, namun perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan
melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793[13]
dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil ditangkap dalam perjuangannya
melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun 1796.
Perang besar Cirebon 1788 - 1818
Ketika
Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari Sultan Anom IV Muhammad
Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang
dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik
Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang
terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir
sekitar tahun 1761. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari
Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar di
daerah tersebut atau dalam bahasa
Cirebon disebut Ki Gede.
Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan
kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi
pejuang melawan penjajah).
Sifat
Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani dan sanggup
menyatakan perang dengan didukung oleh pengikutnya yang banyak. Secara garis besar kondisi perekonomian di
pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan
kepada orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja,
penyerahan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah
oleh residen. Mengenai kondisi sosial dijelaskan bahwa bencana kelaparan dan
wabah penyakit sempat melanda Cirebon pada akhir abad 18, mengakibatkan banyak
penduduk Cirebon meninggal dunia. ditengah masa pemberontakan ini, Belanda
mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur
Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1808 yang memimpin dengan cara kediktaktoran.
Persoalan
hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin yang
seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang
telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya
pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan
Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang
dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus
Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar, daerah Jatitujuh
merupakan pusat pergerakan perjuangan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan
strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin
menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk
digunakan sendiri oleh residen itu.
Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan
dibentuknya Kacirebonan
Pemberontakan
yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas hingga keluar wilayah karesidenan
Cirebon, namun di tengah perjuangan besar Cirebon yang telah dimulai pada
sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman / Putera Mahkota
Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya
termasuk diantaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar
tahun 1802,
dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus
belangsung, maka pada tahun 1806 Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke
Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi. dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie V
Frederik Willem Stapel mengatakan,
“Sampai dengan tahun
1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata telah mencapai sekitar 4000 orang.
Pasukan yang langsung dipimpin oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang
yang telah terlatih perang.”
(wilayah
pembantu Gubernur Jendral) kemudian ditetapkan,
Pertama,
Batavia en Jacatrasche Preanger
Regentschappen (Karesidenan Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi
Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)
Kedua,
Kesultanan Cheribon en
Cheribonsche-Preanger Regentschappen (Karesidenan kesultanan Cirebon dan
Priangan-Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian
dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian
dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang
kabupaten Ciamis dan kota Banjar)
Di
daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels
memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih
besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. Sejak tahun
1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi
memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai pemerintah Hindia
Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para
bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya
diawasi oleh residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.
Pemisahan
kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1809 bertepatan dengan
masa pemerintahan Sultan Sepuh VII Sultan Djoharudin di kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V
Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I
Sultan Carbon Amirul Mukminin di kesultanan Kacirebonan yang baru saja dibentuk
dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.
Pada
tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap
Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels,
Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini
kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto
Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal
tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto.
Menindaklanjuti
rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania
atau yang dalam (bahasa inggris : Britain) (Penggabungan
kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India,
Burma dan Semenanjung Melayu melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda,
pasukan-pasukan Britania kemudian mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa
pada tanggal 3 Agustus 1811, pada bulan yang sama, tepatnya tanggal 26 Agustus
1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai dan
menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut membuat Belanda
menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens yang
menggantikan Herman Willem Daendels pada bulan Mei 1811
menyerah kepada Britania di Salatiga
dan menandatangani kapitulasi Tuntang. Kemenangan ini kemudian
menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai
Letnan Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.
Namun
adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan
nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu menguntungkan gerakan perjuangan
ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah Bagus Rangin dan para
pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania pada tanggal 27 Juni 1812 di desa Panongan dan dihukum mati di desa
Karangsembung (dahulu merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan
sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.
Akhir perang besar Cirebon
Namun
demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah
pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles
memerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik
dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama
saja, gerakan perjuangan tersebut ialah gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah
pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan
Nairem. Kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.
Pada
tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada Belanda dari Britania setelah
berakhirnya perang Napoleon dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles
meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris.
Ratu Raja Resminingpuri membangun keraton Kacirebona
Setelah
wafatnya Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon Amirul Mukminin pada tahun 1814,
Ratu Raja Resminingpuri yang merupakan permaisuri dari mendiang almarhum Sultan
Kacirebonan I tinggal di area Taman Sari Gua Sunyaragi, namun dengan
memiliki anak yang masih kecil dan baru berumur lima tahun yaitu Pangeran Raja
Madenda Hidayat yang kelak menjadi Sultan Kacirebonan II dia memutuskan untuk
membangun sebuah keraton Kacirebonan di Pulosaren dengan uang
pensiunan yang selama ini ditolaknya. Pada masa awal pembangunan keraton Kacirebonan Ratu Raja Resminingpuri
membuat bangunan induk keraton, Paseban
dan Tajug (mushola).
Bangunan induk keraton sebagai tempat sebagai tempat
tinggal sehari-hari sultan beserta keluarganya. Bangunan ini terdiri dari
beberapa ruangan antara lain ruang tidur, ruang kerja sultan, pecira, kamar jimat, prabayasa, dapur dan teras (berfungsi
sebagai ruang tunggu bila prajurit rendahan ingin menghadap Sultan).
Paseban, terdapat dua
buah bangunan Paseban di kompleks keraton Kacirebonan, yaitu di
barat dan timur, berdenah persegi panjang.
1. Paseban barat
menghadap timur ditompang oleh 8 buah tiang dan 4 saka guru (tiang utama) dan merupakan bangunan semi terbuka,
dinding sisi barat dan timur dipagari dengan tembok rendah, atapnya berbentuk
joglo dengan penutup genteng.
2. Tajug (mushola), terletak di sebelah barat bangunan induk, antara tajug dan paseban dipisahkan oleh tembok namun ada pintu penghubung di
sisi barat tembok. Pelataran keraton ke arah selatan pada pagar tembok terdapat
gapura kori agung beratap
joglo, yaitu pintu agung utama.
Ratu Raja Resminingpuri pun menjadi wali atas puteranya yang masih kecil
tersebut. Setelah Pangeran Raja
Madenda Hidayat dewasa, Ratu Raja Resminingpuri memberikan tahtanya
kepada puteranya tersebut dengan gelar sultan namun hal itu ditolak oleh
Belanda. (menurut Besluit hanya Sultan Kacirebonan I saja yang berhak
menyandang gelar sultan)
Sultan Kacirebonan III Pangeran Raja
Denda Wijaya membangun Gedong Ijo
Pada
tahun 1875 Pangeran Raja Denda Wijaya yang bergelar Raja Madenda membangun Gedong Ijo dalam komplek keraton Kacirebonan, Gedong Ijo merupakan bangunan yang menghadap ke timur dan
berdenah persegi panjang. Ruang dalam dibagi tiga, yaitu ruang utara dan ruang
selatan yang ditempati oleh keluarga sultan sedangkan ruang tengah kosong.
Sultan Kacirebonan IV Pangeran Raja
Madenda Partadiningrat membangun Pringgowati
Pada
masa kepemimpinannya, Sultan Kacirebonan IV Pangeran Madenda Partadiningrat
membangun Pringgowati yaitu
ruang tengah yang terdapat benda-benda kebesaran keraton, berfungsi sebagi
tempat istirahat sultan. Di sebelahnya terdapat ruang pinangeran, yang digunakan
sebagai tempat tinggal kerabat sultan dan tempat penyimpanan alat-alat perayaan
Muludan.
Kerjasama Sultan Kacirebonan V
Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat dengan para pejuang melawan penjajah
Pada
masa Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat terdapat masa
penjajahan Jepang dan revolusi fisik. Pada masa tersebut keraton mulai memulai
mengadakan gerakan di bawah tangan dengan membantu para pejuang, veteran dan
tentara pelajar. Kesultanan Kacirebonan membantu logistik bagi para pejuang
bahkan keraton Kacirebonan digunakan sebagai tempat
pertemuan-pertemuan, setelah Belanda dan Jepang pergi meninggalkan Indonesia,
pihak kesultanan Kacirebonan menganggap bahwa peraturan-peraturan yang
mengekang keraton yang diciptakan oleh para penjajah sudah tidak berlaku lagi
dan kemudian kesultanan Kacirebonan mulai menggunakan gelar Sultan kembali
untuk para penerus tahtanya.
Antonius Adrianus Lutter dan Raden
Ajeng Reza Susana Wegi
Antonius
Adrianus Lutter merupakan seorang peneliti dari Belanda yang sedang meneliti
tentang Cirebon, pada tahun 2007 dia untuk pertama kalinya datang ke keraton Kacirebonan guna tujuan penelitian.
Raden Ajeng Reza Susana Wegi atau yang biasa dipanggil Raden Ajeng Susana yang
merupakan putri dari Ratu Raja Putri Nur Huyedat Yeni (kakak tertua Sultan
Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdul Gani Natadiningrat) mengatakan mengatakan,
“Antonius menjelaskan
pada saya bila di museum Leiden, Belanda, banyak benda budaya bersejarah asal
keraton-keraton di Indonesia, karena itu untuk memastikan penelitiannya lebih
jauh, ia datang langsung ke Cirebon sebagai salahsatu daerah yang mempunyai
sejarah keraton.”
Sejak
pertamakali bertemu dengan Antonius, Raden Ajeng Susana telah merasa tertarik,
ternyata begitu pun dengan Antonius, namun karena harus melanjutkan
penelitiannya, Antonius harus segera melanjutkan perjalanan ke negara lainnya.
Hubungan
jarak jauh tersebut kemudian dibina hanya dengan pesan singkat dari telepon
genggam atau menggunakan email.
Akhirnya, beberapa tahun kemudian, tepatnya pada bulan Oktober 2009, Antonius
kembali ke Indonesia untuk melanjutkan penelitiannya. Kesempatan itu digunakan
oleh Antonius untuk melamar pujaan hatinya Raden Ajeng Susana, tidak lama
setelah lamaran, merekapun menyepakati untuk langsung menikah.
Pernikahan
keduanya digelar pada hari Senin, 19 Oktober 2009 di keraton Kacirebonan, setelah pernikahan,
keduanya menyepakati untuk menggelar resepsi pada bulan Mei 2010. ditentukannya
resepsi pada bulan mei 2010
adalah ditujukan tidak hanya untuk acara syukuran semata, namun juga sebagai
persiapan bagi Raden Ajeng Susana (sekarang : Raden Ayu Susana) untuk
menyiapkan dokumen penunjang karena akan menemai suaminya untuk tinggal di Belanda.
Pernikahan ke-duanya merupakan pernikahan pertama dalam sejarah kesultanan
Kacirebonan dimana bangsawan Kacirebonan menikah dengan orang asing.
Pelakrama
Ageng
(pernikahan agung)
Pelakrama Ageng (bahasa
Indonesia : Pernikahan agung) yang dilaksanakan di Kesultanan
Kacirebonan adalah bagian dari pernikahan agung masyarakat adat yang ada di
bekas wilayah Kesultanan Cirebon. Pada dasarnya inti dari
kegiatan pernikahan agung yang dilakukan di kesultanan Kacirebonan tidaklah
jauh berbeda dengan yang ada di kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman serta Kaprabonan
namun dengan sedikit menambahkan detil khas gaya Kacirebonan didalamnya,
berikut kegiatan yang dilakukan dalam rangkaian pernikahan agung gaya
Kacirebonan.
Pinangan (melamar)
Kegiatan
pinangan pada umumnya dilakukan
sekurang-kurangnya seminggu sebelum pernikahan, utusan calon mempelai pria
membawa perlengkapan pakaian beserta perhiasan emas, peralatan dapur lengkap,
sirih dan uang tunai untuk diserahkan kepada orang tua calon mempelai perempuan
dengan disaksikan para sesepuh
(bahasa Indonesia : Para tetua). Apabila pinangan diterima maka utusan calon
mempelai pria akan menanyakan tanggal pasti pernikahan dan pukul berapa calon
mempelai pria akan dijemput keluarga calon mempelai perempuan untuk
melaksanakan pernikahan.
Pasrahan (pemberian)
Acara
pasrahan dimulai dengan
diterimanya utusan mempelai pria dan rombongan yang membawa pasrahan berupa pala gumantung (buah-buahan), pala kendem (umbi-umbian), sayur-sayuran
dan dunya brana (alat rumah
tangga) oleh kerabat mempelai perempuan dan dilanjutkan dengan menyerahkan mas picis (mas kawin) langsung kepada
orang tua mempelai perempuan, setelah selesai berbasa-basi maka utusan mempelai
pria dan rombongan mohon diri.
Siram Tawandari
Siram
Tawandari dilakukan oleh kedua mempelai dirumah mempelai perempuan dan
dimaksudkan untuk melihat apakah para mempelai memiliki kekurangan atau tidak.
Acara
siram Tawandari dimulai dengan
dikirimnya dua orang utusan mempelai perempuan ke rumah mempelai pria untuk
memberitahu sekaligus menjemputnya agar terlibat dalam acara siram Tawandari
Ziarah (mengunjungi makam)
Setelah
melakukan siram Tawandari maka
kedua mempelai melakukan ziarah ke makam keluarga (untuk pihak kesultanan melakukan
ziarah ke komplek makam keluarga kesultanan Cirebon di Gunung Jati
Parasan (merias)
Pengantin
dirias oleh juru rias, selama merias, juru rias membaca surat al-fatihah,
syahadat, sholawat, istigfar dan sejenisnya, selesai dirias wajahnya, calon
mempelai perempua kemudian dihias sederhana.
Akad Nikah
Pada
saat melakukan akad nikah, mempelai pria tidak didampingi oleh kedua orang
tuanya, jika dia membawa keris maka dia harus meletakan kerisnya, dirinya
kemudian duduk diatas tikar dan ditutupi (bahasa Cirebon :
robyong) oleh kain batik milik
orang tua mempelai perempuan. Ijab qabul pun dilakukan, baru setelah ijab qabul
telah selesai dilakukan mempelai perempuan diperbolehkan memasuki ruangan ijab
qabul guna menandatangani surat nikah.
Panggih (pertemuan)
Setelah
akad nikah selesai dilaksanakan, kedua mempelai dipertemukan, pada prosesi ini
mempelai pria masih tetap melepas kerisnya.
Pug-pugan Tawur
Prosesi
pug-pugan tawur dilakukan
dengan cara kedua mempelai jongkok dihadapan para sesepuh untuk menerima pug-pugan
(rumbia yang telah lapuk) yang ditawur
(ditaburkan) sebagai simbol harapan bahwa pernikahan keduanya akan bertahan
lama hingga tua seperti tuanya rumbia yang ditaburkan pada mereka.
Sekul adep-adep
Prosei
acara panggih kemudian
dilanjutkan dengan acara sekul
adep-adep dimana kedua mempelai makan berhadapan dengan lauknya berupa
sepasang burung merpati dengan harapan dapat membina rumah tangga dengan
sukses, lauk dari burung merpati dijadikan simbol pasangan yang hanya memiliki
satu cinta satu sama lain
Nasihat dan pemberian doa
Acara
pemberian nasihat dilakukan oleh para sesepuh
dan kemudian dilanjutkan oleh pemberian doa oleh para hadirin
Hiburan
Acara
kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan, pihak kesultanan Kacirebonan
biasanya menampilkan tari-tari tradisional khas Cirebon
Unduh
Mantu
(menerima menantu)
Setelah
rangkaian acara ijab qabul selesai, tidak lama dilakukan acara unduh mantu sebagai tanda pindahnya
kedua mempelai dari rumah mempelai perempuan ke rumah mempelai pria
Silsilah Sultan
1. Sultan
Kacirebonan I Sultan Carbon Kaceribonan Amirul Mukminin (bertahta 1808 - 1814)
2. Sultan
Kacirebonan II Pangeran Raja Madenda Hidayat (bertahta dari 1814 - 1851)
3. Sultan
Kacirebonan III Pangeran Raja Denda Wijaya (bertahta dari 1851 - 10 Oktober
1914)
4. Sultan
Kacirebonan IV Pangeran Raja Madenda Partadiningrat (bertahta dari 9 November
1916 - 31 Juli 1931)
5. Sultan
Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat (bertahta dari 12 Maret
1933 - 24 Februari 1950)
6.
Sultan
Kacirebonan VI Pangeran Raja Sidek Arjaningrat (bertahta dari 24 Februari 1950
- 14 Januari 1957)
7.
Sultan
Kacirebonan VII Pangeran Raja Harkat Nata Diningrat (bertahta dari 14 Januari
1957 - 14 Februari 1969) menggantikan
saudaranya Sultan Kacirebonan VI
8.
Sultan
Kacirebonan VIII Pangeran Raja Moh Mulyono Amir Natadiningrat (bertahta dari 14
Februari 1969 - 8 November 1994)
9.
Sultan
Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga (bertahta dari
28 Mei 1997 - )
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar