Rabu, 14 November 2018

KISAH KESULTAAN KACIREBONAN


KISAH KESULTAAN KACIREBONAN

Orientasi
Kesultanan Kacirebonan adalah berdiri pada tahun 1808 sebagai hasil perundingan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan telah bertahtanya Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik dari Pangeran Raja Kanoman (putera tertua Sultan Anom IV Pangeran Raja Adipati Muhammad Chaerudin), hasil dari perundingan besar menghasilkan bahwa kesultanan Kanoman dibagi menjadi dua, yaitu kesultanan Kanoman dengan sultannya Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin dan kesultanan Kacirebonan dengan sultannya adalah Pangeran Raja Kanoman yang diberi gelar Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon Kacirebonan Amirul Mukminin. Pada masa awal menjabat Sultan Kacirebonan I tidak memiliki keraton dia hidup sederhana dengan permaisurinya yaitu Ratu Raja Resminingpuri di Taman Sari Gua Sunyaragi dan selalu menolak uang pensiunan yang diberikan oleh Belanda. Baru setelah dia meninggal pada tahun 1814, dikarenakan putranya yang masih kecil yaitu Pangeran Raja Madenda, Ratu Raja Resminingpuri memutuskan untuk membangun keraton Kacirebonan dan menjadi wali sementara bagi puteranya.

Sejarah kesultanan Kacirebonan
Masuknya pengaruh Belanda
Pada tahun 1677, para pengeran (bahasa Cirebon : Elang) dari kesultanan Cirebon yang ditawan oleh Mataram berhasil diselamatkan oleh kesultanan Banten dengan bantuan Trunojoyo, setelah sebelumnya pangeran Nasiruddin yang pada masa itu menjabat sebagai wali sultan Cirebon meminta bantuan kepada sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten untuk menyelamatkan saudaranya yang ditawan Mataram. Pada kurun waktu itu Banten yang sedang mengalami peperangan dengan Belanda pun dibebani tugas untuk menghindari kisruh meluas didalam keluarga besar kesultanan Cirebon yang memang sudah terpecah sebelumnya dalam menentukan penerus tahta kesultanan Cirebon, akhirnya sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten memutuskan untuk melantik Syamsuddin (Martawijaya) sebagai sultan Sepuh, Badruddin (Kartawijaya) sebagai sultan Anom dan Nasiruddin (Wangsakerta) sebagai Panembahan Cirebon yang menguasai kepustakaan dan pendidikan di Cirebon utamanya para bangsawan. Penegasan ketiganya sebagai penguasa Cirebon kemudian dilakukan di keraton Pakungwati (kini bagian dari kompleks keraton Kasepuhan) pada tahun 1679, namun ternyata masalah internal keluarga besar ini tidak selesai begitu saja yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda yang sedang berperang dengan kesultanan Banten untuk mengirimkan pasukannya guna menyerang Cirebon.

Pada tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua kesultanan yaitu kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta serta memaksa mereka untuk menyetujuinya. Perjanjian persahabatan tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiganya sebagai para penguasa Cirebon sementara pada perjanjian tanggal 7 Januari 1681 tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs, perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula, lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda). Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.

Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon : pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon. Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon), Belanda mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya ;

“bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing.”

Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut. Belanda kemudian kembali mengirimkan utusan untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun perjajian yang ditandatangani pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.

Belanda dalam masalah pribawa
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan (pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808).

Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, setelah ayahandanya wafat, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda.

Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan Pangeran Adipati Kaprabon yang menjadi rama guru bagi peguron Kaprabonan.

Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda membentuk sebuah Karesidenan (wilayah yang berada di bawah kekuasaan gubernur jendral pada waktu itu atau setingkat provinsi dimasa sekarang dengan pimpinannya yang menjabat sebagai residen).

Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap).

Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguron Kaprabonan begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.

Belanda menguasai politik Cirebon
Akhirnya pada tahun 1700-an, setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat sejak diangkatnya Jacob Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon dapat dikatakan habis (secara politik).

Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon
Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat. Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706, secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut :

"... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"

Perang terbuka Pangeran Raja Kanoman (Sultan Kacirebonan pertama) melawan penjajah
Pada sekitar tahun 1770-an, Sultan Muhammad Chaerudin menjadi pemimpin di kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom IV, dikatakan semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Putera Mahkota Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV) pada waktu itu melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang berjuang bersama diantaranya adalah Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan bantuan tokoh agama, namun perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793[13] dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun 1796.
Perang besar Cirebon 1788 - 1818

Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar di daerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah).

Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh pengikutnya yang banyak.  Secara garis besar kondisi perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerahan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah oleh residen. Mengenai kondisi sosial dijelaskan bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon pada akhir abad 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia. ditengah masa pemberontakan ini, Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1808  yang memimpin dengan cara kediktaktoran.

Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar, daerah Jatitujuh merupakan pusat pergerakan perjuangan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.

Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya Kacirebonan
Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas hingga keluar wilayah karesidenan Cirebon, namun di tengah perjuangan besar Cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman / Putera Mahkota Kanoman (putera pertama Sultan Anom IV) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk diantaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tahun 1806 Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi. dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie V Frederik Willem Stapel mengatakan,

“Sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih perang.”

(wilayah pembantu Gubernur Jendral) kemudian ditetapkan,
Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen (Karesidenan Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)
Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen (Karesidenan kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar)

Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. Sejak tahun 1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.

Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Sepuh VII Sultan Djoharudin di kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Amirul Mukminin di kesultanan Kacirebonan yang baru saja dibentuk dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.

Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto.

Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam (bahasa inggris : Britain) (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda, pasukan-pasukan Britania kemudian mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811, pada bulan yang sama, tepatnya tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens yang menggantikan Herman Willem Daendels pada bulan Mei 1811 menyerah kepada Britania di Salatiga dan menandatangani kapitulasi Tuntang. Kemenangan ini kemudian menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.

Namun adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania pada tanggal 27 Juni 1812 di desa Panongan dan dihukum mati di desa Karangsembung (dahulu merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.

Akhir perang besar Cirebon
Namun demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles memerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama saja, gerakan perjuangan tersebut ialah gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem. Kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.

Pada tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris.

Ratu Raja Resminingpuri membangun keraton Kacirebona
Setelah wafatnya Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon Amirul Mukminin pada tahun 1814, Ratu Raja Resminingpuri yang merupakan permaisuri dari mendiang almarhum Sultan Kacirebonan I tinggal di area Taman Sari Gua Sunyaragi, namun dengan memiliki anak yang masih kecil dan baru berumur lima tahun yaitu Pangeran Raja Madenda Hidayat yang kelak menjadi Sultan Kacirebonan II dia memutuskan untuk membangun sebuah keraton Kacirebonan di Pulosaren dengan uang pensiunan yang selama ini ditolaknya. Pada masa awal pembangunan keraton Kacirebonan Ratu Raja Resminingpuri membuat bangunan induk keraton, Paseban dan Tajug (mushola).

Bangunan induk keraton sebagai tempat sebagai tempat tinggal sehari-hari sultan beserta keluarganya. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan antara lain ruang tidur, ruang kerja sultan, pecira, kamar jimat, prabayasa, dapur dan teras (berfungsi sebagai ruang tunggu bila prajurit rendahan ingin menghadap Sultan).

Paseban, terdapat dua buah bangunan Paseban di kompleks keraton Kacirebonan, yaitu di barat dan timur, berdenah persegi panjang.
1. Paseban barat menghadap timur ditompang oleh 8 buah tiang dan 4 saka guru (tiang utama) dan merupakan bangunan semi terbuka, dinding sisi barat dan timur dipagari dengan tembok rendah, atapnya berbentuk joglo dengan penutup genteng.
2. Tajug (mushola), terletak di sebelah barat bangunan induk, antara tajug dan paseban dipisahkan oleh tembok namun ada pintu penghubung di sisi barat tembok. Pelataran keraton ke arah selatan pada pagar tembok terdapat gapura kori agung beratap joglo, yaitu pintu agung utama.

Ratu Raja Resminingpuri pun menjadi wali atas puteranya yang masih kecil tersebut. Setelah Pangeran Raja Madenda Hidayat dewasa, Ratu Raja Resminingpuri memberikan tahtanya kepada puteranya tersebut dengan gelar sultan namun hal itu ditolak oleh Belanda. (menurut Besluit hanya Sultan Kacirebonan I saja yang berhak menyandang gelar sultan)

Sultan Kacirebonan III Pangeran Raja Denda Wijaya membangun Gedong Ijo
Pada tahun 1875 Pangeran Raja Denda Wijaya yang bergelar Raja Madenda membangun Gedong Ijo dalam komplek keraton Kacirebonan, Gedong Ijo merupakan bangunan yang menghadap ke timur dan berdenah persegi panjang. Ruang dalam dibagi tiga, yaitu ruang utara dan ruang selatan yang ditempati oleh keluarga sultan sedangkan ruang tengah kosong.

Sultan Kacirebonan IV Pangeran Raja Madenda Partadiningrat membangun Pringgowati
Pada masa kepemimpinannya, Sultan Kacirebonan IV Pangeran Madenda Partadiningrat membangun Pringgowati yaitu ruang tengah yang terdapat benda-benda kebesaran keraton, berfungsi sebagi tempat istirahat sultan. Di sebelahnya terdapat ruang pinangeran, yang digunakan sebagai tempat tinggal kerabat sultan dan tempat penyimpanan alat-alat perayaan Muludan.

Kerjasama Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat dengan para pejuang melawan penjajah

Pada masa Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat terdapat masa penjajahan Jepang dan revolusi fisik. Pada masa tersebut keraton mulai memulai mengadakan gerakan di bawah tangan dengan membantu para pejuang, veteran dan tentara pelajar. Kesultanan Kacirebonan membantu logistik bagi para pejuang bahkan keraton Kacirebonan digunakan sebagai tempat pertemuan-pertemuan, setelah Belanda dan Jepang pergi meninggalkan Indonesia, pihak kesultanan Kacirebonan menganggap bahwa peraturan-peraturan yang mengekang keraton yang diciptakan oleh para penjajah sudah tidak berlaku lagi dan kemudian kesultanan Kacirebonan mulai menggunakan gelar Sultan kembali untuk para penerus tahtanya.

Antonius Adrianus Lutter dan Raden Ajeng Reza Susana Wegi
Antonius Adrianus Lutter merupakan seorang peneliti dari Belanda yang sedang meneliti tentang Cirebon, pada tahun 2007 dia untuk pertama kalinya datang ke keraton Kacirebonan guna tujuan penelitian. Raden Ajeng Reza Susana Wegi atau yang biasa dipanggil Raden Ajeng Susana yang merupakan putri dari Ratu Raja Putri Nur Huyedat Yeni (kakak tertua Sultan Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdul Gani Natadiningrat) mengatakan mengatakan,

“Antonius menjelaskan pada saya bila di museum Leiden, Belanda, banyak benda budaya bersejarah asal keraton-keraton di Indonesia, karena itu untuk memastikan penelitiannya lebih jauh, ia datang langsung ke Cirebon sebagai salahsatu daerah yang mempunyai sejarah keraton.”

Sejak pertamakali bertemu dengan Antonius, Raden Ajeng Susana telah merasa tertarik, ternyata begitu pun dengan Antonius, namun karena harus melanjutkan penelitiannya, Antonius harus segera melanjutkan perjalanan ke negara lainnya.
Hubungan jarak jauh tersebut kemudian dibina hanya dengan pesan singkat dari telepon genggam atau menggunakan email. Akhirnya, beberapa tahun kemudian, tepatnya pada bulan Oktober 2009, Antonius kembali ke Indonesia untuk melanjutkan penelitiannya. Kesempatan itu digunakan oleh Antonius untuk melamar pujaan hatinya Raden Ajeng Susana, tidak lama setelah lamaran, merekapun menyepakati untuk langsung menikah.

Pernikahan keduanya digelar pada hari Senin, 19 Oktober 2009 di keraton Kacirebonan, setelah pernikahan, keduanya menyepakati untuk menggelar resepsi pada bulan Mei 2010. ditentukannya resepsi pada bulan mei 2010 adalah ditujukan tidak hanya untuk acara syukuran semata, namun juga sebagai persiapan bagi Raden Ajeng Susana (sekarang : Raden Ayu Susana) untuk menyiapkan dokumen penunjang karena akan menemai suaminya untuk tinggal di Belanda. Pernikahan ke-duanya merupakan pernikahan pertama dalam sejarah kesultanan Kacirebonan dimana bangsawan Kacirebonan menikah dengan orang asing.

Pelakrama Ageng (pernikahan agung)
Pelakrama Ageng (bahasa Indonesia : Pernikahan agung) yang dilaksanakan di Kesultanan Kacirebonan adalah bagian dari pernikahan agung masyarakat adat yang ada di bekas wilayah Kesultanan Cirebon. Pada dasarnya inti dari kegiatan pernikahan agung yang dilakukan di kesultanan Kacirebonan tidaklah jauh berbeda dengan yang ada di kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman serta Kaprabonan namun dengan sedikit menambahkan detil khas gaya Kacirebonan didalamnya, berikut kegiatan yang dilakukan dalam rangkaian pernikahan agung gaya Kacirebonan.

Pinangan (melamar)
Kegiatan pinangan pada umumnya dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sebelum pernikahan, utusan calon mempelai pria membawa perlengkapan pakaian beserta perhiasan emas, peralatan dapur lengkap, sirih dan uang tunai untuk diserahkan kepada orang tua calon mempelai perempuan dengan disaksikan para sesepuh (bahasa Indonesia : Para tetua). Apabila pinangan diterima maka utusan calon mempelai pria akan menanyakan tanggal pasti pernikahan dan pukul berapa calon mempelai pria akan dijemput keluarga calon mempelai perempuan untuk melaksanakan pernikahan.

Pasrahan (pemberian)
Acara pasrahan dimulai dengan diterimanya utusan mempelai pria dan rombongan yang membawa pasrahan berupa pala gumantung (buah-buahan), pala kendem (umbi-umbian), sayur-sayuran dan dunya brana (alat rumah tangga) oleh kerabat mempelai perempuan dan dilanjutkan dengan menyerahkan mas picis (mas kawin) langsung kepada orang tua mempelai perempuan, setelah selesai berbasa-basi maka utusan mempelai pria dan rombongan mohon diri.

Siram Tawandari
Siram Tawandari dilakukan oleh kedua mempelai dirumah mempelai perempuan dan dimaksudkan untuk melihat apakah para mempelai memiliki kekurangan atau tidak.
Acara siram Tawandari dimulai dengan dikirimnya dua orang utusan mempelai perempuan ke rumah mempelai pria untuk memberitahu sekaligus menjemputnya agar terlibat dalam acara siram Tawandari

Ziarah (mengunjungi makam)
Setelah melakukan siram Tawandari maka kedua mempelai melakukan ziarah ke makam keluarga (untuk pihak kesultanan melakukan ziarah ke komplek makam keluarga kesultanan Cirebon di Gunung Jati

Parasan (merias)
Pengantin dirias oleh juru rias, selama merias, juru rias membaca surat al-fatihah, syahadat, sholawat, istigfar dan sejenisnya, selesai dirias wajahnya, calon mempelai perempua kemudian dihias sederhana.

Akad Nikah
Pada saat melakukan akad nikah, mempelai pria tidak didampingi oleh kedua orang tuanya, jika dia membawa keris maka dia harus meletakan kerisnya, dirinya kemudian duduk diatas tikar dan ditutupi (bahasa Cirebon : robyong) oleh kain batik milik orang tua mempelai perempuan. Ijab qabul pun dilakukan, baru setelah ijab qabul telah selesai dilakukan mempelai perempuan diperbolehkan memasuki ruangan ijab qabul guna menandatangani surat nikah.

Panggih (pertemuan)
Setelah akad nikah selesai dilaksanakan, kedua mempelai dipertemukan, pada prosesi ini mempelai pria masih tetap melepas kerisnya.

Pug-pugan Tawur
Prosesi pug-pugan tawur dilakukan dengan cara kedua mempelai jongkok dihadapan para sesepuh untuk menerima pug-pugan (rumbia yang telah lapuk) yang ditawur (ditaburkan) sebagai simbol harapan bahwa pernikahan keduanya akan bertahan lama hingga tua seperti tuanya rumbia yang ditaburkan pada mereka.

Sekul adep-adep
Prosei acara panggih kemudian dilanjutkan dengan acara sekul adep-adep dimana kedua mempelai makan berhadapan dengan lauknya berupa sepasang burung merpati dengan harapan dapat membina rumah tangga dengan sukses, lauk dari burung merpati dijadikan simbol pasangan yang hanya memiliki satu cinta satu sama lain

Nasihat dan pemberian doa
Acara pemberian nasihat dilakukan oleh para sesepuh dan kemudian dilanjutkan oleh pemberian doa oleh para hadirin

Hiburan
Acara kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan, pihak kesultanan Kacirebonan biasanya menampilkan tari-tari tradisional khas Cirebon

Unduh Mantu (menerima menantu)
Setelah rangkaian acara ijab qabul selesai, tidak lama dilakukan acara unduh mantu sebagai tanda pindahnya kedua mempelai dari rumah mempelai perempuan ke rumah mempelai pria

Silsilah Sultan
1.  Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Kaceribonan Amirul Mukminin (bertahta 1808 - 1814)
2.    Sultan Kacirebonan II Pangeran Raja Madenda Hidayat (bertahta dari 1814 - 1851)
3.  Sultan Kacirebonan III Pangeran Raja Denda Wijaya (bertahta dari 1851 - 10 Oktober 1914)
4.  Sultan Kacirebonan IV Pangeran Raja Madenda Partadiningrat (bertahta dari 9 November 1916 - 31 Juli 1931)
5.   Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat (bertahta dari 12 Maret 1933 - 24 Februari 1950)
6.    Sultan Kacirebonan VI Pangeran Raja Sidek Arjaningrat (bertahta dari 24 Februari 1950 - 14 Januari 1957)
7.    Sultan Kacirebonan VII Pangeran Raja Harkat Nata Diningrat (bertahta dari 14 Januari 1957 - 14 Februari 1969) menggantikan saudaranya Sultan Kacirebonan VI
8.    Sultan Kacirebonan VIII Pangeran Raja Moh Mulyono Amir Natadiningrat (bertahta dari 14 Februari 1969 - 8 November 1994)
9.    Sultan Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga (bertahta dari 28 Mei 1997 - )

Sumber : Google Wikipedia

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...