SYEKH SITI
JENAR
SYEKH SITI
JENAR
ASAL-USUL,
SILSILAH DAN RIWAYATNYA
DARI LAHIR
HINGGA MENINGGAL DUNIA
Orientasi
Syekh
Siti Jenar adalah ulama besar yang lahir di Tanah Sunda. Nama aslinya adalah
Sayyid Hasan Ali al Husaini, juga dikenal Syekh Abdul Jalil atau Syekh Lemah
Abang. Syekh Siti Jenar sepenuhnya berdarah Arab dan sedikit Melayu. Darah Arab
berasal dari ayahnya, Syekh Datuk Soleh. Darah Melayu berasal dari ibunya, Siti
Fatimah.
Syekh
Datuk Soleh adalah seorang ulama yang terpaksa menyingkir dari Kasultanan Malaka
menuju Tanah Jawa bagian barat, karena gejolak politik-kenegaraan yang terjadi
di Malaka. Ia memilih untuk tinggal dan menetap di wilayah kekuasaan Kedaton
Japura yang letaknya berada di sebelah tenggara Kedaton Singapura (sekarang
Cirebon).
Di
wilayah Kedaton Singapura sendiri, telah tinggal seorang ulama bernama Syekh
Datuk Kahfi yang mendirikan Padepokan Amparan Jati. Ia dikenal juga dengan nama
Syekh Nurjati. Syekh Datuk Kahfi sendiri masih keponakan Syekh Datuk Soleh,
karena ayah Syekh Datuk Kahfi yang bernama Syekh Datuk Ahmad adalah kakak
kandung Syekh Datuk Soleh.
Ayah
Syekh Siti Jenar itu datang ke wilayah Kedaton Japura yang berada dalam
kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh pada sekitar Syaka Warsa 1346 atau 1424 Masehi.
Syekh Datuk Soleh memulai hidup di kawasan Japura dengan berdagang. Usahanya
meningkat pesat. Hingga suatu hari berkenalan dengan Ki Danusela yang tinggal
di Kebon Pasisir atau Tegal Alang-alang.
Kelak,
wilayah Kebon Pasisir atau Tegal Alang-alang ini berubah namanya menjadi Caruban
Larang dan lantas dikenal lagi dengan sebutan Cirebon. Hidup bersama suami di
perantauan, Siti Fatimah mengandung jabang bayi. Namun, sang suami, Syekh Datuk
Soleh terlebih dahulu meninggal dunia sebelum jabang bayi itu lahir.
Jabang
bayi itu lahir pada Syaka Warsa 1348 atau 1426 Masehi. Oleh Syekh Datuk Kahfi,
jabang bayi tersebut dinamakan Sayyid Hasan Ali al Husaini. Kelak, ia dikenal
dengan Syekh Abdul Jalil atau Syekh Lemah Abang. Ia populer dengan nama Syekh
Siti Jenar.
Dengan
demikian, Syekh Siti Jenar masih adik sepupu dari Syekh Datuk Kahfi yang
usianya terpaut jauh. Karena rasa kasihan, Ki Danusela sahabat karib Syekh
Datuk Soleh sewaktu berdagang, akhirnya mengangkat Sayyid Hasan Ali al Husaini
sebagai anak pupon atau anak angkat.
Sejak
kecil, Sayyid Hasan Ali al Husaini dititipkan untuk menerima ajaran agama Rasul
di Padepokan Amparan Jati yang didirikan kakak sepupunya sendiri, Syekh Datuk
Kahfi (Syekh Nurjati).
Menginjak
usia dewasa, Sayyid Hasan Ali al Husaini sering membantu bapak angkatnya, Ki
Danusela dalam urusan perniagaan. Pada saat yang sama, putri Ki Danusela yang
bernama Retna Riris diambil istri oleh Pangeran Walangsungsang yang kelak
menjadi penguasa Cirebon bergelar Shri Mangana Cakrabuana.
Atas
hubungan pernikahan itu, Syekh Siti Jenar yang menjadi anak angkat Ki Danusela
akhirnya dianggap sebagai adik angkat oleh Pangeran Walangsungsang, menantu Ki
Danusela. Lebih-lebih, Syekh Siti Jenar masih adik sepupu dari Syekh Datuk
Kahfi, guru Pangeran Walangsungsang di Padepokan Amparan Jati. Karena itu,
hubungan Syekh Siti Jenar dengan Pangeran Cakrabuana sudah dianggap seperti
adik sendiri.
Adapun
Retna Riris, putri Ki Danusela dikenali dengan nama Dewi Kancana Larang saat
Pangeran Walangsungsang ditabalkan sebagai penguasa Cirebon bergelar Shri
Mangana Cakrabuana. Pengembaraan Syekh Siti Jenar ke Tanah Jawa wilayah timur
yang dikenali dengan Majapahit, karena atas perintah kakak angkatnya sendiri,
Shri Mangana Cakrabuana. Ia mendapatkan mandat untuk ikut menyebarkan agama
Islam di Tanah Jawa.
Dalam
perintahnya, penguasa Cirebon itu meminta agar Syekh Siti Jenar melakukan
ziarah ke tempat-tempat suci sekaligus menggali ilmu leluhur Jawa Kuno.
Setelahnya, ia juga harus mengunjungi tempat-tempat suci serta belajar ilmu
Sunda kuno. Tujuannya agar Syekh Siti Jenar paham betul agama dan keyakinan
leluhur Nusantara, terutama leluhur Jawa dan Sunda kuno agar mampu menyebarkan
agama Islam dengan baik.
Mungkin
karena itu pula, Syekh Siti Jenar memiliki pandangan dan pemikiran yang lebih terbuka
ketimbang para pendakwah lainnya. Ia dikenal dengan ajarannya yang langsung
tertuju pada "hakikat" atau "makrifat". Karena ajaran itu
pula sesungguhnya ada dalam pengajaran agama Syiwa-Buddha, agama yang eksis
berabad-abad lamanya di Tanah Jawa, baik di Majapahit maupun Sunda-Galuh.
Dalam
perjalanan hidupnya, Syekh Siti Jenar pernah masuk anggota Walisongo atas
rekomendasi Sunan Ampel, sesepuh sekaligus pendiri Majelis Dakwah Walisongo. Bahkan,
ia dipercaya sebagai Panetep Panatagama ring Sunda menggantikan jabatan yang
semula dipegang kakak sepupunya, Syekh Datuk Kahfi. Ia juga sempat mendirikan
Padepokan Krendasawa di kawasan Lemah Abang, Cirebon.
Mungkin
karena itu, ia juga akrab dikenali sebagai Syekh Lemah Bang. Ia memutuskan
untuk keluar dari anggota Majelis Dakwah Walisongo saat dipimpin Sunan Giri. Alasannya,
pergerakan Walisongo yang ikut campur pada urusan politik-kenegaraan dianggap
sudah tidak murni lagi pada perjuangan syiar agama Islam. Ketidaksepahaman
dengan Sunan Giri itulah yang menjadi alasan bagi pihak Sunan Giri untuk
menyesatkan ajaran Syekh Lemah Bang tentang "Manunggaling Kawula lan
Gusti."
Bagi
Sunan Giri, Syekh Lemah Abang dan ajarannya akan menjadi duri dalam tubuh
Majelis Dakwah Walisongo. Apa yang menjadi pemikiran Syekh Siti Jenar terbukti
ketika Walisongo berhasil mendorong suksesi berdirinya Demak Bintoro sebagai
negara Islam di Tanah Jawa, lantas ia mendirikan kerajaan dan menjadi Raja Giri
Kedaton di Gresik. Raden Patah tidak bisa berbuat apa-apa ketika pimpinan Walisongo
itu mendirikan negara sendiri di Gresik. Padahal semestinya, hanya Kasultanan
Demak satu-satunya negara yang mengukuhi Tanah Jawa sebagaimana Majapahit masih
berjaya.
Sementara
Syekh Siti Jenar memilih hidupnya dengan jalan kenikmatan melebur bersama Dzat
yang Maha Suci. Karena baginya, tidak ada apa-apa di semesta ini kecuali hanya
Dia semata. Adapun tubuh manusia dan materi dunia ini hanya fana belaka. Karena
itu pula, konon saat Syekh Siti Jenar menerima hukuman mati karena dianggap
sesat dan menyesatkan, ia tetap tenang dan meninggalkan bau wangi di sekitar
lokasi eksekusi.
Sunan
Kudus, sang eksekutor juga terkejut dengan peristiwa meninggalnya Syekh Siti
Jenar usai dieksekusi. Konon, di tengah-tengah darah, lamat-lamat halus
membentuk empat huruf yang apabila dibaca berlafazh "Allah".
Kanjeng
Sunan Kalijaga yang pada saat kejadian mengalami peningkatan kesadaran dan
spiritual, mendengar suara halus dan pelan. Suara itu kemudian ditulis dalam
Tembang Kinanti. Begini salah satu penggalan kalimat yang menurut
historyofjava.com memiliki makna sebagai pembelajaran bersama.
"Sejati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinen pangesthinira,
gineleng dadi sawiji, wijanging ngelmu jatmika, neng kahanan eneng ening."
Artinya,
"Sesungguh-sungguhnya ilmu, berada di dalam kesadaranmu sendiri.
Tingkatkan kesadaranmu itu, satukan dengan Kesadaran Sejati. Kesempurnaan ilmu
sesungguhnya akan kamu dapatkan dalam keadaan diam (eneng) hening
(ening)."
Makam
Syekh Siti Jenar
Jenazah
Syekh Lemah Abang kemudian dimakamkan di Kampung Kemlaten, Cirebon. Tapi atas
perintah Sunan Gunung Jati yang sudah menjadi penguasa Cirebon menggantikan
Shri Mangana Cakrabuana, jenazah Syekh Siti Jenar dipindah di Giri Amparan
Jati.
Namun
begitu, ada banyak versi mengenai letak dan lokasi makam Syekh Siti Jenar yang
benar. Ada yang mengatakan di kawasan Masjid Agung Demak, ada pula yang
menyebut di Jepara, Jawa Tengah.
Hal
itu tidak lepas dari keharuman nama Syekh Lemah Abang sebagai pendakwah agama
Islam dengan caranya sendiri. Dialah sosok yang menjadi guru para tokoh Jawa
seperti Kanjeng Sunan Kalijaga, Raden Bondan Kejawan (putra Prabu Brawijaya
Raja Majapahit dari istri selir) yang menjadi "Lelajer Tanah Jawa",
Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging (ayahanda Joko Tingkir atau Sultan
Hadiwijaya) dan masih banyak lagi lainnya.
Cerita
singkat mengenai sejarah asal-usul, silsilah dan riwayat Syekh Siti Jenar dari
lahir hingga meninggal dunia ini diambil dari berbagai sumber referensi,
seperti Babad Tanah Jawi Demakan, Babad Tuban, Babad Cirebon, Serat Kandha,
Purwaka Caruban Nagari, hingga cerita tutur masyarakat. (*)
Sumber
: Google Wikipedia
KISAH SYEKH
SITI JENAR,
ANGGOTA
WALISONGO DAN GURU SUNAN KALIJAGA
Orientasi
Syekh
Siti Jenar adalah anggota Walisongo bertempat di kawasan Lemah Abang Cirebon,
sebelum akhirnya dikeluarkan dari dewan wali karena berbeda pandangan politik
dengan pemimpin Walisongo saat itu, Sunan Giri.
Nama
asli Syekh Siti Jenar adalah Syekh Abdul Jalil atau Sayyid Hasan 'Ali al
Husaini. Karena mendirikan padepokan agama Islam di wilayah Lemah Abang
Cirebon, ia juga dikenal dengan Syekh Lemah Abang.
Syekh
Lembang Abang masih terhitung keponakan Syekh Datuk Kahfi, guru Sri Mangana
Cakrabuana penguasa Cirebon. Karena itu, pesantren yang didirikan Syekh Siti
Jenar bernama "Krendasawa" juga mendapatkan sokongan dari penguasa
Cirebon, Sri Mangana Cakrabuana atau yang dikenal Pangeran Walangsungsang.
Saat
itu, Pangeran Walangsungsang berhasil mendirikan wilayah Cirebon atas dukungan
gurunya, Syekh Datuk Kahfi. Cirebon adalah wilayah pertama di Pulau Jawa baik
di Tanah Sunda maupun Jawa yang berdiri dengan hukum atau undang-undang syariat
Islam.
Karena
itu, kedatangan Syekh Siti Jenar di wilayah Lemah Abang Cirebon disambut dengan
baik oleh pamannya, Syekh Datuk Kahfi, ulama dari Arab. Sementara Syekh Siti
Jenar sendiri merupakan ulama yang berasal dari Persia atau sekarang Iran.
Bahkan,
Sayyid Hasan Ali al Husaini atau Syekh Lemah Abang juga dianggap sebagai adik
angkat sendiri oleh Raja Cirebon, Sri Mangana Cakrabuana. Ia lantas mendirikan
padepokan di wilayah Lembah Abang, dekat perbatasan Kedaton Japura.
Nama
Syekh Lemah Abang menjadi buah bibir di kalangan masyarakat luas di kawasan
pesisir utara Jawa, mulai dari ujung barat hingga timur. Namanya semakin
terkenal ketika para saudagar dan anak buah kapal membicarakannya di
pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi.
Nama
Padepokan Krendasawa yang terkesan aneh membuat banyak orang penasaran. Bukan
hanya karena ingin memeluk agama Islam, ketertarikan masyarakat luas juga
berasal dari mereka yang masih beragama lama, Syiwa-Buddha terutama dari
golongan pertapa atau para resi.
Kenapa
padepokan baru yang ia dirikan dinamakan Krendhasawa yang artinya keranda
mayat? Mengerikan memang nama pesantren yang dibangun Syekh Siti Jenar. Hal itu
yang membuat banyak masyarakat menjadi penasaran dan membuatnya dikenal serta
menjadi buah bibir warga.
Dikutip
redaksi historyofjava.com dari berbagai sumber, berikut kisah Syekh Siti Jenar
yang hidup di zaman Walisongo, sebuah era peralihan dari zaman Hindu-Buddha
menuju zaman Islam, dari zaman Majapahit ke Demak Bintoro.
Surat
dari Sunan Ampel
Sunan
Ampel adalah gurunya para wali, sesepuh para wali. Mendengar kiprah dari Syekh
Lemah Abang, Sunan Ampel mengirimkan surat kepadanya untuk masuk sebagai
anggota Majelis Dakwah Walisongo.
Surat
itu juga ditembuskan (tembusan) kepada Sri Mangana Cakrabuana sebagai penguasa
wilayah Islam Cirebon, serta Syekh Datuk Kahfi pengasuh Padepokan Amparan Jati
sang guru Cakrabuana sendiri.
Atas
restu dari Sri Mangana Cakrabuana dan Syekh Datuk Kahfi, Syekh Siti Jenar
berangkat ke Pesantren Ampeldhenta Surabaya Jawa Timur. Keberangkatannya
diiringi Pangeran Kajaksan dan Pangeran Panjunan, putra Syekh Datuk Kahfi yang
menjadi pejabat penting di Keraton Cirebon.
Selain
itu, tujuh orang santri Syekh Siti Jenar juga ikut menyertai sang guru. Mereka
adalah Galinggangjati (Raden Bondan Kejawan putra Raja Majapahit Prabu
Brawijaya dari istri selir Bondrit Cemara), Malayakusuma (Raden Syahid belum menjadi
Sunan Kalijaga), Ki Lonthang Semarang, Ki Bisana, Ki Wanataya, Ki Canthula, dan
Pringgabaya.
Di
Pesantren Ngampeldhenta Surabaya, para ulama yang tergabung Majelis Walisongo
sudah berkumpul. Mereka adalah Sunan Ampel, Sunan Kapasan, Raden Santri Raja
Pandhita, Sunan Bungkul, Pangeran Makdum Ibrahim (kelak Sunan Bonang), Raden
Paku atau Maulana Ainul Yaqin (kelak Sunan Giri), Syekh Mangati, Syekh Hasyim
Alimuddin (Sunan Majagung), Syekh Muhammad Nurul Yaqin (Susuhunan Muryapada
atau Sunan Muria pertama) dan Syekh Bentong.
Tiga
ulama besar lainnya yang tidak bisa hadir karena usia sudah sepuh adalah Syekh
Maulana Maghribi, Syekh Datuk Kahfi dan Syekh Bayanullah.
Resmi
menjadi anggota Walisongo
Dalam
pertemuan para ulama di Pesantren Ngampeldhenta di Surabaya, Syekh Lemah Abang
atau Sayyid Hasan Ali al Husaini atau Syekh Abdul Jalil yang dikenal sekarang
sebagai Syekh Siti Jenar, maka ia resmi menjadi anggota Walisongo.
Bahkan,
Syekh Lemah Abang mendapatkan limpahan jabatan Panetep Panatagama ring Sunda
dari Syekh Datuk Kahfi karena usia sudah sepuh. Artinya, Syekh Siti Jenar
memperoleh kewenangan dari Walisongo sebagai sesepuh agama Islam di Tanah
Sunda.
Pada
masa ini, Sunan Gunung Jati masih belum apa-apa. Kelak, setelah Sunan Ampel
wafat dan tampuk kepemimpinan Walisongo dipegang Sunan Giri, Syekh Siti Jenar
menyatakan keluar dari Walisongo.
Majelis
Walisongo pimpinan Sunan Giri itu sudah dianggap tidak murni lagi karena
mencampuri urusan negara atau bermain politik. Salah satunya, peran Walisongo dalam
meruntuhkan Majapahit dan menggantinya dengan Kasultanan Demak Bintoro.
Setelah
Syekh Siti Jenar keluar, penggantinya adalah Syarif Hidayatullah keponakan
sekaligus menantu Sri Mangana Cakrabuana. Syarif Hidayatullah kemudian menjadi
Panetep Panatagama ring Sunda bergelar Sunan Gunung Jati.
Guru
Sunan Kalijaga
Raden
Syahid mengembara mencari ilmu kesejatian hidup. Ia mencari seorang ulama
bernama Sayyid Hasan Ali al Husaini, pengasuh pesantren Krendhasawa Lemah Abang
Cirebon.
Raden
Syahid mantab belajar kepada Syekh Siti Jenar saat berusia 19 tahun. Dia
mengaku bernama Malayakusuma berasal dari Majapahit, tepatnya lahir di Tuban.
Sebelumnya,
Syekh Siti Jenar mendapatkan wangsit didatangi Syekh Maulana Magribi. Paginya
usai solat dhuha, Syekh Siti Jenar ternyata kedatangan pemuda berusia 19 tahun
bernama Malayakusuma.
Raden
Syahid atau Malayakusuma terhitung putra tiri Syekh Maulana Magribi, karena
ibunda Raden Syahid menikah terlebih dahulu dengan Syekh Maulana Maghribi
sebelum menikah dengan ayah Raden Syahid, Adipati Tuban.
Sebelum
kedatangan Malayakusuma, Syekh Lemah Abang ditemui Syekh Maulana Magribi dalam
dunia gaib. Sebelum diterima sebagai santri di Krendasawa, Malayakusuma dicecar
dg banyak sekali pertanyaan.
Setelah
dianggap lolos, Malayakusuma akhirnya diterima sebagai santri Krendhasawa.
Bahkan, Raden Syahid ini sempat mengiringi gurunya, Syekh Siti Jenar sewaktu
diundang Sunan Ampel untuk menjadi anggota Majelis Walisongo.
Kelak,
murid Syekh Siti Jenar bernama Malayakusuma ini juga menjadi anggota Walisongo
yang sangat terkenal, Kanjeng Sunan Kalijaga. Namanya tersohor sebagai wali
besar, waliyullahnya Tanah Jawa dan Nusantara.
Namun,
kisah sang guru, Syekh Siti Jenar justru sangat tragis. Ia ditangkap dan
diadili karena ajarannya dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam pada
umumnya.
Para
wali sebetulnya tidak menyalahkan ajaran Syekh Lemah Abang, waliyullah dari
negeri Persia ini. Hanya saja, ajaran "Manunggaling Kawulo lan Gusti"
dianggap tidak tepat diajarkan kepada publik atau orang awam.
Tapi
bagi Syekh Lemah Abang, eksekusi yang ia terima bukanlah apa-apa. Karena ia
sudah mencapai kesejatian diri bahwa yang dieksekusi adalah jasadnya semata,
sedangkan diri sejatinya bersama atau melebur bersama Dzat yang Maha Suci atau
Sumber Segala Semesta. (*)
Sumber
: Google Wikipedia
KESALAHAN SEJARAH SYEKH SITI JENAR YANG JADI FITNAH
Orientasi
Misteri tentang kisah Syekh Siti Jenar seolah-olah
selalu menarik untuk diulas. Terlebih lagi jika keberadaan Syekh Siti Jenar
dikaitkan dengan pemahaman konsep ketuhanannya yang dianggap menyimpang dari
pemahaman 9 wali atau Wali Songo.
Adalah KH. Shohibul Faroji Al-Robbani, seorang
cendekiawan muslim yang berasal dari Banyuwangi, membeberkan fakta-fakta baru
yang membantah mitos kekeliruan pemahaman tentang sosok Syekh Siti Jenar selama
ini.
Dalam sebuah artikelnya, ada lima poin tanggapan yang
dipaparkan oleh Shohibul Faroji Al-Robbani yang membantah fakta sejarah tentang
Syekh Siti Jenar.
1. Pertama,
mengenai anggapan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Menurut Shobil
Faroji, sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam.
Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun
Riwayat Jati menceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari
cacing, itu salah. “Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat
jelata, bertempat tinggal di Desa Lemah Abang,” jelasnya.
2.
Kedua, tentang
ajaran Manunggaling Kawulo Gusti yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar
oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar
alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam
Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal
Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah
Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah yang
berarti segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah. Syaikh
Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid
Qur’ani dan Tauhid Syar’i.
3.
Ketiga, dalam
beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan sholat, puasa
Ramadhan, sholat Jumat, dan haji. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri
halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar
selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah
pengamal syari’at Islam sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti
Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya
berhenti berdzikir ‘Allah, Allah, Alla…’ dan membaca Shalawat nabi, tidak
pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah
saya melihat dia meninggalkan sholat Jumat” bela Syaikh Burhanpuri pada
gurunya.
4. Keempat,
tentang kematian Syaikh Siti Jenar yang dibunuh oleh Wali Songo dan mayatnya
berubah menjadi anjing. “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah,
seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut
Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis
menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori
Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan
wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat
para habaib, ulama, kiai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka
berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di
pengimaman Masjid Agung Cirebon setelah sholat Tahajjud. Kemudian para santri
baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh,“ terang Shohibul
Faroji.
5. Kelima, tentang
cerita bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak
memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang
ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau
sinetron. “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal
dalam Maqaashidussyarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan.
Tidak boleh membunuh seorang jiwa mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada
Allah. Tidaklah mungkin sembilan waliyullah yang suci dari keturunan Nabi
Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima
akal sehat,” tegas Shohibul Faroji membantah beberapa fakta yang selama ini
keliru dipahami oleh masyarakat tentang Syekh Siti Jenar.
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam
Indonesia, Azyumardi Azra adalah ulah penjajah Belanda untuk memecah belah umat
Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at
dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, Belanda telah
mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera
(Politik Pecah Belah) dengan tiga kelas, yaitu kelas santri yang diidentikkan
dengan 9 Wali, kelas Priyayi yang diidentikkan dengan Raden Fattah dan
Sultan Demak. Kemudian kelas Abangan yang diidentikkan dengan Syekh Siti Jenar.
Riwayat singkat Syaikh Siti Jenar
Nama asli Syaikh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali
Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar
Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah
tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang
atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di
Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang
Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal
Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun,
maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka
ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan
Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu.
KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan
Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan
antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus
pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh
Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak
dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya
yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid
Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus
Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan
ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda
berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada
Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi
amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah
Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti
Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
Kidung Syaikh Siti Jenar
Kidung Syaikh Siti Jenar seperti dinukil dari catatan
Dewi Ayu Pakungwati, salah seorang pemerhati sejarah budaya nusantara, kidung tersebut
di tulis dalam bahasa Jawa yang berbunyi; Sakarat pujine pati, maksude napas
pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan,
mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang
bangsa nur Muhammad , nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat akbar, Muhammad
takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana
Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, manunggaling kawula gusti
kang agung kang kinasihan.
Kidung tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, tulis Dewi Ayu, berarti akhir nafasku kemuliaan pati,
maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara
diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan
sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman
yang berbentuk cahaya nur Muhammad , cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu
adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku,
shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah yang lain, tidak ada Tuhan
kecuali hanyalah ‘AKU’ (kawula) yang tunggal saja,manunggaling kawula gusti
yang agung dan dikasihi. (Hri)
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar