Senin, 11 Mei 2020

SYEKH SITI JENAR


SYEKH SITI JENAR



SYEKH SITI JENAR
ASAL-USUL, SILSILAH DAN RIWAYATNYA
DARI LAHIR HINGGA MENINGGAL DUNIA

Orientasi
Syekh Siti Jenar adalah ulama besar yang lahir di Tanah Sunda. Nama aslinya adalah Sayyid Hasan Ali al Husaini, juga dikenal Syekh Abdul Jalil atau Syekh Lemah Abang. Syekh Siti Jenar sepenuhnya berdarah Arab dan sedikit Melayu. Darah Arab berasal dari ayahnya, Syekh Datuk Soleh. Darah Melayu berasal dari ibunya, Siti Fatimah.

Syekh Datuk Soleh adalah seorang ulama yang terpaksa menyingkir dari Kasultanan Malaka menuju Tanah Jawa bagian barat, karena gejolak politik-kenegaraan yang terjadi di Malaka. Ia memilih untuk tinggal dan menetap di wilayah kekuasaan Kedaton Japura yang letaknya berada di sebelah tenggara Kedaton Singapura (sekarang Cirebon).

Di wilayah Kedaton Singapura sendiri, telah tinggal seorang ulama bernama Syekh Datuk Kahfi yang mendirikan Padepokan Amparan Jati. Ia dikenal juga dengan nama Syekh Nurjati. Syekh Datuk Kahfi sendiri masih keponakan Syekh Datuk Soleh, karena ayah Syekh Datuk Kahfi yang bernama Syekh Datuk Ahmad adalah kakak kandung Syekh Datuk Soleh.

Ayah Syekh Siti Jenar itu datang ke wilayah Kedaton Japura yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh pada sekitar Syaka Warsa 1346 atau 1424 Masehi. Syekh Datuk Soleh memulai hidup di kawasan Japura dengan berdagang. Usahanya meningkat pesat. Hingga suatu hari berkenalan dengan Ki Danusela yang tinggal di Kebon Pasisir atau Tegal Alang-alang.

Kelak, wilayah Kebon Pasisir atau Tegal Alang-alang ini berubah namanya menjadi Caruban Larang dan lantas dikenal lagi dengan sebutan Cirebon. Hidup bersama suami di perantauan, Siti Fatimah mengandung jabang bayi. Namun, sang suami, Syekh Datuk Soleh terlebih dahulu meninggal dunia sebelum jabang bayi itu lahir.

Jabang bayi itu lahir pada Syaka Warsa 1348 atau 1426 Masehi. Oleh Syekh Datuk Kahfi, jabang bayi tersebut dinamakan Sayyid Hasan Ali al Husaini. Kelak, ia dikenal dengan Syekh Abdul Jalil atau Syekh Lemah Abang. Ia populer dengan nama Syekh Siti Jenar.

Dengan demikian, Syekh Siti Jenar masih adik sepupu dari Syekh Datuk Kahfi yang usianya terpaut jauh. Karena rasa kasihan, Ki Danusela sahabat karib Syekh Datuk Soleh sewaktu berdagang, akhirnya mengangkat Sayyid Hasan Ali al Husaini sebagai anak pupon atau anak angkat.

Sejak kecil, Sayyid Hasan Ali al Husaini dititipkan untuk menerima ajaran agama Rasul di Padepokan Amparan Jati yang didirikan kakak sepupunya sendiri, Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurjati).

Menginjak usia dewasa, Sayyid Hasan Ali al Husaini sering membantu bapak angkatnya, Ki Danusela dalam urusan perniagaan. Pada saat yang sama, putri Ki Danusela yang bernama Retna Riris diambil istri oleh Pangeran Walangsungsang yang kelak menjadi penguasa Cirebon bergelar Shri Mangana Cakrabuana.

Atas hubungan pernikahan itu, Syekh Siti Jenar yang menjadi anak angkat Ki Danusela akhirnya dianggap sebagai adik angkat oleh Pangeran Walangsungsang, menantu Ki Danusela. Lebih-lebih, Syekh Siti Jenar masih adik sepupu dari Syekh Datuk Kahfi, guru Pangeran Walangsungsang di Padepokan Amparan Jati. Karena itu, hubungan Syekh Siti Jenar dengan Pangeran Cakrabuana sudah dianggap seperti adik sendiri.

Adapun Retna Riris, putri Ki Danusela dikenali dengan nama Dewi Kancana Larang saat Pangeran Walangsungsang ditabalkan sebagai penguasa Cirebon bergelar Shri Mangana Cakrabuana. Pengembaraan Syekh Siti Jenar ke Tanah Jawa wilayah timur yang dikenali dengan Majapahit, karena atas perintah kakak angkatnya sendiri, Shri Mangana Cakrabuana. Ia mendapatkan mandat untuk ikut menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

Dalam perintahnya, penguasa Cirebon itu meminta agar Syekh Siti Jenar melakukan ziarah ke tempat-tempat suci sekaligus menggali ilmu leluhur Jawa Kuno. Setelahnya, ia juga harus mengunjungi tempat-tempat suci serta belajar ilmu Sunda kuno. Tujuannya agar Syekh Siti Jenar paham betul agama dan keyakinan leluhur Nusantara, terutama leluhur Jawa dan Sunda kuno agar mampu menyebarkan agama Islam dengan baik.

Mungkin karena itu pula, Syekh Siti Jenar memiliki pandangan dan pemikiran yang lebih terbuka ketimbang para pendakwah lainnya. Ia dikenal dengan ajarannya yang langsung tertuju pada "hakikat" atau "makrifat". Karena ajaran itu pula sesungguhnya ada dalam pengajaran agama Syiwa-Buddha, agama yang eksis berabad-abad lamanya di Tanah Jawa, baik di Majapahit maupun Sunda-Galuh.

Dalam perjalanan hidupnya, Syekh Siti Jenar pernah masuk anggota Walisongo atas rekomendasi Sunan Ampel, sesepuh sekaligus pendiri Majelis Dakwah Walisongo. Bahkan, ia dipercaya sebagai Panetep Panatagama ring Sunda menggantikan jabatan yang semula dipegang kakak sepupunya, Syekh Datuk Kahfi. Ia juga sempat mendirikan Padepokan Krendasawa di kawasan Lemah Abang, Cirebon.

Mungkin karena itu, ia juga akrab dikenali sebagai Syekh Lemah Bang. Ia memutuskan untuk keluar dari anggota Majelis Dakwah Walisongo saat dipimpin Sunan Giri. Alasannya, pergerakan Walisongo yang ikut campur pada urusan politik-kenegaraan dianggap sudah tidak murni lagi pada perjuangan syiar agama Islam. Ketidaksepahaman dengan Sunan Giri itulah yang menjadi alasan bagi pihak Sunan Giri untuk menyesatkan ajaran Syekh Lemah Bang tentang "Manunggaling Kawula lan Gusti."

Bagi Sunan Giri, Syekh Lemah Abang dan ajarannya akan menjadi duri dalam tubuh Majelis Dakwah Walisongo. Apa yang menjadi pemikiran Syekh Siti Jenar terbukti ketika Walisongo berhasil mendorong suksesi berdirinya Demak Bintoro sebagai negara Islam di Tanah Jawa, lantas ia mendirikan kerajaan dan menjadi Raja Giri Kedaton di Gresik. Raden Patah tidak bisa berbuat apa-apa ketika pimpinan Walisongo itu mendirikan negara sendiri di Gresik. Padahal semestinya, hanya Kasultanan Demak satu-satunya negara yang mengukuhi Tanah Jawa sebagaimana Majapahit masih berjaya.

Sementara Syekh Siti Jenar memilih hidupnya dengan jalan kenikmatan melebur bersama Dzat yang Maha Suci. Karena baginya, tidak ada apa-apa di semesta ini kecuali hanya Dia semata. Adapun tubuh manusia dan materi dunia ini hanya fana belaka. Karena itu pula, konon saat Syekh Siti Jenar menerima hukuman mati karena dianggap sesat dan menyesatkan, ia tetap tenang dan meninggalkan bau wangi di sekitar lokasi eksekusi.

Sunan Kudus, sang eksekutor juga terkejut dengan peristiwa meninggalnya Syekh Siti Jenar usai dieksekusi. Konon, di tengah-tengah darah, lamat-lamat halus membentuk empat huruf yang apabila dibaca berlafazh "Allah".

Kanjeng Sunan Kalijaga yang pada saat kejadian mengalami peningkatan kesadaran dan spiritual, mendengar suara halus dan pelan. Suara itu kemudian ditulis dalam Tembang Kinanti. Begini salah satu penggalan kalimat yang menurut historyofjava.com memiliki makna sebagai pembelajaran bersama. "Sejati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinen pangesthinira, gineleng dadi sawiji, wijanging ngelmu jatmika, neng kahanan eneng ening."

Artinya, "Sesungguh-sungguhnya ilmu, berada di dalam kesadaranmu sendiri. Tingkatkan kesadaranmu itu, satukan dengan Kesadaran Sejati. Kesempurnaan ilmu sesungguhnya akan kamu dapatkan dalam keadaan diam (eneng) hening (ening)."

Makam Syekh Siti Jenar
Jenazah Syekh Lemah Abang kemudian dimakamkan di Kampung Kemlaten, Cirebon. Tapi atas perintah Sunan Gunung Jati yang sudah menjadi penguasa Cirebon menggantikan Shri Mangana Cakrabuana, jenazah Syekh Siti Jenar dipindah di Giri Amparan Jati.

Namun begitu, ada banyak versi mengenai letak dan lokasi makam Syekh Siti Jenar yang benar. Ada yang mengatakan di kawasan Masjid Agung Demak, ada pula yang menyebut di Jepara, Jawa Tengah.

Hal itu tidak lepas dari keharuman nama Syekh Lemah Abang sebagai pendakwah agama Islam dengan caranya sendiri. Dialah sosok yang menjadi guru para tokoh Jawa seperti Kanjeng Sunan Kalijaga, Raden Bondan Kejawan (putra Prabu Brawijaya Raja Majapahit dari istri selir) yang menjadi "Lelajer Tanah Jawa", Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging (ayahanda Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya) dan masih banyak lagi lainnya.

Cerita singkat mengenai sejarah asal-usul, silsilah dan riwayat Syekh Siti Jenar dari lahir hingga meninggal dunia ini diambil dari berbagai sumber referensi, seperti Babad Tanah Jawi Demakan, Babad Tuban, Babad Cirebon, Serat Kandha, Purwaka Caruban Nagari, hingga cerita tutur masyarakat. (*)

Sumber : Google Wikipedia

KISAH SYEKH SITI JENAR,
ANGGOTA WALISONGO DAN GURU SUNAN KALIJAGA

Orientasi
Syekh Siti Jenar adalah anggota Walisongo bertempat di kawasan Lemah Abang Cirebon, sebelum akhirnya dikeluarkan dari dewan wali karena berbeda pandangan politik dengan pemimpin Walisongo saat itu, Sunan Giri.

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Syekh Abdul Jalil atau Sayyid Hasan 'Ali al Husaini. Karena mendirikan padepokan agama Islam di wilayah Lemah Abang Cirebon, ia juga dikenal dengan Syekh Lemah Abang.

Syekh Lembang Abang masih terhitung keponakan Syekh Datuk Kahfi, guru Sri Mangana Cakrabuana penguasa Cirebon. Karena itu, pesantren yang didirikan Syekh Siti Jenar bernama "Krendasawa" juga mendapatkan sokongan dari penguasa Cirebon, Sri Mangana Cakrabuana atau yang dikenal Pangeran Walangsungsang.

Saat itu, Pangeran Walangsungsang berhasil mendirikan wilayah Cirebon atas dukungan gurunya, Syekh Datuk Kahfi. Cirebon adalah wilayah pertama di Pulau Jawa baik di Tanah Sunda maupun Jawa yang berdiri dengan hukum atau undang-undang syariat Islam.

Karena itu, kedatangan Syekh Siti Jenar di wilayah Lemah Abang Cirebon disambut dengan baik oleh pamannya, Syekh Datuk Kahfi, ulama dari Arab. Sementara Syekh Siti Jenar sendiri merupakan ulama yang berasal dari Persia atau sekarang Iran.

Bahkan, Sayyid Hasan Ali al Husaini atau Syekh Lemah Abang juga dianggap sebagai adik angkat sendiri oleh Raja Cirebon, Sri Mangana Cakrabuana. Ia lantas mendirikan padepokan di wilayah Lembah Abang, dekat perbatasan Kedaton Japura.

Nama Syekh Lemah Abang menjadi buah bibir di kalangan masyarakat luas di kawasan pesisir utara Jawa, mulai dari ujung barat hingga timur. Namanya semakin terkenal ketika para saudagar dan anak buah kapal membicarakannya di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi.

Nama Padepokan Krendasawa yang terkesan aneh membuat banyak orang penasaran. Bukan hanya karena ingin memeluk agama Islam, ketertarikan masyarakat luas juga berasal dari mereka yang masih beragama lama, Syiwa-Buddha terutama dari golongan pertapa atau para resi.

Kenapa padepokan baru yang ia dirikan dinamakan Krendhasawa yang artinya keranda mayat? Mengerikan memang nama pesantren yang dibangun Syekh Siti Jenar. Hal itu yang membuat banyak masyarakat menjadi penasaran dan membuatnya dikenal serta menjadi buah bibir warga.

Dikutip redaksi historyofjava.com dari berbagai sumber, berikut kisah Syekh Siti Jenar yang hidup di zaman Walisongo, sebuah era peralihan dari zaman Hindu-Buddha menuju zaman Islam, dari zaman Majapahit ke Demak Bintoro.

Surat dari Sunan Ampel
Sunan Ampel adalah gurunya para wali, sesepuh para wali. Mendengar kiprah dari Syekh Lemah Abang, Sunan Ampel mengirimkan surat kepadanya untuk masuk sebagai anggota Majelis Dakwah Walisongo.

Surat itu juga ditembuskan (tembusan) kepada Sri Mangana Cakrabuana sebagai penguasa wilayah Islam Cirebon, serta Syekh Datuk Kahfi pengasuh Padepokan Amparan Jati sang guru Cakrabuana sendiri.

Atas restu dari Sri Mangana Cakrabuana dan Syekh Datuk Kahfi, Syekh Siti Jenar berangkat ke Pesantren Ampeldhenta Surabaya Jawa Timur. Keberangkatannya diiringi Pangeran Kajaksan dan Pangeran Panjunan, putra Syekh Datuk Kahfi yang menjadi pejabat penting di Keraton Cirebon.

Selain itu, tujuh orang santri Syekh Siti Jenar juga ikut menyertai sang guru. Mereka adalah Galinggangjati (Raden Bondan Kejawan putra Raja Majapahit Prabu Brawijaya dari istri selir Bondrit Cemara), Malayakusuma (Raden Syahid belum menjadi Sunan Kalijaga), Ki Lonthang Semarang, Ki Bisana, Ki Wanataya, Ki Canthula, dan Pringgabaya.

Di Pesantren Ngampeldhenta Surabaya, para ulama yang tergabung Majelis Walisongo sudah berkumpul. Mereka adalah Sunan Ampel, Sunan Kapasan, Raden Santri Raja Pandhita, Sunan Bungkul, Pangeran Makdum Ibrahim (kelak Sunan Bonang), Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin (kelak Sunan Giri), Syekh Mangati, Syekh Hasyim Alimuddin (Sunan Majagung), Syekh Muhammad Nurul Yaqin (Susuhunan Muryapada atau Sunan Muria pertama) dan Syekh Bentong.

Tiga ulama besar lainnya yang tidak bisa hadir karena usia sudah sepuh adalah Syekh Maulana Maghribi, Syekh Datuk Kahfi dan Syekh Bayanullah.

Resmi menjadi anggota Walisongo
Dalam pertemuan para ulama di Pesantren Ngampeldhenta di Surabaya, Syekh Lemah Abang atau Sayyid Hasan Ali al Husaini atau Syekh Abdul Jalil yang dikenal sekarang sebagai Syekh Siti Jenar, maka ia resmi menjadi anggota Walisongo.

Bahkan, Syekh Lemah Abang mendapatkan limpahan jabatan Panetep Panatagama ring Sunda dari Syekh Datuk Kahfi karena usia sudah sepuh. Artinya, Syekh Siti Jenar memperoleh kewenangan dari Walisongo sebagai sesepuh agama Islam di Tanah Sunda.

Pada masa ini, Sunan Gunung Jati masih belum apa-apa. Kelak, setelah Sunan Ampel wafat dan tampuk kepemimpinan Walisongo dipegang Sunan Giri, Syekh Siti Jenar menyatakan keluar dari Walisongo.

Majelis Walisongo pimpinan Sunan Giri itu sudah dianggap tidak murni lagi karena mencampuri urusan negara atau bermain politik. Salah satunya, peran Walisongo dalam meruntuhkan Majapahit dan menggantinya dengan Kasultanan Demak Bintoro.

Setelah Syekh Siti Jenar keluar, penggantinya adalah Syarif Hidayatullah keponakan sekaligus menantu Sri Mangana Cakrabuana. Syarif Hidayatullah kemudian menjadi Panetep Panatagama ring Sunda bergelar Sunan Gunung Jati.

Guru Sunan Kalijaga
Raden Syahid mengembara mencari ilmu kesejatian hidup. Ia mencari seorang ulama bernama Sayyid Hasan Ali al Husaini, pengasuh pesantren Krendhasawa Lemah Abang Cirebon.
Raden Syahid mantab belajar kepada Syekh Siti Jenar saat berusia 19 tahun. Dia mengaku bernama Malayakusuma berasal dari Majapahit, tepatnya lahir di Tuban.

Sebelumnya, Syekh Siti Jenar mendapatkan wangsit didatangi Syekh Maulana Magribi. Paginya usai solat dhuha, Syekh Siti Jenar ternyata kedatangan pemuda berusia 19 tahun bernama Malayakusuma.

Raden Syahid atau Malayakusuma terhitung putra tiri Syekh Maulana Magribi, karena ibunda Raden Syahid menikah terlebih dahulu dengan Syekh Maulana Maghribi sebelum menikah dengan ayah Raden Syahid, Adipati Tuban.

Sebelum kedatangan Malayakusuma, Syekh Lemah Abang ditemui Syekh Maulana Magribi dalam dunia gaib. Sebelum diterima sebagai santri di Krendasawa, Malayakusuma dicecar dg banyak sekali pertanyaan.

Setelah dianggap lolos, Malayakusuma akhirnya diterima sebagai santri Krendhasawa. Bahkan, Raden Syahid ini sempat mengiringi gurunya, Syekh Siti Jenar sewaktu diundang Sunan Ampel untuk menjadi anggota Majelis Walisongo.

Kelak, murid Syekh Siti Jenar bernama Malayakusuma ini juga menjadi anggota Walisongo yang sangat terkenal, Kanjeng Sunan Kalijaga. Namanya tersohor sebagai wali besar, waliyullahnya Tanah Jawa dan Nusantara.

Namun, kisah sang guru, Syekh Siti Jenar justru sangat tragis. Ia ditangkap dan diadili karena ajarannya dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam pada umumnya.

Para wali sebetulnya tidak menyalahkan ajaran Syekh Lemah Abang, waliyullah dari negeri Persia ini. Hanya saja, ajaran "Manunggaling Kawulo lan Gusti" dianggap tidak tepat diajarkan kepada publik atau orang awam.

Tapi bagi Syekh Lemah Abang, eksekusi yang ia terima bukanlah apa-apa. Karena ia sudah mencapai kesejatian diri bahwa yang dieksekusi adalah jasadnya semata, sedangkan diri sejatinya bersama atau melebur bersama Dzat yang Maha Suci atau Sumber Segala Semesta. (*)

Sumber : Google Wikipedia



KESALAHAN SEJARAH SYEKH SITI JENAR YANG JADI FITNAH

Orientasi
Misteri tentang kisah Syekh Siti Jenar seolah-olah selalu menarik untuk diulas. Terlebih lagi jika keberadaan Syekh Siti Jenar dikaitkan dengan pemahaman konsep ketuhanannya yang dianggap menyimpang dari pemahaman 9 wali atau Wali Songo.

Adalah KH. Shohibul Faroji Al-Robbani, seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Banyuwangi, membeberkan fakta-fakta baru yang membantah mitos kekeliruan pemahaman tentang sosok Syekh Siti Jenar selama ini.

Dalam sebuah artikelnya, ada lima poin tanggapan yang dipaparkan oleh Shohibul Faroji Al-Robbani yang membantah fakta sejarah tentang Syekh Siti Jenar.

1.   Pertama, mengenai anggapan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Menurut Shobil Faroji, sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati menceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. “Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di Desa Lemah Abang,” jelasnya.

2.    Kedua, tentang ajaran Manunggaling Kawulo Gusti yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah yang berarti segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’i.

3.    Ketiga, dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan sholat, puasa Ramadhan, sholat Jumat, dan haji. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal syari’at Islam sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir ‘Allah, Allah, Alla…’ dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jumat” bela Syaikh Burhanpuri pada gurunya.

4.  Keempat, tentang kematian Syaikh Siti Jenar yang dibunuh oleh Wali Songo dan mayatnya berubah menjadi anjing.  “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama, kiai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di pengimaman Masjid Agung Cirebon setelah sholat Tahajjud. Kemudian para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh,“ terang Shohibul Faroji.

5.  Kelima, tentang cerita bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidussyarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan. Tidak boleh membunuh seorang jiwa mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin sembilan waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat,” tegas Shohibul Faroji membantah beberapa fakta yang selama ini keliru dipahami oleh masyarakat tentang Syekh Siti Jenar.

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia, Azyumardi Azra adalah ulah penjajah Belanda untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera (Politik Pecah Belah) dengan tiga kelas, yaitu kelas santri yang diidentikkan dengan 9 Wali, kelas Priyayi  yang diidentikkan dengan Raden Fattah dan Sultan Demak. Kemudian kelas Abangan yang diidentikkan dengan Syekh Siti Jenar.

Riwayat singkat Syaikh Siti Jenar

Nama asli Syaikh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

Kidung Syaikh Siti Jenar 

Kidung Syaikh Siti Jenar seperti dinukil dari catatan Dewi Ayu Pakungwati, salah seorang pemerhati sejarah budaya nusantara, kidung tersebut di tulis dalam bahasa Jawa yang berbunyi; Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur Muhammad , nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat akbar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, manunggaling kawula gusti kang agung kang kinasihan.

Kidung tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tulis  Dewi Ayu, berarti akhir nafasku kemuliaan pati, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya nur Muhammad , cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah yang lain, tidak ada Tuhan kecuali hanyalah ‘AKU’ (kawula) yang tunggal saja,manunggaling kawula gusti yang agung dan dikasihi. (Hri)

Sumber : Google Wikipedia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...