Rabu, 27 April 2016

Kisah Fatimah Az-Zahra, r.a.



Asal-Usul Fatimah az-Zahra, r.a.

Fatimah binti Muhammad (606/614 - 632) atau lebih dikenal dengan Fatimah az-Zahra (Fatimah yang selalu berseri) (Bahasa Arab: فاطمة الزهراء) putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah.

Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran & Kematian
Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fatimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’bah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah.

Kelahiran Fatimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fatimah dan julukannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).

Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya. sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.

Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fatimah dan kakaknya ummu Kulsum tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya. Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminang Fatimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi Nabi menolak dengan lemah lembut. Lalu Ali bin Abi Thalib datang kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika Nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, Tidak ada ya Rasulullah,” jawabku. “ Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” Tanya beliau. “ Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku. “Berikan itu kepadanya (Fatimah) sebagai mahar,”.kata beliau.

Lalu ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affan seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.

Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al-Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. pada tahun ke 5 H ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir bernama Ummu Kultsum.

Rasulullah sangat menyayangi Fatimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fatimah sebelum menemui istri istrinya. Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fatimah, jika ia datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fatimah bila Rasulullah datang mengunjunginya.”.
Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala diatas mimbar:” Sungguh Fatimah bagian dariku , Siapa yang membuatnya marah berarti membuat aku marah”. Dan dalam riwayat lain disebutkan,” Fatimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”.

Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fatimah, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata,” Selamat datang wahai putriku”. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikkan sesuatu, sehingga Fatimah menangis dengan tangisan yang keras, tatkala Fatimah sedih lalu Beliau membisikkan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fatimah tersenyum.

Tatkala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisikannya lalu Fatimah menjawab,” Saya tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fatimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fatimah menangis dan tersenyum. Lalu Fatimah menjawab, ”Adapun yang Beliau katakan kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qur’an dengan hafalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata, “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik-baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah Aku”. 

Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata, ”Wahai Fatimah apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita-wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.
Tatkala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fatimah jatuh sakit, namun ia merasa gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam Selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.

Keluarga
Pernikahan
Ketika usianya beranjak dewasa, Fatimah Az-Zahra dipersunting oleh salah satu sepupu, sahabat sekaligus orang kepercayaan Rasulullah, Ali bin Abi Thalib.

Keturunan
Dari pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az Zahra memiliki 4 anak, 2 putra dan 2 putri. 2 putra yaitu Hasan dan Husain. Sedangkan yang putri yaitu Zainab dan Ummu Kulsum. Hasan dan Husain sangat disayangi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Waalihi Wassalam.Sebenarnya ada satu lagi anak Fatimah Az Zahra bernama Muhsin ,tetapi Muhsin meninggal dunia saat masih kecil.

Kesayangan ayahnya
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang sabar,dan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan nama Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata " Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia".

Detik-Detik Kematian Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib. Cukuplah kalau disebutkan bahwa dia adalah sepupu Nabi Suci Muhammad saw. Sejak kelahirannya di Ka’bah, dia dibesarkan dan dididik langsung oleh Nabi Suci. Ali adalah  lelaki pertama yang memeluk Islam. Ali adalah kembang, kebanggaan dan perisai Islam hingga akhir hayatnya.
Berikut adalah maqtam, narasi detik-detik kematian Ali yang cemerlang, yang kerap dibacakan di majelis menyambut malam ganjil Laylatul Qadar – 19 dan 21 Ramadhan:

Malam 19 Ramadhan
Narator:   BICARA TENTANG manusia, orang sudah seharusnya bicara tentang apa yang terjadi di akhir perjalanan manusia. Yaitu kematian. Dan soal kematian, fragmen Kesyahidan Amiril mu’minin Imam Ali merupakan  manifestasi keimanan, kecintaan, akhlak yang agung, kemuliaan, kerinduan membara pada Sang Khalik.
Kalangan sejarawan Islam mengatakan bahwa fragmen Kesyahidan Imam Ali menjadi indah dalam sejarah kemanusian karena dia telah mengetahui detail ceritanya dari jauh hari. Rasul sendiri yang mengabarkan bahwa Imam Ali bakal syahid karena sebuah pukulan pedang beracun di bulan Ramadhan. Tapi Imam Ali tak pernah sedikitpun menunjukkan tanda meminta penangguhan atau menunjukkan gelagat enggan menerima suratan tragis itu. Padahal, sekiranya mau, dia bisa mengubah cerita akhir hidupnya.

Toh orang tahu Ali pernah menahan terbenamnya matahari dengan sebaris doa. Orang pun tahu kalau Rasul Suci akan mengorbankan apa saja, termasuk nyawanya, sekiranya Imam Ali yang meminta. Antara Rasul dan Ali ada ikatan kuat yang tak terpisahkan, bahkan oleh kematian. Ali pernah berkata:
Imam Ali  “Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku pun selalu menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari akhlak beliau yag mulia, aku menerimanya serta langsung mengikutinya sebagai kewajiban yang diperintahkan.”

Narator:   Rasul sendiri pernah bersabda: “Ali tak pernah ragu dalam melaksanakan perintahku dan  selalu menantiku dalam segala sesuatu.”
Kata Rasul lagi: “Jika kalian ingin melihat keluasan ilmu Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan Ibrahim, keterpesonaan Musa (saat menyaksikan Allah), pelayanan dan wara’ Isa, maka lihatlah pada wajah Ali.”

Ya, Ali yang disayang Rasul itu berhadapan dengan bayang-bayang kematian saat usianya masuk 63 tahun. Tapi Ali bukan sembarang lelaki. Dia menyambut kematiannya seperti pengantin yang menanti hari pernikahan. Inilah kisah kerinduan, kesyahduan, penantian kekasih demi menjumpai Sang Tambatan Hati, Allah swt.

Pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah itu, setiap hari Imam Ali mendatangi anaknya untuk berbuka dan sahur bersama. Terkadang beliau mampir di rumah Imam Hasan, kemudian besoknya mendatangi Imam Husein, di hari ketiga mendatangi putrinya Zainab, dan di hari keempat berbuka dan bersahur di rumah putrinya Ummu Kalsum.
Hari itu adalah Jumat yang cerah, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H. Di rumah Ummu Kaltsum di Kufah, di wilayah yang sekarang disebut sebagai Irak, Ali seperti merangkum sejarah dan perjuangan pahit getir para Nabi sejak Adam hingga Ibrahim di tanah Babilonia.

Pada malam 19 itu, Ummu Kalsum mendapat giliran berbuka bersama ayah tercintanya. Dia menyuguhkan menu berbuka dalam dua nampan, satu berisi roti kering dan lainnya berisi susu masam. Imam Ali menegurnya: “Bukankah kau sudah tahu bahwa aku selalu mengikuti putra pamanku Rasulullah yang tidak pernah makan sajian dalam dua nampan sepanjang hidupnya? Maka mohon angkatlah salah satunya. Barangsiapa yang makan dan minumnya enak di dunia ini maka perhitungannya akan lama kelak di hadapan Allah… .”

Ummu Kulsum menuturkan bahwa malam itu Imam Ali makan sangat sedikit dari roti kering yang kusuguhkan dan memperbanyak ucapan hamdalah dalam tiap suapnya. Selesai makan sedikit, Imam segera bangkit untuk melaksanakan shalat yang lama. Imam terus dalam keadaan rukuk, sujud, bermunajat, berdoa yang khusyu, dan sering-sering keluar rumah untuk melihat langit. Sekali di antaranya dia berujar: “Ya, ya…inilah malam yang dijanjikan kekasihku Rasulullah.”
Di malam itu, Ali sempat tertidur sejenak dan terbangun cepat.
Ummu Kaltsum, putri bungsu Fathimah Azzahra ‘alayhas-salam itu, lantas menuturkan apa yang terjadi di detik-detik yg paling mempesona dari kehidupan ksatria langit, kekasih Allah dan Rasulullah ini sebagai berikut.
Ummu Kaltsum “Aku melihat ayahku shalat hingga tengah malam. Di serangkaian shalatnya, beliau sebentar-sebentar keluar rumah, menengok sejenak ke langit dan kembali lagi untuk shalat. Tangisannya lebih panjang dari biasanya. Rukuknya lebih lama, sujudnya lebih lama. Lantunan munajatnya pun lebih syahdu dari hari-hari biasanya.”

Narator : Imam Ali tenggelam dalam ibadah hingga menjelang subuh. Di sela-selanya, dia beberapa kali seperti berbicara pada dirinya sendiri:
“Sepertinya inilah malam yang dijanjikan kekasihku, Rasulullah.”
“Ya Allah, Engkau tak pernah berbohong dan aku pun tidak akan mengkhianati-Mu. Inilah malam kematian yang Kau janjikan padaku.”
“Lailaha Illallah. Hukum sebab akibat senantiasa terjadi. Sebentar lagi ketetapan Allah akan diputuskan.”

Narator: Ummu Kaltsum hanya bisa berurai air mata. Kakeknya Rasulullah saw. Pernah mengatakan bahwa Ali akan Syahid dibunuh “saudara pembunuh onta suci Nabi Shaleh” pada Jumat terakhir bulan Ramadhan. Imam Ali dan semua keluarga dekat Nabi tahu persis siapa orangnya: Abdurrahman Ibnu Muljam.
Nama Ibnu Muljam sebenarnya sudah lama dikenal oleh keluarga Nabi.
Suatu kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam Ali, pernah menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam hari. Di tengah2 perjalanan, terdengar suara ayat Alquran dari masjid.
Kumayl berkata, “Ya Amirul Mu’minin, alangkah merdunya suara itu.”
Imam Ali menimpali, “Ya Kumayl, itulah suara orang (Abdurrahman bin Muljam) yang akan menebas pedangnya ke kepalaku di saat aku sedang shalat subuh.”

Narator: Ali sadar tak ada hukum yang bisa dilakukan untuk kejahatan yang belum dikerjakan. Dia juga tahu kematian adalah sesuatu yang menyeramkan tapi perhatian pada Tuhan akan melenyapkan semua ketakutan apapun di alam ini.
Malam itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke langit.
Di mesjid Kufah, dia mendapati Ibnu Muljam tidur telungkup. Dia pun menasehatinya: “Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fasik dan munkar.
Yang disapa dan dinasehati membantu, tak kunjung beranjak.Lalu Imam Ali berkata lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan sesuatu yg sangat berbahaya, sangat mengerikan. Kalau aku mau, akan kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu itu.”

Narator : Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam, semoga Allah swt mengutuknya, tersimpan pedang beracun. Tapi dia tak mempedulikannya untuk sebuah alasan yang belum pernah didengar dunia.
Setelah azan subuh tanggal 19 Ramadhan berkumandang, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kembali keluar masjid, dan menengok ke fajar yang menyingsing. Kemudian dengan suara parau, beliau mengucapkan selamat berpisah kepada fajar:
Imam Ali ”Wahai Fajar.. sepanjang Hayat Ali.. Pernahkah engkau muncul dan mendapatkannya tertidur ??

Narator : Di mihrab, Ali memulai shalatnya seorang diri. Dia seperti sengaja memperpanjang rukuk dan sujudnya. Ibnu Muljam, seperti orang-orang di zaman itu, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat shalat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai mengayunkan pukulan ke kepala Ali, tepat saat Ali ingin bangun dari sujud partamanya.
Darah lalu mengucur deras. Dahi Ali koyak. Janggutnya meneteskan darah. Tapi tak ada erangan dari mulut Ali. Justru pujian pada Tuhan.
Imam Ali ;“Bismillah, wa billah wa ‘ala millati Rasulillah…
Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian berteriak: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah…Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.”
Seiring dengan suara Imam Ali, seluruh penduduk Kufah mendengar gelegar suara keras Jibril yang mengabarkan berita duka itu, hingga semua warga berhamburan keluar rumah untuk menuju masjid jami Kufah.
Ummu Kalsum yang mendengar suara itu dari rumah sontak menjerit lirih: “Waaah Abataaah, Waaah Aliyaah” (Oooh Ayahku, Ooooh Aliku).
Yang pertama datang menyaksikan Imam Ali bercucuran darah adalah putra sulungnya, Hasan.
Imam Hasan menuturkan bahwa Imam Ali terus berusaha melengkapi rangkaian shalatnya sambil duduk. Badannya menggigil. Setelah salam, dia mengusapkan tanah sujud ke dahinya yang merekah sembari mengucapkan firman Allah dalam surat Thaha ayat 55:
Imam Ali “Dari tanah, kalian Kami ciptakan, dari tanah pula kalian Kami kembalikan dan bangkitkan.”

Narator: Semua kejadian disaksikan oleh seluruh putranya, terutama Hasan yang tak kuasa menahan airmata. Imam Ali meminta Hasan untuk mengimami jamaah shalat. Beliau mengikuti dari belakang dengan gerakan isyarat sambil terus membersihkan cucuran darah dari kening sucinya.
Seusia shalat, Hasan langsung kembali menengok ayahnya, didampingi Husein dan seluruh putra Ali yang lain.

Hasan: Duhai Ayahku, tak kuasa aku melihatmu begini…sungguh ini sangat menghancurkan hatiku. Berat sekali bagiku melihatmu seperti ini.
Imam Ali membuka matanya lalu berkata: Anakku Hasan…jangan bersedih. Sebentar lagi aku tidak akan merasakan kegetiran apapun. Lihatlah itu, Kakekmu Muhammad Al-Musthafa, Nenekmu Khadijah Al-Kubra, Ibumu Fathimah Azzahra, dan para bidadari berjejer-jejer menyambut kedatangan ayahmu. Tegarlah dan riangkan hatimu.

Hasan kemudian meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya untuk membersihkan darah yang tak berhenti mengucur. Tak lama berselang, Imam Ali pingsan dalam pelukan Hasan. Jerit tangis membahana ke seluruh arah. Hasan pun langsung menciumi wajah ayahnya demikian pula putra-putra Imam yang lain.
Derasnya airmata Hasan menyadarkan Imam Ali. Imam pun langsung bertanya: “Anakku Hasan, untuk apa tangisan ini? Jangan bersedih atas keadaan ayahmu. Apakah kau bersedih atas keadaanku padahal esok kau akan dibunuh dengan cara diracun dan adikmu Husein akan dibunuh dengan tebasan pedang. Lantas kalian semua akan menyusulku bersama kakek dan ibu kalian.”

Setelah kekacauan terjadi, salah seorang di antara khalayak belakangan masuk membawa Ibnu Muljam. Orang curiga dia lari menjauh dari mesjid dengan pedang berlumur darah sementara seluruh penduduk justru menuju masjid.
Kematian telah mendekati Ali. Rekahan di dahinya begitu dalam. Tapi musibah itu tak merusak karakter keadilan yang larut dalam darah dan dagingnya. Dia melarang orang membalas pada Ibnu Muljam.
Imam Ali “Aku tahu engkau akan membunuhku…Pasti…Tapi sesungguhnya aku masih berharap pada Allah adanya perubahan pada diri dan nasibmu.”

Narator ; Ibnu Muljam tak kuasa mendengar kalimat setinggi itu. Dia menangis.
Ibnu Muljam  “Ya Amirul Mukminin, afa anta tunqidzhu man finnaar (apakah engkau bisa menolong orang yang sudah masuk neraka)?”

Narator:  Ali menjawab dengan memerintahkan anak-anaknya mencari susu. Dia kehausan dan meminta mereka mempersilahkan Ibnu Muljam meminumnya lebih dahulu……………….sedangkan Imam meminum   sisanya………. Inilah minuman susu terakhirnya.
Imam Ali :”Wahai, putra-putra ‘Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak ingin melihat kalian menumpahkan darah kaum Muslimin sambil berteriak “Amirul Mukmini telah dibunuh!” Ingatlah, jangan membunuh dengan alasan kematianku, kecuali atas pembunuhku. Tunggulah hingga aku mati oleh pukulannya ini. Kemudian pukullah dia dengan satu pukulan dan jangan rusakkan anggota-anggota badannya, karena aku telah mendengar Rasulullah saw berkata, “Jauhkan memotong-motong anggota badan sekalipun terhadap anjing gila.

Narator: Imam Ali lahir di Ka’bah yang suci dan pada bulan yang suci, di mihrab yang suci dan dalam keadaan bersuci pula dia menyambut kematian. Kufah berduka. Rumah-rumah keluarga Nabi gelap selama beberapa malam. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Malam 21
Pada malam 21 itu keluarga Nabi mengenakan busana hitam, karam dalam duka yang mendalam. Para malaikat dan segenap kekasih Allah meleleh dalam pilu yang menyayat. Malam itu begitu panjang dan melelahkan. Waktu seolah membeku dalam kebisuan, menolak untuk menerima takdir perpisahan. Pedang kesesatan dan kebodohan menyempurnakan kegelapan malam itu dengan sebilah kenistaan yang bercampur kebencian.

Sementara di sudut lain dari bumi, gerombolan orang pandir, pengkhianat kemanusiaan, penyulut api neraka yang paling mengerikan, pembenci keluarga Nabi sedang berpesta pora.
Saat racun kian merasuki sekujur tubuh suci Imam Ali, kerinduannya pada Allah dan Rasul kian berkobar-kobar. Dia terlihat begitu pasrah, teduh, berparas pucat pasi, menerima nasib dalam kegairahan yang seutuhnya. Imam Ali menyambut perpisahan dengan dunia dalam rindu bercampur sedih, pilu bercampur riang, perasaan yang mengayun di antara perpisahan yang menyesakkan dan perjumpaan yang melegakan setelah perjalanan berliku yang menahun.

Manusia dan jin, binatang-binatang, burung-brung di angkasa, ikut merasakan kesedihan berpisah dengan Imam Ali yang senantiasa menjadi sumber kasih bagi mereka. Jibril berteriak keras memecah keheningan malam itu: “Ooooh, sungguh salah satu tiang petunjuk Allah telah roboh… satu lagi seorang pemberi peringatan yang suci pergi dari dunia yang fana ini!

Diriwayatkan bahwa suatu kali ketika Rasulullah sedang berbicara tentang bulan Sya’ban yang dilanjutkan dengan penjelasan tentang keunggulan bulan Ramadhan dan ketinggian nilai ibadah di dalamnya, kemudian Imam Ali berdiri di hadapannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah amalan paling baik di bulan Ramadhan?” Rasul menjawab, “Wahai Abul Hasan, sebaik-baik amal di bulan ini ialah berpantang dari hal-hal yang diharamkan Allah.”
Tiba-tiba Rasul menangis…

Amirul Mukminin bertanya lagi, “Apakah yang membuatmu menangis, Ya Rasulullah?”
Baginda Nabi menjawab, “Aku menangis karena apa yang akan menimpamu di bulan itu. Sekarang aku seakan-akan menyaksikanmu menunaikan shalat untuk Tuhanmu manakala orang paling sial dari masa lalu dan masa kini, adik dari pembunuh onta Nabi Saleh, memedang dahimu hingga janggutmu memerah berlumuran darah.”
Lalu Amirul Mukminin bertanya, “Ya Rasulullah, apakah saat itu aku dalam keadaan selamat dalam urusan agamaku?”

Rasulullah menjawab, “Tentu saat itu engkau berhasil dalam urusan agamamu.” Lantas Rasulullah melanjutkan, “Hai Ali, barangsiapa yang membunuhmu berarti dia telah membunuhku; dan barangsiapa yang membencimu berarti dia telah membenciku; dan barangsiapa yang mencacimu berarti dia telah mencaciku, karena engkau adalah bagian dari diriku, ruhmu dari ruhku dan tanah penciptaanmu dari tanah penciptaanku … Hai Ali, engkau adalah washiku, ayah dari keturunanku, suami dari putriku dan khalifahku … Demi Dzat yang mengutusku sebagai Nabi dan menjadikanku sebaik-baiknya makhluk, engkau adalah hujjah Allah bagi segenap makhlukNya ….”

Di hari-hari menjelang wafatnya, Imam Ali sering memberi kabar kematiannya kepada khalayak dengan bahasa isyarat yang mudah dimengerti. Dia juga sempat berdoa meminta kepada Allah dengan membuka tudung kepalanya sambil berujar, “Ya Allah, aku telah jenuh dengan mereka dan mereka pun sudah jenuh padaku, aku telah bosan dengan mereka dan merekapun sudah bosan denganku … tidakkah sebaiknya ada perpisahan?

Dikabarkan pula bahwa pada bulan Ramadhan itu, Imam Ali melihat tanda paling jelas dari dekatnya jemputan ajal ketika bermimpi melihat Rasulullah sedang membersihkan tanah dari wajah Imam Ali dan bertutur, “Hai Ali, tiada lagi bebanmu. Kau telah menunaikan semua kewajiban.”
Muhammad ibn Abu Bakr: Aku menginap di rumah ayahku pada malam 21. Racun telah menjalar sampai ke ujung-ujung kakinya. Wajahnya semakin pucat. Pandangan matanya nyaris tertutup. Kami kemudian membaringkannya di ranjang. Beliau terus mengulang-ulangi wasiat-wasiatnya kepada kami dan bertakziah atas kepergiannya sendiri. Beliau pun terus menerus shalat dalam keadaan duduk.
Tidak lama kemudian Ummu Kulsum dan Zainab datang dalam keadaan menangis. Sambil bercucuran airmata Zainab berujar: “Ayah, duka kami terhadapmu pastilah panjang dan airmata kami tidak bakal berhenti.”

Mendengar suara Zainab, seluruh keluarga besar Imam Ali menangis. Suara keras ini kemudian membangunkan Imam. Setelah mengedarkan pandangan ke segenap arah, Imam menatap Zainab dan tak kuasa menahan airmata.
Para tabib yang berusaha menyembuhkannya sudah menyerah dan mengusulkan Imam meminum susu sebanyak mungkin. Air susu adalah makanan sekaligus minuman Imam Ali hingga syahadah beliau.

Imam kemudian memanggil Hasan dan Husein, mendekap dan menciumi keduanya cukup lama. Setelah itu Imam Ali kembali pingsan. Hasan membantu Imam Ali meminum susu. Imam hanya minum seteguk saja lalu membisiki Hasan untuk memintanya mengantarkan susu yang sama kepada Ibn Muljam – semoga Allah mengutuknya.

Imam Ali berbisik: Hai anakku Hasan, perlakukan tawananmu dengan sebaik-baiknya, karena kami adalah Ahlul Bait kenabian yang tiada dapat dibandingkan dengan siapa pun dalam kemuliaan dan keutamaan. Siapa saja yang mengenal kami pasti akan merasakan kebaikan, kedermawanan, kesantunan dan kemuliaan kami Ahlul Bait.
Setelah fajar menyingsing, masyarakat berkumpul di depan rumah beliau dan meminta izin untuk menjengkuk. Beliau mempersilahkan mereka masuk.

Imam Ali: “Hai manusia sekalian, tanyalah padaku sebelum kalian kehilangan aku. Namun buatlah pertanyaan kalian sesingkat mungkin. Ingatlah musibah yang menimpa imam kalian.”
Mendengar suara lirih Imam Ali, pecahlah tangisan di tengah masyarakat yang berkunjung. Mereka pun enggan untuk bertanya demi meringankan beban beliau.
Hijr bin Uday Ath-Thai yang hadir di sana pun lantas berdiri dan bersyair: “Duhai sedihnya diriku atas apa yang menimpa Tuan orang-orang yang bertakwa, ayah dari pemimpin-pemimpin suci, Haidar yang suci. Terkutuklah siapa saja yang menentang kalian. Kalian adalah bekalku di hari akhirat kelak. Kalianlah peninggalan Rasul yang mulia.

Selepas mendengar syair Hijr, Imam Ali bertutur, “Bagaimana sekiranya kau diminta melepaskan baiat dariku? Apa yang akan kau katakan?”
Hijr menjawab, “Wallahi Hai Amirul Mukminin, jikalau aku dicincang-cincang dan dibakar di api unggun, aku tidak akan melepaskan baiatku padamu.”
Imam Ali menjawab, “Semoga Allah memberimu taufik, Hai Hijr. Semoga Allah mengganjar kesetiaanmu pada Ahlul Bait.”

Kemudian Imam Ali meminta susu. Saat diberikan segelas susu padanya, Imam Ali meminum seluruhnya dan tidak menyisakan untuk Ibnu Muljam. Beliau berujar: “Sesungguhnya perintah Allah adalah takdir yang tidak bisa ditolak. Ketahuilah bahwa aku tidak menyisakan susu tadi untuk tawanan kalian karena itulah rizkiku yang terakhir dari dunia ini. Ingatlah, anakku, berilah tawanan itu sebanyak susu yang aku minum tadi.”

Imam Hasan kemudian keluar dari rumah dan mengabarkan keadaan Amirul Mukminin kepada masyarakat yang kian banyak berkumpul di depan rumah.
Ashbagh, pelayan Imam, meminta izin kepada Hasan untuk menjenguk Imam Ali. Setelah masuk dan melihat keadaan Imam, Ashbagh tak kuasa menahan diri dan meledak dalam tangisan.

Ashbagh: “Aku melihat Imam terbaring menggigil di ranjang dengan dahi merekah mengucurkan darah. Beliau melilitkan sorban warna kuning ke atas kepalanya. Aku tak lagi bisa membedakan mana yang lebih kuning, wajahnya atau kain sorbannya. Aku langsung memeluki dan menciuminya selama mungkin. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.”

Imam Ali berkata: “Jangan menangis, hai Ashbagh. Sungguh demi Allah, surga telah di depan mataku!”
Ashbagh: Aku sadar betul engkau menuju ke surga. Aku menangis karena berpisah denganmu, Hai Amirul Mukminin.
Kemudian Imam Ali memanggil kembali kedua putranya, Hasan dan Husein dan mendekap keduanya. Setelah itu Imam Ali mengedarkan pandangannya ke seluruh putra putrinya yang lemas dan terengah-engah akibat banyak menangis dan bersedih. Butir-butir airmata pun mengaliri jenggotnya bercambur darah.
Imam Ali menengok kepada Hasan dan Husein sembari berkata, “Duhai Hasan, kau akan terbunuh dalam keadaan mazlum dan diracun. Adapun kau, Duhai Husein… kau akan menjadi syahid umat ini. Kau akan disembelih seperti binatang, lalu jasadmu akan diikat dan digeret-geret dengan kuda. Kepalamu akan diusung untuk dibawa ke raja Bani Umayyah. Putri-putri keturunan Rasulullah akan ditawan, digelandang dan dipertontonkan. Sungguh kelak aku akan mengambil sikap khusus terhadp mereka di hari kiamat.

Dahi Imam yang merekah kini telah menampakkan daging putih di bagian otak beliau. Urwah Saluli, tabib yang kala itu masih berusaha memperban, tak kuasa lagi dan menjerit menangis. Dia hanya bisa pasrah dan berpamitan kepada Imam. Dengan senyum Imam mempersilahkannya keluar.
Zainab maju ke depan dengan tubuh lunglai dan bertanya kepada kakaknya, Imam Hasan: “Bagaimana ini, Kak? Apa kata tabib tentang luka ayahanda dan tambatan hatiku??? Aku belum siap ditinggalnya, Kak.”
Hasan berusaha menenangkan Zainab yang sangat peka malam itu dengan memeluknya erat-erat.
Muhammad ibn Abu Bakr Alhanafiyah melanjutkan. Setelah malam mulai gelap, Imam Ali meminta seluruh anak dan kerabat Ahlul Bait untuk berkumpul di sekitarnya. Beliau berkata: “Allah adalah Penjaga kalian setelah kepergianku. Dia adalah Gantungan dan Sandaranku.”
Sekujur tubuh Imam Ali sudah membiru kemerahan. Beliau sudah tidak mau lagi makan dan minum apapun. Bibirnya terus berzikir, bertasbih, bertahmid, bertahlil sebagai tanda bahwa dia masih di bumi.
Imam Ali lalu memanggil putra-putrinya satu per satu dengan nama mereka masing-masing dan berpamitan.

Hasan bertanya kepada Imam: “Apa yang membuat Ayah berbuat seperti ini?”
Imam menjawab: “Putraku, aku telah bermimpi bertemu Rasulullah satu malam sebelum kejadian ini. Aku telah mengeluhkan seluruh derita yang harus kutangguh akibat perilaku umat ini kepadaku. Rasulullah memintaku berdoa, kemudian aku berdoa: Ya Allah, berikan pada mereka sebagai ganti dariku pemimpin yang lebih buruk dan gantikan bagiku umat yang lebih baik dari mereka. Rasulullah menjawab, “Allah telah mengijabah doamu. Allah akan memindahkanmu ke tempat kami setelah tiga malam.” Dan malam ini adalah malam ketiga setelah mimpi tersebut.
Imam melanjutkan: “Aku wasiatkan kepada kalian berdua untuk terus berbuat kebajikan. Kalian adalah dariku dan aku dari kalian.”
Lalu Imam Ali menengok kepada anak-anaknya yang dari ibu selain Sayyidah Fathimah dan berwasiat kepada mereka untuk senantiasa patuh kepada dua putra Fathimah, yakni Hasan dan Husein.

Imam berkata: “AhsanaLLAHU lakumul ‘aza. Aku akan meninggalkan kalian malam ini untuk berjumpa dengan kekasihku, Muhammad saw, sebagaimana yang telah beliau janjikan padaku. Jika aku telah wafat, mandikan, balsemi lalu balutlah aku dengan kain kafan sisa dari Kakek kalian Rasulullah yang dibawa oleh Jibril. Kemudian baringkanlah aku di ranjang dan semayamkanlah aku di dalam kuburan yang telah tergali di samping ranjangku…
Wahai Abu Muhammad, shalatilah aku dan bertakbirlah tujuh kali. Tidak boleh selainku dishalati dengan takbir tujuh kali kecuali seorang pemimpin yang akan muncul di akhir zaman yang bernama Al-Qaim Al-Mahdi dari keturunan adikmu Husein.

Aku wasiatkan kepadamu hai Hasan apa yang Rasulullah perintahkan kepadaku untuk menyerahkan seluruh catatanku dan pedangku kepadamu, kemudian beliau mewasiatkan kau untuk menyerahkannya setelah ajal menjemputmu kepada adikmu Husein. Lalu Imam Ali memandang Husein dan memerintahkannya untuk menyerahkannya kepada putranya, Ali bin Husein. Kemudian Imam Ali memandang Ali bin Husein dan memerintahkannya untuk menyerahkannya kepada anaknya, Muhammad bin Ali dan sampaikan salam Rasulullah dan aku kepadanya.
Kemudian Imam Ali memandang kembali kepada Hasan dan berkata, “Hasan anakku, kaulah ahli warisku dan wali setelahku. Kalau kau mau, kau dapat memaafkan orang yang membunuhku. Kalau tidak, maka pukullah dia sekali saja sebagaimana dia memukulku.”
Lalu Imam Ali meminta Hasan menuliskan wasiat yang panjang berisi tentang keimanan, ketakwaan dan perilaku yang bajik di jalan Allah.
Setelah itu Imam Ali memanggil Zainab dan berkata: “Hai Zainab, aku mendengar Rasulullah bersabda bahwa seorang Mukmin yang tiba ajalnya akan berkeringat dahinya dengan butir-butir putih yang menyala bagaikan mutiara.”
Mendengar ucapan itu dan menyaksikan butir-butir mutiara yang bergemerlam di dahi ayahnya, Zainab terdiam tenang dan tidak lagi menangis. Zainab melangkah ke depan dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan ayahnya sembari berkata, “Ayah, Ummu Ayman pernah menceritakan padaku tragedi Karbala. Dan aku ingin mendengarnya langsung darimu.”
Imam menjawab, “Anakku, ceritanya sebagaimana yang sudah disampaikan oleh Ummu Ayman. Seakan-akan aku bersamamu dan wanita-wanita Ahlul Bait yang menderita kehausan, menjadi tawanan-tawanan yang dipermalukan. Kalian akan merasakan kekhawatiran diperolok-olok oleh masyarakat. Maka bersabarlah, bersabarlah…”

Lalu Imam Ali menatap kedua putranya, Hasan dan Husein dan bertutur: “Seolah2 aku melihat kalian setelah ini akan dikepung dari fitnah yang datang dari sana dan sini. Maka bersabarlah, tabahkanlah diri hingga Allah memutuskan urusan.”
Imam melihat sekelilingnya dan bertutur: Aku kini melihat Kakek kalian Rasulullah bersama Nenek dan Ibu kalian memanggil-manggil dan memintaku bergegas datang kepada mereka.”

Imam kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh Ahlul Bait dan menatap satu persatu dan berkata: “Astaudi’ukumullah jami’an. Aku memohon pamit kepada kalian semua. Semoga Allah menjaga kalian semua.”
Beliau lalu memejamkan matanya perlahan-lahan, memanjangkan kedua tangannya, dan meluruskan kedua kakinya. Dan dengan suara syahdu mengucapkan Asyhaduallah ila illALLAH wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluh.
Demikianlah. Nafasnya terhenti dan ruhnya melesat menembus angkasa menuju tingkat wujud tertinggi, kehadirat Dzat Kudus Ilahi, bersatu dengan Kekasih Mutlak yang Maha Sempurna dalam keadaan syahid, suci, bersih, penuh cahaya.
Innalillahi wa inna ilayhi raji’un… .

Selasa, 26 April 2016

Kisah Ali Bin Abi Thalib, r.a.




Asal-Usul Ali bin Abi Thalib, r.a.

‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب) (lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.

Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib

Syi'ah

Syi'ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.


Syi'ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.

Ahlussunnah

Ahlussunnah memandang Ali bin Abi thalib sebagai salah seorang sahabat rasulullah yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan rasulullah sangat dekat sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari nabi shallallahu'alaihi wa sallam. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin abi thalib sebagai salah seorang khulafaurrasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk).

Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.

Sufi

Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan QuraisyMekkah.

Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,[butuh rujukan] Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan di Madinah
Perkawinan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya QuraisyMekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:

"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Setelah Nabi wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Bait dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai khalifah
stiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'mininAisyah binti Abu Bakar, Istri Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.

Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Keturunan
Keturunan Ali bin Abi Thalib

Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra[1] dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.

Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.

Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.

Istri-istri Ali bin Abi Thalib

Pernikahan dengan Fatimah az-Zahra
Putra Ali melalui Fatimah
Hasan bin Ali, yang digelari al-Mujtaba
Husain bin Ali, yang digelari asy-Syahid
Muhsin bin Ali, yang meninggal waktu masih dalam kandungan.

Putri Ali melalui Fatimah
Zainab binti Ali, yang dijuluki Zainab al-Kubra
Ummu Kultsum, menikah dengan Umar bin Khattab.
Zaid bin Umar

Pernikahan dengan Umamah binti Zainab
Umamah merupakan anak dari Abi Al Aa'sh dan Zainab binti Muhammad, kakak perempuan dari Fatimah az-Zahra, setelah meninggalnya Fatimah, Umamah kemudian menikah dengan Ali dan sampai meninggalnya pada tahun 66 H / 685 memiliki 1 orang anak bernama Muhammad al-Ausath bin Ali bin Abi Thalib.

Pernikahan dengan Ummu Banin binti Hizam
Ummu Banin merupakan anak dari Hizam bin Khalid, memiliki 5 anak laki-laki, yaitu:
Ja’far bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
Abdullah bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
Utsman bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
Umar bin Ali, syahid di Karbala pada 10 Oktober 680
Abbas bin Ali

Pernikahan dengan Laila binti Mas'ud
Ubaidullah bin Ali
Abu Bakar bin Ali

Pernikahan dengan Khawlah binti Ja'far al-Hanafiah
Muhammad Abu Abdullah bin Ali, lebih dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiah, meninggal tahun 67 H
Pernikahan dengan Al-Sahba' binti Rabi'ah
Umar bin Ali

Pernikahan dengan Asma binti Umais
Asma menikah pertama kali dengan Ja'far bin Abu Thalib, kemudian setelah meninggalnya Ja'far, ia menikah dengan Abu Bakar, memiliki seorang anak, yang kemudian menjadi anak angkat dari Ali bin Abi Thalib, yang bernama:
Muhammad bin Abu Bakar
Setelah meninggalnya Abu Bakar, Asma binti Umais kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib, dan memiliki dua anak laki-laki, yaitu:
Yahya bin Ali d:61H
Muhammad al-Ashgar bin Ali, syahid di Karbala pada tanggal 10 Oktober680

NAMA-NAMA ISTRI DAN ANAK-ANAK DARI SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB
Pernikahan dengan Fatimah az-Zahra, keturunannya adalah:
1. Hasan bin Ali.
2. Husain bin Ali.
3. Muhsin bin Ali,terjadi perbedaan pendapat atasnya karena meninggal pada waktu masih dalam kandungan.
4. Zainab binti Ali.
5. Ummu Kultsum binti Ali.

Pernikahan dengan Khawlah binti Ja'far al-Hanafiah
1. Muhammad Al-Akbar yakni Muhammad bin al-Hanafiah (Muhammad Abu Abdullah bin Ali)

Pernikahan dengan Al-Sahba' binti Rabi'ah
1. Umar bin Ali
2. Ruqayyah binti Ali

Pernikahan dengan Umamah binti Zainab
1. Muhammad al-Ausath bin Ali

Ummu Banin fatimah binti Hizam bin Khalid:
1. Abbas bin Ali
2. Utsman bin Ali
3. Ja’far bin Ali
4. Abdullah bin Ali
Semuanya meninggal di karbala

Pernikahan dengan Laila binti Mas'ud bin Khalid At-Tamim - terbunuh dikarbala'.
1. Abu Bakar bin Ali
2. Ubaidullah bin Ali

Pernikahan dengan Asma' binti Umais
1. Yahya bin Ali
2. Muhammad Al-Ashghar bin Ali
3. (dikatakan) 'Aun bin Ali

Pernikahan dengan Ummu Sa'id binti Urwah bin mas'ud
1. Romlah binti Ali
2. Ummul hasan binti Ali

Pernikahan dengan Ash-Shahba' Ummu Habibah binti Zam'ah
1. Ruqayyah binti Ali
2. Ummu Umar binti Ali

Pernikahan dengan Mahyat binti Imru'u Al-qias bin Adi :
1. Jariyah binti Ali.

**
Gak ada alasan buat siapapun (terutama Syi'ah) untuk membenci para sahabat, apalagi ketiga Khalifah; Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Untuk apa Ali bin Abi Thalib menamakan anak-anaknya dengan nama beliau bertiga? Jawabannya Ini adalah Isyaroh bahwa Sayyidina Ali sangat menghormati beliau bertiga, bukan membencinya

KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH

  KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH Orientasi Kabupaten Banggai Kepulauan adalah salah satu kabupaten yang ter...