Rabu, 28 November 2018

ASAL USUL DESA PURWAWINANGUN


ASAL USUL DESA PURWAWINANGUN

Orientasi
Sejarah
Purwawinangun berarti awal dibangun. Sebelum kedatangan Islam, Masyarakat Cirebon menganut agama Hindu dan merupakan Daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang dikenal dengan nama Pajajaran, seluruh Jawa barat termasuk Cirebon pada tahun 1389 M masuk bagian dari Pajajaran dengan pelabuhannya saat itu meliputi Cirebon, Indramayu, Karawang, Sunda Kelapa dan Banten.Waktu Cirebon dibawah pimpinan Ki Gedeng Jumajanjati anaknya Ki Gedeng Kasmaya, datanglah pelaut Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho ( Cheng Ho) dan sebagai rasa terimakasihnya atas sambutan rakyat Cirebon, maka dibuatlah Mercusuar di Pelabuhan Cirebon itu.Setelah itu Pelabuhan Cirebon kedatangan seorang ulama Islam yang bernama Syekh Idhofi ( Syekh Datuk Kahfi ) yang dikenal dengan julukan Syeh Nuruljati. Ulama ini kemudian mendirikan pesantren dikaki bukit Sembung dan menetap di Pesambangan ( Desa Jatimerta). Salah satu murid ulama ini ada yang bernama Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan mendirikan sebuah kota bernama Caruban yang kemudian dikenal dengan nama Cirebon. Setelah ia berhaji mendapat julukan Haji ‘Abdul Iman yang akhirnya memimpin pemerintahan di Cirebon. Saat itu di pelabuhan Karawang datang juga seorang ulama yang bernama Syekh Hasanuddin dari Campa dan dikenal dengan sebutan Syekh Quro karena mendirikan pesantren Quro.

Letak Geografis
Kira-kira 3 km di sebelah utara pengguron Agama Islam Puser Bhumi Setana Gunung Jati terdapat Pasar Celancang yang padat dengan para pedagang dan pembeli dari bebereapa desa yang berada di wilayah kecematan Kapetakan, Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan Weru. Dilewati jalur jalan raya Cirebon – Indramayu dan angkutan pedesaan Celancang – Plered.

Sebelum adanya pasar Celancang, di lokasi balai Desa Purwawinangun dulu ada pasar yang dikenal dengan sebutan Pasar Gentong. Karena disitu letak persinggahan para penjual “getak” dengan cara dipikul dari jamblang yang diantaranya barang-barang tersebut adalah gentong, anglo, celengan semar-semaran, padasan dan sebagainya, untuk dijajakan ke daerah lain. Kemudian karena terlalu padatnya dengan para pedagang dan sebelah selatan yang sekarang dikelan dengan sebutan Pasar Celancang.


Nama Celancang itu sendiri berasal dari kata “nyancang” atau tempat menambatkan perahu di Bengawan Celancang. Keterangan ini diperkuat dengan catatan peristiwa sejarah yang terjadi sekitar tahun 1415 Masehi. Saat itu telah berlabuh lebih dari seratus perahu besar dari Cina dibawah pimpinan Laksamana Cheng Hwa atau Te Ho dengan membawa sekitar 27.800 orang prajurit. Yang bermaksud membeli perbekalan yang sudah habis, seperti air dan berbagai bahan makanan sebagai bekal di perjalanan ke kerajaan Majapahit di jawa Timur. Mereka diperintahkan oleh maharaja Cina yang bergelar Yu Wang Lo atau disebut namanya Cheng Tu dari Dinasti Ming. Kedatangan bala tentara Cina itu dikawal oleh beberapa orang perwira dari Sumatra, yang diperintah oleh Sang Aditya Warman seorang ratu yang sejajar dengan kerajaan Majapahit.

Ratu Singapura sebagai Mangkubumi Kerajaan Sunda bernama Kyai Geng Jumjan Jati atau Kyai Geng Tapa yang merangkap pula sebagai juru labuhan atau Syah Bandar Muhara Jati. Menyambut kedatangan mereka dengan senang hati. Sang Laksamana Cheng Hwa atau Te Ho memerintahkan kepada Khung Way Ping disertai beberapa prajurit lainnya agar membuat menara laut tepanya di sebelah timur Gunung Jati. Bahwa dibuatnya menara laut agar dapat diketahui dari lautan adanya pelabuhan. Pembuatan menara laut oleh bala tentara Cina, memaksakan mereka harus tinggal semalam tujuh hari tujuh malam. Selama itu seluruh bala tentara Cina yang datang mendapat penghormatan dari Ki Juru Labuhan dengan memberikan makan dan minum, yang masih tinggal di dalam kapal juga tidak dilewatkannya. Ketika itu Maharaja Sunda telah lama bersahabat dengan Maharaja Cina. Setelah selesai pembuatan menara laut, Ki Juru Labuhan menggantinya dengan garam, terasi, beras tuton, sayur mayor dan kayu jati. Menara laut tersebut dinamai Menara Te Ho (Pangeran Arya Carbon, 1720 M, Purwaka Caruban Nagari).

Desa Perwawinangun termasuk wilayah Kecematan Kapetakan Paling selatan semula terdiri dari tiga desa yang digabungkan, yaitu Desa Kecitran, Desa Muara dan Desa Pabean diperkirakan antara tahun 1930 sampai tahun 1940. Adapun Kuwu dari ketiga desa tersebut adalah Kuwu Hamzah di Desa Kecitran, Kuwu Siwan dan Kuwu Carman di Desa Muara, Kuwu Punuk dan Kuwu Satu di Desa Pabean, Dari penggabungan ke tiga desa itu terbentuk desa yang baru dinamai Desa Purwawinangun. Purwa artinya awal dan winangun artinya membangun, jadi awal pembangunan dari masyarakat tiga desa dalam satu kesatuan. Benda peninggalan berbentuk bareng (kemuang) sebanyak dua buah sama besar terbuat dari besi dengan diameter kira-kira 20 cm, sebutannya Ki Geger dan Nyi Beser. Kedua barang tersebut disimpan di rumah kuwu yang baru.

Kacitran diambil dari nama seorang tokoh panutan masyarakat bernama Ki Citra, kemudian mengalami perubahan ucapan menjadi Kecitran. Kehidupan Ki Citra mengabdikan diri kepada Ki Ageng Mertsinga bernama P. Sukmajanegara. Karena ketulusan dalam pengabdiannya, maka Ki Ageng Mertasinga menganggap saudara sendiri kepada Ki Citra, sampai akhir hayatnya Ki Citra dimakamkan di Desa Mertasinga sekarang.

Sebelum mengabdikan diri kepada P. Sukmajanegara di Mertasinga, Ki Citra telah membangun Masjid dan Sumur Marikangen.

Disamping memberikan pendidikan Agama Islam kepada penduduk, memberikan pula keterampilan, diantaranya adalah pertukangan bangunan, mewarnai kain (celep) dengan menggunakan cara tradisional dan kesenian Terbang. Mewarnai dengan menggunakan cara tradisional yaitu menggunakan tumbuhan daun ketapang muda, bila menghendaki warna merah, sedangkan bila mengiginkan warna hijau, kain itu direndam dalam lumpur, kemudian direndam pula pada larutan tumbuhan daun ketapang muda dicampur dengan tumbuhan daun ketapang kering.

Pabean asal kata dari bea, semacam pungutan pajak bagi kapal yang berlabuh. Ketika itu telah banyak kapal dagang yang datang dari negeri lain seperti negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Madura, Makasar, dan Palembang. Ki Citra mempunyai saudara bernama Ki Bratayudha atau disebut pula Ki Jagayudha. Bratayudha berada di Blok Kecitaran Wetan.

Mata pencaharian masyarakat Desa Purwawinangun beragam, diantaranya adalah petani, nelayan pabela, pedagang dan ada pula pegawai. Persawahan yang ada masih bersifat tadah hujan dalam musim tanam sekali dalam setahun. Pada saat menjelang musim kemarau sebagian persawahan ditanami semangka dan pembuatan batu bata. Di Blok Pabean Wetan terdapat budidaya lele dumbo dengan jumlah balong sekitar 40 balong yang dikelola oleh 20 orang. Dan di Blok kacitra lor ada budidaya ikan hias dengan berbagai jenis ikan hias diantaranya adalah black mobil, marbel, blue siklid, nias dan sebagianya sekitar 8 jenis. Budidaya ikan hias dimulai sejak tahun 1991, pengelolahanya bernama Peri Harsono. Di Desa Purwawinangun terdapat pula sebuah Yayasan Fajar Hidayah yang menampung anak yatim piatu khususnya anak perempuan sekarang Yayasan tersebut nemampung 20 anak.

Nama-nama Kepala Desa Purwawinangun yang diketahui :
1. Carman :
2. Ralim : 1943 – 1963
3. Jabidi : 1963 – 1967
4. Taswira : 1967 – 1983
5. Darjaya (Pjs) : 1983 – 1987
6. Kaduri : 1987 – 1995
7. Suyoto : 1995 – 2002
8. Raliya, SH : 2003 – 2011
9. Tasumi : 2012 - Sekarang

Sumber : Google Wikipedia


KISAH KOTA CIREBON


KISAH KOTA CIREBON

Orientasi
Asal Nama Kota Cirebon
Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Pada awalnya Cirebon berasal dari kata sarumban, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban (carub dalam bahasa Cirebon artinya bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.

Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon juga dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut (belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi cirebon.

Geografi Cirebon
Kota Cirebon terletak pada 6°41′LU 108°33′BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11 kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta.

Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 37,54 km2 dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%).

Wilayah Kotamadya Cirebon Sebelah Utara dibatasi Sungai Kedung Pane, Sebelah Barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, Sebelah Selatan dibatasi Sungai Kalijaga, Sebelah Timur dibatasi Laut Jawa.  Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl, sementara kemiringan lereng antara 0-40 % di mana 0-3 % merupakan daerah berkarateristik kota, 3-25 % daerah transmisi dan 25-40 % merupakan pinggiran. Kota ini dilalui oleh beberapa sungai di antaranya Sungai Kedung Pane, Sungai Sukalila, Sungai Kesunean, dan Sungai Kalijaga.

Sejarah Cirebon
Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Pajajaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat permukiman ke tempat permukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala permukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.

Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.

Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara. Kemudian pada tanggal 7 Januari 1681 Cirebon secara politik dan ekonomi berada dalam pengawasan pihak VOC, setelah penguasa Cirebon waktu itu menanda tangani perjanjian dengan VOC.

Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 ada tiga perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabang di Cirebon. Pada tahun 1877 Cirebon sudah memiliki pabrik es. Pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877.

Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100 ha dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Kemudian pada tahun 1942, Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 ha dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kotapraja dengan luas 3.300 ha, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 ha.


Cikal Bakal Nama Kota Cirebon Ternyata Dari Dua Benda Ini
Editor: Wahid Nurdin

Anda barangkali sudah familiar dengan nama Cirebon, sebuah kota di Jawa Barat. Namun masih banyak orang yang belum tahu sejarah nama Cirebon itu muncul sebagai nama kota di kawasan tersebut. Usut punya usut, menurut keyakinan dan cerita yang beredar di masyarakat, asal muasal nama Cirebon, ternyata berasal dari dua situs benda cagar budaya yang ada di pelataran Keraton Kanoman Cirebon.

Lingga dan Yoni, dua benda yang menyerupai kelamin pria dan wanita ini ternyata adalah asal usul dinamakannya kota Cirebon. Mustaqim, pemandu wisata Travel Heritage, Keraton Kanoman Cirebon, bercerita, Kota Cirebon merupakan kota pesisir yang sangat dekat dengan laut. Sejak zaman dahulu sebagian besar masyarakat Cirebon berprofesi sebagai nelayan. Mereka menggantungkan hidupnya, mengambil dan mengolah hasil dari laut. Ia menuturkan, salah satu produk yang dibuat oleh masyarakat Cirebon yang dikenal sampai sekarang adalah Terasi, produk olahan laut yang terbuat dari udang yang difermentasikan, dan digunakan untuk bumbu masakan.

"Terasi merupakan salah satu produk hasil laut, yang sudah diproduksi sejak zaman dahulu ketika Cirebon masih dalam bentuk Kerajaan pada abad ke 15," tutur Mustaqim, Jumat (2/10/2015)-Lanjutnya, Terasi ini dibuat dari bahan-bahan hasil panenan nelayan seperti ikan-ikan kecil dan udang yang sudah dibuang kepalanya. Cara pembuatannya, campuran ikan dan udang ditambah air garam dihancurkan dengan alu dan lumpang, untuk selanjutnya difermentasikan. Zaman dahulu, alat alu dan lumping ini menyiratkan simbol tertentu. Seperti alu yang disimbolkan sebagai lingga atau alat kelamin pria, dan lumpang yang disimbolkan sebagai Yoni atau menyerupai alat kelamin wanita. "Alu dan Lumpang, alat-alat untuk membuat terasi ini disimbolkan sebagai Lingga dan Yoni sebagaimana pria dan wanita," ujar Mustaqim.

Mustaqim bercerita, Alu dan Lumpang yang menyimbolkan Lingga dan Yoni ini ternyata diabadikan di pelataran Keraton Kanoman Cirebon. Lingga, berbentuk sebagai alu, batu silinder panjang sepanjang kurang lebih satu meter diletakkan di bangunan gubuk di sebelah utara Siti Inggil Keraton Kanoman Cirebon. Sebagai mana dengan Yoni, yang berbentuk seperti meja dengan luas satu kali satu meter, dengan lubang di tengah-tengahnya. Lanjutnya, lingga dan yoni ini ternyata digunakan oleh masyarakat sejak zaman dahulu untuk membuat terasi. Sedangkan asal usul nama Cirebon didapat ketika zaman dahulu masyarakat di Keraton Kanoman Cirebon membuat terasi, dari air garam (cair) dan udang (rebon).

Sampai saat itulah, daerah di Keraton Kanoman selanjutnya dinamakan Cirebon.
"Cirebon berasal dari kata Cair yang artinya air, dan rebon yang artinya udang. Karena kebiasaan, daerah tersebut, dinamakan Cirebon. Sedangkan alu dan lumping tersebut sebagai perlambangnya. Istilah tersebut yang dulu digunakan masyarakat Kanoman untuk menamakan daerahnya," tutur Mustaqim. Bangunan lingga dan yoni telah ada sejak didirikannya Keraton Kanoman Cirebon pada tahun 1678 Masehi, oleh Sultan Anom I. Alu dan lumpang ini masih dapat disaksikan sampai sekarang, terletak di belakang pasar Kanoman, di sebelahnya kokoh berdiri Ringin Kurung dan Siti Inggil Keraton Kanoman Cirebon.

ASAL USUL NAMA JALAN DI KOTA CIREBON
Kota Cirebon sudah lama dikenal dengan budayanya yang sangat kuat. Bahkan, nama-nama jalan di kota ini memiliki asal-usul tersendiri. Memang banyak versi berkembang, perjalanan Putra Prabu Siliwangi, Walangsungsang saat melakukan Babad Yaksa menjadi salahsatu asal muasal penamaan sejumlah daerah di wilayah Cirebon. Beberapa versi soal penamaan sejumlah daerah di Cirebon, yang dirangkum radarcirebon.com, di antaranya Sejarah Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) dan Babad Tanah Sunda (BTS) memiliki perbedaan satu sama lainnya. Namun, perbedaan ini adalah sebuah kekayaan tersendiri bagi gerage (negeri gede), sebutan Cirebon dari naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN).

Dalam buku Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta), Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural yang ditulis Dr H Dadan Wildan MHum, di dalamnya juga memuat cerita di balik penamaan tempat-tempat di Cirebon. Sejarah Cirebon jilid kedua menguraikan panjang lebar tentang asal-usul sebuah tempat terutama Lemahwungkuk, Panjunan, Pasayangan, Pekarungan, Gunungsari, Dukuh Semar, Kebon Pring, Pekalangan, Pandesan, Parujakan, Anjatan, Pulasaren dan Jagasatru.

Cerita itu bermula ketika Walangsungsang alias Somadullah berpamitan menuju arah selatan dari Gunung Jati. Hari itu adalah hari Sabtu. Walangsungsang sampai di tempat yang sunyi dan tidak ada seorang pun kecuali seorang lelaki yang sudah sangat tua bernama Ki Pangalang-alang. Sesampainya di tempat itu, Walangsungsang mengucapkan kalimat lamma waqo’tu atau saya telah tiba. Karenanya tempat itu dinamakan Lemahwungkuk. Usai sembahyang, Walangsungsang keluar dari rumah untuk memulai pekerjaan. Ia melihat banyak pohon besar, bahkan ada yang tingginya 500 meter, dengan rajin dia membuka hutan belukar, menebang pepohonan menuju arah utara Lemahwungkuk. Hingga dia tiba di suatu tempat yang banyak binatang buas, lalu ia membaca doa agar terhindar dari celaka.

Setelah selamat dari gangguan, ia berucap fa anjaena yang artinya aku telah selamat. Oleh karena itu tempat itu dinamakan Panjunan. Perjalanan berikutnya, Walangsungsang berjalan ke arah barat sampai ia merasa kebingungan dan tidak tahu jalan. Ia kembali membaca doa dan nampaklah jalan, dan ketika itu dia berucap fasyalamuna artinya mengetahuilah. Tempat ini kemudian dinamai Pasayangan. Perjalanan Walangsungsang kemudian berlanjut ke daerah yang menjadi cikal bakal Pekarungan.

Asal kata Pekarungan sendiri adalah fakkarnaa, kata yang diucapkan Walangsungsang saat merasa bimbang akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Perjalanan berlanjut dan Walangsungsang pun merasa senang, tempat itu kemudian dinamakan Gunung Sari dan Dukuh Semar dari ucapan Walangsungsang qooma sirri jami’an samarin.

Dari perjalanan Walangsungsang itu beberapa daerah memiliki cikal bakal nama seperti Parujakan yang asal katanya farjanaa, Pekalangan yang juga berasal dari ucapan Walangsungsang yaitu fachlonaa (aku terlupa pikiran), Pandesan yang berasal dari fahandasnaa (aku dapat petunjuk), rokibuna rumatallahi farihin yang menjadi cikal bakal Kebon Pring, faroaetu aajataini (aku melihat dua tanda) yang kini daerahnya disebut Anjatan.

Perjalanan Walangsungsang menuju arah selatan juga menjadi cikal bakal nama daerah seperti Pulasaren yang berasal dari falaa sasarenaa (aku tidak terus berjalan). Cerita legenda tersebut terutama pada asal mula Panjunan berbeda dengan Babad Tanah Sunda, ceritanya berawal dari Negeri Baghdad, dimana Sultan Maulana Sulaeman tidak tentram lantaran anak-anaknya tidak mengindahkan aturan agama.

Ketiga anaknya kemudian dikirim ke Cirebon untuk berguru pada Syekh Nurjati atas saran Syekh Juned. Ketiga anak Sultan Maulana Sulaeman, Syarif Abdurrahman, Syarif Kafi dan Syarifah Baghdad kemudian berguru pada Syekh Nurjati. Singkat cerita, Syarif Abdurrahman menjadi ayunaning orang (pemimpin masyarakat) yang bekerja membuat keramik dari tanah liat. Kemudian ia disebut Pangeran Panjunan. Karenanya pemakamannya pun disebut Dukuh Panjunan pada 1464.

Berdasarkan Babad Tanah Sunda, ada beberapa daerah lain yang memiliki cerita legenda seperti Kejaksan, Kapetakan, Gunung Ciremai dan Pakungwati. Salahsatunya nama Kejaksan yang diambil dari nama jabatan Syarif Abdurrahim ketika tinggal di Cirebon. Saat itu Syarif Abdurrahim menjabat sebagai jaksa untuk mengurus agama dan disebut Pangeran Kejaksan.
Foto ini menunjukkan Masjid At Taqwa di Alun Alun Kejaksan
Keraton Kanoman punya catatan tersendiri untuk legenda nama-nama jalan ini. Catatan Budayawan TD Sujana yang didokumentasikan dalam pustaka Keraton Kanoman juga menceritakan asal mula 54 daerah di wilayah Cirebon. Sumber topo nimi yang dibuat TD Sujana, adalah Babad Cirebon.

Dari sekian banyak legenda nama jalan tersebut, hanya akan dibahas beberapa di tulisan ini terutama yang memiliki perbedaan versi dengan perjalanan Walangsungsang yang ditulis dalam naskah Sejarah Cirebon. Misalnya Pulasaren yang dalam tulisan TD Sujana penamaan tersebut dikarenakan ada sebuah rumah milik Pangeran Pulasaren. Kemudian Lemahwungkuk yang menurut TD Sujana dinamakan demikian karena tanah di kawasan itu yang memang paling tinggi dari seluruh dataran Kota Cirebon. Sunan Kalijaga waktu itu datang ke Cirebon untuk berguru pada Sunan Gunung Jati, setelah berhari-hari menunggu kemudian dia tertidur dalam keadaan duduk membungkuk. Inilah asal-usul Lemahwungkuk.

Sedangkan Pekalangan, menurut catatan TD Sujana, berasal dari salahsatu rumah milik Ki Gedheng Pekalangan yang juga berfungsi untuk memelihara Ki Pedati Gedhe. Untuk kawasan Karanggetas, nama ini berasal dari kondisi tanah yang bila musim kemarau kekeringan tetapi pada musim hujan tanahnya gembur. Untuk Panjunan, dalam catatan TD Sujana penamaan tempat didasarkan pada Pangeran Panjunan yang saat itu tinggal di kawasan tersebut. Berikut foto Pasar Bolong Tjirebon 1906-1931,

Juru Bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina ST, mengatakan, perbedaan-perbedaan cerita legenda soal penamaan tempat di wilayah Cirebon memang menghadirkan kesulitan tersendiri dalam melakukan inventarisasi. Tetapi, perbedaan-perbedaan tersebut menjadi salahsatu ciri bahwa Cirebon adalah daerah dengan latar belakang budaya yang sangat kuat. “Ini salahsatu bukti kekuatan budaya dan latar belakang sejarah yang dimiliki Cirebon,” ujar Arimbi di kediamannya di komplek Keraton Kanoman.

Menurut Arimbi, masing-masing versi memiliki latar belakang sendiri soal penamaan sebuah tempat. Misalnya penamaan Panjunan yang dasarnya adalah tempat tinggal Pangeran Panjunan atau Kejaksan yang merupakan jabatan Jaksa yang diemban Pangeran Kejaksan.

Sumber : Google Wikipedia

 


KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH

  KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH Orientasi Kabupaten Banggai Kepulauan adalah salah satu kabupaten yang ter...