Minggu, 30 September 2018

KISAH RADEN PATAH


KISAH RADEN PATAH


Orientasi
Raden Patah (Jawa : alias Jin Bun) - (Hanzi : 靳文, Pinyin : Jìn Wén) bergelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun (lahir: Palembang, 1455; wafat: Demak, 1518) adalah pendiri dan raja Demak pertama dan memerintah tahun 1500-1518. Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tionghoa. Jin Bun artinya orang kuat.[3] Nama tersebut identik dengan nama Arabnya "Fatah (Patah)" yang berarti kemenangan. Pada masa pemerintahannya Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana.

Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin senior). Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim (Adipati/Patih Rodim)", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak atas Jawa.Kenyataan tokoh Raden Patah berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1521-1546.

Asal Usul
Terdapat berbagai versi tentang asal usul pendiri Kerajan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tionghoa. Selir Tionghoa ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada adipati nya di Palembang, yaitu Arya Damar . Setelah melahirkan Raden Patah, putri Tionghoa dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).

Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tionghoa adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong (alias Kyai Batong). Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.

Menurut kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Tiongkok. Kemudian selir Tionghoa diberikan kepada seorang berdarah setengah Tionghoa bernama Swan Liong di Palembang. Swan Liong merupakan putra Yang-wi-si-sa (alias Hyang Purwawisesa atau Brawijaya III) dari seorang selir Cina. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San (alias Raden Kusen). Kronik Cina ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478). Menurut Slamet Muljana (2005), Babad Tanah Jawi teledor dalam mengidentifikasi Brawijaya sebagai ayah Raden Patah sekaligus ayah Arya Damar, yang lebih tepat isi naskah kronik Cina Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal bahwa ayah Swan Liong (alias Arya Damar) adalah Yang-wi-si-sa alias Brawijaya III, berbeda dengan ayah Jin Bun (alias Raden Patah) yaitu Kung-ta-bu-mi alias Brawijaya V.

Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau bawahan) mantan perdana menteri Tiongkok (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang (Aria Suganda?). Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri Demak memiliki hubungan dengan Majapahit, Tiongkok, Gresik, dan Palembang.

Pendirian Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi Adipati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.

Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan China untuk Bintoro).

Konflik Demak dan Majapahit pada Masa Raden Patah
Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.

Versi Kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Tionghoa muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.

Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi adalah Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI, Kekuasaan Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII. Perang antar Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan pada masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V.

Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.

Pemerintahan Demak
Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, dia diceritakan sebagai raja pertama Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan Surya Alam. Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.

Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.  Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Tiongkok yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Tiongkok, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur dalam pertempuran ini. Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.

Keturunan Raden Patah
Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah Solekha anak dari Malokha putri Sunan Ampel, Malokha adalah isteri dari P. Wironegoro Lasem, melahirkan Raden Kikin alias Surowiyoto dan Ratu Mas Nyawa. Isteri kedua melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.

Istri yang ketiga seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep. Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.

Kronik Tiongkok hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana. Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menulis bahwa Pate Rodin memiliki putera yang juga bernama Pate Rodim, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya daripada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Kepustakaan
Ø  Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
Ø  Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Ø  Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
Ø  de Graaf, H. J. dan T. H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Ø  Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Ø  Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Ø  Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
Ø  Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
Ø  Yuliadi Soekardi. 2002. Nalusur Sejarahe Sunan Gunungjati. Dalam Majalah Panjebar Semangat Edisi 23-27. Surabaya.

Rahasia Kisah Raden Patah Raja Demak Bintoro
Raden Patah Cucu Raja Kerajaan Champa
Seorang Wali Yang Jadi Raja Islam Pertama di Jawa
Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Raden Patah lahir 1455 di Palembang dan meninggal tahun 1518 di Demak. Ibunya dari kerajaan Champa dan Ayahnya Brawijaya V kerajaan Majapahit. Berikut ini kisahnya.

Sewaktu muda Raden Patahbergelar Senapati Jimbun. Jin Bun artinya orang kuat. Nama tersebut identik dengan nama Arabnya "Fatah (Patah)" yang berarti kemenangan. Setelah menjadi Adipati Demak  bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ketika menjadi raja bergelar  bergelar  Sultan Surya Alam Akbar dan memerintah kerajaan Demak 1500-1518 M.

Istri  Raden Patah ada tiga orang. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran sabrang Lor dan Sultan Trenggono. Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggono berjasa menaklukkan Sumenep. Sejak itu kerajaan Sumenep menjadi sebuah kerajaan Islam. Dan pada keruntuhan kerajana Demak keturunan Raden Patah Banyak yang lari ke Sumenep.  

Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Pangeran Samrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawato, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai. Sewaktu masih dalam kandungan ibu Raden Patah dikirim ke Palembang diberikan kepada Arya Damar  putra sulung Brawijaya V. raja kerajaan Majapahit. Setelah Raden Patah lahir, ibunya menikah dengan Arya Damar. Dari hasil perkawinannya itu melahirkan seorang anak bernama  Kin San (alias Raden Kusen).  

“Menginjak usia remaja Raden Patah dengan Raden Kusen merantau ke Pulau Jawa untuk menemui ayahnya di kerajaan Majapahit. Ia juga  menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang sebagai bawahan kerajaan Majapahit. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya yang masih saudaranya sendiri dari jalur ibunya,”ujar Prof Dr. Ali Mufridi,MA dosen UINSA Surabaya..

Setelah dinyatakan lulus sebagai santri Sunan Ampel, maka Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit dan mendapatkan  jabatan sebagai Adipati Terung di Kriyan Sidoarjo. Sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Hal ini sesuai dengan perintah Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa Tengah yang penduduknya masih banyak yang belum masuk Islam.  Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Santrinya datang dari berbagai penjuru  daerah. Kota Demak telah menjadi kota santri. Mereka bukan hanya diajari ilmu agama Islam, melainkan ilmu keprajuritan dan pemerintahan.  Melihat kondisi tersebut, Brawijaya (alias Bhre Kertabumi di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak.

Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.  Raden Kusen meminta Raden Patah menghadapkan  ke Majapahit.  Merasa terkesan dan akhirnya Brawijaya V mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara. Setelah menjadi Adipati Demak, Raden Patah  menaklukkan Semarang tahun 1477 untuk dijadikan sebagai bawahan.

Tidak Serang Majapahit
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantarasebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cehng Ho yang beragama Islam.

Sikapnya terhadap kerajaan Majapahit tetap menaruh hormat dan tidak melakukan pemberontakan. Karena  Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Oleh karena itu, Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Budha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya.

Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof. MohYamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi adalah Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI.

Kekuasaan Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patih Udara  melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII. Perang antar Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan pada masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V.

Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Jenggala, dan Kadiri.

Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.

Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Dimana kondisi kerajaan mencapai kejayaan. Kemudian  Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lora tau Pati Unus.
Penulis : Husnu Mufid

Reorientasi
Raden Patah adalah seorang berdarah campuran China dan Jawa yang lahir di Palembang pada tahun 1455. Ia merupakan pendiri sekaligus raja pertama kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Raden Patah dikenal dengan banyak nama dan gelar antara lain Jin Bun, Pate Rodim, Tan Eng Hwa, dan Aryo Timur. Kisah hidupnya sangat menarik untuk kita pelajari. Perjuangan, kerja keras, dan sikap toleransinya sangat baik untuk diteladani, oleh karenanya mari kita simak silsilah, biografi, hingga makam dan akhir hayat dari pendiri Masjid Agung Demak ini.

Asal Usul dan Silsilah Raden Patah
Raden Patah merupakan silsilah anak dari Raja Brawijaya dengan selir China bernama Siu Ban Ci. Raja Brawijaya sendiri merupakan raja terakhir dari kerajaan Majapahit yang memerintah sejak tahun 1408 hingga 1501. Hubungan antara Raja Brawijaya dengan selirnya ini membuat Ratu Dwarawati, isteri Brawijaya cemburu. Karena kecemburuannya itu, Raja dipaksa untuk membuang selir itu agar tidak tetap tinggal di istana. Meski tengah hamil besar, Siu Ban Ci terpaksa harus angkat kaki menuju Palembang untuk tinggal di anak Brawijaya yang merupakan bupati Palembang masa itu, yakni Arya Damar. Setelah melahirkan Raden Patah, Siu Ban Ci kemudian menikah dengan anak tirinya sendiri yang tak lain adalah Arya Damar. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang putra bernama Raden Kusen.

Biografi dan Perjalanan Hidup Raden Patah
Seiring berjalannya waktu, Raden Patah tumbuh dewasa. Di masa itu, ia diminta menggantikan ayah tirinya menjadi bupati Palembang, namun dengan berbagai alasan ia menolaknya. Ia memilih kabur dan pergi kembali ke Tanah Jawa. Kepergiannya itu kemudian disusul oleh adik tirinya setelah beberapa bulan kemudian. Baik Raden Patah dan Raden Kusen, keduanya pergi ke Jawa dan menolak menjadi bupati tidak lain adalah karena ingin memperdalam ilmu agama Islam. Islam kala itu memang tengah mengalami perkembangan pesat di tanah air. Mereka berdua belajar ke Sunan Ampel di Surabaya. Setelah beberapa tahun mengaji, Raden Kusen kemudian kembali ke kerajaan kakeknya, yakni Brawijaya di Majapahit, sedangkan Raden Patah malah menuju Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagah Wangi dan menjadikannya sebagai tempat syiar Islam dengan mendirikan pesantren.

Raden Patah, Raja Pertama Kerajaan Demak
Seiring berjalan sang waktu, Raden Kusen kini telah menetap di kerajaan Majapahit dan telah diangkat sebagai adipati. Bersamaan dengan itu, pesantren yang didirikan Raden Patah pun berkembang dengan pesat dan maju. Mengingat kemajuan pesantren tersebut, Raja Brawijaya yang tak lain adalah ayah dari Raden Patah khawatir jika pesantren tersebut akan digunakan oleh Raden Patah sebagai alat untuk melakukan pemberontakan. Untuk menghindari hal itu, Raja Brawijaya pun menyuruh cucunya, yang tak lain adalah adik tiri dari Raden Patah – Raden Kusen, untuk mengundang Raden Patah.

Sesampainya di Istana, Raja Brawijaya sangat-sangat kagum dengan sosok Raden Patah yang sangat sederhana, santun, berwibawa, dan berbudi. Brawijaya pun sangat senang melihat anak dari selirnya itu memiliki kepribadian kuat. Menyadari hal itu, Brawijaya pun mengangkat Raden Patah sebagai bupati Glagah Wangi. Tak berselang lama, Raden Patah pun merubah nama Glagah Wangi menjadi Demak dan menetapkan ibukotanya di Bintara. Di bawah pimpinan Raden Patah, Demak berkembang sangat pesat dan menjadi pusat penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Perang antara Kerajaan Majapahit dan Demak
Perang antara Demak dan Kerajaan Majapahit dikisahkan di dalam Babad Jawi. Dalam babad tersebut, diketahui bahwa Sunan Ampel pernah berpesan pada Raden Patah untuk tidak memberontak ke kerajaan Majapahit, karena bagaimanapun Raja Brawijaya adalah ayahnya sendiri –meski berbeda agama. Pesan itu bertahan dan digubris oleh Raden Patah selama Sunan Ampel hidup. Namun setelah sunan Ampel wafat, pesan itu terpaksa harus diingkari karena beberapa hal. Secara terpaksa Raden Patah pun memberontak pada kerajaan Majapahit, dan Raja Brawijaya meningal pada pemberontakan itu.
 
Semenjak pemberontakan itu, kerajaan Demak semakin berkembang pesat. Kerajaan tersebut menjadi pusat perkembangan agama islam dipulau Jawa dan menjadi kerajaan islam pertama di Jawa. Beberapa bangunan bukti kemajuan kerajaan demak masih dapat kita jumpai saat ini, contohnya Masjid Agung Demak yang pada 1479 diresmikan oleh Raden Patah Sendiri.

Keturunan Raden Patah
Menurut naskah babad Jawa, Raden Patah mempunya 3 istri yang antara lain:
Putri Sunan Ampel yang kemudian melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana. Kedua anak dari isteri pertama ini secara berurutan kemudian naik takhta. Raden Surya bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Raden Trenggana bergelar Sultan Trenggana.  Seorang putri dari Randu Sanga yang kemudian melahirkan Raden Kanduruwan yang pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa dalam menaklukkan Sumenep, Madura. Putri bupati Jipang yang kemudian melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyowo.

Wafat dan Makam Raden Patah
Raden Patah meninggal pada usia 63 tahun karena sakit yang dideritanya. Ia dimakamkan tidak jauh dari masjid Agung Demak dan hingga saat ini makam Raden Patah tersebut masih tetap terawat dengan baik dan ramai dikunjungi banyak orang.
 
Demikianlah pemaparan tentang Biografi Raden Patah, asal usul,  silsilah, perjalanan hidup selama membangun kerajaan Demak, dan jasanya terhadap perkembangan agama islam di Tanah Jawa. Semoga bisa bermanfaat ya.

Sumber : Google Wikipedia


KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH

  KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI TENGAH Orientasi Kabupaten Banggai Kepulauan adalah salah satu kabupaten yang ter...